• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Hidup dengan batin yang hening”

Dalam dokumen Meditasi Sebagai Pembebasan Diri (Halaman 150-155)

Testimoni CS, penulis lepas, 43 tahun 24 Februari 2010

“Detak jantung sebagai pertanda denyut nadi kehidupan dapat kita rasakan dengan meraba urat nadi di tangan kita. Tetapi, bisakah kita merasakan denyut kematian diri?” Kalimat pengantar Romo Sudrijanta saat membuka retret meditasi di Padepokan Bukit Kehidupan pada 22 Januari lalu menggugah perhatian saya.

Ini adalah retret meditasi kedua yang saya ikuti, setelah setengah tahun berlalu. Kali ini Romo

151 | M e d i t a s i s e b a g a i P e m b e b a s a n D i r i

membekali para peserta retret yang jumlahnya hampir mencapai 90 orang – tiga kali lebih banyak dari jumlah peserta retret pertama yang saya ikuti – dengan pemaparan lebih panjang dan mendalam, sehingga saya dapat lebih memahami meditasi tanpa objek dalam ranah mistikal yang melampaui ranah spiritual.

Melalui sharing pemahaman tentang meditasi ini, semoga kita bersama dapat menikmati kehidupan yang berbeda dalam menjalani rutinitas sehari-hari.

*

Kita hidup dalam dimensi diri (self) dan tanpa-diri (no-self) dengan titik hening sebagai batas di antara keduanya. Ketika batin kita dipenuhi berbagai pikiran dan perasaan, diri kita (self) yang muncul. Kita merasakan luapan perasaan gembira, sedih, marah, gelisah, takut. Semua itu terjadi tak lain karena kita punya koleksi ingatan dalam otak kita dari pengalaman-pengalaman kita sebelumnya terhadap objek tertentu.

Sebagai contoh, perasaan sedih yang kita alami ketika seseorang yang kita kasihi mendadak meninggal. Perasaan ini membelenggu kita. Dalam kedukaan muncul berbagai pikiran. “Mengapa dia begitu cepat meninggalkan dunia ini? Bagaimana saya menjalani hidup selanjutnya tanpa dia? Kalau saja sebelumnya dia memeriksakan kesehatannya, mungkin ia tidak akan meningga. Kalau saja dia berpantang makanan tertentu, mungkin dia tidak akan mengalami serangan jantung.” Sejuta pertanyaan, rekaan kemungkinan, bisa bermunculan terus dalam benak kita. Meratapi yang

D i a l o g & T e s t i m o n i t e n t a n g M e d i t a s i | 152 hilang, tanpa ada penyelesaian, malah semakin membuat kita terpuruk dalam duka.

Akan terasa berbeda, kalau kita menerima kenyataan apa adanya – tanpa melawan dan tanpa memasukkan pendapat kita – sehingga kenyataan apa pun yang kita alami tidak menimbulkan pengaruh emosional terhadap kita, karena diri kita telah lenyap. Dalam kasus kehilangan seseorang yang dicintai di atas, kita terima saja fakta bahwa dia telah meninggal. Segala kemungkinan dan penyesalan terkait kematiannya itu sudah menjadi bagian masa lampau. Sedangkan bagaimana kita menjalani hidup kelak tanpa dia di samping kita lagi – hal itu masih merupakan tanda tanya, tidak perlu menjadi kekhawatiran saat ini. Bukankah setiap orang di antara kita tidak tahu apa yang akan terjadi satu menit mendatang? Mengapa harus merisaukan yang belum nyata di masa depan?

Meditasi tanpa objek dapat membebaskan kita dari penjara masa lalu dan kekhawatiran masa depan. Meditasi tanpa objek membuat kita lepas-bebas; bersemangat hidup tanpa melekat pada objek-objek tertentu – entah orang, benda, kesenangan, kepahitan, kenangan, keinginan, dan sebagainya; menikmati hidup di sini dan saat ini, karena kita tidak lagi hidup berdasarkan pikiran dan perasaan kita.

Kita dapat melatih membebaskan diri dari keterikatan pada pikiran dan perasaan dengan mengosongkan diri. Jeda antara satu pikiran/perasaan dengan pikiran/perasaan lain – dalam kekosongan – itulah titik hening. Dengan memperpanjang jeda antara

153 | M e d i t a s i s e b a g a i P e m b e b a s a n D i r i

dua denyut pikiran/perasaan, maka kita dapat lebih lama berada di titik hening. Jeda inilah yang diartikan sebagai denyut kematian diri atau berhentinya diri. Kalau batin kita bisa melampaui titik hening, maka kita akan masuk ke dalam dimensi tanpa-diri (no-self) di mana tak ada lagi subjek dan objek.

Tentu Anda ingat akan Tukul yang dalam sebuah acara televisi seringkali mengatakan, “Kembali ke lap-top,” saat obrolan yang dipandunya telah melebar ke sana-kemari. Maka, setiap kali muncul pikiran atau perasaan ketika bermeditasi, kita hanya perlu menyadarinya, lalu menerima fakta apa adanya, merasakan keberadaan kita di sini dan saat ini. Dengan cara demikian kita akan kembali ke titik hening.

Berada di titik hening membuat hidup kita lepas-bebas. Merasakan kejernihan batin kita bagai belaian angin lembut di pagi hari yang sunyi. Batin yang hening tidak tergantung pada kebisingan dunia di sekitarnya. Kita tetap bisa mengalami keheningan di tengah kerumunan orang atau hingar-bingar suara musik, sepanjang batin kita tidak dicemari pikiran atau perasaan, tetap tinggal dalam kekosongan. Dalam keheningan ini kita bisa merasakan kedamaian yang menimbulkan sukacita, karena kita telah menyatu dengan Roh Ilahi yang sejatinya telah berseMeiam dalam batin kita.

*

Ada alasan lain, mengapa saya mengikuti retret meditasi untuk kedua kali. Saat itu saya tengah diliputi

D i a l o g & T e s t i m o n i t e n t a n g M e d i t a s i | 154 kegalauan. Sudah lima tahun lebih saya menjadi pekerja lepas dengan rumah sebagai “kantor” saya. Saya sangat menikmati cara hidup ini – mengurus keluarga sambil berkarya. Saya punya waktu banyak untuk berdoa dan membaca buku-buku. Namun, “kemewahan hidup” itu harus saya lepaskan, ketika datang tawaran bekerja di kantor. Selama satu bulan lebih saya bertanya-tanya, apakah ini merupakan kehendak Tuhan?

Mengikuti retret meditasi Januari lalu, saya mendapat peneguhan. Saya tak perlu berada di balik tembok untuk bisa menikmati kehidupan yang hening. Ketika berkendara ke dan dari tempat kerja, saat mengikuti rapat, menulis laporan, saya tetap bisa menjalani hidup di titik hening. Bahkan, bekerja dengan suasana batin yang hening membuat saya dapat lebih memahami orang-orang di sekitar, memunculkan gagasan-gagasan kreatif, memberikan diri untuk dipakai sebagai alat-Nya tanpa ambisi akan posisi dan kekuasaan. Betapa indahnya hidup dengan batin yang hening.*

155 | M e d i t a s i s e b a g a i P e m b e b a s a n D i r i

14

Dalam dokumen Meditasi Sebagai Pembebasan Diri (Halaman 150-155)

Dokumen terkait