• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

F. Hasil Uji Toksisitas dengan Metode BST

F. Hasil Uji Toksisitas dengan Metode BST

Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode skrining bioaktivitas suatu ekstrak atau senyawa murni dengan hewan uji larva udang (artemia). Hasil yang didapat dengan metode ini disebut nilai LC50 yang dapat menyatakan tingkat toksisitas bahan yang dihubungkan dengan sitotoksiknya terhadap sel. Hubungan mekanisme antikanker dengan metode BST ini yaitu melalui mekanisme kematian sel/apoptosis langsung pada sel kanker.

Sampel yang digunakan yaitu infusa akar daruju yang basah (tanpa dikeringkan) dan infusa akar daruju yang dikeringkan. Sampel infusa akar kering

daruju digunakan konsentrasi 1000, 1500, 2250, 3400 dan 5000 µg/ml. Konsentrasi tersebut didapat setelah dilakukan orientasi dengan kadar 10, 100, 1000, 2000, 4000, dan 5000 µg/ml. Sampel infusa akar basah (tanpa pengeringan) daruju yang digunakan, yaitu konsentrasi 1000, 1800, 3200, 5700 dan 10000 µg/ml. Konsentrasi tersebut didapat setelah dilakukan orientasi dengan kadar 10, 100, 1000, 2000, 4000, 5000, 8000 dan 10000 µg/ml.

Dari data orientasi, persentase kematian ini diambil konsentrasi yang memberikan harga persentase kematian larva antara 20%-80% sebagai konsentrasi terendah dan konsentrasi tertinggi. Digunakan persentase kematian larva antara 20%-80% karena dengan persentase kematian tersebut dapat memberikan kurva yang lebih linier, sehingga LC50 yang didapatkan pada uji BST ini lebih dapat menggambarkan hasil yang sebenarnya. Selanjutnya, untuk mendapatkan lima seri konsentrasi dengan kelipatan sama, yang merupakan syarat probit dapat dihitung dengan rumus F (lampiran 10).

Sebelum memulai uji toksisitas, semua alat yang akan digunakan dicuci dengan sabun untuk membersihkan kotoran-kotoran yang mungkin masih melekat, lalu dibilas dengan aquadest dan direndam menggunakan aquadest panas untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran dan sabun yang mungkin masih tertinggal. Setelah pencucian flakon tersebut, kemudian flakon dikeringkan supaya tidak ada air yang berada didalamnya. Kemudian flakon-flakon tersebut diberi batas untuk volume aquadest 2,5 ml. Pemberian batas tersebut dimaksudkan supaya mengurangi kesalahan dan mempermudah dalam membuat seri konsentrasi infusa karena saat pengambilan larva, ALB juga ikut terambil. Setelah larva diambil 10

ekor kemudian diadd dengan 2,5 ml ALB. Kemudian ditambahkan dengan 2,5 ml masing-masing seri konsentrasi infusa, sehingga didapat konsentrasi infusa menjadi ½ kalinya. Sedangkan untuk kontrol, diambil 10 ekor larva dan diadd dengan 2,5 ml ALB yang kemudian ditambahkan dengan 2,5 ml ALB.

Setelah itu, ke dalam tiap flakon ditambahkan suspensi ragi sebagai sumber makanan. Penambahan makanan ini penting untuk memastikan bahwa kematian larva bukan disebabkan karena kekurangan makanan. Dalam percobaan ini menggunakan ragi yang berbentuk butiran dan kering sehingga tidak perlu dilakukan pemanasan pada oven untuk menghindari adanya jamur dan bakteri. Meyer et al. (1982) memaparkan konsentrasi suspensi ragi yang digunakan, yaitu 3 mg ragi dilarutkan dalam 5 ml ALB.

Tiap flakon cukup diberi satu tetes suspensi ragi, tidak boleh berlebihan. Hal ini disebabkan karena artemia sebagai filter feeder (penyaring makanan), sehingga artemia menelan apa saja yang berukuran kecil. Artemia tidak bisa membedakan antara makanan dan bukan makanan. Jika pemberian makanan terlalu banyak, jumlah yang ditelan semakin banyak. Apabila terjadi demikian maka makanan yang belum sempat dicerna akan terdesak oleh makanan baru secara terus menerus masuk dalam jumlah banyak, sehingga makanan itu akan keluar lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan baik dan belum sempat diserap sarinya oleh usus. Hal ini dapat menyebabkan kematian artemia, sehingga jumlah kematian larva yang didapatkan bukan merupakan hasil yang sebenarnya.

Tiap flakon diletakkan dekat lampu pada suhu kamar dan terhindar dari cahaya matahari langsung untuk menyeragamkan kondisi seperti pada saat penetasan. Air laut buatan yang digunakan untuk pengujian diaerasi selama kurang lebih 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup artemia, sehingga jika terdapat artemia yang mati bukan disebabkan karena kekurangan oksigen.

Setelah 24 jam pemberian infusa akar daruju, pada tiap flakon dihitung larva yang hidup. Dikatakan hidup jika larva masih bergerak aktif, sekecil apapun gerakan tersebut. Larva tidak mungkin diam, sebab selain berfungsi sebagai alat gerak, antena II pada larva juga berfungsi sebagai alat pernafasan. Setelah jumlah larva yang hidup diketahui, jumlah larva yang mati dapat dihitung. Kemudian dihitung sehingga didapatkan % kematian pada masing-masing konsentrasi perlakuan dan kontrol. Kontrol digunakan untuk mengoreksi kematian larva yang bukan disebabkan oleh pengaruh infusa akar daruju.

Setelah pengujian, didapatkan jumlah larva yang mati, kemudian dapat digunakan untuk menghitung persentase kematian larva tersebut. Hasil percobaan yang menunjukan persentase kematian larva yang tidak menyimpang jauh dari rentang 20%-80% (tabel III dan IV).

Data yang didapat kemudian dianalisis dengan analisis probit menggunakan program SPSS 16.00 untuk mendapatkan nilai LC50. Pada penelitian ini digunakan analisis probit agar didapatkan kurva yang berbentuk garis lurus sehingga penentuan nilai LC50 lebih tepat. Jika hanya memplotkan persentase kematian larva (nilai y) dengan logaritma konsentrasi (nilai x) maka

akan didapatkan kurva berbentuk sigmoid sehingga dalam penentuan nilai LC50

dapat menjadi kurang tepat. Dalam analisis probit didapatkan kurva yang berbentuk garis lurus karena konsentrasi sampel ditransformasikan menjadi logaritma konsentrasi sebagai variabel tetap (nilai x) dan persentase kematian larva ditransformasikan menjadi nilai probit sebagai variabel tergantung (nilai y).

Tabel III. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian infusa akar kering daruju

Konsentrasi (µg/ml) Kematian (%) Persentase 1000 24 1500 26 2250 34 3400 58 5000 70

Tabel IV. Persentase kematian larva artemia akibat pemberian infusa akar basah daruju

Konsentrasi (µg/ml) Persentase Kematian (%) 1000 19 1800 25 3200 45 5700 60 10000 75

Setelah dianalisis dengan analisis probit diperoleh persamaan regresi linier untuk sampel infusa akar daruju yang dikeringkan yaitu y = 1,910x-6,612. Diperoleh pula suatu tabel yang mencantumkan nilai LC50 yang dihasilkan yaitu sebesar 2899,7 µg/ml dengan kisaran batas bawah sebesar 2382,2 µg/ml dan kisaran batas atas sebesar 3757,6 µg/ml, sedangkan analisis probit untuk data infusa akar daruju basah (tanpa pengeringan) diperoleh persamaan regresi linier yaitu y = 1,642x-5,928. Diperoleh pula suatu tabel yang mencantumkan nilai LC50

3234,7 µg/ml dan kisaran batas atas sebesar 5347,7 µg/ml. Nilai LC50 untuk infusa akar basah dan kering daruju tidak menunjukan potensi toksisitas terhadap artemia (>1000 µg/ml).

Kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi infusa akar daruju yang dikeringkan dan infusa akar daruju basah (tanpa pengeringan) dapat dilihat pada gambar 7 dan 8. Konsentrasi infusa akar daruju yang dikeringkan dimana dapat membunuh 50% hewan uji (LC50) juga dapat diketahui dengan menggunakan kurva tersebut (gambar 7 dan 8), yaitu dengan menarik garis lurus pada probit 0,0 ke arah kanan sampai pada garis, lalu ditarik garis ke bawah, sehingga didapatkan log konsentrasi sebesar 3,462 sehingga konsentrasinya sebesar 2899,671 µg/ml. Begitu juga dengan infusa akar daruju basah (tanpa dikeringkan).

Nilai LC50 yang tidak toksik tersebut kemungkinan karena senyawa-senyawa yang toksik terhadap artemia tidak terekstraksi secara optimal dengan menggunakan metode infundasi. Metode infundasi hanya dapat mengekstraksi senyawa-senyawa yang larut dengan pelarut air (pelarut polar). Sedangkan, senyawa-senyawa tidak larut air (non polar) misalnya flavonoid yang mempunyai gugus OCH3) tidak terekstraksi secara optimal dengan menggunakan metode infundasi.

Gambar 7. Kurva nilai probit vs log konsentrasi infusa akar daruju yang dikeringkan

Gambar 8. Kurva nilai probit vs log konsentrasi infusa akar daruju basah (tanpa dikeringkan)

Dari gambar 7 dan 8, didapatkan nilai Rsq yang merupakan koefisien determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu merupakan presentase sumbangan x terhadap variasi (naik atau turunnya) y. Dari

analisis, didapatkan nilai Rsq untuk infusa akar kering daruju sebesar 0,923 yang berarti bahwa presentase sumbangan x, yaitu konsentrasi infusa akar daruju kering terhadap variasi y, yaitu respon (jumlah kematian artemia) sebesar 92,3%. sedangkan nilai Rsq untuk data infusa akar basah daruju sebesar 0,986 yang berarti bahwa presentase sumbangan x, yaitu konsentrasi infusa akar basah daruju terhadap variasi y, yaitu respon (jumlah kematian artemia) sebesar 98,6%.

Dari nilai Rsq dapat dihitung nilai R, yaitu akar kuadrat dari Rsq. Dari penelitian ini didapatkan nilai R untuk infusa akar kering daruju sebesar 0,961 dan nilai R untuk infusa akar basah daruju sebesar 0,993. Nilai R merupakan koefisien korelasi dalam hubungan dua variabel x dan y yang mengukur kuatnya hubungan antara x dan y. Dari tabel nilai R (lampiran 2), dengan taraf kepercayaan 95% pada derajat bebas 3 dapat dilihat nilai R sebesar 0,8783 sehingga didapatkan nilai R penelitian keduanya lebih besar daripada nilai R tabel. Hal ini menunjukan hubungan korelasi yang linier antara konsentrasi dengan nilai probit. Meningkatnya konsentrasi diikuti dengan meningkatnya nilai probit (respon).

Pencarian bahan obat antitumor dari bahan alam umumnya difokuskan untuk mencari senyawa aktif yang mempunyai efek sitotoksik, menekan proliferasi sel tumor, antimitotik atau memiliki kemampuan dalam menginduksi terjadinya proses apoptosis pada sel tumor (Nursid, Wikanta, Fajarningsih, dan Marraskuranto, 2006).

Senyawa golongan flavonoid mampu menghambat proses karsinogenesis baik secara in vitro maupun in vivo. Penghambatan terjadi pada tahap inisiasi, promosi maupun progresi melalui mekanisme molekuler antara lain induksi

apoptosis, inaktivasi senyawa karsinogen, antiproliferatif, penghambatan angiogenesis dan daur sel, dan aktivitas antioksidan (Ren, Qiao, Wang, Zhu, dan Zhang, 2003). Menurut Srisadono (2008) mekanisme dari flavonoid yang berperan dalam mekanisme sitotoksik adalah dengan menginduksi program kematian sel (apoptosis).

Senyawa yang diduga menyebabkan kematian sel dalam infusa akar daruju adalah flavonoid jenis flavon. Flavon bermacam-macam jenisnya seperti tangeretin, apigenin, luteolin. Hal tersebut menyebabkan mekanisme flavonoid jenis flavon dalam membunuh sel kanker mempunyai banyak mekanisme antikanker dan belum diketahui secara mendetail.

Struktur dasar dari flavon, yaitu 2-phenyl-4H-1-benzopyran-4-one

berefek pada proliferasi, deferensiasi, dan apoptosis pada jalur sel kanker kolon manusia (Wenzel, Kuntz, Brendel, dan Daniel, 2000). Studi tersebut, menilai bahwa efek flavon pada ekspresi gen yang berhubungan siklus sel dan apoptosis pada jalur sel, terjadi perubahan level mRNA dari gen spesifik seperti siklooksigenase-2 (COX-2), NF-κ, dan Bcl-X (Grotewold, 2006). COX-2 merupakan bagian dari jalur COX-2-PGE2 yang berperan untuk mempertahankan proliferasi serta menghambat apoptosis sehingga mempercepat pertumbuhan tumor. Penurunan tingkat ekspresi COX-2 menurunkan selisih tingkat proliferasi dan apoptosis, yang berarti mengurangi tingkat pertumbuhan tumor (Gandamihardja, Wirakusumah, Shahib, Sastramihardja, dan Aziz, 2010). NF-κ merupakan faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi gen yang berhubungan dengan respon imun, apoptosis, dan siklus sel. Regulasi NF-κ yang tidak benar

menyebabkan inflamasi dan penyakit autoimun, infeksi virus, dan kanker (Anonimc, 2011). Sedangkan, Bcl-X merupakan regulator apoptosis.

Menurut Hirano, Gotoh, dan Oka (1995) flavon jenis tangeretin (5,6,7,8,4’-pentamethoxyflavone), dapat menginduksi apoptosis pada sel kanker HL-60 yaitu membatasi sel HL-60 dengan sedikit efek pada respon blastogen terstimulasi mitogen pada sel periferal mononukleus darah.

Apoptosis yang terinduksi apigenin pada sel kanker payudara yaitu melalui degradasi protein Her-2/neu (Way, Kao, dan Lin , 2005). Penelitian tersebut menunjukan hubungan aktivitas-struktur dari flavonoid pada Her2/neu, mengindikasikan bahwa posisi cincin B dan adanya gugus 3’,4’-hidoksil pada gugus 2-phenyl sangat penting untuk degradasi protein Her-2/neu oleh flavonoid (Grotewold, 2006). Human Epidermal growth factor Receptor 2 (Her-2/neu) merupakan reseptor faktor pertumbuhan. Her-2/neu yang gennya rusak (deregulation) seperti pada kanker menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan terlalu banyak replikasi gen tersebut di dalam sel.

Dokumen terkait