BOBOT ORGAN LIMFOID AYAM BROILER YANG DIBERI CEKAMAN PANAS
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Cekaman Panas terhadap Kondisi Fisiologis Ayam Broiler
Cekaman merupakan kondisi dimana kesehatan ternak terganggu yang disebabkan oleh adanya lingkungan yang terjadi secara terus menerus pada hewan dan mengganggu proses homeostasis (Leeson dan Summers, 2001). Cekaman ini biasanya berhubungan dengan iklim yang ekstrim, misalnya: terlalu dingin atau terlalu panas. Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone) pada ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral Zone) pada Ayam Broiler Sumber : Kuczynski, 2002
Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat cekaman panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting pada kondisi lingkungan 29 oC atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 oC. Panting ayam broiler pada suhu 25 oC dan 35 oC dengan kelembaban relatif 61% masing-masing sebesar 91 dan 129 kali.
Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum. Peningkatan suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu kenyamanan menyebabkan stres oksidatif (kondisi aktitivitas radikal bebas melebihi antioksidan)
Mati Karena Panas Mati
Karena
Dingin Batas Suhu Bawah Batas Suhu Atas
Ayam harus meningkatkan pelepasan Panas Ayam harus meningkatkan pembentukan panas Maksimum Pelepasan Panas ZONA TEMPERATUR NETRAL Maksimum Pembentukan Panas Tingkah laku untuk mengatur pelepasan panas
4 pada ayam broiler (Fellenberg dan Speisky, 2006; Mujahid et al., 2007). Tingginya suhu lingkungan juga dapat mengakibatkan naiknya kandungan MDA hati sebagai indikator tingginya stres oksidatif, meningkatkan rasio H/L, dan menurunkan bobot relatif bursa fabricius (Kusnadi, 2009). Meningkatnya rasio H/L disebabkan penurunan jumlah limfosit sebagai akibat dari menurunnya bobot organ limfoid termasuk bursa fabricius (Siegel, 1995). Sahin et al. (2008) menyatakan bahwa cekaman panas dapat meningkatkan kandungan MDA plasma darah, hati, otot leher dan otot dada pada burung puyuh.
Yahav et al. (1995) menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam kandang ayam broiler pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi lingkungan kandang ayam broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam broiler semakin merasa nyaman. Suhu lingkungan yang nyaman sesuai kebutuhan ternak untuk menghasilkan produksi optimum sesuai umur ayam broiler disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tipikal Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Produksi Optimum Pertumbuhan pada Berbagai Tingkat Umur Ayam Broiler
Umur (hari) Suhu (oC) Kelembaban (%)
1-3 32 60 4-6 31 60 7-14 30 60 15-21 28 60 22-35 26 60 >35 25 60
Sumber : Charoen Pokphand, 2005
Rangkaian respon fisiologi tubuh ayam akibat adanya cekaman panas diawali dengan pembentukan CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) di hipotalamus dan CRH ini akan menstimulasi pembentukan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) pada hipofisa anterior yang kemudian ACTH ini menginduksi pembentukan glukorkotikoid pada kelenjar adrenal korteks. Pelepasan glukokortikoid menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh, seperti gangguan sekresi hormon, pertahanan (imunitas) tubuh, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi (Sugito, 2007). Hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai
5 glukokortikoid. Menurut Guyton (1983), peranan utama kortikosteron dan kortisol terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu perombakan (katabolisme) dari non karbohidrat sebagai usaha penyediaan glukosa darah, sehingga terjadi penurunan pertumbuhan. Selain itu, menurut Siegel (1995) hormon kortikosteron juga dapat menekan pertumbuhan organ limfoid (bursa fabricius dan timus).
Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang dapat tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 6-7 minggu yang ditujukan untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis jika dibesarkan (Amrullah, 2004). Ayam broiler merupakan ayam-ayam muda jantan dan betina yang umumnya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor yang bertujuan sebagai sumber daging (Kartasudjana, 2005).
Ayam broiler termasuk kedalam ordo Galliformes, family Phasianidae, genus Gallus, dan spesies Gallus domesticus. Ayam-ayam ini dipilih dari ayam yang berdada lebar. Ayam broiler dihasilkan dari bangsa ayam tipe berat Cornish. Bangsa ayam ini dipilih yang berbulu putih dan seleksi diteruskan hingga dihasilkan ayam broiler seperti sekarang ini (Amrullah, 2004).
Strain Ross merupakan bibit broiler yang dirancang untuk memuaskan konsumen yang menginginkan performa yang konsisten dan produk daging yang beraneka ragam. Keunggulan yang dimiliki oleh strain Ross adalah sehat dan kuat, tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, kualitas daging yang baik, efisiensi pakan yang tinggi, dan dapat meminimalkan biaya produksi. Keunggulan ini tidak hanya berlaku di wilayah subtropis tetapi juga di wilayah tropis (Aviagen, 2007).
Rekayasa genetik, perkembangan teknologi pakan dan manajemen perkandangan menyebabkan strain ayam broiler yang ada sekarang lebih peka terhadap formula pakan yang diberikan (Unandar, 2001). Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk memb antu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh, selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalsium dan mineral serta vitamin yang memiliki peran penting selama tahap permulaan hidupnya.
6
Peran Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Zat ini sangat reaktif, dan struktur yang demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan kerusakan sel (Suryohudoyo, 2000). Reaktif juga berarti radikal bebas tidak bertahan lama dalam bentuk “asli” karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu elektron dari molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel (Bottje et al., 1995). Perbedaan antara molekul stabil dengan radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Molekul Stabil dan Radikal Bebas Sumber : Fouad, 2006
Oksigen merupakan unsur penting bagi kehidupan organisme. Walaupun oksigen (O2) esensial untuk kebanyakan proses kehidupan, molekul tersebut dapat berubah menjadi molekul yang memiliki toksisitas tinggi. Metabolit oksigen utama yang dihasilkan melalui reduksi satu elektron adalah Spesies Oksigen Reaktif (SOR) yang terdiri dari superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (•OH), hidrogen peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (ROO-). SOR terus menerus dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis normal karena berbagai rangsangan, misalnya radiasi, tekanan parsial oksigen (pO2)
7 tinggi, paparan zat-zat kimia tertentu, infeksi maupun inflamasi (Suryohudoyo, 2000).
Semua SOR merupakan oksidan kuat dengan derajat berbeda-beda. Radikal superoksida (O2-) merupakan bentuk yang paling reaktif yang paling banyak dihasilkan oleh berbagai mekanisme di dalam tubuh antara lain, mitokondria, sistem enzim NADPH oksidase, reaksi dari xantine oksidase dan metabolisme asam arakidonat. Radikal superoksida kemudian dapat langsung di “makan” oleh antioksidan vitamin E atau diubah menjadi H2O2yang kemudian diubah lagi menjadi air oleh enzim glutathione peroksidase. H2O2 yang terbentuk juga dapat diubah menjadi radikal hidroksil (•OH). Jika tidak dinetralisir, •OH akan merusak lipid dan DNA (Fellenberg dan Speisky, 2006). Gambar 3 memperlihatkan sumber radikal bebas dan tempat kerja antioksidan.
Gambar 3. Sumber Radikal Bebas dan Tempat Kerja Antioksidan
Sumber : Fouad, 2006
Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, diperlukan oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya, dalam keadaan overproduksi pada kondisi patogenik menyebabkan kerusakan sel imun dan menimbulkan imunosupresi. Dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan untuk mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida membran, protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Wu dan Meydani, 1999).
8
Kandungan Malondialdehida (MDA) sebagai Indikator Peroksidasi Lipid
Peroksidasi (auto-oksidasi) lipid khususnya asam lemak tak jenuh ganda adalah suatu reaksi berantai radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Selain itu menurut Jadhav et al. (1996), peroksidasi lipid adalah proses reaksi kimia yang sangat kompleks termasuk melibatkan radikal bebas, ion logam, dan sistem biologik . Reaksi tersebut dicetuskan oleh sebuah senyawa radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (•OH) yang mengekstraksi satu hidrogen dari lemak polyunsaturated (LH) sehingga terbentuk radikal lemak (L-) yang setelah melalui beberapa proses maka terbentuklah MDA, 9-hidroksi-nonenal, etana (C2H6) dan pentana (C5H12) suatu radikal bebas yang merupakan metabolit reaktif peroksidasi lipid sehingga dapat digunakan sebagai indeks peroksidasi lipid (Suryohudoyo, 2000). Radikal bebas menyerang asam lemak tidak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) pada membran sel yang disebut serangan peroksidasi lipida, sehingga meningkatkan hasil sampingan berupa MDA (Fellenberg dan Speisky, 2006; Mujahid et al., 2007).
Malondialdehida (MDA) adalah salah satu indikator dari perosidasi lipida dalam tubuh yang sering digunakan berhubungan dengan stres oksidatif (Sahin et al., 2008). Tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas dapat ditentukan dengan mengukur kadar malondialdehida (MDA) di dalam darah yang merupakan indikator dari peroksidasi lipida. Senyawa tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam nukleat (Clarkson dan Thomson, 2000).
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) untuk meredam dampak negatif dari SOR. Alam menyediakan senyawa-senyawa antioksidan yang merupakan senyawa pemberi elektron termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam (Suryohudoyo, 2000). Antioksidan terdiri atas antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan eksogen yang berasal dari makanan (Jadhav et al., 1996).
Klasifikasi Antioksidan Utama
Antioksidan endogen dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu antioksidan non-enzimatik dan antioksidan enzimatik. Antioksidan bekerja dalam 3 cara yaitu:
9 (1) Pemutusan rantai reaksi (2) Mengurangi pembentukan radikal bebas dan (3) “Memakan” (scavenge) radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Klasifikasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Utama Antioksidan Enzimatik dan Antioksidan Non-Enzimatik
Antioksidan Peranan Ciri-ciri
Enz im Superokside Dismutase (SOD): Mitokondrial, Sitoplasmik, ekstraseluler Mengubah O2- menjadi H2O2 Mengandung mangan (MnSOD), tembaga
(CuSOD), serta tembaga dan seng (CuZnSOD) Katalase Mengubah H2O2 menjadi H2O Hemoprotein berbentuk tetramer Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Mengubah H2O2
dan lipid perokside
Selenoprotein terutama berada di sitosol dan mitokondria dan menggunakan GSH Vitamin Alpha tokoferol Memutus peroksidase lipid
Vitamin yang larut dalam lemak Scavenge lipid perokside, O2- dan .OH Beta karotene scavenge O2-, bereaksi langsung dengan peroksil
Vitamin larut dalam lemak
Asam askorbat
scavenge secara langsung OH dan O2
-Vitamin larut dalam air Menetralkan oksidan dari stimulasi neutrofil Berperan dalam regenerasi vit. E Sumber : Fouad, 2006
Enzim Glutathione Peroksidase
Enzim glutathione peroksidase (GSH-Px) adalah protein dengan bentuk tetramer. Mempunyai berat molekul sebesar 85.000 D. Enzim ini mengandung 4 atom selenium yang terikat sebagai selenocysteine. Fungsi Utama enzim GSH-Px yaitu mendetoksifikasi hidrogen peroksida dan mengubah hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun (Jenkinson et al., 1982). Menurut Pamok et al. (2009), aktivitas enzim GSH-Px pada ayam broiler yang diberi cakaman panas
10 meningkat pada awal periode, kemudian menurun seiring dengan berlangsungnya cekaman panas. Struktur enzim ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Enzim Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Sumber : Fouad, 2006
Enzim glutathione peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida. Glutathione peroksidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH) (Fellenberg dan Speisky, 2006). Reaksi enzim tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
H2O2+ 2GSH GSH-Px GSSG + 2H2O
Gambar 5. Reaksi Enzim Glutathione Peroksidase Sumber : Fellenberg dan Speisky, 2006
Selenium (Se)
Sebelum tahun 1957 telah diadakan penelitian tentang selenium yang menyatakan bahwa selenium adalah esensial pada fisiologis ternak, meskipun dibutuhkan dalam jumlah kecil pada jaringan bila dibandingkan dengan mineral esensial lainnya. Kekurangan selenium mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan fertilitas ternak, serta metabolisme pada ternak. Selenium mempunyai hubungan dengan vitamin E. Selenium merupakan mineral esensial bagi pertumbuhan ayam dan juga dapat bertindak sebagai pengganti vitamin E (Underwood dan Suttle, 2001). Surai et al. (2006) yang melaporkan bahwa selenium berperan dalam pertahanan antioksidan dan merupakan bagian penting dari GSH-Px, serta ketersediaan selenium merupakan kunci efektif sintesis GSH-Px. Selenium mengindikasikan peranannya dalam enzim GSH-Px yang melindungi membran sel dari kerusakan akibat peroksida lipid dan mengurangi efek negatif dari stres oksidatif
11 yang disebabkan oleh heat stress (Sahin dan Kucuk, 2007). Heat stress mengurangi laju pertumbuhan dan kemampuan kekebalan tubuh (immunocompetence), dimana suplementasi selenium memperbaiki respon imun broiler (Niu et al., 2009). Rao et al. (2004) melaporkan bahwa suplementasi selenium sebesar 0,25-0,50 ppm dalam ransum diperlukan untuk imunitas ayam pedaging. Underwood dan Suttle (2001) menyatakan bahwa batas normal penggunaan mineral Se per hari dalam ransum ayam maksimal adalah 1-10 mg/kg.
Burk (1986) mengemukakan, pada kondisi “steady-state”, selenometionin akan mengisi pusat pool selenium dengan sejumlah unsur selenium yang dimakan, dan sebagian dari unsur selenium tersebut akan didaur ulang serta terikat dengan protein dalam pool metionin, sehingga tercipta pool selenometionin dalam protein jaringan. Besarnya pool yang terbentuk, proporsional sama dengan intake selenometionin. Makanan yang mengandung selenium dalam bentuk selenosistein atau selenium inorganik, tidak dapat/tidak mempunyai jalur untuk masuk pool tersebut, tetapi dapat menyebabkan selenium teregulasi dalam jaringan membentuk selenoprotein yang nantinya mempengaruhi aktivitas GSH-Px. GSH-Px dapat dimodulasi oleh intake selenium, tetapi secara umum tidak tanggap terhadap intake selenium yang terlalu tinggi. Namun, jika selenium yang dimakan dalam bentuk selenosistein atau selenium inorganik, ditingkatkan dalam makanan, maka kadar selenium dalam jaringan juga meningkat, demikian pula GSH-Px dan selenoprotein lainnya akan jenuh. Kemudian lama kelamaan akan menjadi “plateau” keadaanya sampai dengan terbentuknya unsur selenium dalam bentuk beracun. Sebaliknya, jika selenium makanan itu adalah selenometionin, maka tidak akan terbentuk keadaan “plateau”, sebab selenometionin memiliki hubungan langsung dengan pool selenometionin yang berikatan dengan protein.
Suplementasi selenium organik meningkatkan level vitamin E pada kuning telur (Surai, 2003). Diketahui pula bahwa selenium dapat menggantikan fungsi vitamin E dalam tiga bentuk, yaitu:
1) Diperlukan untuk menjaga integritas kelenjar pankreas agar terjadi pencernaan lemak secara normal, pembentukan garam empedu micelle secara normal dan absorbsi vitamin E secara normal pula;
12 2) Selenium merupakan bagian integral dari sistem enzim GSH-Px, yang merubah bentuk reduksi glutathione menjadi bentuk oksidase glutathine dan pada waktu yang bersamaan merusak peroksida dengan cara konversi peroksida menjadi bentuk alkohol yang tidak berbahaya. Reaksi tersebut mencegah terjadinya proses peroksidasi terhadap asam-asam lemak yang tidak jenuh pada membran sel, dan oleh karena itu menurunkan jumlah vitamin E yang diperlukan untuk menjaga integritas sel-sel membran;
3) Mineral Se, dengan cara yang tidak diketahui membantu retensi vitamin E dalam plasma.
Sebaliknya, vitamin E nampak mengurangi kebutuhan akan selenium, dengan mencegah kehilangan selenium dari tubuh atau mempertahankannya dalam bentuk aktif. Dengan mencegah oto-oksidasi lemak membran dari dalam, vitamin E mengurangi jumlah glutation peroksidase yang dibutuhkan untuk merusak peroksida yang dibentuk dalam sel (Piliang, 2004).
Vitamin E
Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop tahun 1992 sebagai vitamin yang larut dalam lemak atau minyak dan dikenal juga sebagai alpha-tocopherol. Selama ransum dibuat dari bahan-bahan makanan sumber nabati dan hewani, kandungan vitamin E ransum sudah cukup. Namun, kekurangan itu dapat terjadi akibat proses penyimpanan, karena vitamin E bersifat sangat tidak stabil yaitu mudah dioksidasi oleh oksigen dari udara, sehingga ransum biasanya dilengkapi dengan bahan penstabil yang biasanya terdapat dalam campuran vitamin dan mineral pelengkap buatan pabrik. Beberapa fungsi vitamin E adalah: (1) Sebagai antioksidan biologis; (2) Menjaga struktur lipida; (3) Dalam reaksi-reaksi fosforilasi normal, terutama persenyawaan fosfat berenergi tinggi seperti fosfat keratin dan trifosfat adenosine; (4) Metabolisme asam nukleat; (5) Sintesis asam askorbat; (6) Sintesis ubiquinon, dan metabolisme sulfur asam amino (Sumardjo, 2006). Struktur kimia α – tokoferol dapat dilihat pada Gambar 6.
13 Gambar 6. Struktur Kimia α –Tokoferol
Sumber: Sumardjo, 2006
Fungsi utama vitamin E adalah mencegah peroksidasi membran fosfolipid. Karakteristik vitamin E yang lipofilik memungkinkan tokoferol berada di lapisan dalam sel membran. Tokoferol OH dapat memindahkan atom hidrogen dengan satu elektron ke radikal bebas dan membersihkan radikal bebas sebelum radikal bebas bereaksi dengan protein membran sel atau bereaksi membentuk lipid peroksidasi. Tokoferol-OH yang bereaksi dengan radikal bebas membentuk tokoferol-O. Tokoferol-O sendiri adalah radikal bebas juga (Halliwell, 1992).
Surai (2003) menyatakan bahwa konsumsi nutrisi antioksidan pada pakan dapat memelihara status antioksidan alami ternak. Selanjutnya dijelaskan bahwa penyediaan selenium organik dengan kombinasi vitamin E memperbaiki stres dan daya tahan terhadap penyakit. Sebagai hasilnya performa produksi dan reproduksi meningkat. Kerja selenium berhubungan erat dengan antioksidan lainnya terutama vitamin E. Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama menghilangkan radikal lemak, radikal O2, atau metabolit relatif O2 yang merupakan bagian yang terpenting dari fungsi sel, akan tetapi berpotensi mengakibatkan kerusakan sel dan proses penyakit bila pertahanan berlebihan. Vitamin E bekerja mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Menurut Noguchi dan Niki (1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal bebas bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida (H2O2).
Bollengier-Lee et al. (1999) menyatakan bahwa suplementasi 250 mg vitamin E/ kg yang disediakan sebelum, selama dan setelah stres panas optimum untuk mengurangi efek dari stres panas yang terus menerus pada ayam petelur. Kombinasi 250 ppm vitamin E dan 0,2 ppm selenium menghasilkan perfoma terbaik pada puyuh Jepang yang dipelihara pada kondisi cekaman panas dan kombinasi tersebut dapat
14 dipertimbangkan sebagai praktek manajemen perlindungan dalam pakan puyuh Jepang yang mengurangi efek negatif dari cekaman panas (Sahin dan Kucuk, 2001).
Organ Limfoid
Beberapa organ yang berperan di dalam reaksi tanggap kebal antara lain bursa fabricius, timus, limpa dan caecal tonsil. Organ limfoid primer pada unggas terdiri dari bursa fabricius dan timus, kedua organ ini berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit (Tizard, 1988). Menurut Gregg (2002), penyakit tertentu dan kondisi lain yang diketahui mempengaruhi perkembangan timus dan bursa fabricius pada ayam muda. Kondisi ini dapat menyebabkan jumlah kerusakan kelenjar yang bervariasi yang diikuti dengan berkurangnya sistem kekebalan tubuh, yang dikenal sebagai imunosupresi. Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.
Bursa Fabricius
Bursa fabricius merupakan organ limfoid yang hanya ditemukan pada unggas. Organ ini terletak pada daerah dorsal kloaka. Bursa fabricius memiliki tugas untuk memproduksi dan mendewasakan sel limfosit B. Bursa fabricius juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi dan juga mengandung sebuah pusat kecil sel T di belakang lubang salurannya (Tizard, 1988). Bursa fabricius sebagai organ limfoid primer sangat dipengaruhi oleh hormon kortikosteron (Siegel, 1995).
Bila antigen masuk kedalam tubuh, pertama-tama antigen akan dikenal sedemikian rupa sehingga dapat dikenali sebagai benda asing. Kemudian sel limfosit B akan masuk ke sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi terhadap benda asing yang masuk atau keadaan patologis tubuh misalnya demam/ naiknya panas tubuh dari normal karena adanya cekaman panas pada unggas. Setelah itu informasi yang diperoleh harus dikirim ke sistem pembentuk antibodi dalam hal ini bursa fabricius. Sistem ini nantinya akan menanggapi dengan membentuk antibodi khusus dan sel yang mampu menyingkirkan antigen (Tizard, 1987).
15 Pada unggas yang terjangkit bakteri patogen, maka bursa fabricius membentuk antibodi yang akibatnya akan menyebabkan deplesi dan folikel limfoid menjadi mengecil sehingga persentase bobot bursa fabricius menurun (Tizard, 1987). Bursa fabricius akan mengalami regresi dan involusi secara lengkap pada saat ayam mencapai kematangan seksual yaitu pada umur 14-20 minggu. Unggas yang mempunyai berat relatif bursa fabricius besar cenderung relatif tahan terhadap berbagai penyakit. Niu et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot bursa fabricius ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone (23,9 °C) rata-rata 0,17% dari bobot hidup.
Timus
Timus adalah organ yang terdapat dalam rongga mediastinal anterior, tetapi pada kuda, sapi, domba, babi dan ayam meluas ke arah leher sampai sejauh kelenjar tiroid. Timus ayam secara anatomis terletak pada sisi kanan dan kiri saluran pernafasan (trakea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan, bentuknya tidak teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Besar timus dapat sangat bervariasi, ukuran relatif yang paling besar pada hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada waktu pubertas. Setelah dewasa, timus mengalami atrofi dari parenkhima dan korteks diganti jaringan lemak. Niu et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot timus ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone (23,9 °C) rata-rata 0,30% dari bobot hidup.
Timus merupakan regulator sel T yang bekerja pada sel-sel primitif yang berasal dari sumsum tulang dan membuat sel-sel itu mampu secara imunologik bertindak sebagai pembentuk antibodi tubuh. Sel T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terkena patogen (Tizard, 1987). Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi (Sharma, 1991). Timus yang mengalami atrofi cepat merupakan reaksi terhadap stres, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit yang lama mungkin mempunyai timus yang sangat kecil (Tizard, 1988).
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A dan Blok C, serta Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis Malondialdehida (MDA) dan Glutathione Peroksidase (GSH-Px) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 hingga Februari 2010.
Materi Ternak
Penelitian ini menggunakan 465 ekor DOC (Day Old Chick) ayam broiler strain Ross (unsex) yang dibeli dari Cibadak Indah Sari Farm. Ternak yang