• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DOMINASI DAN HEGEMONI KERAJAAN DEMAK

3.1 Kerajaan Demak

3.1.2 Hegemoni Kerajaan Demak Terhadap kaum Tionghoa

3.1.2.2 Hegemoni Politik Kerajaan Demak

Hegemoni politik merujuk pada pengertian bahwa masyarakat sipil yang menentukan jalannya suatu negara melalui tangan suatu kelompok yang mendominasi dengan seperangkat aturan hukum. Hukum dan aturan politik digunakan untuk menjalankan suatu roda pemerintahan (Patria- Arif 2005: 133).

Kerajaan Demak di tangan Raden Patah berusaha untuk memperluas kekuasaannya di pulau Jawa. Raden Patah dari Ngampeldenta adalah putera dari

Prabu Brawijaya V yang berasal dari salah seorang selirnya yaitu Putri Cina. Kaum Tionghoa pada masa kerajaan Demak dipaksa tunduk pada aturan yang telah dibuat oleh kerajaan Demak. Pelarangan tersebut nampak dalam titah/ perintah Raden Patah kepada kaum Tionghoa seperti dalam kutipan berikut ini:

“Tak ada lagi barongsai, samsi, liong atau leang-leong, serta wayang potehi yang dulu pernah menghibur banyak orang, dan bahkan disukai juga oleh orang-orang pribumi. Orang-orang Cina juga tidak mudah menjalankan ibadat mereka di kelenteng-kelenteng”. (Sindhunata, 2007:110).

Berdasarkan kutipan di atas, titah Raden Patah menyatakan bahwa kaum Tionghoa dilarang untuk menyelenggarakan akitivitas sosial budaya leluhur mereka sendiri. Pelarangan ini merupakan bentuk dari kekuasaan politik yang telah diperoleh Raden Patah setelah berhasil menaklukkan kerajaan Majapahit. Kaum Tionghoa diarahkan oleh kerajaan Demak menjadi suatu golongan yang ekslusif sehingga dapat menimbulkan kebencian serta stereotype oleh kalangan rakyat biasa.

Melalui hegemoni politik yang telah diperoleh Raden Patah, pihak penguasa membuat stereotype terhadap Kaum Tionghoa. Stereotype terbentuk berdasarkan suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas dan biasanya berkonotasi negatif. Stereotype bisa menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang akhirnya akan semakin menutup diri masing-masing kelompok dan memperkuat stereotype itu sendiri (Hariyono :1994:57). Stereotipe ini tergambar dalam kutipan berikut ini:

“Begitu terjadi pertikaian, orang Cina menjadi salah karena gila dagang sehingga tak memberi kesempatan pada orang lain untuk berdagang”. (Sindhunata, 2007: 80).

Stereotype manusia Cina biasa disebutkan sebagai orang yang memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet, namun juga dengan mudah menghambur-hamburkan materi, suka berpesta dan berspekulasi (Hariyono: 1994: 58).

Selain melalui pembuatan aturan pelarangan penyelenggaraan kegiatan sosial budaya, kerajaan Demak dengan cerdik menggunakan hegemoni politik yang mereka miliki dengan cara memperalat Raden Patah yang merupakan anak dari seorang kaum Tionghoa untuk melawan ayahnya sendiri yaitu Prabu Brawijaya.

Raden Patah yang telah berhasil didoktrin oleh Sunan Ampel secara „tidak sengaja‟ dijodohkan dengan sanak keluarganya sendiri. Dia diusahakan untuk menjadi bagian dari keluarga guru agamanya tersebut. Di Ngampeldenta Raden Patah menikah dengan cucu Sunan Ampel yaitu Nyai Ageng Mendaka, seperti yang dijelaskan dalam kutipan berikut ini :

Sementara itu, Raden Patah tetap mendalami ilmunya di Ngampeldenta Sunan Ngampeldenta kemudian mengambilnya menjadi menantu. Ia mengawinkan Raden Patah dengan cucunya, Nyai Ageng Mendaka, anak Nyai Ageng Manyura, putri sulungnya (Sindhunata, 2007: 28).

Setelah menikah kemudian Raden Patah menjadi lebih terlegitimasi dan lebih aktif dalam penyebaran agama Islam. Raden Patah telah mendapat pengakuan dari Sunan Ampel sendiri. Oleh sebab itu, Sunan Ampel menilai Raden Patah layak untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pulau Jawa. Kerajaan Demak ingin

melanggengkan hegemoni yang telah mereka miliki untuk selama-lama, meskipun kekuasaan itu diperoleh dengan cara pertumpahan darah. Keadaan yang demikian membuat kehidupan kaum Tionghoa menjadi tidak nyaman lagi.

Kerajaan Demak yang menebar konflik di bumi Majapahit berusaha untuk lepas tangan atas apa yang mereka perbuat. Mereka berusaha untuk mencari pihak yang layak dipersalahkan atas kekacauan yang terjadi. Kerajaan Demak menggunakan kekuasaan politik yang mereka miliki. Oleh sebab itu, kerajaan Demak menjadikan kaum Tionghoa sebagai tameng untuk melegitimasi perbuatannya.

Keadaan ini diperparah dengan sikap dan perilaku kaum Tionghoa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan hidup Jawa. Kaum Tionghoa dirasa hanya mau mementingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kutipan berikut ini:

Harta. Kekayaan. Pelit. Gila dagang. Apa salahnya orang Cina dengan itu semuanya? Tidak, mereka tidak salah karena mereka memiliki harta, kekayaan, pelit, dan gila dagang. Mereka bersalah, karena mereka lupa dan tidak peduli, bahwa sewaktu-waktu mereka bisa disalhkan dan dikorbankan, bila sedang terjadi pertikaian (Sindhunata, 2007: 80).

Perilaku kaum Tionghoa yang mementingkan dirinya sendiri membuat mereka semakin menjadi terpinggirkan. Rasa toleransi terhadap kaum Tionghoa menjadi hilang sehingga dengan mudah pihak penguasa menghasut rakyat untuk membenci kaum Tionghoa. Berbagai propaganda dan hasutan yang diprakasai pihak penguasa menemui titik temunya. Momentum kebencian kalangan bawah kaum Jawa terhadap kaum Tionghoa dengan lihai dipergunakan oleh pihak penguasa untuk

mengorbankan kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atas kekacauan yang terjadi. Hal tersebut dituliskan dalam kutipan berikut ini:

“Mudah, Sinuwun. Sekali lagi hamba katakan, itu sungguh mudah! Alihklan saja segala kekerasan yang mau pecah itu kepada orang-orang Cina. Setelah itu Sinuwun akan mengendalikan keadaan dengan lebih mudah” kata Patih Wrenggono. Ia tersenyum tanpa perasaan (Sindhunata, 2007: 134).

Berdasarkan kutipan di atas terlihat jelas bahwa pihak penguasa berusaha untuk menjadikan Kaum Tionghoa sebagai kambing hitam atas kekacauan yang mereka perbuat. Pihak penguasa menghasut golongan rakyat Jawa untuk menimbulkan api kebencian terhadap Kaum Tionghoa yang berada di dalam ketakutan dan berhati- hati dalam beraktivitas.

Selain sebagai diposisikan sebagai kambing hitam Kaum Tionghoa dideskripsikan memiliki harga diri di mata rakyat pribumi. Kaum Jawa dalam hal ini direpresentasikan oleh kerajaan Demak menjadikan kaum Tionghoa layaknya sebuah boneka mainan belaka. Kaum Tionghoa diperlakukan semena-mena oleh pihak penguasa untuk menjadikan kaum Tionghoa sebagai “sapi perahan” seperti dalam kutipan berikut ini:

“Mereka memang menjadi luar biasa kaya. Tapi mereka tidak ingat, bahwa dengan demikian mereka ditaruh di titik rawan yang paling gawat. Ya, mereka tidak sadar bahwa, mereka dijadikan sandaran yang enak bagi keluarga dan pengikut Prabu Amurco Sabdo dalam menambah nikmat. Mereka bangga, karena mau bekerja keras, padahal keringat mereka sedang diperas. Kelihatannya mereka kaya, dan hidup mewah padahal diam-diam mereka habis-habisan diperah” (Sindhunata, 2007: 104).

Harga diri kaum Tionghoa yang sudah tidak ada lagi di mata rakyat pribumi. Eksistensi Kaum Tionghoa dalam kehidupan masyarakat pribumi menjadi tidak

terlihat lagi. Strata sosial kaum Tionghoa yang dahulunya menjadi golongan yang dipandang dalam sistem sosial masyarakat pribumi menjadi tidak dihiraukan. Kaum Tionghoa menjadi tidak berpengaruh lagi dan hal ini merupakan dampak dari politisasi yang dilakukan oleh penguasa Medang Kamulan.

Kedudukan kaum Tionghoa yang telah lemah di hadapan rakyat memudahkan pihak penguasa untuk memperlakukan kaum Tionghoa sesuai dengan kehendak penguasa. Kaum Tionghoa menjadi “kambing hitam” ketika keadaan politik di kerajaan tidak stabil seperti kutipan di bawah ini:

“Senapati, kuakui memang aku memberi kesempatan kepada orang-orang Cina. Kuakui mereka telah banyak membantu aku dengan kekayaan mereka. Kupuji mereka sebagai orang-orang yang mau bekerja keras. Semata-mata hanya supaya kekayaan mereka bisa kuperas. Sementara kubiarkan mereka terus menumpuk harta, dan menjadi semakin kaya, menuruti keserakahan mereka. Dengan demikian mereka menjadi kelompok yang menimbulkan kecemburuan dan iri. Kecemburuan dan keirian terhadap mereka itu sudah ada di dalam diri rakyat negeri ini. Sekarang, negeri ini sedang dilanda kekacauan. Kalau menyulut api kebencian dan keiirian terhadap orang Cina itu adalah satu-satunya jalan dan celah untuk menyelamatkan negeri ini dari kekacauan, mengapa hal itu tidak kita kerjakan?” kata Prabu Amurco Sabdo” (Sindhunata, 2007:135).

Berdasarkan kutipan di atas, Kaum Tionghoa menjadi “Kambing hitam” untuk menyelamatkan keadaan kerajaan Medang Kamulan dari kekacauan. Kaum Tionghoa dimanfaatkan oleh Prabu Amurco Sabdo untuk menstabilkan kembali keadaan politik di Medang Kamulan. Prabu Amurco Sabdo tidak lagi mempedulikan kehidupan kaum Tionghoa.

Dokumen terkait