• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Aliran di Dalam Model

4.4 Hasil Perhitungan Konsentrasi SO

Menggunakan Fluent dan Hasil Pengukuran Lapang

Konsentrasi emisi SO2 hasil simulasi pada setiap kondisi atmosfer memiliki nilai yang berbeda-beda (Tabel 9). Lain halnya

pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil dan tidak stabil, hasil simulasi menunjukkan konsentrasi SO2 memiliki nilai yang hampir sama. Hal ini dikarenakan profil kecepatan angin yang terdapat pada kedua kondisi atmosfer tersebut memiliki profil yang sama sedangkan untuk kondisi atmosfer lainnya dengan konsentrasi SO2 yang memiliki nilai berbeda disebabkan oleh adanya perbedaan profil kecepatan angin pada setiap kondisi atmosfernya. Semakin kestabilan atmosfer tersebut menuju kondisi stabil, maka profil kecepatan anginnya memiliki range yang lebih besar sehingga kecepatan angin di setiap ketinggiannya akan lebih tinggi. Perbedaan profil kecepatan angin itu sendiri berpengaruh terhadap penyebaran konsentrasi SO2 tersebut. Semakin tinggi kecepatan angin, maka konsentrasi SO2akan semakin rendah akibat terdispersi. Sebaliknya, semakin rendah kecepatan angin, maka konsentrasi SO2 tidak akan banyak berkurang nilainya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi (2009) yang melakukan pengukuran konsentrasi polutan dari sumber garis dengan menggunakan model Gaussian dan didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kecepatan angin berhembus maka konsentrasi polutan yang dihasilkan semakin rendah.

Konsentrasi SO2 hasil perhitungan Fluent nilainya cukup mendekati dengan hasil pengukuran lapang yang dilakukan di atas cerobong. Pengukuran konsentrasi SO2 di lapangan nilainya paling dekat dengan nilai simulasi menggunakan Fluent pada keadaan atmosfer tidak stabil sehingga dapat diperkirakan pengukuran lapang dilakukan pada saat kondisi atmosfer tidak stabil (Tabel 8). Selama beberapa periode, hasil pengukuran lapang di cerobong menunjukkan bahwa nilai konsentrasi SO2 masih di bawah ambang batas yaitu sebesar 750 mg m-3, begitu juga dengan hasil perhitungan menggunakan Fluent.

Tabel 8 Hasil pengukuran kualitas udara emisi (SO2) di cerobong PLTU Suralaya Waktu Pengukuran Konsentrasi SO2di Cerobong (mg m-3) 1 2 3 4 Periode 3 582 465 675 425

Perbedaan nilai konsentrasi SO2 antara perhitungan Fluent dengan pengukuran di lapangan dapat disebabkan oleh beberapa hal.

Tabel 9 Hasil perhitungan kualitas udara emisi (SO2) di cerobong PLTU Suralaya dengan menggunakan Fluent

Kondisi Atmosfer Konsentrasi SO2 (mg m-3)

Sangat Tidak Stabil 494

Tidak Stabil 495

Tidak Stabil Ringan 453

Netral 368

Stabil Ringan 253

Stabil 152

Salah satu diantaranya adalah tidak diketahuinya kapan waktu tepatnya pengukuran di lapangan dilakukan. Informasi yang diketahui hanya tahun pengukuran tersebut dilakukan. Hal tersebut penting karena kondisi meteorologis berbeda-beda setiap harinya. Seperti diketahui, kondisi meteorologis tersebut sangat berpengaruh terhadap penyebaran polutan.

Pemantauan kualitas udara tidak hanya dilakukan di atas cerobong, melainkan di daerah ambien karena di daerah ini terdapat berbagai macam makhluk hidup yang dapat terpengaruh oleh dampak buruk akibat polutan yang dihasilkan oleh cerobong tersebut. Konsentrasi SO2 tertinggi hasil simulasi di daerah Lebak Gede terdapat pada saat kondisi atmosfer netral yaitu sebesar 4.1 µg m-3 (Tabel 10). Konsentrasi tertinggi terjadi pada kondisi atmosfer tersebut karena di daerah Lebak Gede dengan jarak 2.9 km dari cerobong merupakan titik dimana konsentrasi SO2 pada kondisi atmosfer netral mencapai maksimum di permukaan tanah (Lampiran 6a).

Tabel 10 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah Lebak Gede (2.9 km)

Kondisi Atmosfer Konsentrasi SO2 (µg m-3) Sangat Tidak Stabil 2.37

Tidak Stabil 2.51

Tidak Stabil Ringan 2.66

Netral 4.1

Stabil Ringan 6×10-4

Stabil 6.87× 10-10

Selanjutnya untuk daerah perumahan Suralaya, pada Tabel 11 menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 tertinggi terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 4.01 µg m-3. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4b dimana pada jarak tersebut (1.7 km), konsentrasi SO2 berada pada posisi mendekati maksimum. Nilai konsentrasi SO2

tersebut tentunya juga masih berada di bawah nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Hasil perhitungan konsentrasi SO2 menggunakan Fluent di daerah ambien menghasilkan nilai yang cukup baik jika dibandingkan dengan hasil pengukuran lapang (Tabel 12).

Tabel 11 Hasil perhitungan konsentrasi SO2 di daerah perumahan Suralaya (1.7 km)

Kondisi Atmosfer Konsentrasi SO2 (µg m-3) Sangat Tidak Stabil 3.81

Tidak Stabil 4.01

Tidak Stabil Ringan 2.84

Netral 0.99

Stabil Ringan 3.35×10-7

Stabil 5.01× 10-13

Tabel 12 Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di beberapa lokasi Konsentrasi SO2 (µg m -3 ) Periode Perumahan Lebak Gede Suralaya 1 8 8 2 < 8 < 8 3 < 8 < 8 4 < 8 < 8

Konsentrasi SO2 dari hasil pengukuran lapang menunjukkan bahwa nilai yang terukur adalah rata-rata sebesar < 8 µg m-3. Sama halnya dengan pengukuran kualitas udara di daerah cerobong, data pengukuran konsentrasi SO2 di udara ambien juga terdapat berbagai kekurangan, diantaranya adalah tidak terdapat informasi secara rinci mengenai kapan data tersebut diambil. Pada pengukuran tersebut juga tidak terdapat informasi mengenai titik koordinat pasti ketika pengukuran dilakukan. Selain itu, konsentrasi SO2 yang terukur pada

saat pengukuran pada kenyataannya berasal dari berbagai sumber, tidak hanya berasal dari satu sumber saja (cerobong).

Perhitungan konsentrasi SO2 menggunakan Fluent juga dilakukan di seluruh bagian model pada ketinggian z = 1.5 m. Ketinggian tersebut diambil dengan asumsi bahwa tinggi tersebut merupakan jarak rata- rata alat pernapasan (hidung) orang Indonesia dari permukaan tanah. Konsentrasi SO2 maksimum hasil simulasi adalah sebesar 5.06 µg m-3 pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil.

Menurut Cooper dan Alley (Gambar 19a), semakin atmosfer stabil, konsentrasi maksimum yang terjadi akan semakin menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruhiyat (2009) yang melakukan simulasi pengukuran konsentrasi SO2 di PLTU Suralaya dengan menggunakan model Gaussian dan mendapatkan hasil bahwa

konsentrasi SO2 tertinggi terdapat pada keadaan atmosfer sangat tidak stabil dan menurun konsentrasinya ketika kondisi atmosfer semakin stabil (Tabel 14). Sedangkan pada penelitian ini terjadi perbedaan yang cukup signifikan yaitu pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil konsentrasi maksimumnya menurun sampai dengan kondisi atmosfer tidak stabil ringan namun terjadi kenaikan kembali pada saat kondisi atmosfer netral, selanjutnya konsentrasi kembali turun sampai dengan kondisi atmosfer stabil (Tabel 13). Terjadinya kenaikan nilai konsentrasi maksimum pada kondisi atmosfer netral tersebut dapat terjadi karena pada kondisi atmosfer tersebut terjadi suatu kondisi transisi turbulen pada aliran sehingga terjadi anomali yang menyebabkan nilai konsentrasi maksimum SO2 menjadi naik kembali (Schlichting 1979).

Tabel 13 Hasil perhitungan konsentrasi SO2pada ketinggian z = 1.5 m

Kondisi Atmosfer Konsentrasi SO2 Maksimum (µg m-3) Jarak dari cerobong (m)

Sangat Tidak Stabil 5.06 1361

Tidak Stabil 4.84 1447

Tidak Stabil Ringan 3.78 1940

Netral 4.22 2702

Stabil Ringan 6.67 × 10-3 3900

Stabil 6.43 10-4 3900

Tabel 14 Hasil simulasi konsentrasi SO2maksimum di z = 0 pada penelitian Ruhiyat (2009) Kondisi Atmosfer Konsentrasi SO2 Maksimum (µg m-3) Jarak dari cerobong (m)

Sangat Tidak Stabil 866 1090

Tidak Stabil 374.4 3841

Tidak Stabil Ringan 245.3 8519

Netral 24.85 18800

Stabil Ringan 12.68 18800

Gambar 19 Pengaruh (a) kestabilan atmosfer terhadap konsentrasi polutan dan (b) tinggi cerobong (H) terhadap konsentrasi polutan (Cooper dan Alley 1994)

Konsentrasi maksimum pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil terjadi pada jarak yang lebih dekat dibandingkan pada kondisi atmosfer stabil (Tabel 13). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakiki (2008), Prasanto (2008), dan Ruhiyat (2009) dengan hasil bahwa semakin stabil atmosfer, konsentrasi polutan akan mencapai maksimum pada jarak yang lebih jauh dibandingkan pada keadaan atmosfer tidak stabil.

Simulasi konsentrasi SO2 pada penelitian ini terlihat memiliki pola yang hampir sama dengan simulasi yang dilakukan oleh Prasanto (2008) di PT Indorama Synthetics tbk, Purwakarta dengan menggunakan CFD setelah dilakukan proses

normalisasi (Gambar 20). PLTU tersebut memiliki tinggi cerobong sebesar 120 m dan diameter mulut cerobong sebesar 2.5 m dengan kondisi kecepatan angin dan suhu udara rata-rata adalah sebesar 1.08 m det-1 dan 28 ºC. Konsentrasi SO2 maksimum yang terlihat dari grafik tersebut terjadi pada jarak yang hampir sama pada keadaan atmosfer sangat tidak stabil, tidak stabil ringan, dan netral, namun terjadi perbedaan pada saat keadaan atmosfer stabil ringan dan stabil. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian Prasanto (2008) batasan model geometri ke arah

downwind yang dibuat kurang memiliki

panjang yang sesuai sehingga tidak dapat memperlihatkan kondisi ketika konsentrasi SO2mencapai maksimum.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 20 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2hasil normalisasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil

Jarak ketika konsentrasi SO2mencapai maksimum perlu diketahui guna melihat radius untuk pembangunan perumahan yang aman dari emisi cerobong tersebut. Hal itu dapat dilihat pada Gambar 20 yang menginformasikan bahwa konsentrasi maksimum terjadi dengan jarak sekitar 6, 7, 11, dan 14 kali tinggi cerobong (x/H) pada kondisi atmosfer masing-masing yaitu sangat tidak stabil, tidak stabil, tidak stabil ringan, dan netral. Sedangkan untuk kondisi atmosfer stabil ringan dan stabil, belum dapat menggambarkan terjadinya kondisi maksimum akibat dari batasan model yang telah dijelaskan sebelumnya. Nilai-nilai tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai rujukan atau pertimbangan ketika akan membangun suatu pabrik dengan tinggi cerobong tertentu sehingga pendiri pabrik

ataupun pemerintah dapat memprediksi pada jarak berapa kali tinggi cerobong, konsentrasi SO2 mencapai maksimum. Kemudian pada jarak tersebut diharapkan agar tidak terdapat perumahan ataupun aktivitas penduduk untuk menghindari dampak atau pengaruh negatif polutan yang terakumulasi di wilayah tersebut dan lebih baik pada jarak tersebut dianjurkan agar ditanami pepohonan guna mereduksi konsentrasi polutan sehingga konsentrasinya dapat berkurang.

Nilai konsentrasi SO2 maksimum hasil simulasi Prasanto (2008), rata-rata menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan simulasi pada penelitian ini (PLTU Suralaya). Hal tersebut diakibatkan oleh rendahnya kecepatan angin dan tinggi cerobong yang lebih rendah sehingga konsentrasi polutan tidak banyak berkurang.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 21 Perbandingan pola fluktuasi konsentrasi SO2hasil simulasi pada keadaan atmosfer (a) sangat tidak stabil (b) tidak stabil (c) tidak stabil ringan (d) netral (e) stabil ringan (f) stabil

Kecepatan angin dan tinggi cerobong yang lebih rendah juga menyebabkan polutan lebih cepat jatuh ke tanah karena tidak dapat membawa polutan lebih jauh lagi akibat adanya tarikan oleh gaya gravitasi bumi sehingga polutan tidak terlalu lama terdispersi di atmosfer. Lain halnya dengan simulasi di PLTU Suralaya, polutan lebih lama terdispersi di atmosfer dan jatuh ke tanah dengan jarak yang relatif lebih jauh (Gambar 21). Kondisi tersebut dikarenakan pada daerah PLTU Suralaya, kecepatan angin rata-ratanya lebih besar yaitu berkisar 2.5 m det-1 dengan tinggi cerobong adalah 200 m dibandingkan dengan penelitian Prasanto (2008) dengan kecepatan angin sebesar 1.08 m det-1dan tinggi cerobong 120 m sehingga polutan akan lebih lama berada di atmosfer dan berkurang konsentrasinya sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Kondisi ini sesuai dengan Cooper dan Alley (1994) yang menyatakan bahwa semakin tinggi cerobong (H), maka konsentrasi polutan maksimum akan jatuh ke permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan cerobong yang memiliki tinggi lebih rendah. Sedangkan nilai konsentrasi maksimum yang terukur akan akan lebih rendah pada cerobong yang lebih tinggi dibandingkan pada cerobong yang lebih rendah (Gambar 19b).

V KESIMPULAN

§ Sebaran polutan SO2 yang terlihat dari hasil simulasi menunjukkan bahwa pada kondisi atmosfer sangat tidak stabil, tidak stabil, dan tidak stabil ringan sebaran polutan SO2cenderung bertipe looping. Pada kondisi netral, sebaran polutan SO2 cenderung bertipe conning, sedangkan untuk kondisi atmosfer stabil ringan dan stabil, sebarannya cenderung bertipe

fanning.

§ Berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan Fluent, didapatkan hasil bahwa nilai konsentrasi SO2 di cerobong maupun di udara ambien masih berada di bawah ambang batas yang telah ditetapkan. Konsentrasi SO2 maksimum di cerobong terjadi pada saat kondisi atmosfer tidak stabil yaitu sebesar 495 mg m-3 sedangkan konsentrasi SO2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m terjadi pada saat kondisi atmosfer sangat tidak stabil dengan nilai konsentrasi sebesar 5.06 µg m-3 kemudian

konsentrasinya menurun sampai dengan kondisi atmosfer tidak stabil ringan namun terjadi kenaikan kembali pada saat kondisi atmosfer netral dan konsentrasi tersebut kembali turun sampai dengan kondisi atmosfer stabil.

§ Sebaran polutan SO2 dipengaruhi oleh kondisi kestabilan atmosfer. Semakin stabil, maka polutan akan lebih lama berada di atmosfer dan akan jatuh ke permukaan tanah pada jarak yang lebih jauh. Sebaliknya, semakin tidak stabil kondisi atmosfer, maka polutan akan cepat jatuh ke permukaan tanah. Berdasarkan perhitungan, jarak terdekat dari cerobong ketika konsentrasi SO2 maksimum pada ketinggian z = 1.5 m adalah sejauh 1361 m (kondisi atmosfer sangat tidak stabil) dan jarak yang terjauh adalah sebesar 3900 m (kondisi atmosfer stabil ringan dan stabil).

Dokumen terkait