• Tidak ada hasil yang ditemukan

84

I

M

ereka mengusir kami dari Taman Firdaus itu dengan todongan pedang api, malaikat-malaikat yang bengis.

Dan apa yang sudah kami perbuat? Kami tidak berbuat jahat.

Kami bodoh dan bertindak seperti yang mungkin dilakukan anak-anak lain. Kami tidak tahu bahwa sungguh keliru untuk ti-dak taat kepada perintah, lantaran kata-kata itu asing bagi kami dan kami tidak mengerti. Kami tidak dapat membedakan yang benar dari yang salah—bagaimana kami tahu? Kami tidak bisa, tanpa Perasaan Moral, dan itu mustahil. Kalau saja kami mula- mula diberi Perasaan Moral—ah, itu akan menjadi lebih adil, itu akan lebih baik, maka kami harus disalahkan kalau sekiranya kami tidak taat. Namun, mengatakan kepada kami anak-anak bebal yang malang, kata-kata yang tidak bisa kami pahami, dan kemudian menghukum kami karena kami tidak bertindak se-bagaimana yang mereka perintahkan, se-bagaimana hal itu dapat dibenarkan? Saat itu apa yang kami tahu tidak lebih dari yang diketahui anak terkecil kami sekarang, yang berumur empat ta-hun—oh, tidak setua itu kukira.

Akankah aku berkata kepadanya, “Kalau kaumenyentuh roti ini, akan kuberi kaumalapetaka yang tidak terbayangkan, bah-kan sampai anggota tubuhmu tercerai-berai,” dan ketika dia mengambil roti dan tersenyum tepat di depan mukaku, berpikir tidak berbuat salah, sebab tidak memahami kata-kata ganjil

itu, akankah aku mengambil kesempatan atas keluguannya dan menggamparnya dengan tangan ibu yang dia percayai? Barang-siapa yang mengenal hati ibu, biarlah dia menghakimi kalau dia melakukan hal itu. Adam bilang otakku dikacaukan oleh persoalan- persoalan yang kuhadapi dan bahwa aku menjadi ja-hat. Aku sebagaimana aku, aku tidak menciptakan diriku sendi-ri. Mereka mengusir kami keluar. Mengusir kami ke alam be-lantara liar dan menutup gerbang yang tak dapat kami masuki.

Kami yang tidak berniat jahat. Itu tiga bulan. Kami dungu wak-tu iwak-tu, kami kaya akan pelajaran sekarang—oh, kami sungguh kaya! Kami mengenal lapar, haus, dan dingin, kami mengenal sakit, penyakit, dan kesedihan, kami mengenal benci, pembang-kangan, dan tipu daya, kami mengenal penyesalan, kesadaran yang menuntut kesalahan dan ketidakpedulian seakan- akan ti-dak membuat pembedaan, kami mengenal kepenatan tubuh dan jiwa, tidur yang gelisah, istirahat yang tak beristirahat, mimpi- mimpi yang mengembalikan Taman Firdaus, dan membuang lagi semuanya sewaktu kami terjaga, kami mengenal pende-ritaan, kami mengenal siksaan dan patah hati, kami mengenal penghinaan dan cercaan, kami mengenal ketidakesenonohan, kelancangan, dan pikiran busuk, kami mengenal cemooh yang tersemat pada sosok utusan Tuhan yang muncul tanpa selubung di hari itu, kami mengenal rasa takut, kami mengenal kecong-kakan, kedunguan, kedengkian, kemunafikan, kami mengenal kelancangan, kami mengenal hujatan. Kami dapat membeda-kan yang baik dari yang jahat dan bagaimana menghindari yang satu dan mengamalkan yang lain, kami mengenal semua hasil yang melimpah ruah dari Perasaan Moral, dan itu adalah milik kami. Seandainya kami bisa menjualnya dengan imbalan waktu

86 | Mark Twain

satu jam berada di Taman Firdaus dan kemurnian yang putih cemerlang, seandainya kami dapat menghinakan binatang de-ngan itu!

Kami punya semua itu—harta karun itu. Semuanya kecuali ke-matian. Kematian ... kematian, apakah itu?

Adam datang.

“Jadi?”

“Dia masih tidur.”

Itu adalah anak kedua kami—Habil kami.

“Dia sudah cukup tidur demi kebaikannya, dan taman ini men-derita menginginkan perhatiannya. Bangunkan dia.”

“Sudah kucoba tapi dia tidak bangun.”

“Kalau begitu dia pasti lelah sekali. Biarkan saja dia tidur.”

“Kupikir dia tidur lama sekali lantaran dia sakit.”

Kujawab: “Boleh jadi begitu. Kalau begitu akan kita biarkan dia beristirahat, tidak ragu lagi tidur ini memulihkan keadaannya.”

II

Sudah sehari semalam sekarang, dia sudah tidur. Kami mene-mukannya di meja persembahan ladangnya, pagi itu, wajah dan tubuhnya basah kuyup dalam genangan darah. Kata dia, dia dipukul kakaknya. Selanjutnya dia tidak berkata apa-apa lagi dan jatuh terlelap. Kami membaringkannya di tempat tidurnya dan membersihkan tubuhnya, kami senang mengetahui bahwa luka itu tergolong ringan dan dia tidak mengerang kesakitan

karena kalau dia kesakitan, dia tidak akan bisa tidur.

Itu terjadi pagi-pagi sewaktu kami menemukannya. Sepanjang hari dia terlelap dalam tidur yang manis, letih, selalu berba ring telentang, dan tidak pernah bergerak, tidak pernah berbalik.

Itu menunjukkan betapa penat dirinya, makhluk yang malang.

Dia begitu baik dan bekerja sangat keras, bangun saat fajar me-nyingsing dan bekerja sampai gelap membayang. Dan sekarang dia kelelahan, akan lebih baik kalau dia mengurangi bebannya, sesudah ini, dan akan kusuruh berbuat begitu, dia akan lakukan apa pun yang kuminta.

Sepanjang hari dia tidur. Aku tahu karena aku selalu berada di dekatnya, dan membuat makanan untuknya dan senantia-sa menghangatkan makanan itu kalau-kalau dia bangun. Kerap aku merangkak masuk dan memuaskan mataku dengan mena-tap wajahnya yang lembut, dan mensyukuri tidur yang terber-kati itu. Dan dia masih terlelap—tidur dengan mata terbuka, hal yang janggal, dan pada mulanya membikin aku sempat be-ranggapan bahwa dia sudah terjaga, tetapi ternyata tidak karena sewaktu kuajak bicara, dia tidak menanggapi. Dia selalu men-jawab kalau kuajak bicara. Qabil sesuka hatinya dan tidak akan menjawab, tetapi Habil tidak.

Aku duduk di sampingnya sepanjang malam, khawatir dia ter-bangun dan ingin makan. Wajahnya sangat putih, dan wajah itu berubah, dan dia tampak seperti waktu dia masih anak ke-cil di Taman Firdaus dahulu kala, begitu manis dan baik dan menyenangkan. Wajah itu membawaku lagi melewati jurang bertahun-tahun, dan aku hanyut dalam mimpi-mimpi dan air mata—oh, waktu, pikirku. Kemudian aku sampai pada diriku sendiri, dan menyangka dia bergerak, kucium pipinya untuk

88 | Mark Twain

membangunkannya, tetapi dia tetap terlelap dan aku kecewa.

Pipinya dingin, aku membawakan kantong wol dan bulu- bulu burung dan menyelimutinya, tetapi tubuhnya tetap saja di-ngin, dan kubawakan lebih banyak lagi benda-benda itu. Adam datang lagi, dan tubuh Habil belum juga menghangat. Aku ti-dak paham.

III

Kami tidak dapat membangunkannya! Dengan tanganku men-cengkeram erat dirinya aku menatap ke dalam matanya, lewat bening air mataku, dan memohon agar dia mengucapkan satu kata pendek, dan dia tidak menyahut. Oh, inikah tidur panjang itu—inikah kematian? Dan apakah dia tidak akan bangun lagi?

DARI CATATAN HARIAN IBLIS

Kematian telah memasuki dunia, makhluk-makhluk itu mus-nah, satu dari Keluarga itu sudah mati, hasil dari Perasaan Moral sudah lengkap. Keluarga itu menderita lantaran ulah maut—

mereka akan mengubah pikiran mereka.