• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Pemilihan dan Penggunaan Antidiabetes

2. Hasil Terapi Pasien DM

Pada tabel X akan disajikan hasil terapi pasien DM instalasi rawat inap RSPR yogyakarta periode Januari-Desember 2005.

Tabel X. Hasil Terapi Kasus DM Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Periode Januari-Desember 2005

A B C D E F Kasus 10 15 10 7 11 10 Umur (thn) 55±13 56±14 67±15 52±23 57±16 69±14 Pria (%) 60 66,7 20 37,5 54,5 45,5 Profil pasien Wanita (%) 40 33,3 80 62,5 45,5 54,5 Komplikasi 1 s/d 2 0 s/d 1 0 s/d 1 0 s/d 1 0 s/d 2 0 Penyakit Penyerta 0 s/d 1 0 s/d 2 1 s/d 2 0 s/d 2 0 s/d 2 1 s/d 3

Keadaan awal KG Awal 281,6± 128,7 275,1± 194,5 468± 235,8 484,9± 150,5 242,4± 112,1 204,9± 206,5 KG akhir 146,6± 26,9 229,7± 124,2 217,3± 71,4 153± 4,24 - 245, ±3 131,5 Rata-rata durasi KG normal (hari) 5±4,2 2,2±1,6 5±4,3 3,8±2,2 6±1,4 2,5±1,4 Durasi tinggal (hari) 12,3±7,1 7,4±3,7 12±4,8 10±4,2 7,3±2,9 6,4±3,1 Keadaan ak hir Kasus pasien sembuh 10 14 9 8 11 7 Keterangan: KG : kadar gula A: Insulin

B: Anti Diabetes Oral Tunggal C: Insulin + Sulfonilurea D: Insulin + Non sulfonilurea

E: Kombinasi anti diabetes oral (ADO) F: Tidak menggunakan antidiabetes

a. Terapi insulin

Pasien DM rawat inap dengan terapi insulin di Rumah Sakit Panti rapih tercatat ada 10 kasus. Insulin yang diresepkan di instalasi rawat inap rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta untuk pasien DM periode Januari-Desember 2005 mencakup insulin reguler, mixtard, dan insulatard yang takaran unitnya disesuaikan dengan keadaan kadar gula darah masing-masing pasien (tabel XI). Insulin reguler (short-acting insulin) paling banyak digunakan karena mempunyai

durasi kerja yang singkat sehingga relatif aman untuk pasien yang sebagian besar berusia lanjut.

Menurut standar pelayanan medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 1998 insulin ditambahkan jika kadar glukosa darah belum juga terkontrol baik walau telah mendapat antidiabetes oral dosis maksimal, tetapi pada kasus pasien dengan terapi insulin saja banyak kasus pasien DM tipe 2 yang langsung diberikan terapi insulin tanpa pemberian terapi antidiabetes oral (ADO) terlebih dahulu.

Tabel XI. Distribusi Sediaan Insulin yang Diresepkan Pada Pasien DM dengan Terapi Insulin di Instalasi rawat Inap Rumah Sakit panti rapih yogyakarta Periode Januari-Desember 2005

Sediaan Insulin Σ Kasus Persen (%)

Reguler 6 60

Mixtard 2 20

Lantus (Glargine) 1 10

Mixtard + Insulatard 1 10

Pasien yang keluar dalam keadaan membaik atau sembuh sebanyak 100% kasus. Hal ini menandakan insulin mampu mempertahankan kadar gula darah pasien sehingga pasien dapat pulang dengan keadaan yang membaik.

Durasi kadar gula mencapai normal pasien yang menggunakan terapi dengan insulin masih relatif lama jika dibandingkan dengan pasien yang menggunakan terapi lain.

Insulin biasanya diresepkan selain pada pasien DM tipe 1 juga kepada pasien DM tipe 2 yang mengalami berbagai komplikasi karena pada keadaan pasien dengan komplikasi kadang obat dengan jalur oral tidak dapat dipergunakan. Hal ini bersangkutan dengan kerja hormon tubuh yang tidak normal atau tidak dapat diperkirakan lagi (Unpredictable). Dari data hasil terapi

pasien DM yang menerima insulin paling banyak menderita komplikasi dibanding pasien yang menerima terapi antidiabetes lain.

b. Terapi antidiabetes oral (ADO) tunggal

Pasien dengan terapi ADO tunggal tercatat ada 15 kasus, dan menurut gambar 3 antidiabetes oral yang paling banyak dipilih adalah dari golongan biguanid yaitu metformin. Antidiabetes oral tunggal lain yang digunakan adalah sulfonilurea dan meglitinid.

Jumlah pasien yang pulang dalam keadaan sembuh adalah 14 dari 15 pasien. Satu pasien pulang atas permintaan sendiri karena akan pindah rumah sakit.

Dari tabel XII rata-rata kadar gula darah darah mencapai normal terapi dengan antidiabetes oral tunggal tercatat paling pandek dibandingkan dengan terapi lainnya. Dari hal itu dapat ditarik kesimpulan terapi dengan menggunakan antidiabetes oral tunggal paling cepat dalam mengkontrol kadar gula darah pasien dibandingkan terapi dengan menggunakan kombinasi antidiabetik ataupun dengan insulin.

Rata-rata kadar gula akhir pasien saat keluar rumah sakit adalah 229,7±124,2, masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan stadar normal dari American Diabetes Association (ADA) tahun 2005 yaitu 200 mg/dl (11,1

mmol/L). Hal ini dapat disebabkan sulitnya mengontrol kadar gula darah pasien yang terhitung usia lanjut yang mengalami penurunan metabolisme.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

sulfonilurea biguanid meglitinid

Gambar 3. Distribusi Peresepan Antidiabetes Oral tunggal pada Pasien DM Rawat Inap Rumah Sakit panti rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2005

Pada gambar 3 nampak bahwa antidiabetes oral yang paling banyak digunakan atau diresepkan secara tunggal adalah dari golongan biguanid yaitu metformin. Hal ini sangat berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa sulfonilurea lebih banyak dipilih dibandingkan antidiabetes oral lainnya.

Metformin digunakan untuk mengontrol kadar gula darah pasien DM obese

karena tidak berpotensi meningkatkan berat badan seperti sulonilurea. Peningkatan penggunaan metformin dapat pula disebabkan karena terjadinya peningkatan jumlah pasien yang mengalami kegemukan. Dari 6 pasien dengan terapi metformin yang mempunyai data berat badan/ tinggi badan lengkap, 4 diantaranya memiliki berat badan diatas normal.

c. Terapi insulin kombinasi dengan sulfonilurea

Tercatat 9 dari 10 kasus pasien pulang dalam keadaan sembuh ataupun membaik. satu pasien tercatat pulang atas permintaan sendiri (APS).

Nilai rata-rata durasi kadar gula darah pasien mencapai normal hampir sama dengan nilai rata-rata durasi kadar gula darah mencapai normal pasien dengan terapi insulin. hal ini mungkin disebabkan karena kedua golongan terapi menggunakan insulin.

Selisih rata-rata kadar gula awal dan akhir pasien adalah 312,5 mg/dl, cukup besar jika dibandingkan selisih kadar gula awal dan akhir pasien yang

menggunakan terapi lain, berarti kemampuan terapi kombinasi insulin dengan sulfonilurea dalam menurunkan kadar gula darah pasien cukup besar .

Terdapat 2 orang pasien yang menerima kombinasi sulfonilurea, metformin, dan insulin. Kedua pasien tersebut termasuk pasien dengan usia lanjut yang telah mengalami penurunan metabolisme dan fungsi organ sehingga pemberian 3 antidiabetes akan memperberat kerja organ dalam memetabolisme obat tersebut. Hal tersebut dapat digolongkan sebagai kasus DRP adverse drug reaction karena

adanya kemungkinan peningkatan risiko kerusakan organ pada pasien usia lanjut.

d. Terapi insulin kombinasi dengan ADO non-sufonilurea

Jumlah pasien yang menerima terapi kombinasi insulin dengan sulfonilurea paling sedikit dibandingkan pasien dengan terapi lainnya. Obat non sulfonilurea yang digunakan diantaranya dari golongan biguanid yaitu metformin, dan meglitinid. Metformin tercatat yang paling banyak dikombinasikan dengan insulin (tabel XII).

Pasien yang menerima terapi kombinasi insulin dan non sulfonilurea tercatat ada 8 kasus dan semua pasien pulang dalam keadaan sembuh atau membaik.

Rata-rata selisih kadar gula awal dan akhir pasien yang menerima terapi dengan insulin kombinasi dengan sulfonilurea adalah yang paling besar dibandingkan dengan pasien yang menerima terapi lainnya.

Tabel XII. Distribusi Penggunaan Insulin Kombinasi ADO Non-Sulfonilurea Pada Pasien DM Rawat Inap Rumah Sakit panti rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2005

Kombinasi obat Σ Kasus Persentase (%)

Insulin + biguanid 6 87,5

Insulin + Meglitinid 1 12,5

Total 7 100

e. Kombinasi antidiabetes oral (ADO)

Penggunaan terapi kombinasi antidiabetes oral tecatat sebanyak 11 kasus dan seluruh pasien pulang dengan keadaan membaik atau sembuh.

Kombinasi antidiabetes oral (ADO) yang digunakan anatara lain: biguanid dan penghambat glukosidase-α; sulfonilurea dengan biguanid; dan sulfonilurea dengan penghambat glukosidase-α. Terapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah sulfonilurea dengan biguanid. Menurut Waspadji (1996) pemberian kombinasi biguanid dan sulfonilurea merupakan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif.

Ditemukan 2 kasus yang menggunakan kombinasi 3 antidiabetes yaitu sulfonilurea, biguanid dan penghambat glukosidase-α. Kedua pasien yang menerima terapi kombinasi tersebut telah menerima kombinasi 3 golongan antidiabetes sekaligus dan penggunaannya dalam waktu yang bersamaan. Penggunaan 3 antidiabetes sekaligus kurang efektif karena sebelum dilakukan kombinasi 3 antidiabetes, pasien tercatat telah mencapai kadar gula normal. Selain itu penggunaan 3 antidiabetes dapat memperbesar risiko hipoglikemi. Hal

tersebut dapat digolongan kasus DRP adverse drug reaction karena adanya

kemungkinan peningkatan risiko terjadinya hipoglikemi.

Rata-rata kadar gula akhir pasien tidak dapat dihitung karena data kadar gula akhir pasien pada kartu rekam medik tidak lengkap. Rata-rata durasi pasien tinggal tercatat paling pendek dibanding kasus yang menggunakan terapi lain.

Tabel XIII. Distribusi Penggunaan Kombinasi ADO pada Pasien DM Rawat Inap Rumah Sakit panti rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2005

Kombinasi Obat Σ Kasus Persentase (%)

biguanid + sulfonilurea 6 54,5 penghambat glukosidase-α + sulfonilurea 1 9,1 biguanid + penghambat glukosidase-α 2 18,2 Sulfonilurea + biguanid + penghambat glukosidase-α 2 18,2 Total 11 100

f. Tidak menggunakan antidiabetes

Tercatat ada 11 kasus pasien yang tidak menggunakan terapi antidiabetes sama sekali walaupun telah didiagnosis menderita DM. Dari 11 kasus tercatat hanya 7 pasien pulang dalam keadaan mambaik atau sembuh. Satu pasien tercatat meninggal, dan 2 lainnya pulang APS.

Rata-rata kadar gula akhir pasien tercatat lebih tinggi daripada kadar gula awal. hal tersebut menunjukkan belum tercapainya tujuan terapi terhadap pasien DM yaitu pengontrolan kadar gula darah. Rata-rata durasi tinggal pasien adalah

yang paling pendek dibanding pasien dengan terapi lain karena beberapa diantaranya tercatat meninggal dan pulang APS sebelum diinyatakan sembuh oleh dokter.

Pasien tanpa terapi antidiabetes termasuk dalam salah satu kasus DRP butuh terapi obat tambahan karena adanya gejala DM tidak mendapat penanganan yang seharusnya. Hal tersebut tentu saja dapat memperparah DM dan berpotensi meningkatkan risiko kematian pasien.

Dari pengamatan terhadap hasil terapi dengan menggunakan sampel yang terbatas dapat disimpulkan bahwa terapi dengan menggunakan kombinasi insulin dengan non-sulfonilurea adalah jenis terapi yang paling baik karena paling mampu menurukan kadar gula darah pasien menjadi mendekati normal. Telah diketahui sebelumnya tujuan terapi terhadap pasien DM yang paling utama adalah menurunkan kadar gula pasien menjadi mendekati normal karena hal tersebut mampu memperlambat dam mengurangi resiko tejadinya komplikasi.

Dokumen terkait