• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Laju pertumbuhan penduduk, tingkat ekonomi yang semakin meningkat, serta perkembangan teknologi yang semakin pesat dari waktu ke waktu mengakibatkan dunia termasuk Indonesia membutuhkan energi yang sangat besar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara merupakan sumber energi utama di Indonesia. Eksploitasi energi yang berlebihan dari sumber daya alam terutama minyak bumi selama ini menyebabkan menipisnya kandungan minyak bumi tersebut, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan krisis energi di seluruh dunia. Minyak bumi adalah sumber energi yang tidak terbarukan, butuh ratusan bahkan jutaan tahun untuk mengkonversi biomassa menjadi minyak bumi. Di antara beberapa jenis BBM, premium cukup dominan penggunaannya sebagai bahan bakar transportasi nasional. Dari tahun ke tahun kebutuhan premium meningkat dan akan terus bertambah sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, wilayah permukiman, perkotaan, dan infrastruktur transportasi.

Krisis energi dan kerusakan lingkungan ini memerlukan penanganan serius. Usaha mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan pengembangan sumber energi alternatif termasuk bioenergi terus diupayakan dan dilakukan. Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berasal dari biomassa. Bioenergi ini adalah salah satu bentuk energi alternatif yang prospektif untuk dikembangkan. Pengembangan bioenergi ini tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang harganya terus melambung, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional. Perhatian masyarakat dunia yang semakin meningkat pada penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan menjadikan pengembangan bioenergi sangat strategis dan menuntut untuk direalisasikan. Oleh karena itu, energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable energy) dan aman lingkungan (green energy) sangat dibutuhkan dan sangat penting untuk diupayakan serta dioptimalkan pengolahan dan penggunaannya.

Biogas seperti metana dan biohidrogen merupakan energi terbarukan yang dihasilkan oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Umumnya bakteri yang menghasilkan biogas adalah bakteri kotoran ternak termasuk kotoran sapi. Gas yang dominan adalah metana dan karbon dioksida disamping juga dihasilkan hidrogen. Hidrogen merupakan

salah satu pilihan energi alternatif karena mudah dikonversi dan tidak merusak lingkungan baik dalam proses pembuatan maupun penggunaannya. Hidrogen adalah unsur paling ringan, sangat mudah terbakar, dan paling banyak terdapat di alam semesta. Unsur ini dikandung oleh air dan semua senyawa organik serta makhluk hidup (Mohsin 2007). Senyawa ini dapat dikembangkan di Indonesia karena bahan bakunya cukup tersedia. Biohidrogen diproduksi dengan memanfaatkan organisme bakteri melalui proses fermentasi atau fotoproduksi untuk merombak substrat organik (limbah atau nonlimbah) menjadi hidrogen (Sirait 2007).

Krisis energi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, pembukaan lahan untuk wilayah pemukiman, dan bertambahnya sarana transportasi mengakibatkan keresahan masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara itu sumber energi yang tersedia cukup menipis dan hanya mengandalkan sumber daya yang tak dapat diperbarui. Oleh sebab itu, energi alternatif yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan perlu dikembangkan. Salah satu sumber energi alternatif adalah biohidrogen. Penelitian tentang biohidrogen masih jarang padahal substrat untuk menghasilkan itu melimpah di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan menghasilkan biogas dengan menggunakan substrat limbah tebu (bagas) dengan bantuan konsorsium bakteri termofilik kotoran sapi melalui teknik fermentasi. Bakteri kotoran sapi dapat menghasilkan biogas sebagai energi alternatif seperti gas metana dan H2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bahwa bioenergi dapat dihasilkan dari limbah tebu dengan bantuan konversi konsorsium bakteri kotoran sapi.

TINJAUAN PUSTAKA

Biogas

Kotoran sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine dan gas seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi antara lain

 

PENDAHULUAN

Laju pertumbuhan penduduk, tingkat ekonomi yang semakin meningkat, serta perkembangan teknologi yang semakin pesat dari waktu ke waktu mengakibatkan dunia termasuk Indonesia membutuhkan energi yang sangat besar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara merupakan sumber energi utama di Indonesia. Eksploitasi energi yang berlebihan dari sumber daya alam terutama minyak bumi selama ini menyebabkan menipisnya kandungan minyak bumi tersebut, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan krisis energi di seluruh dunia. Minyak bumi adalah sumber energi yang tidak terbarukan, butuh ratusan bahkan jutaan tahun untuk mengkonversi biomassa menjadi minyak bumi. Di antara beberapa jenis BBM, premium cukup dominan penggunaannya sebagai bahan bakar transportasi nasional. Dari tahun ke tahun kebutuhan premium meningkat dan akan terus bertambah sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, wilayah permukiman, perkotaan, dan infrastruktur transportasi.

Krisis energi dan kerusakan lingkungan ini memerlukan penanganan serius. Usaha mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan pengembangan sumber energi alternatif termasuk bioenergi terus diupayakan dan dilakukan. Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berasal dari biomassa. Bioenergi ini adalah salah satu bentuk energi alternatif yang prospektif untuk dikembangkan. Pengembangan bioenergi ini tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang harganya terus melambung, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional. Perhatian masyarakat dunia yang semakin meningkat pada penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan menjadikan pengembangan bioenergi sangat strategis dan menuntut untuk direalisasikan. Oleh karena itu, energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable energy) dan aman lingkungan (green energy) sangat dibutuhkan dan sangat penting untuk diupayakan serta dioptimalkan pengolahan dan penggunaannya.

Biogas seperti metana dan biohidrogen merupakan energi terbarukan yang dihasilkan oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Umumnya bakteri yang menghasilkan biogas adalah bakteri kotoran ternak termasuk kotoran sapi. Gas yang dominan adalah metana dan karbon dioksida disamping juga dihasilkan hidrogen. Hidrogen merupakan

salah satu pilihan energi alternatif karena mudah dikonversi dan tidak merusak lingkungan baik dalam proses pembuatan maupun penggunaannya. Hidrogen adalah unsur paling ringan, sangat mudah terbakar, dan paling banyak terdapat di alam semesta. Unsur ini dikandung oleh air dan semua senyawa organik serta makhluk hidup (Mohsin 2007). Senyawa ini dapat dikembangkan di Indonesia karena bahan bakunya cukup tersedia. Biohidrogen diproduksi dengan memanfaatkan organisme bakteri melalui proses fermentasi atau fotoproduksi untuk merombak substrat organik (limbah atau nonlimbah) menjadi hidrogen (Sirait 2007).

Krisis energi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, pembukaan lahan untuk wilayah pemukiman, dan bertambahnya sarana transportasi mengakibatkan keresahan masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara itu sumber energi yang tersedia cukup menipis dan hanya mengandalkan sumber daya yang tak dapat diperbarui. Oleh sebab itu, energi alternatif yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan perlu dikembangkan. Salah satu sumber energi alternatif adalah biohidrogen. Penelitian tentang biohidrogen masih jarang padahal substrat untuk menghasilkan itu melimpah di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan menghasilkan biogas dengan menggunakan substrat limbah tebu (bagas) dengan bantuan konsorsium bakteri termofilik kotoran sapi melalui teknik fermentasi. Bakteri kotoran sapi dapat menghasilkan biogas sebagai energi alternatif seperti gas metana dan H2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bahwa bioenergi dapat dihasilkan dari limbah tebu dengan bantuan konversi konsorsium bakteri kotoran sapi.

TINJAUAN PUSTAKA

Biogas

Kotoran sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine dan gas seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi antara lain

   

2

nitrogen (0,29 %), P2O5 (0,17 %), dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno 2003). Pupuk kandang berupa kotoran sapi, babi, dan unggas hampir 100 % menyumbangkan unsur P dan K yang dikandungnya ke dalam tanah. Kotoran sapi lebih efektif daripada kotoran unggas dalam menurunkan bobot isi tanah (Rahman 2007).

Kotoran sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas. Biogas adalah campuran berbagai macam gas yang susunannya tergantung pada komposisi bahan baku masukan. Sahidu (1983) mengungkapkan bahwa biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dalam suatu proses pengomposan bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (proses anaerob). Definisi lain menyebutkan bahwa biogas adalah campuran beberapa gas yang tergolong bahan bakar hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob dan gas yang dominan adalah metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) (Simamora et al. 2006).

Biogas merupakan energi terbarukan yang fleksibel, dapat menghasilkan panas, dan listrik sebagai pengganti bahan bakar kendaraan. Selain berupa energi terbarukan, proses perombakan anaerob menghasilkan pupuk berharga dan mengurangi emisi serta bau yang tak sedap. Biogas bersifat bersih, tidak berasap hitam seperti kayu bakar dan minyak tanah. Selain itu derajat panasnya lebih tinggi dari bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta dapat disimpan untuk penggunaan yang akan datang (Darminto 1984). Produksi biogas didasarkan pada perombakan anaerob kotoran hewan dan bahan buangan organik lainnya. Selama perombakan anaerob akan menghasilkan gas metana 54-70 %, karbondioksida 25-45 %, hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida dalam jumlah yang sedikit (Simamora et al. 2006) seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Biogas berbeda dari sumber-sumber energi terbarukan lainnya. Keuntungannya terkait dengan pengendalian dan pengumpulan limbah bahan organik, yaitu pada saat yang sama dihasilkan pupuk dan air untuk pemakaian kembali irigasi pertanian. Biogas dapat digunakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan sifat gas alam. Pemanfaatan biogas dalam teknologi mesin internal (mesin berbahan bakar gas) sangat andal dan telah berkembang. Ribuan mesin berbahan bakar gas telah dioperasikan di areal pengolahan limbah dan pembangkit biogas (ACE 2005). Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar

kendaraan digunakan mesin yang sama konstruksinya dengan kendaraan mesin berbahan bakar gas alam. Terdapat lebih dari tiga juta kendaraan berbahan bakar gas alam di dunia dan sekitar 1000 kendaraan mobil dan bus berbahan bakar biogas. Ini menunjukkan bahwa konstruksi kendaraan menggunakan biogas sebagai bahan bakar kendaraan tidak bermasalah (IEA 2002).

Tabel 1 Komposisi biogas hasil fermentasi kotoran sapi

Jenis Gas Konsentrasi biogas (%) Metana (CH4) 65,7 Karbon dioksida (CO2) 27,0 Nitrogen (N2) 2,3 Oksigen (O2) 0,1 Propena (C3H8) 0,7 Hidrogen sulfida (H2S) - (Simamora et al. 2006) Biohidrogen

Hidrogen merupakan sumber energi alternatif yang bisa diproduksi dari sumber yang dapat diperbarui seperti biomassa. Selain sumbernya melimpah, biohidrogen juga ramah lingkungan. Hidrogen dapat diproduksi dari mikrob melalui dua cara, yaitu perubahan secara fotobiologis dan melalui teknik fermentasi. Teknik yang pertama hanya dapat dilakukan pada siang hari, yaitu ketika adanya matahari. Hal ini disebabkan mikrob fotosintetik menggunakan energi dari sinar matahari sebagai sumber energi mereka, tetapi teknik yang kedua dapat berlangsung pada siang maupun malam hari (dalam keadaan gelap). Hal ini bergantung pada tipe mikrob yang digunakan dalam fermentasi (Sirait 2007). Produksi hidrogen yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik fermentasi. Hal ini disebabkan produksi hidrogen secara fermentasi lebih cepat daripada secara fotosintetik.

Hidrogen yang diproduksi oleh mikroalga dan bakteri disebut biohidrogen. Di alam hanya bakteri dan mikroalga yang mempunyai kemampuan memproduksi biohidrogen. Di antara mikroorganisme ini, yang sering digunakan untuk penelitian adalah bakteri anaerob dan mikroorganisme fotosintetik seperti bakteri fotosintetik dan sianobakteria. Sianobakteria dapat menguraikan air menjadi hidrogen dan oksigen dengan bantuan energi cahaya

   

3

(Zaborsky 1998). Keuntungan mikroorganisme ini dalam memproduksi hidrogen adalah tidak menggunakan senyawa organik sebagai substrat tetapi menggunakan sinar matahari. Kelemahannya adalah produksi hidrogennya lambat, sistem reaksinya membutuhkan energi yang besar, dan pemisahan gas hidrogen dan oksigen membutuhkan penanganan yang khusus (Zaborsky 1998). Reaksi biofotolisis dari organisme ini adalah sebagai berikut:

H2O 0.5 O2 + H2 ΔG = - 242 kJ Bakteri fotosintetik tidak menggunakan air sebagai senyawa penghasil biohidrogen namun menggunakan senyawa organik. Keuntungan dari bakteri ini adalah reaksi pembentukan hidrogen yang cepat dan tidak memerlukan energi solar. Kelemahan dari bakteri ini dalam memproduksi gas hidrogen adalah hasil dekomposisi atau penguraian senyawa organik tersebut meninggalkan asam-asam organik seperti asam asetat, asam butirat, dan lain-lain. Asam organik tersebut menjadi masalah baru jika tujuan dari produksi adalah untuk menanggulangi limbah. Reaksi produksi hidrogen dari substrat glukosa sebagai berikut:

Glukosa+2H2O 2Asetat+2CO2+4H2 ∆G = -184.2 kJ

Glukosa Butirat + 2CO2 + 2H2 ∆G = -257.1 kJ

Berbagai macam mikroorganisme yang dapat menghasilkan biohidrogen antara lain bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas, Rhodobacter, Chromatium, Thiocapsa), sianobakteri (Anabaena, Oscillatoria), alga hijau (Chlamydomonas), bakteri pengikat

nitrogen (Klebsiella, Clostridium,

Enterobacter, Azotobacter), dan bakteri anaerob (Zaborsky 1998).

Bakteri Termofilik

Bakteri adalah sel prokariot yang khas, uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel-selnya secara khas berbentuk bola, batang, dan spiral. Bakteri yang khas berdiameter sekitar 0.5-0.8 μm dan panjangnya 1.5-2.5 μm (Pelczar & Chan 1986). Reproduksinya terutama dengan pembelahan biner sederhana, yaitu suatu proses aseksual. Beberapa dapat tumbuh pada suhu 0 ºC, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya 75-90 ºC atau lebih. Kebanyakan tumbuh pada berbagai suhu diantara kedua suhu ekstrim ini. Beberapa membutuhkan oksigen bebas

sedangkan yang lainnya tidak membutuhkannya.

Sel-sel individu bakteri dapat berbentuk elips, bola, batang (silindris), atau spiral (heliks). Bakteri dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan temperatur tempat dia tumbuh. Psikrofilik merupakan bakteri yang hidup pada temperatur terendah pada suhu dibawah -10 ºC walaupun temperatur optimumnya ialah 15 ºC atau lebih rendah. Mesofilik hidup pada medium bersuhu 20-45 ºC dan termasuk patogen pada manusia. Termofilik hidup di atas suhu 45 ºC dan beberapa di antaranya bahkan dapat hidup diatas titik didih air, yaitu hipertermofilik yang hidup pada suhu 120-300 ºC (Edward 1990).

Bakteri termofilik pertama kali diisolasi pada tahun 1879 oleh Miquel, yang menemukan bakteri mampu berkembang biak pada suhu 72 ºC. Dia menemukan bakteri ini pada tanah, debu, kotoran badan, tempat pembuangan limbah, dan lumpur sungai. Pada tanah perkebunan yang mengandung pupuk terdapat 1-10% bakteri termofilik sementara tanah lapang yang luas biasanya hanya mengandung 0.25 % atau kurang. Tanah yang tidak ditumbuhi tanaman kemungkinan sama sekali tidak terdapat bakteri termofilik. Bakteri termofilik juga ditemukan pada kotoran sapi setelah mengalami pemanasan 100 ºC. Jenis bakteri yang ditemukan setelah diisolasi adalah genus Clostridium. Clostridium acetobutylicum dan Clostridium felsineum paling banyak ditemukan. Selain itu juga ditemukan C. roseum, C. thiosulforeducens, C. subterminale, C. argentinense, C. beijerinckii dan C. botulinum. Banyak spesies ini yang dikenal sebagai bakteri fermentatif dan dapat memproduksi hidrogen, yaitu C. beijerinckii, C. roseum, dan C. acetobutylicum (Fang et al. 2005).

Bakteri termofilik mempunyai peran penting dalam mengembangkan ilmu dasar selain juga bermanfaat untuk aplikasi industri. Mikroorganisme ini menghasilkan enzim-enzim tahan panas yang potensial dalam penggunaan di bidang industri. Penggunaan enzim termostabil dalam bidang bioteknologi telah dapat menurunkan biaya operasi (Aguilar et al. 1998) di samping dapat meningkatkan kecepatan reaksi.

Fermentasi

Fermentasi merupakan proses penting dalam kehidupan sehari-hari manusia.

   

4

Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbenuk diantaranya karbon dioksida (Herlina 2002). Fermentasi secara umum dapat dinyatakan sebagai proses katabolisme, yaitu suatu pemecahan senyawa organik yang kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Aplikasi proses ini dapat dilihat pada produksi minuman beralkohol atau produk yang bersifat asam seperti asam asetat atau cuka. Pengetahuan mengenai proses ini berkembang pesat sejak penelitian Louis Pasteur mengenai proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan wine (anggur). Penelitian mengenai proses ini berkembang pesat semenjak tumbuhnya industri minuman beralkohol dan industri antibiotik (Rachman 1989).

Aplikasi metode ini diawali dengan pembuatan bir sekira 6.000 tahun sebelum masehi. Pembuatan roti dengan bantuan khamir atau ragi diperkirakan sudah terjadi sejak 4.000 tahun sebelum masehi. Pembuatan produk fermentasi kecap dan tauco di Cina telah dilakukan sejak 722 SM. Fermentasi anggur mulai berkembang kira-kira abad ke-17 dengan menggunakan bakteri Acetobacter menghasilkan asam asetat (asam cuka). M J Johnson membagi perkembangan teknologi fermentasi ke dalam beberapa periode. Periode pertama berlangsung sampai dengan tahun 1860 dengan mengembangkan fermentasi alkohol, produksi ragi roti dan produksi venegar. Antara tahun 1900 dan 1920 disebut sebagai periode lahirnya industri fermentasi (Rachman 1989).

Berbagai penelitian di abad ke-20 melahirkan pengertian baru dari fermentasi, yaitu reaksi oksidasi-reduksi. Zat yang dioksidasi (pemberi elektron) maupun zat yang direduksi (penerima elektron) adalah zat organik dengan melibatkan mikroorganisme (bakteri, kapang dan ragi). Jadi fermentasi merupakan proses metabolisme yang menyangkut perubahan kimia bahan organik yang disebabkan aktivitas enzim yang dimiliki mikroorganisme (Amarine et al. 1987). Zat organik yang digunakan umumnya glukosa yang kemudian dipecah menjadi aldehid, alkohol, atau asam.

Fermentasi terbagi menjadi dua berdasarkan kebutuhan akan oksigen, yaitu fermentasi aerob dan anaerob. Fermentasi aerob adalah fermentasi yang prosesnya memerlukan oksigen. Keberadaan oksigen

membuat mikroorganisme dapat mencerna glukosa menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi. Fermentasi dalam proses anaerob tidak memerlukan oksigen (Pringgomulyo & Wardoyo 1980). Ada berbagai produk metabolit yang bisa dihasilkan dalam proses fermentasi, antara lain berbagai jenis asam (asam laktat, asetat, etanol, asam volatil), alkohol, protein, dan ester. Produk hasil fermentasi dapat diubah lebih lanjut melalui proses fermentasi lain untuk menghasilkan produk akhir yang lain seperti gas hidrogen (Zaborsky 1998).

Fermentasi asam laktat dari satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul ATP. Bakteri Streptococcus lactis dapat menguraikan glukosa menjadi asam laktat (Gambar 1) sedangkan bakteri E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat melakukan respirasi aerob dan fermentasi yang menghasilkan beberapa produk, yaitu asam laktat, asam format, etanol, asam asetat, hidrogen, dan CO2 (Sirait 2007).

Gambar 1 Fermentasi asam laktat oleh S. lactis.

Kromatografi Gas

Analisis kromatografi gas adalah suatu metode analisis pemisahan komponen kimia yang didistribusikan di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan dan fase diam dapat berupa padatan atau cairan. Fase gerak berfungsi membawa sampel sedangkan fase diam berfungsi untuk mengadsorpsi atau mempartisi komponen. Prinsip pemisahan kromatografi adalah partisi analat antara fase gerak gas dengan fase diam cairan yang diimobilisasi pada permukaan zat padat yang inert. Sampel dapat berupa gas, senyawa volatil, atau zat yang dapat diuapkan. Sampel ini harus stabil terhadap panas dan umumnya nonpolar (Currel 2002).

Peralatan kromatografi gas terdiri atas injektor, kolom, detektor, pemanas (oven),

   

5

amplifier, rekorder, gas pembawa, dan pengatur aliran dan tekanan. Injektor berfungsi sebagai tempat masuknya sampel yang dirancang sedemikian rupa sehingga sampel dapat langsung masuk ke dalam kolom dengan perantaraan gas pembawa. Kolom berfungsi memisahkan komposisi sampel menjadi komponen-komponennya sehingga dapat terilusi dalam waktu yang berbeda. Detektor berfungsi untuk mendeteksi komponen yang keluar dari kolom. Pemanas berfungsi untuk memanaskan injektor, kolom dan detektor untuk injektor, kolom dan detektor yang dilengkapi dengan thermostate. Amplifier berfungsi untuk memperbesar sinyal arus listrik yang berasal dari detektor. Rekorder berfungsi sebagai pencatat hasil dalam bentuk kromatogram. Gas pembawa berfungsi sebagai pembawa gas sampel. Gas pembawa yang umum digunakan adalah Helium (He), Nitrogen (N2), dan Argon (Ar). Pengatur aliran dan tekanan berfungsi sebagai pengatur tekanan yang dapat menentukan kecepatan alir gas pembawa (Skoog 1998). Prinsip kerjanya sampel diinjeksikan ke dalam injektor kemudian diangkut oleh gas pembawa masuk ke dalam kolom yang berisi padatan sebagai fase diam. Fase diam memiliki sifat dapat berinteraksi dengan komponen-komponen dalam sampel sehingga dapat menghambat laju alir masing-masing komponen. Fase diam yang ideal memiliki ciri-ciri, yaitu inert pada suhu tinggi, menahan komponen sampel dengan kuat, dan memiliki kekuatan mekanik yang baik (Hargis 1988). Besarnya hambatan untuk masing-masing komponen berbeda-beda sehingga sesampai di ujung kolom tidak bersamaan melainkan satu per satu. Komponen yang keluar dari kolom dilewatkan ke detektor sedangkan signal dari detektor dikirim dari amplifier ke rekorder dan dicatat sebagai kromatogram (Skoog 2004).

Agar peralatan kromatografi gas bisa bekerja dengan maksimal, maka perlu dilakukan optimasi suhu seperti suhu injektor, kolom, dan detektor. Injektor selain berfungsi untuk tempat masuknya sampel, juga berfungsi untuk mengubah sampel yang berfase cair atau padat menjadi gas tanpa terjadi dekomposisi. Umumnya suhu injektor kira-kira 50 oC lebih tinggi dari titik didih komponen sampel yang mempunyai titik didih paling tinggi. Bila titik didih komponen belum diketahui, dapat dilakukan secara coba-coba (trial), dengan memulai suhu injektor rendah kemudian dinaikkan. Jika diperoleh puncak-puncak kromatogram lebih baik berarti suhu

percobaan pertama terlalu rendah sehingga perlu dicoba kembali dengan cara menaikkan suhu secara bertahap hingga mendapatkan kondisi yang tepat. Namun demikian, suhu injektor tidak boleh terlalu tinggi sebab ada kemungkinan terjadinya dekomposisi (penguraian komponen yang hendak dianalisis). Kolom merupakan perangkat yang memiliki peranan penting dalam proses analisis dengan metode kromatografi sehingga pemilihan jenis kolom yang tepat dan kondisi yang optimal sangat diperlukan. Umumnya suhu kolom dibuat kurang lebih sama dengan titik didih rata-rata dari seluruh komponen

Dokumen terkait