• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.3 Hasil Wawancara dan Pengamatan

4.1.3.1 Informan yang Berasal dari Etnis India Tamil 4.1.3.1.1 Informan I

Nama : Mila

Jenis Kelamin : Perempuan

TTL/Usia : Medan, 09 September 1993 / 23 Tahun

Agama : Islam

Etnis/Suku : India Tamil

Alamat : Jl. T. Cik Di Tiro Belakang Pekerjaan : Pedagang Makanan

Informan pertama bernama Mila (23), beliau adalah salah seorang pedagang makanan di pinggiran Jl. KH. Zainul Arifin. Ia menjual berbagai macam makanan seperti martabak telur, roti cane dam juga mie rebus. Ia adalah seorang India muslim, dimana masyarakat muslim Etnis Tamil merupakan minoritas di kawasan tersebut. Peneliti menemui Mila di sela-sela waktu ia sedang berjualan dan berlokasi di warung makanan miliknya. Warung yang ia miliki pun sangat sederhana, hanya terlihat sebuah gerobak dan tenda kecil serta meja dan kursi tempat pelanggannya menyantap makanan.

Beliau menetap di kawasan Kampung Madras sejak lahir, selama kurang lebih 23 tahun ia sudah tinggal di kawasan tersebut. Ia menuturkan sejak lahir hingga sekarang kawasan Kampung Madras dihuni oleh beberapa etnis dan suku tetapi mayoritas etnis yang sudah lama bermukim disana diantaranya adalah masyarakat dari Etnis Tamil, Etnis Tionghoa, dan Etnis Pribumi. Ia juga menuturkan bahwa masyarakat pribumi yang tinggal di daerah tersebut didominasi oleh Suku Minang dan Suku Jawa. Keragaman etnis tersebut secara tidak langsung membuat dirinya terbiasa bergaul dengan semua kalangan dan semua etnis. Tidak memandang siapa dia dan darimana dia berasal.

“Ya campurlah, ada orang pribumi. Orang pribumi itu ada padang, jawa, lain-lain. Ada juga orang tionghoa disni. Semua sama bang, bergaul sama semua gak pilih-pilih mau dari suku apa juga kita bekawan.”

Kawasan Kampung Madras yang dulunya dikenal sebagai salah satu kampung masyarakat Etnis Tamil tetapi kini sudah tidak seperti dulu lagi. Sekarang Kampung Madras telah dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnis, suku dan latar belakang agama yang berbeda. Hal ini menjadikan Kampung Madras sebagai tempat berinteraksi antar individu dari berbagai golongan. Begitu pun dengan arus informasi dan proses komunikasi yang terjadi menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi secara intens di daerah tersebut.

“Ya kalo sering ya hampir setiap hari soalnya jualan kan banyak juga yang beli itu orang pribumi. Kalo tempatnya ya komunikasi seperti biasa sih dirumah sama tetangga. Kalo ada waktu senggang juga kadang ngobrol-ngobrol sama pelanggan”

Seperti masyarakat yang hidup bertetangga pada umumnya, konteks komunikasi yang setiap hari dibicarakan oleh Mila lebih banyak membahas tentang hal-hal disekitarnya seperti menu masakan yang hendak dimasak hari ini, maupun juga tentang anak-anak dan terkadang juga membahas usaha yang sedang mereka tekuni untuk memenuhi kebutuhan hidup. Interaksi komunikasi antara Mila dengan masyarakat dari Etnis Pribumi biasanya berlangsung di rumahnya. Tapi tak jarang juga berlangsung di warung makan miliknya. Ia pun menuturkan bahwa tidak pernah ada kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi ataupun etnis lain. Karena sejak lahir ia sudah mengenal orang-orang disekitar sini dan sudah terbiasa berinteraksi dengan mereka.

“Kalo dengan tetangga ya biasa la gimana orang bertetangga, paling cerita tentang masak, tentang anak, tentang jualan ya kayak biasalah pokoknya. Ngobrol nya ya disini ditempat jualan, di rumah. Kalo di tempat-tempat lain jarang lah. Kalau kesulitan enggak ada sih bang, sama aja. Cuma kan karena dari lahirnya disini makanya ya enggak ada ngebeda-bedain jadi enggak ada kendala komunikasi sama orang pribumi bang.”

Apa yang dituturkan Mila diatas merupakan sedikit gambaran dari hubungan antaretnis yang cukup baik, sebab ia tidak memilih dengan siapa ia berinteraksi serta tidak membeda-bedakan etnis, suku maupun golongan seseorang. Berdasarkan informasi yang ia berikan mengenai stereotip, ia tidak pernah memikirkan hal tersebut. Karena menurutnya masyarakat Etnis Pribumi terlihat sama seperti masyarakat dari etnis lain. Jadi tidak ada stereotip negatif yang berkembang tentang masyarakat Etnis Pribumi di lingkungan tempat ia tinggal, baik itu keluarga, sekolah maupun tempat dimana ia berjualan.

Masyarakat Etnis Pribumi di kawasan Kampung Madras dinilai sebagai masyarakat yang cukup baik. Mereka menghormati satu sama lain dan tidak pernah melecehkan ataupun menyudutkan etnis tertentu. Hal inilah yang menurut peneliti merupakan stereotip positif yang berkembang terhadap masyarakat Etnis Pribumi. Lingkungan dan pengalaman menjadi faktor utama terbentuknya stereotip positif sebab selama ia tinggal disana hampir seluruh masyarakat pribumi berperilaku dan bersikap baik yang ditunjukkan dengan tindakan saling menghormati dengan masyarakat Etnis India Tamil.

Kuatnya solidaritas antara masyarakat dengan budaya yang berbeda di kampung secara efektif mampu meminimalisir stereotip maupun prasangka negatif antar etnis di kawasan itu. Hampir seluruh masyarakat di daerah tersebut melihat seseorang dari etnis lain sebagai orang biasa, sebagai sesama manusia tanpa harus mengatakan dari etnis mana ia berasal. Semua masyarakat disana telah melebur menjadi masyarakat heterogen dengan nilai toleransi yang tinggi. Namun Mila juga mengatakan kembali lagi kepada individunya. Tidak semua orang sama. Ada yang baik ada juga yang kurang baik, tergantung bagaimana sikap dan perilaku mereka di dalam bermasyarakat.

“Gak ada juga bang biasa aja kayaknya bang. Sama kaya yang lain, saling menghargai saling hormat gak saling menyudutkan dan gak saling melecehkan lah. Tergantung orangnya juga. Kalo yang kukenal ya biasa aja sama kayak yang lain. Kayak mana ya bang susah bilangnya. Disini itu kalo ada satu orang bermasalah yang lain mau ikut bantu, dari etnis

apa aja juga mau bantu. Misalnya kalo ada yang lagi berduka tetangga kan, ya udah semua ikut gabung ikut bantu. Kemarin ada yang meninggal orang padang. Cuma gak ada yang bilang dia orang padang. Soalnya semua udah berbaur disini.”

Hubungan antar etnis yang terjalin di kawasan tersebut dapat dikatakan sangat harmonis karena hampir tidak pernah ada konflik etnis yang terjadi di kawasan tersebut. Baik itu konflik pribadi yang dialami maupun konflik antar etnis secara luas. Hal ini dapat terwujud dikarenakan masing-masing individu memiliki cara tersendiri dalam menjaga keharmonisan tersebut. Salah satunya menjaga kerukunan beragama yang mana setiap ada masyarakat yang beribadah masyarakat lain harus menghormati dan menghargai dengan cara tidak membuat keributan ataupun hal-hal lain yang dapat mengganggu mereka yang sedang beribadah.

“Ya baguslah bang hubungannya. Masuklah antara Etnis Tamil sama Etnis Pribumi semuanya saling menghargai, saling menghormati. Kalo orang itu sembahyang kita tenang gak bikin ribut. Gitu juga pas giliran kita sembahyang orang itu juga menghargai. Pokoknya gak mengganggu saat beribadah, tenang.”

Berdasarkan pemaparan Mila diatas terdapat satu stereotip positif tentang masyarakat pribumi yaitu sikap toleransi dalam beragama. Stereotip tersebut merupakan refleksi dari kerukunan dan keharmonisan yang terjalin antara Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil. Terwujudnya hal tersebut juga didukung karena adanya rasa empati dan simpati antara masyarakatnya. Dan tidak terlepas peran agama dimana pada hari-hari besar keagamaan secara tidak langsung mampu mengumpulkan serta melibatkan masyarakat dari berbagai etnis dalam satu wadah. Salah satunya adalah kegiatan Isra’ Mi’raj, disinilah salah satu wadah berkumpulnya masyarakat dari Etnis Pribumi dan Etnis India Tamil khususnya mereka yang beragama muslim. Karena menurut Mila jumlah masyarakat Etnis Tamil yang bermukim di kawasan Kampung Madras terbilang cukup sedikit

sehingga momen Isra’ Mi’raj dinilai mampu melibatkan masyarakat dari berbagai etnis. Begitu pun ketika ada kemalangan masyarakat bersama-sama mengunjungi rumah duka tanpa memperdulikan etnis dan agama yang dianutnya.

“Kalau kegiatan khusus disini jarang bang. Karena kan disini kami udah sedikit. Jadi jarang ada kegiatan khusus kayak gitu disini. Paling ya kegiatan gotong royonglah. Acara keagamaan adalah, cuma jarang. Kayak kami kan keluarga islam ya paling pas ada kegiatan Isra’ Mi’raj. Terus ada kemalangan ya yang kayak gitu-gitulah bang.”

Kerukunan dan keharmonisan tersebut dapat terwujud dikarenakan masyarakatnya mampu menahan dan menjaga diri masing-masing. Mila mengaku ia mampu mempertahankan hubungan baik tersebut dengan cara menghargai orang lain sebagaimana orang tersebut mengharaginya. Ia mengatakan bahwa setiap masyarakat harus mampu menahan diri dan menjaga sikap dan perilaku mereka dengan sopan santun, sehingga menghindari terjadinya gesekan-gesakan antar etnis yang bermukim di kawasan Kampung Madras.

“Ya dengan cara menghargai mereka sebagaimana mereka menghargai kita. Gak inilah, istilahnya bisa jaga bicara, sikap, perilaku, sopan santun. Jadi nggak saling mengganggu gitu bang. Harapannya ya semakin lebih baik dan nggak ada yang membeda-bedakan kasta gitu atau apapun itu.” Mila juga berharap agar hubungan antar etnis yang terjalin kedepannya akan semakin lebih baik tanpa membedakan latar belakang serta embel-embel yang melekat pada mereka. Berdasarkan pengamatan peneliti, Mila melihat masyarakat Etnis Pribumi sama sepertinya tidak ada hal yang berbeda karena pada dasarnya semua orang itu sama, bukan darimana ia berasal tetapi bagaimana sikap dan perilakunya di dalam bermasyarakat. Bagi Mila tidak ada stereotip yang berkembang terhadap masyarakat Pribumi karena sejak lahir ia sudah tinggal disana dan terbiasa berinteraksi dengan semua orang dengan etnis yang berbeda.

Hal kecil seperti inilah yang mampu mewujudkan hubungan antarbudaya yang rukun dan harmonis di kawasan Kampung Madras.

Kesimpulan Kasus

Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 23 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku Padang/Minang dan Jawa. Sejak kecil informan sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat Pribumi di tempat ia tinggal. Konteks komunikasi seputaran dengan kehidupan sehari-hari dan bertempat di tempatnya berjualan dan juga di rumah bersama dengan tetangga. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Etnis Pribumi sebab menggunakan bahasa yang sama yaitu Bahasa Indonesia. Dan informan juga memiliki banyak teman yang berasal dari Etnis Pribumi.

Terdapat stereotip positif yang berasal dari pengalaman langsung dan melalui lingkungan sekitar. Stereotip tersebut diyakini oleh informan yang mengatakan bahwa masyarakat Pribumi sangat baik serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap Etnis India Tamil. Menurut penuturan informan hubungan antarbudaya maupun hubungan sosial antara Etnis Tamil dan Etnis Pribumi sangat baik hal tersebut ditandai dengan sikap toleransi, saling menghormati dan saling menghargai antara satu sama lain serta dengan tidak membeda-bedakan seseorang berdasarkan latar belakang dan status sosial yang dimiliki.

4.1.3.1.2 Informan II Data diri informan :

Nama : Wijes Sri Jenis Kelamin : Perempuan

TTL/Usia : Medan 11 Juli 1979 / 37 Tahun

Agama : Hindu

Etnis/Suku : India Tamil

Alamat : Jl. Cik Di Tiro Belakang No. 22B Pekerjaan : Wiraswasta

Wijes Sri (37) adalah informaan keempat yang peneliti wawancarai. Peneliti menemui Kak Wijes di warung makanan milik Kak Mila. Ia adalah seorang pemilik salah satu toko sport di kawasan Kampung Madras dan sejak lahir sudah tinggal disana kemudian ia pindah setelah ia menikah pada umur 24 tahun. Walaupun sudah tidak tinggal disana tetapi hampir setiap hari ia berkunjung kerumah ibunya di kawasan Kampung Madras dan waktunya sehari-hari ia habiskan disana karena semua teman dan keluarganya ada di Kampung Madras.

“Dari lahir udah disini. Dari tahun 79 disini sampai umur 24 tahun lah disini. Setelah nikah terus pindah lah ke alamat Jl. S. Parman. Tapi kan ibu masih tinggal disini. Jadi sehari-hari waktunya dihabiskan disini.” Ketika masih tinggal dirumah ibunya ia mengatakan bahwa etnis yang ada di lingkungannya di dominasi oleh Etnis Tionghoa, Padang dan Jawa sebagai mayoritas. Tetangga dekatnya dulu adalah masyarakat dari ketiga etnis tersebut, karena itu ia sangat dekat dengan masyarakat yang berbeda etnis di tempat tinggalnya.

“Kalo dulu pas kakak masih dirumah sini ya di depan ada Chinese, samping kiri pribumi ada Jawa, di belakang rumah ada Padang. Disini mayoritas pribumi Padang sama Jawa sih.”

Kak Wijes adalah orang yang berpikiran terbuka karena ia tidak memilih-memilih teman dalam bergaul meskipun ia berasal dari Etnis Tamil yang beragama Hindu. Bahkan kedua saudari iparnya berasal dari Suku Jawa yang beragama Muslim serta pamannya ada yang beragama Kristen. Karena itu ia sudah terbiasa bergaul semua orang. Ia juga dengan bangga mengatakan bahwa keluarganya adalah keluarga nasional karena terdiri dari orang-orang dengan etnis dan agama yang berbeda.

“Pukul rata semua, mau chinese, mau india, mau orang kita pribumi, mau Jawa sama semua campur. Keluarga kita aja ya, abangnya kakak istrinya Jawa “Wong Jowo Muslim”. Adek kakak juga istrinya Jawa muslim juga. Keluarga kita orangnya nasional. Abang kandung mamak kakak aja agamanya Kristen.”

Karena semua keluarga dan temannya tinggal di kawasan Kampung Madras sesekali ia sering berkunjung ke warung Kak Mila. Tidak ada waktu khusus baginya untuk berkomunikasi tapi ketika ada waktu luang ia menyempatkan diri untuk berkumpul bersama teman-temannya sambil berbincang dan sesekali melihat kendaraan yang lalu lalang melintas di Jl. KH. Zainul Arifin untuk melepas penat setelah bekerja seharian. Konteks komunikasi yang dibahas bersama teman-teman selalu berbeda dan berganti-ganti tapi tetap sama seperti orang dewasa pada umumnya yang membahas tentang bisnis, dan prospek usaha untuk jangka panjang.

“Ya kalo khusus nggak ada. Paling kalo ada waktu kita nongkrong gabung-gabung hilangin suntuk. Nggak ada waktu ya nggak nongkrong. Kadang-kadang kakak suka duduk disini ngilangin suntuk nengok-nengok motor mobil lewat sambil ngobrol. Hal yang umum aja biasa. Yang khusus itu nggak ada sih. Topiknya itu selalu berbeda-beda jadi susah kita bilang. Kalo kayak kita yang orang dewasa ya hal bisnis lah gimana hari esok, prosopek ke depan yang bagus.”

Dalam berkomunikasi dengan masyarakat dari Etnis Pribumi Kak Wijes tidak pernah mengalami kesulitan karena bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Bahkan bahasa asli Tamil ia tidak mengerti karena dari lahir hingga sekarang di keluarganya hanya menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Hal tersebut juga didukung oleh hubungan dekatnya dengan masyarakat Pribumi yaitu dua saudari iparnya yang berasal dari Suku Jawa.

“Nggak ada, kita kan bahasa sehari-hari ngomong pakai juga bahasa Indonesia kan. Fasih kan kakak ngomong bahasa Indonesia hehehe. Malah bahasa kakak yang nggak bisa kakak. Kalo dekat banyaklah, adek ipar kakak, kakak ipar kakak, itulah yang keluarga dekat kita.”

Karena dalam keluarganya ada berbagai macam orang dengan latar belakang yang berbeda Kak Wijes tidak pernah mengenal tentang stereotip maupun prasangka. Bagi dirinya semua orang itu sama meskipun ia berasal dari etnis yang bukan Etnis India Tamil. Ia tidak pernah memandang suatu etnis berdasarkan sifatnya, pekerjaannya maupun latar belakangnya. Sebab ia menganggap semua masyarakat dari etnis lain yang dikenalnya sudah seperti saudara. Hal ini menunjukkan bahwa ada atau tidak adanya stereotip sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar seperti keluarga, tetangga, dan teman sehingga tidak memberi kesempatan kepada stereotip untuk berkembang.

“Kalo kakak gini ya selalu berpikiran positif. Gimana ya bagi kakak semuanya itu sama. Jadi nggak adalah. Rasa kakak biasa aja mau Etnis Pribumi, Chinese, India ya semua orang sama aja seperti itu. Mana ada pengaruhnya sama kakak. Mau itu sifatnya, pekerjaannya apapun latar belakangnya kakak rasa sama aja ya. Udah kayak keluarga semuanya.” Berdasarkan pemaparan Kak Wijes sebelumnya mengenai pandangannya terhadap Etnis Pribumi dapat diamati bahwa kondisi hubungan sosial ditempatnya tinggal terjalin dengan sangat kuat antara dirinya dengan etnis lain. Opini tersebut ditandai dengan kebersamaan yang terjalin antar etnis, dimana ketika umat muslim merayakan lebaran mereka sering mengantarkan makanan kepada masyarakat Etnis Tamil yang bukan muslim. Begitu juga sebaliknya ketika Kak Mila merayakan hari besar agama Hindu ia juga tak lupa mengantarkan makanan kepada masyarakat yang bukan beragama Hindu di daerah itu. Sekali lagi, baginya semua tetangganya sudah seperti saudara meskipun mereka hidup dalam perbedaan dan keragaman.

“Kami kebersamaannya kuat.misalnya kayak lebaran ya sama. Kami nanti kalo lebaran kami ngantar makanan ke mereka. Mereka juga sama seperti itu. Udah kayak keluarga semuanya.”

Ia juga menuturkan bahwa masyarakat di tempat tinggalnya memiliki solidaritas yang tinggi antar sesama. Ketika ada kemalangan maupun pesta pernikahan semua masyarakat dari Etnis India Tamil dan Etnis Pribumi berkumpul. Biasanya mereka berkumpul di depan halaman rumah milik Kak Wijes karena cukup luas. Kegiatan masak-memasak biasanya dikerjakan di halamannya, dan dikerjakan oleh masyarakat Tamil dan Pribumi. Kak Wijes dan keluarganya berpikiran sangat terbuka dan menjungjung tinggi pluralisme karena tidak pernah melarang dan membatasi warga lain menggunakan halaman depan rumah milik keluarganya untuk dijadikan sebagai tempat berkumpul. Jika diamati dengan seksama maka secara tidak sadar ada stereotip positif yang dimiliki informan mengenai masyarakat Pribumi yaitu solidaritas dan toleransi yang tinggi, hal ini dapat diketahui melalui pengalaman informan selama ia hidup berdampingan bersama mereka.

“Kalo disini ya kadang acara-acara tertentulah. Kayak ini kemarin ada kemalangan ya gabunglah Etnis Pribumi sama Tamil gabung. Kalo ada orang pesta juga gitu. Depan rumah kami kan lebar halamannya jadi siapa aja yang pesta disitu numpang belanjaanya, masak-masaknya disitu. Kami nasional, buat kami semua sama kok.”

Pemikiran dan sikap Kak Wijes dan keluarganya yang menanamkan nilai-nilai pluralisme menjadikan hubungan antarbudaya di lingkungannya jauh dari gesekan-gesekan yang dapat memicu terjadinya konflik. Baik itu konflik pribadi maupun konflik antar etnis yang mengarah kepada perpecahan dan permusuhan di lingkungan tempat tinggalnya.

“Kalo kakak nggak pernah sih ngalami yang kayak gitu. Konflik besar gitu enggak ada sih. Enggak pernah ada setahu kakak. Aman-aman aja disini.”

Selain berpikiran terbuka dan plural, salah satu cara Kak Wijes menjaga kerukunan dan keharmonisan antara Etnis Tamil dan Pribumi adalah dengan menanamkan nilai, sikap dan perilaku yang mengimplementasikan kebersamaan. Menurutnya dengan kebersamaan setiap anggota masyarakat mampu menghargai satu sama lain dan menghormati keyakinan dan agama masing-masing. Karena ia merasa semua masyarakat di lingkungannya adalah keluarga sehingga membuatnya nyaman dalam berkomunikasi serta berinteraksi tanpa harus menutup diri dari lingkungan.

“Caranya ya dengan kebersamaan lah, jadi dalam kebersamaan itu kita bisa saling menghargai satu sama lain. Menghormati agama masing-masing. Soalnya disini udah kayak keluarga semua sama kakak. Jadi kalau ngobrol apa aja jadinya nyaman, enak, terbuka. Ya kayak gitu-gitulah. Harapan kita ya semoga semua etnis selalu hidup rukun damai kedepannya lebih bagus damai lah.”

Dengan membawa semangat kebersamaan Kak Wijes menaruh harapan yang sangat besar bagi kelanjutan hubungan antarbudaya di kawasan Kampung Madras. Sama seperti informan sebelumnya, ia pun berharap setiap elemen masyarakat agar dapat terus hidup berdampingan tanpa menghilangkan kerukunan dan kedamaian yang sudah terjalin hingga saat ini.

Kesimpulan Kasus

Berdasarkan pemaparan informan yang telah menetap selama 24 tahun di Kampung Madras bahwa ada beberapa etnis yang hidup berdampingan antara lain Etnis India Tamil, Etnis Tionghoa, Etnis Pribumi yang didominasi oleh Suku Padang/Minang dan Jawa. Informan juga tidak pernah memilih-milih dalam bergaul sebab menurutnya semua masyarakat itu sama walaupun berasal dari etnis

yang berbeda-beda. Ia biasa berkomunikasi dirumah dan di tempat jualan milik Kak Mila (informan I), konteks komunikasi masih seputaran pada kehidupan sehari-hari seperti usaha, keluarga, dan lain sebagainya. Tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi maupun berinteraksi sebab informan memiliki keluarga yang berasal dari Etnis Pribumi yaitu adik dan kakak iparnya yang berasal dari Suku Jawa dan beragama Islam.

Tidak ada stereotip negatif tentang masyarakat Etnis Pribumi yang berkembang dalam diri informan. Karena sejak kecil keluarganya telah menanamkan nilai-nilai pluralisme kepadanya dan menurutnya masyarakat di lingkungannya sudah berbaur sehingga mencegah berkembangnya stereotip negatif tersebut. Ada beberapa stereotip positif terhadap masyarakat Pribumi antara lain adalah solidaritas dan toleransi yang tinggi. Stereotip positif ini melekat kuat dan juga tepat. Karena selama ini ia melihat dan mengalami

Dokumen terkait