• Tidak ada hasil yang ditemukan

9 Hikmah Ibadah Haji

Dalam dokumen AL-QUR AN DAN PEMBINAAN KARAKTER UMAT (Halaman 57-71)

untuk Kehidupan

K

ita telah mengetahui semua bahwa haji adalah rukun Islam kelima, yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang telah mampu baik secara fisik maupun finansial. Dalam Q.S. Ali Imran 3): 97: “Dan (diantara kewajiban) manusia kepada Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana”. Seandainya kita merenungi ibadah haji tersebut, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa ibadah tersebut mengandung beberapa hikmah, berikut ini:

Pertama, pentingnya niat dalam beribadah dan berprilaku Kalau kita perhatikan, serangkaian ritual haji, seperti thawaf, sa‘i, wuquf, lempar jumrah dll., yang seandainya tidak diawali dengan niat, maka ritual-ritual itu tampak/seakan-akan main-main semata. Namun, karena ada niat melaksanakan perintah Allah Swt., maka hal-hal tersebut menjadi bernilai ibadah.

Ini menunjukkan bahwa niat dalam beribadah dan bahkan berprilaku mempunyai kedudukan yang sangat penting. Dalam hal niat tersebut, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu harus disertai dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan (ketika melakukan amal perbuatan)…” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan atas hadis tersebut, dapat kita katakana bahwa bernilai atau tidaknya amal perbuatan kita itu tergantung pada niat kita. Thawaf, sa‘i, wuquf, lempar jumrah dll. Itu menjadi amal ibadah karena ada niat mengamalkan perintah Allah Swt.

Bahkan, amal perbuatan yang tampak bukan ibadah, seperti makan dan minum, itu bias bernilai ibadah apabila kita niatkan secara baik, seperti menjagakesehatan badan dan memiliki kekuatan untuk melaksanakan ibadah.

Al-Qur’an dan Pembinaan Karakter Umat 53

Kedua, persamaan derajat manusia di depan Allah Swt.

Dalam ibadah haji, semua orang, tanpa memandang pangkat, kekayaan, asal-usul dan warna kulit, melakukan ritual yang sama. Mereka menggunakan pakaian ihram yang sama.

Begitu juga, mereka semua melakukan ritual-ritual yang sama, seperti thawwaf, sa‘i, wuquf di Arafah dan lempar jumrah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia di depan Allah itu sama derajatnya. Perbedaan derajat tidak diukur dari keturunan, pangkat/jabatan, kesukuan, warna kulit, jenis kelamin dan strata/tingkatekonominya. Yang membedakan mereka adalah ketaqwaan mereka kepada Allah. Allah Swt berfirman: “Wahai umat manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan MahaTeliti …” (Q.S. al-Hujurat: 13)

Ketiga, ibadah haji dapat mempererat tali persaudaraan antarumat Islam

Dalam ibadah haji, umat Islam dari segala penjuru dunia berkumpul dan bertemu di Makkah dan Madinah serta daerahsekitarnya. Di antara hikmah dari pertemuan ini adalah

bahwa umat Islam dapat saling mengenal satu dengan yang lain dan mempererat hubungan silaturrahim serta ukhuwwah Islamiyyah. Mempererat silaturrahim dan persaudaraan ini sangat dianjurkan oleh Islam. Nabi Muhammad saw bersabda:

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka bersilaturrahimlah.” (H.R. al-Bukhari)

Keempat, dengan ibadah haji, kita dapat memperkuat kesadaran atas keberagaman pemahaman keagamaan dan variasi budaya

Ketika para jama’ah haji yang berasal dari berbagai macam daerah dan Negara itu bertemu saat menunaikanibadah haji, tentunya masing-masing akan mengetahui bahwa di antara mereka ada yang bermadzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, Hanafi dll. Di luar madzhab Sunni, sebagian orang bermadzhab Syi‘ah dan lain-lain. Mereka semua melaksanakan ibadah sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing. Dari sisi budaya, mereka juga berbeda-beda. Demikian juga dari segi tradisi keseharian mereka. Semua ini pasti beragam dan berbeda.

Meskipundemikian, mereka semua beragama Islam. Perbedaan semacam ini harus disadari oleh kita, sehingga kita mampu saling menghormati dan bersikap toleran kepada orang lain yang mempunyai paham keagamaan dan budaya yang berbeda. Kita tidak boleh saling menghina karena perbedaan tersebut. Allah

Al-Qur’an dan Pembinaan Karakter Umat 55

agama Allah (hablullah) dan janganlah bercerai berai …” (Q.S.

Ali Imran (3): 103)

Kelima¸ ibadah haji sebagai sarana pengembangan wawasan Orang-orang yang telah menunaikan haji selayaknya mempunyai wawasan yang lebih luas karena, ketika mereka menunaikan ibadah haji, mereka telah bertemu dan bertukar pikiran dengan banyak orang tentang berbagai macam hal, baik yang terkait dengan ibadah mahdlah, maupun yang lainnya.

Dengan hal ini, kita mendapatkan wawasan keilmuan dan pengalaman yang lebih luas dari sebelumnya.

Keenam, ibadah haji dapat meningkatkan kesabaran

Saat melaksanakan ibadah haji, kita mungkin merasakan letih dan lelah. Selain itu, kita juga kadang mengahadapi hal-hal yang membuat kita marah dan jengkel kepada orang lain.

Namun, kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu bersabar dan menahan amarah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan ibdah haji kita dididik oleh Allah agar mamp mengendalikan emos ikita. Allah berfirman: “(Musim) haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji (pada bulan-bulan ini), maka janganlah berkata jorok, berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamukerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, maka

sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”

(Q.S. al-Baqarah: 197). Tentunya, ketahanan emosional dan kesabaran ini seharusnya juga kita miliki dalam mengarungi kehidupan ini, dan bukan hanya ketika haji.

57

10 Kesabaran

K

onsep sabar dalam Islam sangat penting untuk disampaikan karena dalam mengarungi kehidupan ini kita tidak hanya menghadapi hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan saja, melainkan juga hal-hal yang membuat kita sedih. Selain itu, kita juga harus selalui siap siaga untuk menghadapi godaan-godaan syaitan. Dalam keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada kita untuk bersabar. Namun, konsep sabar ini kiranya perlu dijelaskan secara lebih terinci agar kita memiliki konsep yang komprehensif tentang sabar tersebut.

Sabar yang dalam bahasa Arab ṣabr secara bahasa berarti

“kekuatan hati.” Secara terminologis kata sabar didefinisikan oleh Muḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī dalam kitabnya Maw‘iẓat al-Mu’minīn (h. 321-326) dengan: “Sikap mempertahankan

hal-hal yang mendorong untuk tetap berada dalam aturan agama (bā‘iṩ al-dīn) dan menghindari diri dari hal-hal yang bisa membangkitkan hawa nafsu (bā‘iṩ al-hawā).”

Dia membagi sabar/kesabaran ke dalam tiga macam.

Pertama, sabar atas ketaatan (al-ṣabr ‘alā al-ṭā‘ah), yakni tabah untuk tetap mentaati perintah Allah. Kedua, sabar untuk tidak melakukan atas kemaksiyatan (al-ṣabr ‘an al-ma‘ṣiyah), dan sabar ketika menerima mushibah (al-ṣabr ‘inda al-muṣībah).

Sabar atau tabah untuk selalu mentaati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya itu sangat penting, bahkan diharuskan.

Sering sekali kita merasa malas untuk melaksanakan shalat lima waktu, misalnya, atau melaksanakan kewajiban-kewajiban lain.

Syaitan sering sekali menggoda kita agar kita tidak lagi tunduk dan taat pada perintah-perintah Allah dengan berbagai macam bentuk godaan, baik yang ringan maupun yang berat. Kita harus selalu tabah dalam menghadapi godaan-godaan itu dengan tetap melaksanakan perintah-perintah Allah Swt.

Kita juga harus bersabar/tabah untuk tidak melakukan kemaksiatan. Hawa nafsu sering sekali mendorong kita untuk melanggar aturan-aturan agama. Syaitan pun menggoda kita untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. Dalam keadaan seperti ini, Islam mengajarkan agar kita mampu menahan diri kita agar

Al-Qur’an dan Pembinaan Karakter Umat 59

kita tidak terjerumus dalam kenistaan. Allah berfirman dalam Q.S. al-Insān (76): 24:

ۚا ًر ْوفُ َ (Maka bersabarlah (untuk melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir diantara mereka)

Selain itu, kita juga diperintahkan untuk bersabar ketika mendapat musibah atau hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti kematian seseorang, kemiskinan, ketidaksuksesan dalam menempuh cita-cita tertentu atau disakiti oleh seseorang. Allah Swt berfirman dalam Q.S. al-Baqarah (2): 155-157:

ِسُفْنَ (Sesungguhnya Kami akan menguji kamu sekalian dengan sesuatu dari rasa takut, rasa lapar, kehilangan harta, jiwa dan buah-buahan. Berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar. Yaitu, orang-orang yang apabila tertimba mushibah, mereka mengatakan: ‘Seseungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali

kepada-Nya. Mereka akan mendapatkan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk)

Al-Qāsimī menerangkan bahwa di antara ciri kesabaran atas mushibah adalah bahwa seseorang tidak melakukan hal-hal yang menandakan ketidakrelaannya atas mushibah tersebut, seperti menyobek-nyobek baju, meratap dan menampakkan kesedihan secara berlebihan dan lain-lain. Meskipun demikian, kesediahan yang wajar diperbolehkan dalam Islam. Rasulullah saw pun menangis ketika putranya, yakni Ibrahim, meninggal dunia.

Terkait dengan sabar atas prilaku orang yang menyakiti, Allah mengajarkan dalam Q.S. al-Muzzammil: 10, sebagai berikut:

“Bersabarlah (wahai Muhammad) atas apa yang mereka (orang-orang kafir) katakan dan tinggalkan mereka dengan baik!”

Apabila kita mampu bersabar, baik itu yang berhubungan dengan ketaatan, kemaksiatan maupun mushibah, Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda. Allah berfirman dalam Q.S. al-Zumar (39): 10: “Orang-orang yang bersabar akan diberi pahala tanpa perhitungan.”

61

11 Bersyukur

K

ita harus membiasakan bersyukur kepada Allah yang telah memberikan keni’matan yang tak terhingga, baik berupa kesehatan, ilmu pengetahuan, keindahan, harta benda maupun jabatan. Namun, keni’matan tertinggi adalah kemampuan kita untuk bertakwa kepada Allah. Semua itu harus kita syukuri.

Terkait dengan hakekat atau pengertian syukur, Muḥammad Jamal al-Dīn al-Qāsimī dalam kitab Maw‘iẓat al-Mu’minīn (h.

326) mengatakan:

Ketahuilah bahwa syukur itu tersusun dari ilmu (pengetahuan dan kesadaran), hal (keadaan/kondisi) dan ‘amal (prilaku).

‘Ilmu artinya mengetahui bahwa ni‘mat itu datang dari Dzat Pemberi Ni‘mat, yakni Allah Swt.; hal ditunjukkan dengan rasa senang dengan ni‘mat tersebut; sedangkan ‘amal

adalah melakukan apa yang dikehendaki dan disenangi oleh Pemberi ni‘mat.

Adapun cara kita bersyukur ada tiga macam: (1) dengan hati (al-syukr bi l-qalb), (2) dengan lisan (al-syukr bi l-lisān), dan (3) dengan prilaku (al-sukr bi l-af‘āl). Syukur dengan hati berarti bahwa hati kita merasa senang atas karunia yang dilimpahkan oleh Allah kepada kita. Setelah itu, kita mengucapkan lafal seperti al-hamdulillah. Selanjutnya, keni’matan yang kita dapatkan itu kita gunakan untuk memperkuat ketakwaan kita kepada Allah Swt. Sebagai contoh, ketika kita mendapatkan harta benda, maka, disamping kita mengucapkan al-hamdulillah, kita gunakan sebagian harta benda itu, misalnya, untuk memberikan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti fakir dan miskin, atau kita sedekahkan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia, seperti pembangunan masjid, musholla, lembaga-lembaga pendidikan dan lain-lain. Ketika kita mendapatkan kenikmatan dalam bentuk ilmu pengetahuan, maka bentuk syukur kita adalah pemanfaatan ilmu untuk kemaslahatan diri, keluarga dan masyarakat. Demikian pula halnya dengan jabatan. Siapapaun yang menduduki jabatan diharuskan bersyukur kepada Allah dengan cara memfungsikan jabatannya untuk kemajuan dan kesejateraan masyarakat.

Dalam hal ini, saya teringat dengan pandangan Prof. Drs. K.H.

Al-Qur’an dan Pembinaan Karakter Umat 63

Yudian Wahyudi, Ph.D., ketika menafsirkan Q.S al-Ḍuḥā (93): 11:

“Adapun tentang nikmat Tuhan-Mu, maka ceritakanlah.” Beliau menafsirkan secara kontektual kekinian dengan mengatakan bahwa salah satu bentuk syukur seorang pejabat adalah membuatkan program-program atau kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi komunitasnya.

Apabila kita bisa melakukan hal ini semua, maka Allah akan menambah kenikmatan itu untuk kita pada masa-masa yang akan datang. Allah berfirman dalam Q.S. Ibrahim (14): 7:

Dan ingatlah ketika Tuhan kalian mengajarkan: ‘Sungguh apabila kalian bersyukur, maka akan Aku tambahkan kenikmatan itu untuk kalian dan apabila kalian kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku itu amat pedih’.

Menurut ayat tersebut, siapapun yang bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, maka dia akan ditambah rizkinya oleh Allah. Ibn Katṣīr ketika menafsirkan ayat itu, beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aḥmad ibn Ḥanbal (lihat dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 8: 179-180). Dalam hadis ini diceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw bertemu dengan seorang pengemis lalu beliau memberi sebiji kurma, tetapi pengemis itu menolaknya (karena dia menganggap itu remeh dan tidak berharga). Setelah itu, beliau bertemu pengemis lain dan memberinya sebiji kurma dan pengemis itu menerimanya

dengan senang hati dan menyukurinya. Melihat sikap syukur yang ditunjukkan oleh pengemis itu, Rasulullah menyuruh Ummu Salamah untuk memberi 40 dirham kepadanya. Cerita ini adalah sebuah contoh bahwa orang yang bersyukur atas ni’mat tertentu akan ditambah rizkinya oleh Allah Swt.

Kedudukan dan keutamaan sikap syukur sangat tinggi dalam Islam. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa dalam beberapa ayat Al-Qur’an, kata syukur disejajarkan dengan kata-kata lain yang mengandung arti sikap terpuji, seperti kata dzikir. Nabi Muhammad Saw juga bersabda: “Orang makan yang bersyukur itu sederajat dengan orang yang berpuasa lagi bersabar.”

Antonim/lawan kata dari syukur adalah kufur terhadap nikmat Allah. Di antara ciri kekufuran ini adalah bahwa seseorang menggunakan kenikmatan, baik itu berupa kesehatan, ilmu pengetahuan, keindahan fisik, harta benda maupun jabatan, untuk hal-hal yang bertentangan dengan apa-apa yang dilarang oleh agama. Satu contoh kecil yang dikemukakan oleh al-Qāsimī menarik untuk dikemukakan di sini. Dia mengatakan:

“Barang siapa memukul orang lain dengan tangannya, maka dia telah kufur terhadap nikmat tangan, karena tangan diciptakan untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa merusaknya dan mengambil apa-apa yang bermanfaat baginya, bukan untuk menghancurkan orang lain.” (h. 327-328).

65

12

Dalam dokumen AL-QUR AN DAN PEMBINAAN KARAKTER UMAT (Halaman 57-71)

Dokumen terkait