A. Wawancara dengan Subjek
Pertanyaan Jawaban Tema
Selamat siang, boleh perkenalan dulu?
Saya namanya M.A
Umurnya berapa? Umurnya 42
Status? Sudah bersuami, punya dua anak.
Yang satu yang ini, E, yang satu SMP kelas tiga. Pendidikannya apa ya bu? Saya SMA.
Pekerjaan? Saya kerja di Bank. Di teller.
Agamanya? Katolik
Bisa cerita sedikit tentang latar belakang ibu? Keluarga dan mungkin diri ibu?
Suami saya Y.S. , guru, guru di SD swasta di Magelang, Anak saya dua. E sama A. Yang gede, E sudah kuliah, yang kecil itu SMP kelas tiga. Saya sendiri anak kedua dari dua bersaudara. Kakak saya perempuan, sekarang ada di Depok. Lalu, kalau hubungan dalam
keluarga seperti apa bu?
Baik-baik saja ya. Ya, saya paling dekat dengan suami. Ya, dengan suami. Suami dan anak.
Kalau boleh tahu, kok dulu pernah kepikiran untuk mendonor itu gimana ceritanya bu?
Itu, gini ya, awalnya itu kan saya punya kakak ipar. Kakak ipar saya itu kan juga dia mendonorkan. Tapi di Jakarta sana. Saya sih waktu itu sih cuma.. ya tertarik gitu, tertarik, tapi kan belum full gitu. Kok kayaknya kok bagus gitu. Jadinya ya itu kakak saya ini yang menginspirasi saya. Kakak ipar saya itu kan dulu di Jakarta jadi satu to banknya? Jadi satu. Ia juga mendonorkan. Saya dikasih liat itu, kan ada suratnya. Waktu ke sana itu dikasih liat. Ya saya sempet kaget gitu, tapi akhirnya saya sadar bahwa ini memang baik.
Keadekuatan informasi
Subjek tahu tentang donor mata dari kakak iparnya.
Namanya mata itu kan untuk.. melihat dunia, dunia itu kan indah gitu ya. Tuhan kan menciptakan alam, warna-warni tu kan indah ya. Kalo saya bisa berbagi, mengapa ga gitu. Terlebih itu kan, terus.. saya mikirin diri saya kan dapetnya gratis. Saya juga pengen bahwa kalau bisa tak kasih gratis. Tapi memang, memang saya dapatnya gratis, ya sudah gratis gitu. Saya intinya hanya ingin berbagi gitu aja.
Nilai-nilai altruisme
Subjek punya keinginan untuk berbagi dengan sesamanya.
Berarti alasan ibu mendonor apa bu?
Berguna buat sesama. Alangkah baiknya, alangkah bagusnya orang yang ga bisa melihat itu bisa melihat sedemikian indahnya gitu lho. Saya sih simple aja gitu.
Nilai-nilai altruisme
Subjek merasa bahwa donor nantinya akan sangat berguna bagi orang lain.
Jadi setelah dari Jakarta begitu, kapan kira-kira memutuskan untuk jadi donor?
Belum, belum lama kok ya. Sudah.. berapa tahun ya? Barusan ya. Realisasinya itu, karena saya repot, banyak kegiatan itu, sekitar setahunan apa ya? Baru setahun ini, setahunan lah.
Lalu apakah hal ini sudah dibicarakan dengan suami?
Sudah.
Apa tanggapannya dari suami? Ya, nganu. Memberi kebebasan. Dukungan suami
Suami subjek memberi kebebasan pada subjek untuk memutuskan.
Memangnya dulu bagaimana bicaranya dengan suami?
Waktu itu kan saya ngobrol dulu mas kok ak dulu tergerak.. untuk mendonorkan mata gimana gitu? Suami ya, ya terserah kamu. Gitu. Nah ini kan.. aku bilang nanti kan kornea mata aku kan diambil to waktu meninggal. Lha dia cuma bilang begini, lha kira-kira nanti merepotkan ga, gitu lho. Maksudnya kan kita masih ada proses pemberkatan segala macem gitu, lha itu, merepotkan ga. Ya aku bilang to mas, itu nek aku meninggal nti tolong maksimal.. enam jam ya.. enam jam itu tolong kasih tahu rumah sakit.
Dukungan suami
Suami subjek mendukung keputusan subjek, asal keputusan itu nantinya tidak berakibat buruk.
Lalu bagaimana dengan anak-anak?
Iya… iya.. Anak-anak ya mendukung, ga masalah tapi anak dulu pernah ga terima sih, karena ga mau mata mamanya dipake orang lain, tapi sekarang sudah mau ok.
Berarti waktu dulu, seberapa banyak bu ibu tahu tentang donor mata?
Yang setahu saya ya.. Ya sebatas ini dikasihkan, gitu aja to. Saya konsultasi ke rumah sakit. Saya datang sendiri ke Yap. Terus saya tanya-tanya to, gimana to ini prosedurnya. Apakah nanti mata saya ini terus bolong kalau..
Kan saya kan wong awam ya. “Ga bu, tu yang diambil korneanya” trus juga dikasih tahu, ini.. apa.. eee.. kalo saya ga ada gitu to, terus itu maksimal itu enam jam. Enam jam, karena kalau sudah lebih dari enam jam, itu ga bisa dipake lagi. Itu jadi rusak gitu.
Trus saya kan, trus saya ambil formulir, itu ja trus ga langsung saya isi. Saya bawa pulang. Itu.. masih sempet terbengkalai juga. Sempet terbengkalai, trus sampai yah.. baru yah barusan itu saya realisasi.
Keadekuatan informasi
Subjek pernah bertanya pada rumah sakit tentang donor mata itu sendiri.
Prokratinasi
Subjek mengungkapkan bahwa proses ini sempat terbengkalai.
Waktu itu dipertimbangkan dulu juga ga bu?
Bukan mempertimbangkan juga.. karena gi mana yo.. sak lego ne saya. Haha.. sak lego ne saya.
Karena saya memang sudah mantep.
Tu sak lego ne saya tu trus. Jadinya masih terbengkalai itu, trus, kebetulan itu kan saya njemur, njemur baju di belakang rumah. Lha itu, itu saya tu njemur gini kok mata saya tu kena cahaya. Mata saya tu kenapa gitu ini. Oh ni Tuhan ini negur saya gitu to. Oh ni harus secepatnya ini. Kan saya pikir Tuhan kan negur kita dengan banyak cara. Gitu aja. Sampe saya pedih matanya saya ini.
Trus saya inget oh ya, ini harus saya realisasikan. (sambil mengusap mata dan sepertinya subjek ingin menangis)
Prokratinasi
Subjek menunggu ia lego, baru ia mau mendonorkan.
Precipitating event
Subjek merasa bahwa ia ditegur untuk segera mendaftarkan diri.
Faktor emosi
Subjek sempat hampir menangis waktu mengisahkan bagian ini.
Ga ragu juga waktu itu? Ga, ga, saya ga ragu, cuma kebentur itu aja to saya, waktu itu, sak lego ne. Emang sudah niat, tapi mungkin karena saya males pa piye ya. Acara banyak dan mungkin juga kan namanya orang berumah tangga kan urusannya macem-macem to mas? Harus nyelesaikan ini, nyelesaikan itu. Itu juga selalu saya bawa ke dalam doa supaya suatu saat memang mata saya ini betul-betul bisa berguna untuk sesama, itu aja. Jadi saya memang minta Tuhan tu memang bener-bener campur tangan itu, prosesnya nanti saya meninggal trus jangan terlalu lama lah untuk itu, proses pengambilan itu. Kalau sudah di tangan rumah sakit kan istilahnya sudah aman to? Sampe saya tu berdoa, Eee.. Tuhan kalo, kalo kamu ijinkan tolong saya rumahnya dikasih deket dengan rumah sakit, saya bilang gitu, karena saya.. pikiran, ya pikiran manusia, kalau ada bencana seperti Merapi itu? Itu kan juga butuh waktu yang lama kan? Aksesnya kan sulit. Magelang Jogja itu kan juga butuh waktu. Itu jadi, saya memang minta ma Tuhan kalau memang Tuhan kasih ijin, saya untuk ngelakuin itu semua. Saya juga setelah itu, selalu ngingetin anak saya ini, kalau besok mamah meninggal ini tolong kamu kasih tahu rumah sakit Yap. Jangan lama-lama, karena mamah kan ga tau kapan mamah meninggal.
Prokratinasi
Subjek malas dan sibuk sehingga tidak bisa mendaftarkan diri menjadi calon donor.
Religiusitas
Subjek selalu membawa pergumulannya menjadi calon donor ini ke dalam doa.
Religiusitas
Subjek bahkan meminta kepada Tuhan agar rumahnya bisa dekat dengan rumah sakit.
Waktu itu ada pengaruh emosi bu? Emosi? Ga ada ya mas. Waktu itu saya juga biasa-biasa aja. Faktor emosional
Tidak ada emosi, kata subjek.
Lalu, ibu kalau boleh tahu, waktu itu memikirkan akan kematian? Ada pemikiran ke arah sana ga?
Wah.. nggak ya. Kalo saya sih mati kapan aja.. terserah., terserah Tuhan juga.. mau manggil nya kapan. Saya sih siap-siap saja.
Persepsi akan kematian
Subjek tidak takut akan kematian. Ia menyerahkan semuanya pada Tuhan.
Ga takut juga bu dengan kematian waktu itu?
Ga.. ga takut saya..Jadi inget..
Ini saya juga kan punya temen deket terus apa.. sahabat saya yang jadi saksi itu. “Ah nek ndelok mesak ke mbak”
Ya wes mati kan ya wes ga berguna to yo, saya gitu to.
Persepsi akan kematian
Subjek tidak takut akan kematian. Ia juga menyebutkan bahwa kalau sudah mati semuanya tidak akan berguna lagi baginya.
Kalau dengan tradisi tentang kematian bu? Apakah dalam tradisi ibu, memperbolehkan?
Tradisi? Tradisi gimana ya mas?
Kan kalau di tempat saya cuman pemberkatan gitu, ya dibolehkan lah.. dari suami juga dulu pernah tanya apa akan merepotkan gitu kalau nanti saya meninggal. Ya, saya bilang juga ndak ya mas..
Oh begitu, lalu dari segi agama bu? Apakah agama ibu melarang, atau memperbolehkan donor mata?
Ya.. Itu tidak dilarang di kitab suci.
Ga ada ayat juga yang melarang, dan kita kan kalau lihat dari segi agama kan memang selalu dituntut untuk berbuat baik tu lho.. Bisa berbagi dengan sesama.. kalau saya rasa ga ada agama yang menolak ya..
Pengaruh agama
Subjek selalu membawa pergumulannya menjadi calon donor ini ke dalam doa.
Memangnya pandangan agama ibu mengenai kematian itu seperti apa sih?
Ya, setahu saya, dalam pandangan agama saya juga. Kalau setelah meninggal itu kita akan diadili, ada purgatori juga, api penyucian gitu, ada kehidupan sesudah mati juga. Pokoknya sih, setahu saya, ada damai sejahtera gitu. Kebahagiaan dan kemuliaan.. Ya semacam itu sih.
Lho kalau ada kehidupan setelah kematian, berarti nti matanya hilang dong bu kalau begitu?
Ya... ngga ya mas. Sepengertian saya nti kalau sudah meninggal, semua diganti juga dengan yang lebih baik juga. Kan ada tubuh baru juga kan.
Jadi yang di sini hilang gitu ga masalah juga ya.. Kalau saya sih ga percaya juga kalau nti tubuh yang ni dibawa ke sana. Ga da salahnya juga kalau mata diambil di sini, nti di sana kan diganti yang baru.
Pengaruh agama
Konsep dalam agama subjek sendiri membawa subjek dalam pengertian bahwa akan ada mata baru sebagai pengganti mata lama. Jadi mata yang ada sekarang, tak ada salahnya jika didonorkan.
Pernah konsultasi dengan pemuka agama ga bu untuk hal ini?
Wah.. Engga ya.. Saya ga mikir sampai sejauh itu. Ya cuma pingin donor ya langsung dilakukan..
Biasanya bu, kalau mengambil keputusan itu ya seperti ini?
Ngambil keputusan, ya saya.. memposisikan suami saya ya. Dia kan kepala keluarga. Jadi ya, selalu diskusi dulu sama dia. Trus.. cari titik temu. Ya.. trus dia gimana, kalau dia stuju ya, langsung.. heem, ya.. saya ikutin.
Dukungan suami
Subjek memposisikan suaminya sebagai kepala keluarga dan selalu berdiskusi dengannya sebelum mengambil keputusan.
Lha keputusan ibu itu biasanya dipengaruhi apa aja?
Dalam.. dalam mengambil keputusan itu dampaknya Ya aku sih biasanya ngomong-ngomong sih ya.. Ngomong-ngomong ngobrol biasa gitu. Ngobrol dengan suami juga. Y anti kan dia kasih masukan-masukan, gitu memang. Memang saya tu bukan.. saya kan tipe orang yang ini lho mas.. istilah’ eki.. dituntun..
Kayak gitulah pokok e.. Dikasih masukan-masukan gitu lho. Gimana gitu lho. Angel yo nek njabarke..
Kecerdasan subjek
Subjek dalam mengambil keputusan selalu melihat dampaknya dulu.
Kepribadian subjek
Subjek merasa bahwa ia adalah tipe orang yang “dituntun”.
Kepribadian subjek
Subjek terbiasa mendapat masukan.
Gitu diskusi ma semua orang ga? Ga. Saya bukan tipe orang yang gampang terbuka. Saya tu, hee.. saya tu bisa bercerita banyak, maksud e cerito-cerito tu dengan suami, dengan anak, dengan.. sahabat, sahabat itu saja saya juga kan punya temen deket. Itu ja ga semua lho. Ga, ga semua. Istilah e bukan e milih-milih, ni saya bukan.. terbuka tapi tetep terbates. Terbuka tetep terbates.
Saya ga.. ga.. semua dibicarakan, semua permasalahan.
Kepribadian subjek
Subjek bukan tipe orang yang terbuka.
Kalau menurut ibu donor mata tu keputusan yang besar ga?
Kalau saya pribadi.. donor mata.. ya keputusan yang besar ya.. tapi ya biasa aja. Kalau keputusan yang besar buat saya itu yang mengubah kehidupan saya. Kayak.. seperti misal ya itu.. untuk mencari teman hidup. Lha itu kan kita kan seumur hidup. Kita kan ga bisa.. ga bisa.. bercerai kan. Kita.. hanya maut yang bisa.. Ya itu, saya pribadi terus terang saya selalu menempatkan Tuhan. Gitu aja terus terang. Doa.. Doa.. terus untuk dalam hal pekerjaan juga, terus terang kan kemaren sempet denger sendiri kalau itu
Religiusitas
Subjek bahkan meminta kepada Tuhan agar rumahnya bisa dekat dengan rumah sakit.
ada demo, mau ambil pensiun dini silahkan.. mau terus silahkan.. Ya itu kan.. ya itu kan bagi saya pribadi itu juga keputusan besar karena kalau saya ga matang memikirkan kan. Ya.. kalau siap gitu to, kalau ndak kan bisa mengubah hidup saya, seperti itu. Pekerjaan, trus.. ya seperti itu lah. Lalu bagaimana pendapat ibu soal
menolong orang? Apa dari dulu sudah punya kebiasaan menolong bu?
Iya.. hee.. sama orang tua saya. Sama bapak-ibu saya. Itu.. lebih ke tindakan ya. Jadi kalau, semisal yo.. yo simple
simple saja lah kalau orang kan ga terlalu.. tetangga butuh
apa gitu. Jadi, orang tua saya lebih ke contoh. Lebih langsung ke contoh.
Nilai-nilai altruisme
Subjek mendapatkan nilai-nilai altruis tersebut dari orang tuanya.
Cari info juga ga bu ke Dr. Yap? Dateng ke acara sarasehannya gitu?
Belum itu, belum pernah datang.
Itu aja kemaren sempet ada kendala lho itu, saya boleh ngomong jujur. Itu punya e saya itu, ketelingsut itu. Hee. Di Dr Yap.
Kok lama sekali saya ga dapet kartunya, bukan untuk apa-apa tapi kan kalau nanti semisal tiba-tiba saya ga ada, terus ga ada buktinya mau dikasih tunjuk bagaimana gitu lho. Kan ndak ada buktinya, itu kan data-datanya ga ada gitu kan akan sulit gitu.
Ya saya urus, sampe saya urus, saya telepon terus saya minta tolong ke temennya mbak saya ini, kalau pas kebetulan ke sana, mbok tolong ditanyakan. Kan sudah kayak keluarga sendiri juga kan. Dia juga bantu, akhirnya rumah sakitnya ya nghubungi saya, duh bu, ini ketelingsut bu, keliru di bagian apa gitu, dan harusnya masuk ke sekretariat sana itu masuk e ke bagian lain, jadi kan prosesnya kan agak lama. Lama itu prosesnya itu, ya karena itu. Jadi ga ada realisasi juga.
Lalu bagaimana menjaga komitmennya juga?
Mungkin dari awal saya sudah niat lalu yang kedua itu saya bawa dalam doa dan campur tangan Tuhan itu aja jadimemang terus terang sampai saat ini ya ga luntur. Ga luntur, bahkan saya kalau boleh ngomong jujur apa adanya saya itu kadang sampe nangis, supaya.. istilah e nek saya isa mekso Tuhan, saya pekso. Tapi ya tu saya sampe nangis gitu, supaya mata saya ini bisa berguna.
Religiusitas
Subjek bahkan meminta kepada Tuhan agar rumahnya bisa dekat dengan rumah sakit.
Faktor emosional
Subjek kadang menangis saat mengingat akan keputusannya ini.
Kan dari rumah sakit ada formulir donor untuk dibagikan, apakah tidak dicobakan untuk keluarga?
Belum, belum.
Belum, belum kayak gitu kan panggilan to mas? Ya to? Biar kita mau dorong bagaimana kan kalo memang ndak terpanggil kan..
Tapi sudah pernah dicoba bu? Saya belum, cuma saya minta ijin aja. Minta ijin, ya sudah. Kepikiran untuk mendonorkan
yang lain ga bu?
Hee, minimal jantung sama mata, tapi ni belum. Saya sih masih kepikiran lagi Sardjito, tu prosesnya di Sardjito to? Tu ribet itu katanya gitu tp yo belum.. belum.. belum.. saya belum pernah ke situ. Jadi masih ngebayang wah ribet, piye yo. Masih, masih pertimbangan, masih terus. Sekarang memang belum terpanggil, tapi kalau yang mata sudah mantep sampe saya juga ngomong ma sahabat saya yang dekat sama saya, yang saya jadikan saksi itu. Nanti nek aku dulu yang meninggal tolong kamu kasih tahu rumah sakit Yap. Jadi, itu amanat mu yo mbak? Yo ni amanat aku, tolong ya, gitu.
Nilai-nilai altruisme
Subjek berkeinginan untuk mendonorkan jantunganya.
Ya,mungkin itu aja bu. Terima kasih ya atas kerja samanya.
Ya. Sama-sama.
B. Wawancara dengan Anak Subjek
Pertanyaan Jawaban Tema
Namanya siapa? Saya E. A. S, biasa dipanggil E. Terus, umurnya berapa sekarang? 18tahun
Kegiatannya sekarang? Kuliah di Universitas Swasta di Semarang ambil jurusan pendidikan bahasa Inggris.
Agamanya? Katolik
Bisa berikan sedikit latar belakangmu? Tentang keluarga, pendidikan?
Oh, SD dan TK tu swasta di Magelang, trus SMP, SMA di negeri Magelang juga. Negeri semua trus kuliah, ya di sini ni,di Yogya. Kalau keluarga sih, aku anak pertama dari dua bersaudara. Terus, apa lagi ya?
Hubungan? Hubungan dalam keluarga mu seperti apa ik?
Aku paling deket ma mamah, mamah sama papah. Kalo sama adek biasanya suka berantem. Apa ya? Aku tuh dibiasakan, dari kecil dididik dan dibiasakan kalau ada apa-apa entah itu baik atau buruk tuh slalu cerita sama orang tua. Sampai sekarang yang bikin deket ya itu.
Ga penting sampai yang penting tu orang tua pasti tahu. Jadi ya deket gitu.
Pendapatmu tentang mami mu sendiri?
Wah, mami is a great mom. Iya. Dalam semua hal juga. Gila aja kalau mami ga ada. Ga bisa membayangkan kalu ga da mami sampai aku sedewasa ini.
Pokoknya mami tu berarti banget buat aku. Apa ya? Aku kehabisan kata-kata nih.. Lebih jauh lagi, mau tanya tentang
donor mata yang dilakukan ma mamimu. Tu kamu tahunya kapan?
Tau nya.. kapan ya.Waktu SMA kalau ga salah inget. Waktu itu pertamanya aku shock. Ngapain sih mamah, itu tuh kayak sesuatu yang ga biasa di sini. Ya to? Makan nya shock trus agak mbok jangan, mbok jangan.
Pernah ngomong ke mamah mu kayak gitu?
Pernah, pernah. Pernah bilang mbo jangan. Apa ya? Malah aku yang ga rela gitu.
Ga rela kenapa? Matanya mamah dipakai orang. Ya itu kan punya mamah. Ya, ya, anak kecil banget ya.
Lhoh memang mamimu cerita ke kamunya kayak gimana?
Ya tiba-tiba cerita. Kalau ga salah inget itu, mamah kayaknya terpanggil, mamah menggunakan istilah terpanggil untuk mendonorkan mata mamah ke orang lain, karena banyak yang membutuhkan.
Nilai-nilai altruisme
Anak subjek melihat bahwa ibunya terpanggil karena banyak orang yang membutuhkan.
Terus, waktu itu tanggapanmu? Jadi, yang pertamanya pasti diem, terus ya itu, shock sih. Terus ya langsung bilang ga boleh. Kenapa sih, harus gitu nolong, orang kan ga harus, istilahnya ga sampe segitunya gitu. Ya itu tanggapan pertama ku.
Ya itu, mamah terpanggil, terus pengennya tu berbagi gitu, sama orang-orang. Mamah dapetnya gratis, mamah juga pengen ngasihnya gratis. Itu yang sampe sekarang, duh… inget trus.Ya, dari awal sampe akhir, kalau tanya tu jawabannya ga pernah berubah.
Nilai-nilai altruisme
Anak subjek melihat bahwa ibunya terpanggil karena banyak orang yang membutuhkan.
Lalu tanggapan papi ma adikmu gimana?
Kalau adek mungkin belum mudeng ya, cuma kalo papah mah, apa ya?
Selalu kasih kebebasan sih, sama mamah. Selama itu masih baik dan positif tu it’s fine, ok-ok aja.
Kepribadian subjek
Subjek termasuk orang yang selalu memberikan kebebasan pada anaknya.
Ini terkait dengan apa yang diajarin mamahmu ga sih?
Iya sih, kalau mamah-papah tu, terutama mamah sih selalu ngasih kebebasan yang bertanggung jawab. Itu dari kecil. Ya, ini nih, kayak milih pendidikan ni, malah papah yang rada kolot, kalau pilih yang jauh-jauh tuh, jangan kamu anak