• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sri Harto (1993) mengembangkan hidrograf satuan sintetik berdasarkan perilaku hidrologis di 30 DAS di Pulau Jawa. Meskipun hidrograf ini dikembangkan hanya di pulau jawa, ternyata masih relevan untuk digunakan di seluruh daerah lain di Indonesia.

Permasalahan lain yang timbul dari penggunaan hidrograf satuan tersebut ialah diperlukannya data yang baik, yaitu (1) data AWLR, (2) data pengukuran debit, (3) data hujan harian dan (4) data dengan durasi per jam. Kerumitan selanjutnya disebabkan untuk menginventarisasi data yang tersedia. Untuk mengatasi hal ini maka dikembangkan suatu cara untuk mendapatkan

hidrograf-15

satuan tanpa mempergunakan data tersebut atau yang lebih dikenal dengan hidrograf satuan sintetik.

HSS Gama I terdiri dari tiga bagian pokok yaitu, (1) sisi naik (rising clim), (2) puncak (crest), (3) sisi turun (recession clim) yang ditentukan oleh nilai koefisien tampungan (K) yang mengikuti persamaan berikut:

Qt = Qp (e)-t/K [19]

dengan:

Qt = debit pada jam ke t (m3/d) Qp = debit puncak (m3/d)

t = waktu saat terjadinnya debit puncak (jam) K = koefisien tampungan (jam)

Persamaan-persamaan yang digunakan dalam HSS Gama adalah: 1. Waktu puncak HSS Gama I (TR)

= , �� + , + , [20]

2. Debit Puncak Banjir (QP)

= , . − , . [21] 3. Waktu dasar (TB) = , , − , , [22] 4. Koefisien resesi (K) = , , − , − , , [23] 5. Aliran dasar (QB) = , , , [24]

16

dimana:

A = luas das (km2),

L = panjang sungai utama (km), S = kemiringan sungai,

SF = faktor sumber, perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat, SN = frekuensi sumber, perbandingan antara jumlah pangsa sungai

tingkat satu dengan jumlah pangsa sungai semua tingkat, WF = faktor lebar, perbandingan antara DAS yang diukur dari titik

sungai yang berjarak 0,75L dengan lebar DAS yang diukur dari di sungai yang berjarak 0,25L dari stasiun hidrometri, JN = jumlah pertemuan sungai,

SIM = faktor simetri, hasil perkalian antara WF dengan luas DAS di sebelah hulu (RUA),

RUA = luas DAS sebelah hulu, perbandingan antara luas DAS yang diukur dari di hulu garis yang ditarik tegal lurus garis hubung antara stasiun hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS melalui titik tersebut,

D = kerapatan jaringan kuras, jumlah pajang sungai semua tingkat tiap satuan DAS,

17

Gambar 2.3 Sketsa penetapan WF. (sumber: Triatmodjo. Hidrologi Terapan. 2008)

Gambar 2.4 Sketsa penetapan RUA. (sumber: Triatmodjo. Hidrologi Terapan. 2008)

Penetapan tingkatan-tingkatan sungai dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Sunngai-sungai yang berada di paling ujung adalah sungai-sungai tingkat satu.

18

2. Apabila dua buah sungai dengan tingkat yang sama bertemu akan terbentuk sungai dengan satu tingkat lebih tinggi.

3. Apabila sebuah sungai bertemu dengan tingkat yang lebih rendah, maka tidak ada kenaikan pada tingkat sungai. Hal ini dapat disaksikan dalam Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Sketsa penetapan tingkatan sungai. (sumber: http://pengertian-definisi.blogspot.co.id/2011/09/pola-pengaliran-dan-penyimpanan-air-das.html)

Penetapan parameter-parameter yang disebutkan diatas dapat dilakukan dengan mudah, namun memelukan ketelitian, kesabaran dan peta yang digunakan menggunakan skala 1 : 25.000. Oleh karena itu, pengukuran paling tidak dilakukan minimal tiga kali untuk mendapatkan estimasi pengukuran yang lebih baik.

Selanjutnya persamaan tambahan yang terkait dengan HSS Gama I adalah indeks infiltrasi (Φ indeks). Besarnya Φ indeks didapat dengan persamaan berikut ini:

Φ = , − , . + , .

19

dengan:

Φ indeks = indeks infiltrasi (mm/jam)

Memperhatikan cara-cara diatas maka dapat dilihat bahwa hidrograf satuan yang diturunkan dengan cara tersebut hanya berlaku untuk kedalaman hujan tertentu, atau untuk hujan dengan intensitas tertentu, atau untuk satuan waktu tertentu. Khusus untuk hidrograf satuan Gama I, kedalam hujan yang dipergunakan adalah 1 mm/jam dan berlaku untuk luas DAS maksimum 3250 kilometer.

Debit puncak bisa didapatkan dilacak melalui hasil perhitungan Unit Hydrograph. Kemudian untuk mencari harga kedalaman air bisa diperoleh dari debit puncak (Qp) pada suatu sistem DAS. Debit (Q) pada penampang suatu saluran untuk aliran dinyatakan dengan:

Q = V A [26]

dengan:

= [27]

dimana:

n = koefisien kekasaran manning, R = jari-jari hidraulik (m),

S = kemiringan saluran, A = luas penampang saluran,

Suharyono dalam tesis Mukhlisin (1998) menjabarkan untuk mengetahui terjadinya aliran lahar di daerah Gunung Merapi dilakukan analisis secara grafis terhadap hubungan antara intensitas hujan, hujan kumulatif, dan saat terjadinya lahar, mengacu pada Buku Pedoman Curah Hujan Kritik Untuk Peringatan Dini dan

20

Perintah Pengungsian Akan Terjadinya Lahar yang diterbitkan oleh Departemen Pekerja Umum Jepang, dimana untuk perhitungan parameter hujan menggunakan persamaan berikut:

= ∑ �

= = dengan:

RWA = curah hujan anteseden (mm),

� = koefisien reduksi, = 0,5 (t/T)

t = waktu (hari),

d = tebal curah hujan 24 jam pada hari ke t, T = 0,5 (hari).

77

BAB V PENUTUP 5.1Kesimpulan

Data yang diperoleh melalui hasil eksperimen laboratorium, kemudian hasil analisa bentuk grafik dan pembahasan dapat disimpulkan kedalam beberapa poin berikut ini:

 Intensitas hujan maksimum lebih dari 33 mm/jam dapat menginisiasi aliran debris di Kali Putih. Persentase eskalasi dan resesi perhitugan Persamaan Takahashi masing-masing titik adalah: PU – D2 2 sebesar 1,42%, PU – D2 1 sebesar 4,02%, PU – D1 3 sebesar -14,68%, PU – D1 2 sebesar 3,61%, PU – D1 1 sebesar 4,64%, PU – C10 3 sebesar 123,04%, PU – C10 2 sebesar 11,78%, PU – C10 1 sebesar 13,69%.  Titik awal inisiasi aliran debris yakni pada alur sungai yang memiliki

kemiringan dasar minimum 8 derajat dan memerlukan kedalaman air minimum 0,031 m.

 Kemiringan dasar sungai (θ) dan kedalaman air (ho) merupakan variabel yang berpengaruh besar terhadap Persamaan Takahashi untuk memprediksi kejadian aliran debris.

 Curah hujan anteseden memiliki pengaruh dominan terhadap inisiasi aliran debris. Akan tetapi tidak dapat digunakan sebagai parameter untuk memprediksi kejadian aliran debris.

 Siklus hujan intensitas tinggi yang memicu aliran debris terjadi pada bulan Desember hingga bulan Maret. Sistem pantau disarankan berada

78

pada bangunan sabo PU – C10. Karena hasil analisa penerapan Persamaan Takahashi merupakan yang tertinggi dan diduga sebagai tempat dimulainya aliran debris.

5.2Saran

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan lebar pada luas tampang dan kontur alur sungai yang diprediksi sebagai titik awal inisiasi aliran debris.

2. Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis butrian atau diameter yang mewakili dengan volume 1 m3 endapan deposit.

3. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membangkitkan data debit puncak menggunakan HSS selain Gama I.

4. Dalam satu DPS diharapkan memiliki minimal dua sistem pantau/kamera CCTV untuk mendeteksi inisiasi debris flow.

79

Dokumen terkait