• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. BAB II: PRAKTEK JAMINAN FIDUSIA SEHUBUNGAN

2.3. Lembaga Jaminan dalam Pengadaan Pesawat Udara di

2.3.3 Hipotik dan Jaminan Fidusia dalam Pengadaan Pesawat

perlindungan untuk kepentingannya maka yang bersangkutan bebas untuk memanfaatkannya atau tidak.103

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 1381 KUHPerdata. Untuk melindungi kepentingan penerima fidusia, pembuat undang-undang merumuskan Pasal 25 ayat 2 juncto Pasal 10 huruf b UU No. 42 Tahun 1999. Ditentukan dalam Pasal 25 ayat 2 UU No. 42 Tahun 1999, bahwa musnahnya benda objek jaminan fidusia tidak menghapus hak penerima fidusia untuk menerima hasil klaim asuransi atas benda tersebut.

2.3.3 Hipotik dan Jaminan Fidusia dalam Pengadaan Pesawat Udara di Indonesia

Sebelum diundangkannya UU No. 1 Tahun 2009 maka lembaga jaminan yang berlaku untuk pembebanan pesawat udara di Indonesia adalah lembaga hipotik. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (UU No. 15 Tahun 1992) yang mengatur bahwa pesawat terbang dan helikopter yang memiliki tanda pendaftaran Indonesia dapat dibebankan dengan hipotik dan pengaturan mengenai hipotik tersebut akan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Namun demikian, sampai dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 2009 yang mencabut UU No. 15 Tahun 1992, Peraturan Pemerintah tersebut tidak pernah dibentuk sehingga pada waktu tersebut atas hipotik pesawat udara di Indonesia masih tetap berlaku ketentuan-ketentuan hipotik dalam KUHPerdata.

Selama UU No. 15 Tahun 1992 masih berlaku, praktek pembebanan hipotik atas pesawat udara di Indonesia jarang dilakukan karena banyak mengalami kendala. Kendala yang dihadapi lembaga hipotik yang diterapkan pada pesawat udara sebagai jaminan hutang adalah mengenai penggolongan pesawat udara sebagai benda tidak bergerak, sebab pesawat udara berdasarkan sifatnya yang dapat dipindahkan bisa dikategorikan sebagai benda bergerak. Berdasarkan

 

sifatnya yang dapat dipindahkan, pesawat udara memang merupakan benda bergerak. Namun demikian, pesawat udara juga mempunyai sifat khusus (sui

generis) yaitu harus didaftarkan. Hal ini membuat tidak semua ketentuan benda

bergerak berlaku terhadap pesawat udara. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat itu, yaitu UU No. 15 Tahun 1992, pesawat udara dapat dikategorikan sebagai benda tidak bergerak. Pengategorian pesawat udara sebagai benda tidak bergerak sebagaimana terjadi di Indonesia juga terjadi di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yang menyebabkan pesawat udara dapat dibebani hipotik.

Kendala lainnya adalah mengenai pendaftaran hipotik guna memenuhi asas publisitas. Sebagaimana disyaratkan Pasal 1179 KUHPerdata, perjanjian hipotik harus didaftarkan dalam daftar umum yang disediakan untuk maksud tersebut, apabila pendaftaran tidak dilakukan maka hipotik yang dibuat tidak mengikat para pihak yang terlibat. Di Indonesia tidak ada tempat yang secara tegas ditunjuk baik oleh UU No. 15 Tahun 1992 maupun oleh peraturan-peraturan lain sebagai tempat pendaftaran hipotik pesawat udara. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara RI selama ini hanya melakukan pencatatan atas suatu perjanjian hipotik pesawat udara. Pencatatan hipotik ini berbeda dengan pendaftaran hipotik sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata. Pasal 1186 KUHPerdata menyebutkan bahwa untuk melaksanakan suatu pendaftaran pihak berpiutang (kreditur) atau pihak ketiga yang ditunjuk harus menyerahkan suatu salinan akta (grosse akta) hipotik, akan tetapi dalam pencatatan hipotik pesawat yang pernah dilakukan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara RI tidak memberikan grosse akta. Hal ini membuat hipotik tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi pihak kreditur104 khususnya dalam masalah pelunasan hutang apabila debitur wanprestasi.105

Pada akhirnya dapat dilihat bahwa selama ini pelaku usaha di bidang industri penerbangan kurang berminat menggunakan lembaga hipotik atas pesawat udara. Mereka lebih memilih cara leasing dan juga sewa-beli dalam

104Lihat Pasal 1179 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 

rangka pengadaan armada pesawat udara. Ketidaksempurnaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan aturan hipotik pesawat udara menyebabkan praktek hipotik pesawat udara di Indonesia tidak berjalan dengan sempurna dan kurang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hipotik pesawat udara di Indonesia belum sesuai dengan apa yang diamanatkan UU No. 15 Tahun 1992.106

Dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1999 yang mencabut UU No. 15 Tahun 1992 maka hipotik bukan lagi merupakan lembaga jaminan atas pesawat udara di Indonesia. Dalam UU No. 1 Tahun 2009 tidak diatur mengenai lembaga jaminan yang dapat digunakan untuk pembebanan pesawat udara di Indonesia. Di dalam undang-undang tersebut hanya memuat ketentuan mengenai kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang mengatur objek pesawat udara dapat dibebani kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian hak jaminan kebendaan (security agreement), perjanjian pengikatan hak bersyarat (title

reservation agreement) atau perjanjian sewa guna usaha (leasing agreement).

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 mengatur pesawat udara yang didaftarkan di Indonesia dapat dibebankan dengan kepentingan internasional berdasarkan perjanjian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat atau perjanjian sewa guna usaha, dan membebaskan para pihak di dalamnya untuk memilih hukum yang digunakan dalam perjanjian tersebut.107 Dapat disimpulkan bahwa atas pesawat udara Indonesia bisa dibebankan jaminan berdasarkan hukum negara manapun. Hal ini mempermudah perusahaan penerbangan di Indonesia dalam melakukan pengadaan armada pesawatnya karena untuk mendapat pinjaman dana dari pemilik dana, yang biasanya merupakan lembaga keuangan asing, pemilik dana tersebut dapat menentukan hukum mana yang berlaku dalam perjanjian dengan perusahaan penerbangan Indonesia.

Melihat pada Pasal 72 dan Pasal 73 UU No. 1 Tahun 2009, yang memungkinkan para pihak untuk membuat perjanjian hak jaminan kebendaan berdasarkan hukum negara Republik Indonesia, timbul pertanyaan mengenai

106Ibid., hal. 83.

 

bentuk lembaga jaminan apakah yang dapat diletakkan pada objek pesawat udara berdasarkan hukum negara Indonesia? Dengan melihat pembahasan dalam sub-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa ada empat jenis jaminan kebendaan yang dikenal di Indonesia, yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan atas tanah dan jaminan fidusia. Gadai tentu saja tidak cocok untuk pembebanan hak jaminan dengan objek pesawat udara, mengingat dalam gadai obyek gadai yang berupa benda bergerak berada di bawah kekuasaan kreditur. Hak Tanggungan juga hanya berlaku terhadap hak-hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam UU No. 4 Tahun 1996. Pasal 3 huruf c Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa undang-undang tersebut tidak berlaku terhadap hipotik pesawat udara, dan karenanya jaminan fidusia tidak bisa digunakan sebagai lembaga jaminan yang dapat diletakkan pada objek pesawat udara. Selanjutnya, mengenai hipotik pesawat udara sebelumnya diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992 namun undang-undang tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 1 Tahun 2009. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa saat ini belum ada lembaga jaminan di Indonesia untuk objek pesawat udara.

Dalam praktek pengadaan pesawat udara saat ini, banyak perusahaan penerbangan yang menggunakan cara sewa guna usaha (leasing). Perjanjian sewa guna usaha tersebut tunduk pada hukum yang dipilih oleh para pihak dan biasanya hukum tersebut adalah bukan hukum Indonesia. Hal ini disebabkan belum adanya peraturan khusus mengenai pengaturan mengenai perjanjian sewa guna usaha atas pesawat udara. Dalam perjanjian sewa guna usaha itu pada umumnya disepakati bahwa sebagai jaminan atas pembayaran sewa guna usaha dan/atau jaminan dalam hal terjadi kecelakaan yang membuat rusak atau musnahnya pesawat maka pihak

lessor mensyaratkan lessee untuk menjaminkan tagihan asuransi dan tagihan

reasuransi atas pesawat bersangkutan.

Lembaga jaminan yang digunakan untuk penjaminan tagihan asuransi dan tagihan reasuransi atas pesawat udara di Indonesia adalah jaminan fidusia. Jaminan fidusia yang dibuat adalah berdasarkan hukum Indonesia karena debitur adalah orang atau badan hukum Indonesia. Alasan lainnya adalah karena pada umumnya asuransi dan reasuransi atas pesawat tersebut dilakukan dengan

 

perusahaan asuransi di Indonesia. Alasan yang lebih penting adalah karena hal tersebut disepakati oleh para pihak.

2.4 Perjanjian Sewa Guna Usaha dan Jaminan Fidusia dalam Pengadaan

Dokumen terkait