• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.4 Hematologi Ikan

Sistem peredaran darah melayani banyak fungsi, namun secara umum adalah sebagai sistem transportasi, antara lain untuk transportasi oksigen, karbondioksida, sari-sari makanan, maupun hasil metabolisme. Darah membawa substansi dari tempatnya dibentuk ke semua bagian tubuh dan menjaga tubuh dapat melakukan fungsinya dengan baik (Fujaya, 2002). Pengetahuan tentang sistem peredaran darah dapat membantu dalam memahami efek dari beberapa masalah kesehatan ikan, baik yang disebabkan penyakit menular maupun tidak menular (Wedemeyer, 1990). Penyimpangan fisiologis ikan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada gambaran darah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Parameter darah yang dapat memperlihatkan adanya gangguan adalah nilai hematokrit, konsentrasi haemoglobin, jumlah eritrosit (sel darah merah), dan jumlah leukosit (sel darah putih) (Lagler et al., 1977).

22 Keterangan, data (rerata hematologi) pada waktu pengamatan yang sama dengan huruf berbeda

menunjukkan perbedaan hasil yang nyata (p<0,05)

Gambar 8. Jumlah eritrosit (A) ; Total leukosit (B) ; Kadar hemoglobin (C) ; Kadar hematokrit (D) ikan lele Clarias sp. pada perlakuan pemberian imunostimulan lidah buaya (10 ppt ( ), 20 ppt ( ), dan 40 ppt ( ), KN ( ), KP ( ) pasca uji tantang.

Darah akan mengalami perubahan yang serius khususnya apabila terkena penyakit infeksi (Amlacher, 1970). Berdasarkan gambar 8A, 8B, 8C, dan 8D dapat diketahui bahwa secara kualitatif pemberian ekstrak lidah buaya memberikan pengaruh terhadap jumlah eritrosit, total leukosit, kadar hemoglobin dan hematokrit. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan nilai kontrol positif yang selalu lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, mulai H3 sampai H8.

Hasil gambaran darah pada H3 pasca uji tantang, menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lidah buaya terlihat memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah eritrosit (Gambar 8A), kadar hemoglobin (Gambar 8C), dan nilai hematokrit (Gambar 8D). Jumlah eritrosit pada perlakuan kontrol negatif dan perlakuan dosis 10 ppt berbeda nyata dengan kontrol positif, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 20 ppt dan 40 ppt (Lampiran 8). Nilai hematokrit kontrol negatif berbeda nyata dengan perlakuan dosis 10 ppt dan kontrol positif,

A B

D C

23 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 20 ppt, dan 40 ppt (Lampiran 10). Kadar hemoglobin perlakuan kontrol positif memiliki nilai paling rendah dan berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (Lampiran 11).

Hasil gambaran darah pada H5 pasca uji tantang, menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lidah buaya tampak tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) terhadap total leukosit (Gambar 8B), kadar hemoglobin (Gambar 8C) dan nilai hematokrit (Gambar 8D). Pemberian ekstrak lidah buaya hanya tampak memberikan pengaruh nyata tarhadap nilai eritrosit (Gambar 8A). Nilai eritrosit kontrol positif menunjukkan nilai yang paling rendah dan berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan lainnya (Lampiran 8).

Hasil gambaran darah pada H8 pasca uji tantang, menujukkan bahwa pemberian ekstrak lidah buaya terlihat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada jumlah eritrosit (Gambar 8A), total leukosit (Gambar 8B), kadar hemoglobin (Gambar 8C), dan nilai hematokrit (Gambar 8D).

Jumlah eritrosit pasca uji tantang (Gambar 8A) khusunya pada H3, menunjukkan kecenderungan semakin menurun. Hal ini dikarenakan enzim hemolisin yang merupakan salah satu eksotoksin dari A. hydrophila memiliki kemampuan untuk melisis sel darah merah, sehingga jumlah sel darah merah pada pembuluh darah berkurang. Terjadinya peningkatan sel darah merah pada H5 pada perlakuan dosis, menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak lidah buaya mampu meredam infeksi akibat serangan bakteri A. hydrophila, sehingga produksi hemolisin berkurang, dan jumlah sel darah merah dapat kembali meningkat.

Gambar 8B menunjukkan bahwa total leukosit setelah infeksi pada semua perlakuan (KP, 10 ppt, 20 ppt, dan 40 ppt) mengalami penurunan. Penurunan leukosit ini menunjukkan bahwa ikan mengalami infeksi, sehingga leukosit yang berfungsi sebagai pertahanan non spesifik digunakan untuk melokalisasi dan mengeliminir patogen melalui fagositosis. Anderson (1993), menyatakan leukosit merupakan salah satu komponen darah yang berfungsi sebagai pertahanan non spesifik yang akan melokalisasi dan mengeliminir patogen melalui fagositosis.

Hematokrit merupakan perbandingan antara volume sel darah dan plasma darah. Hasil yang relatif tidak berbeda dengan kontrol menunjukkan bahwa

24 ekstrak lidah buaya sebagai immunogenic tidak berdampak negatif pada kondisi ikan. Menurut Kwang (1996) sejauh ini pemberian immunostimulan tidak mempunyai efek samping. Gambar 8D menunjukkan bahwa nilai hematokrit setelah infeksi mengalami penurunan pada perlakuan kontrol positif dan perlakuan dosis 10 ppt. Penurunan nilai hematokrit ini mengindikasikan bahwa tingkat infeksi pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila. Sesuai pendapat Wedemeyer dan Yasutake (1977), menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein, defisiensi vitamin atau ikan mendapatkan infeksi. Secara kualitatif, kadar hematokrit pada ikan kontrol positif selalu lebih rendah dibanding dengan perlakuan uji lainnya mulai dari awal sampai dengan akhir perlakuan. Akan tetapi hanya berbeda nyata pada pengamatan kadar hematokrit H3. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan ekstrak lidah buaya pada pakan mampu mempercepat proses penyembuhan infeksi yang disebabkan oleh bakteri A. hydrophila, dibanding ikan yang tidak diberikan tambahan ekstrak lidah buaya pada pakan (kontrol positif).

Menurut Angka (2001), jumlah eritrosit ikan lele normal adalah 3,18 x 106 sel/ml. Leukosit merupakan jenis sel yang aktif di dalam sistem pertahanan tubuh. Leukosit memiliki ciri-ciri tidak berwarna dan jumlah leukosit ikan lele sehat berkisar antara (20-150) x 103 sel/mm3 (Alamanda, 2006).

3.5 Pengamatan Organ Dalam

Hasil pengamatan organ dalam ikan lele pada akhir percobaan diketahui adanya perbedaan antara ikan perlakuan kontrol positif, kontrol negatif, perlakuan dosis 10 ppt, 20 ppt, dan 40 ppt (Gambar 9). Organ dalam yang diamati meliputi organ hati, limpa, empedu, dan ginjal. Pada organ limpa, tidak nampak perbedaan yang mencolok. Perbedaan yang signifikan nampak pada organ hati, empedu, dan ginjal. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa organ dalam pada perlakuan 10 ppt, 20 ppt, dan 40 ppt memiliki kondisi yang sama atau mendekati perlakuan kontrol negatif (normal), yaitu hati berwarna merah kecoklatan dan empedu berwarna hijau tua. Kelainan organ dalam dapat terlihat pada perlakuan kontrol positif, yaitu pada

25 organ hati dan empedu yang berwarna pucat kekuningan. Selain itu organ ginjal pada kontrol positif dan perlakuan dosis 10 ppt, tampak berwarna lebih pucat dan membengkak. Menurut Angka (2001), A. hydrophila mampu mengeluarkan eksotoksin yang menyebabkan kerusakan pada organ target, yaitu hati dan ginjal serta akan menimbulkan perubahan histopatologi pada organ tersebut. Kordi (2004) menambahkan bahwa serangan A. hydrophila dapat mengakibatkan pembengkakan limpa dan ginjal.

Gambar 9. Organ dalam ikan lele Clarias sp. pada perlakuan pemberian imunostimulan lidah buaya (10 ppt, 20 ppt, 40 ppt), KN, KP pada akhir percobaan (keterangan : a = hati ; b = empedu ; c = ginjal ; d = limpa).

Aeromonas hydrophila yang patogen, diduga memproduksi faktor-faktor eksotoksin dan endotoksin, yang sangat berpengaruh pada patogenitas bakteri ini. Menurut Angka (2001) toksin yag dihasilkan oleh A. hydrophila adalah eksotoksin serta struktur dinding sel berupa fosfolipid dan karbohidrat (lipopolysacharida) yang dikenal sebagai endotoksin. Endotoksin dapat menyebabkan radang, demam dan rejatan (shock) pada hewan inang. Endotoksin dilepaskan hanya bila sel dari bakteri tersebut hancur karena lisis. Karena itu, umunya endotoksin hanya memegang peranan membantu dalam menyebarkan

20 ppt 40 ppt

10 ppt

26

penyakit. Eksotoksin yang diproduksi oleh Aeromonas hydrophila meliputi hemolisin, protease, elastase, lipase, sitotoksin, enterotoksin, gelatinase, kaseinase, lecithinase dan leucocidin. Hemolisin merupakan enzim yang mampu melisiskan sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobinnya. Protease adalah enzim proteolitik yang berfungsi untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk berkembangnya penyakit dan mengambil persediaan nutrient inang untuk berkembangbiak.

Perubahan warna hati dan empedu adalah karena pada masa infeksi, kerja hati untuk menimbun zat-zat metabolik dan serta menetralkannya kembali menjadi meningkat. Karena kinerja hati yang meningkat itulah, pigmen warna pada empedu juga mengalami peningkatan. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri A. hydrophila sebagai produk ekstraseluler merupakan racun bagi ikan yang dapat menyebabkan perubahan warna dan struktur organ dalam organisme yang terinfeksi (Lallier & Daigneault, 1984). Perubahan warna cairan empedu disebabkan karena adanya gangguan pada organ hati sehingga menghambat pembongkaran hemoglobin eritrosit menjadi hemin, Fe dan globin sehingga produksi hemin sebagai zat asal warna empedu menurun (Hafsah, 1994).

Dokumen terkait