• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

4.3. Tahap Ketiga : Pengujian In vivo TDL pada pakan Ikan Nila

4.3.8. Histologi Hati dan Usus

Pengaruh penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan terhadap hati dan saluran pencernaan ikan uji dengan perlakuan kontrol tanpa menggunakan TDL serta perlakuan dengan taraf TDL terhidrolisis yang berbeda dalam pakan. dapat dilihat pada gambaran histologi hati dan saluran pencernaan pada Gambar 39 sampai 45. Preparat hati ikan nila memperlihatkan bentuk hepatosit bervakuola yang berbeda. Perlakuan kontrol tanpa menggunakan TDL memperlihatkan hepatosit bervakuola yang lebih banyak dibandingkan pelakuan dengan menggunakan TDL terhidrolisis dalam pakan. Pada perlakuan dengan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan terlihat kecenderungan bahwa peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan jumlah hepatosit yang bervakuola.

Keterangan : (tanda anak panah) h=hepatosit bervakuola dan inti

Gambar 39. Histologi hati ikan nila perlakuan K (0% TDL dalam pakan) dan perlakuan A (10% TDL dalam pakan)

Keterangan : (tanda anak panah) h=hepatosit bervakuola dan inti

Gambar 40. Histologi hati ikan nila perlakuan B (15% TDL dalam pakan) dan perlakuan C (20% TDL dalam pakan)

Keterangan : (tanda anak panah) h=hepatosit bervakuola dan inti

Gambar 41. Histologi hati ikan nila perlakuan D (25% TDL dalam pakan) dan perlakuan E (30% TDL dalam pakan)

USUS IKAN NILA

Keterangan : tanda panah mukosa tunika (M); Tunika submukosa; (SM) tunika muscularis (MU) tunika serosa (tanda panah)

Gambar 42. Histologi usus ikan nila perlakuan K (0% TDL dalam pakan) dan perlakuan A (10% TDL dalam pakan)-penekanan pada struktur

 VC  VC

Gambar 43 Histologi usus ikan nila perlakuan K (0% TDL dalam pakan) dan perlakuan A (10% TDL dalam pakan)-penekanan pada deteksi sel goblet (GC) dan sel vili (VC).

Keterangan : tanda panah mukosa tunika (M); Tunika submukosa; (SM) tunika muscularis (MU) tunika serosa (tanda panah)

Gambar 44. Histologi usus ikan nila perlakuan B (15% TDL dalam pakan) dan perlakuan C (20% TDL dalam pakan)-penekanan pada struktur.

VC  VC 

Gambar 45. Histologi usus ikan nila perlakuan B (15% TDL dalam pakan) dan perlakuan C (20% TDL dalam pakan)-penekanan pada deteksi sel goblet (GC) dan sel vili (VC).

Keterangan : tanda panah mukosa tunika (M); Tunika submukosa; (SM) tunika muscularis (MU) tunika serosa (tanda panah)

Gambar 46. Histologi usus ikan nila perlakuan D (25% TDL dalam pakan) dan perlakuan E (30% TDL dalam pakan)-penekanan pada struktur

VC VC

Gambar 47. Histologi usus ikan nila perlakuan D (25 % TDL dalam pakan) dan perlakuan E (30% TDL dalam pakan)-penekanan pada deteksi sel goblet (GC) dan sel vili (VC). 

Pembahasan

Berdasarkan nilai parameter pertumbuhan (laju pertumbuhan harian), parameter pemanfaatan pakan (retensi protein, retensi lemak), nilai hepatosomatik indeks, kadar glikogen hati serta aktifitas enzim pencernaan (selulase, amilase dan protease) terlihat adanya pengaruh yang berbeda antara eksperimen 1 yang menggunakan TDL terhidrolisis dan eksperimen 2 yang menggunakan TDL tanpa hidrolisis.

Data kandungan asam amino essensial yang terkandung pada TDL terhidrolisis menunjukkan peningkatan ketersediaannya dibandingkan pada TDL tanpa hidrolisis (Tabel 11). Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat dihitung komposisi asam amino essensial pakan percobaan dengan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidrolisis yang disajikan pada Tabel 12 dan 13.

Tabel 12. Komposisi asam amino essensial pakan percobaan ikan nila dengan taraf kandungan TDL terhidrolisis yang berbeda serta kebutuhan asam amino essensil ikan nila (% protein).

Komposisi asam amino pakan perlakuan2 Asam amino essensial Kebutuhan asam amino essensial ikan Nila1 O (0 %) A (10%) B (15%) C (20%) D (25%) E (30%) Arginin 1,18 0,605 0,642 0,623 0,614 0,579 0,550 Fenilalanin 1,05 0,858 0,910 0,883 0,874 0,824 0,780 Histidin 0,48 0,401 0,450 0,447 0,453 0,439 0,429 Isoleusin 0,87 0,596 0,645 0,629 0,623 0,592 0,567 Leusin 0,95 1,053 1,084 1,049 1,029 0,965 0,915 Lisin 1,43 0,610 0,719 0,727 0,745 0,737 0,733 Metionin 0,75 0,334 0,396 0,392 0,391 0,382 0,375 Treonin 1,00 0,432 0,485 0,475 0,471 0,452 0,437 Triptofan 1,05 0,250 0,250 0,238 0,233 0,214 0,197 Valin 0,78 0,853 0,882 0,847 0,831 0,771 0,718 1)

Menurut Jackson et al. (1982) 2)

Dihitung berdasarkan komposisi asam amino essensial tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung daun lamtoro terhidrolisis, ddgs, tepung polard.

Tabel 13. Komposisi asam amino essensial pakan percobaan ikan nila dengan taraf kandungan TDL tanpa hidrolisis yang berbeda serta kebutuhan asam amino essensil ikan nila (% protein).

Komposisi asam amino pakan perlakuan2 Asam amino essensial Kebutuhan asam amino essensial ikan Nila1 F (10% TDL) G (15% TDL) H (20% TDL) I (25% TDL) J (30% TDL) Arginin 1,18 0,638 0,616 0,605 0,568 0,536 Fenilalanin 1,05 0,890 0,854 0,834 0,774 0,720 Histidin 0,48 0,447 0,443 0,447 0,432 0,420 Isoleusin 0,87 0,633 0,612 0,600 0,563 0,533 Leusin 0,95 1,070 1,028 1,000 0,929 0,872 Lisin 1,43 0,610 0,699 0,697 0,705 0,687 Metionin 0,75 0,396 0,392 0,391 0,382 0,375 Treonin 1,00 0,478 0,466 0,458 0,436 0,418 Triptofan 1,05 0,247 0,237 0,233 0,215 0,199 Valin 0,78 0,873 0,834 0,814 0,750 0,692 1)

Menurut Jackson et al. (1982) 2)

Dihitung berdasarkan komposisi asam amino essensial tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung daun lamtoro terhidrolisis, ddgs, tepung polard

Dari Tabel 12 dan 13 dapat terlihat bahwa, asam amino esensial pakan perlakuan masih dibawah kebutuhan asam amino essensial untuk pertumbuhan ikan nila (Jackson et al. 1982). Terlihat pula bahwa ketersediaan asam amino pada pakan percobaan dengan TDL terhidrolisis sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ketersediaan asam amino dengan TDL tanpa hidrolisis. Perlakuan kontrol tanpa TDL mempunyai ketersediaan asam amino yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pakan yang mengandung TDL terhidrolisis ataupun yang tidak terhidrolisis.

Pola asam amino keenam pakan perlakuan memperlihatkan kesamaan pola. Tetapi apabila dibandingkan dengan pola asam amino essensial ikan nila untuk pertumbuhan optimal terlihat adanya perbedaan. Perbedaan ini terdapat pada jenis asam amino arginin, metionin, threonin, lisin dan tripthofan. Dimana pola kelima asam amino pada kebutuhan ikan nila mengalami peningkatan sedangkan pada pola pakan perlakuan mengalami penurunan (Jackson et al. 1982 ). Hal yang sama dapat dilihat

pula pada TDL tanpa hidrolisis, sehingga fakta ini bukanlah penyebab terjadinya perbedaan nilai parameter yang diukur antar perlakuan.

Gambar 45. Pola asam amino pakan dengan kandungan persentase TDL terhidolisis yang berbeda dibandingkan dengan kebutuhan asam amino ikan nila.

Gambar 46. Pola asam amino pakan dengan kandungan persentase TDL tanpa hidrolisis yang berbeda dibandingkan dengan kebutuhan asam amino ikan nila.

Pengukuran parameter aktifitas enzim protease pada saluran pencernaan ikan nila dengan TDL terhidrolisis dan tanpa hidrolisis merupakan indikator dari kemampuan mencerna dan memanfaatkan protein dalam pakan. Pada penelitian

dengan TDL terhidrolisis, aktifitas enzim protease pada pemakaian 10 dan 15%, TDL meningkat dan selanjutnya aktifitas enzim mulai menurun pada penggunaan 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan. Enzim protease berperan dalam pencernaan protein pakan, sehingga penurunan aktifitas enzim protease pada taraf 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan mengindikasikan penurunan kemampuan mencerna protein pakan. Dikemukakan oleh De Silva dan Anderson (1995) bahwa penurunan aktifitas protease berhubungan dengan penurunan kandungan tepung ikan sebagai sumber protein pakan, tetapi dalam penelitian ini digunakan proporsi tepung ikan yang sama yaitu sebesar 15 %. Storebakken et al. (1998) melaporkan efek negatif dari glukosa pada kecernaan protein, dimana dijelaskan oleh Ferraris dan Ahearn (1984); Vinardell (1990) bahwa glukosa/monosakarida dapat menghambat transport asam amino di dalam saluran pencernaan. Dikaitkan dengan nilai yang didapat dari hasil in vitro pada tahapan sebelumnya terjadi peningkatan glukosa terlarut TDL terhidrolisis seiring dengan peningkatan volume cairan rumen yang digunakan untuk menghidrolisis TDL. Analisa aktifitas enzim pada domba yang mendapat pakan hijauan menunjukkan bahwa aktifitas enzim selulase sebesar 1,66 ± 0,19 IU/ml/menit dan amilase sebesar 1,32 ± 0,02 IU/ml/menit. TDL dengan kandungan komponen neutral detergent fiber (NDF) 39,5% dan acid detergent fiber (ADF) 35,10% (Garcia et al. 1996) serta total karbohidrat 18,6 % (Kale, 1987) merupakan media yang sangat sesuai untuk kerja enzim selulase dan amilase. Peningkatan penggunaan TDL terhidrolisis dalam pakan akan meningkatkan pula kandungan monosakarida yaitu glukosa akibat kerja enzim selulase dan amilase yang terkandung dalam rumen. Peningkatan penggunaan TDL pada taraf 15, 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis akan meningkatkan pula keberadaan glukosa dalam pakan, sehingga menghambat transport asam amino ke dalam saluran pencernaan. Terganggunya penyerapan protein dalam saluran pencernaan dapat dilihat data retensi protein pada perlakuan 20% TDL terhidrolisis dalam pakan yang mulai menurun. Hal ini terjadi sebagai

respon tubuh ikan nila yang tidak mampu memanfaatkan monosakarida yang masuk lewat pakan dalam waktu yang singkat.

Peningkatan persentase penggunaan TDL terhidrolisis dan TDl tanpa hidrolisis dalam pakan meningkatkan pula kandungan serat pakan perlakuan. Hasil uji in vitro pada tahap sebelumnya mendapatkan penurunan serat kasar sebanyak 53,64 %, TDL terhidrolisis dibandingkan TDL tanpa hidrolisis sebagai perlakuan kontrol. Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar dicerna. Selulosa merupakan kerangka sel tanaman yang terdiri dari rantai β-D-Glukosa dengan derajat polimerasi sebesar lebih kurang 14.000 (Stryer 1999). Serat makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu relatif singkat sehingga absorpsi zat makanan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat yang relatif tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat komplex yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan. Dilaporkan makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi juga dilaporkan dapat mengurangi bobot badan ikan (Hemre et al. 2002). Pernyataan tersebut tidak bersesuaian dengan penggunaan TDL tanpa hidrolisis, dimana peningkatan serat kasar pakan dengan meningkatnya taraf TDL, semakin meningkatkan nilai-nilai parameter pertumbuhan dan pemanfaatan pakan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan ikan nila untuk memanfaatkan karbohidrat kompleks seperti starch, dextrin yang lebih baik dibandingkan dengan karbohidrat sederhana seperti glukosa dan maltose.

Pemanfaatan karbohidrat erat hubungannya dengan enzim karbohidrase atau amilase yang diproduksi di pankreas, lambung dan di dalam usus. Hidrolisis karbohidrat oleh enzim amilase akan menghasilkan karbohidrat sederhana yaitu mono/disakarida. Aktifitas enzim amilase menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis atau TDL tanpa hidrolisis dalam pakan. Nilai aktifitas enzim amilase pada saluran pencernaan perlakuan TDL terhidrolisis berada pada kisaran nilai 0,0758 –0,2148

(unit/ml/menit). Sedangkan nilai aktifitas enzim amilase TDL tanpa hidrolisis berkisar 0,06202 – 0,292466 unit/ml/menit. Tingginya aktifitas enzim pada perlakuan 10, 15 dan 25 % TDL terhidrolisis dalam pakan mengambarkan kualitas karbohidrat yang lebih baik dibandingkan taraf yang sama pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis. Peningkatan aktifitas enzim saluran pencernaan ikan nila dengan meningkatnya penggunaan TDL dalam pakan merupakan bukti kemampuan ikan nila untuk memanfaatkan TDL yang kaya sumber karbohidrat sebagai sumber energi. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh De Silva dan Anderson, (1995) bahwa pada Oreochromis mossambicus, aktifitas amilase akan meningkat dengan peningkatan kandungan starch dalam pakan.

Pengaruh keberadaan serat TDL dalam pakan dapat dilihat dari aktifitas enzim selulase dalam saluran pencernaan. Pada penelitian ini ikan nila yang mendapatkan perlakuan pakan berbasis nabati, aktifitas enzim selulase dapat terdeteksi walaupun nilai aktifitasnya adalah yang terendah dibandingkan dengan jenis enzim yang lain. Aktifitas enzim selulase berhubungan jenis pakan dengan kandungan serat pakan baik jenis maupun jumlahnya yang substrat yang tersedia untuk dicerna (Wong DWS, 1995). Pada penelitian ini nilai aktifitas enzim selulase senakin meningkat dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis dan TDL tanpa hidroilsis di dalam pakan. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa ikan tidak memiliki enzim selulase dan kemungkinan adanya populasi mikroba selulotik di saluran pencernaan ikan juga masih menjadi kontrofersi di kalangan peneliti (Stickney dan Shumway 1974; Prejs dan Blaszczyk 2006; Linsday dan Harris 1980; Lessel et al. 1986; Luczkovich dan Stellway 1993; Saha dan Ray 1998). Kontrofersi tersebut terbantahkan dengan data yang didapat pada penelitian ini, serta didukung pula oleh penelitian terbaru (Prejs dan Mieczyslaw 2006; Donovan et al. 2009; Li et al. 2004; Nibedita dan Koushik 2008) yang juga mendapatkan aktifitas enzim selulase pada saluran pencernaan ikan. Perlakuan kontrol tanpa penggunaan TDL memberikan nilai aktifitas enzim terendah (0,0176 unit/ml/menit) dibandingkan seluruh perlakuan dengan TDL terhidrolisis maupun

TDL tanpa hidrolisis. Perlakuan hidrolisis TDL dengan cairan rumen domba dapat menurunkan kadar serat kasar sampai 53,84 %, sehingga tingginya serat yang terkandung pada TDL tanpa hidrolisis diindikasikan sebagai penyebab rendahnya retensi lemak tubuh.

Serat kasar merupakan komponen karbohidrat yang kaya akan lignin dan selulosa yang bersifat sukar dicerna. Serat dapat menghambat proses penyerapan lemak serta membantu mengurangi asupan kalori. Pada manusia fungsi utama selulosa adalah untuk menyediakan bahan bulky (tidak dapat dicerna) yang dapat meningkatkan efisiensi kerja saluran yang fungsinya dapat disamakan dengan fungsi serat dalam pakan ternak. Semakin banyak konsumsi serat, makin tinggi pula porsi lemak makanan yang terbuang lewat feses. Hal ini mengakibatkan kandungan lemak tersebut dibuang dan tidak diserap tubuh. Rendahnya retensi lemak dalam tubuh juga mengindikasi bahwa tingginya kandungan serat dalam pakan mempengaruhi penyimpanan lemak dalam tubuh melalui proses lipogenesis. (Djojosoebagio dan Pilliang, 1996). Kadar serat dari TDL dengan hidrolisis enzim rumen yang lebih rendah dari TDL tanpa hidrolisis juga diindikasi menjadi sebab nilai aktifitas enzim selulase pada perlakuan TDL terhidrolisis lebih rendah dari nilai aktifitas enzim selulase pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan substrat untuk dicerna oleh enzim selulase pada perlakuan yang menggunakan tepung daun TDL akan merangsang respon dari saluran pencernaan ikan nila untuk semakin banyak mensekresikan enzim selulase.

TDL yang digunakan dalam penelitian ini adalah TDL yang sudah mengalami reduksi mimosin. Antinutrisi lainnya yang terkandung dalam TDL adalah asam fitat. Penurunan kandungan asam fitat TDL dengan inkubasi cairan rumen domba 100ml/kg sebesar 68,088 %, diharapkan dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari TDL sebagai bahan pakan untuk hewan-hewan monogastrik termasuk ikan yang tidak mampu menghidrolisis asam fitat karena keterbatasan enzim fitase di dalam saluran pencernaan. Dilaporkan bahwa fitat mengurangi ketersediaan dari mineral, menurunkan kecernaan protein yang diakibatkan oleh ikatan kompleks antara asam fitat dan protein serta menggangu proses penyerapan nutrient di dalam

pyhloric caeca (Francis et al. 2001). Tingginya kandungan fitat dalam TDL tanpa hidrolisis diduga menjadi penyebab rendahnya aktifitas enzim protease dibandingkan eksperimen dengan TDL terhidrolisis. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan adanya kemampuan fitat mengikat protein dan mineral di dalam digesta, yang sangat potensial untuk menghambat aktivitas enzim-enzim pencernaan. Conrad et al. (1996), menyatakan bahwa fitat menghambat aktivitas enzim tripsin. Metabolisme ini melibatkan chelat mineral dan menghilangkan kofaktor yang dibutuhkan enzim untuk dapat bekerja secara optimum.

Penurunan kadar fitat TDL terhidrolisis diharapkan akan meningkatkan penggunaan mineral khususnya fosfor yang ada dalam TDL. Suplementasi fitase dengan inkubasi TDL dengan ekstrak enzim rumen domba diharapkan pula dapat mengurangi pengaruh negatif anti nutrisi dari asam fitat dan mengurangi biaya pakan sebagai dampak tidak dilakukannya suplementasi mineral fosfat anorganik. Dilaporkan keberadaan asam pitat 5-6 gram dalam pakan menggurangi pertumbuhan dari rainbow trout (Spinelli et al. 1983) dan ikan mas (Hossain dan Jauncey, 1993). Hasil penelitian ini didukung dengan beberapa laporan sebelumnya tentang pengaruh penambahan fitase dalam pakan untuk meningkatkan ketersediaan dan kecernaan P. Teller et al. (1998) pada ikan seabass (Dicentrarchus labrax) ukuran juvenil pemberian enzim fitase dalam pakan meningkatkan kecernaan P dari 63% menjadi 79,8%; Masumoto et al. (2001) pada ikan Japanese flounder ukuran 35 g dosis fitase 50 mg/100g tepung bungkil kedelai mampu meningkatkan ketersediaan P pada pakan; Yan dan Reigh (2002), pada ikan channel catfish ukuran 12 g, pemberian fitase 1000 unit/kg pakan mampu meningkatkan konsentrasi Ca, P dan Mg dalam tulang.

Menurunnya kandungan asam fitat pada TDL dengan penambahan enzim rumen yang mengandung enzim fitase diharapkan dapat menurunkan limbah P yang dilepas ke perairan. Menurut Baruah et al. (2004), fosfor dalam pakan berada dalam berbagai bentuk, yaitu fosfor dalam kompleks protein dan lipid. Asam fitat mengikat fosfor yang tidak dapat dicerna oleh ikan akan dieksresikan oleh ikan ke

lingkungan dan selanjutnya akan mengalami degradasi oleh mikroba penghasil fitase dan akan melepaskan fosfor. Fosfor dalam jumlah besar akan masuk ke perairan yang dapat memicu timbulnya alga di perairan.

Nilai retensi protein tertinggi perlakuan TDL terhidrolisis yaitu 40,70 % dicapai pada perlakuan 15 % TDL terhidrolisis, dimana nilai berbeda nyata dengan semua perlakuan lain. Pada perlakuan yang sama dengan campuran TDL tanpa hidrolisis didapat nilai retensi protein yang lebih rendah (22,70%). Hal diperkirakan dipengaruhi oleh peningkatan ketersediaan asam amino essensial dan peningkatan kualitas nutrisi TDL terhidrolisis pada uji in vitro dengan penurunan kadar serat kasar dan asam fitat. Pada taraf 10% nilai retensi protein adalah sebesar 24,98 % selanjutnya pada taraf 15 % nilai retensi protein akan meningkat tetapi pada taraf 20, 25 dan 30% TDL terhidrolisis dalam pakan nilai retensi protein mulai menurun (17,37; 16,79; 20,92 %). Sedangkan pada perlakuan TDL tanpa hidrolisis peningkatan taraf TDL yang sama cenderung meningkatkan nilai retensi protein (17,38 % 20,57%. 24,68% ). Penurunan nilai retensi protein ini merupakan respon tubuh terhadap terganggunya penyerapan asam amino di dalam saluran pencernaan karena adanya glukosa dalam jumlah yang berlebihan.

Parameter retensi nutrisi lainnya yang menjadi perhatian adalah kemampuan tubuh ikan nila untuk meretensi lemak. Meningkatnya kandungan karbohidrat sederhana pada TDL terhidrolisis juga berpengaruh pada nilai retensi lemak. Nilai retensi lemak mengambarkan pula bentuk cadangan energi dalam bentuk lemak. Pada taraf penggunaan 10, 15, 20 dan 25 % TDL terhidrolisis menghasilkan nilai retensi lemak yang jauh lebih tinggil dari taraf yang sama dengan TDL tanpa hidrolisis. Hal ini menggambarkan cadangan energi yang dimiliki ikan nila dengan pakan mengandung TDL terhidrolisis lebih besar daripada ikan nila dengan kandungan TDL tanpa hidrolisis. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kelebihan glukosa yang ada di sel melalui jalur lipogenesis dapat dimanfaatan untuk disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak .sehingga retensi lemak meningkat.

Nilai retensi protein dan retensi lemak yang didapat pada penelitian dengan TDL terhidrolisis lebih baik dari nilai retensi protein yang dilaporkan oleh Abdel Hakim et al. (2008) pada ikan nila dengan bobot tubuh 30 ± 0.46 g. Dengan pengantian 30% bungkil kedelai dalam pakan dengan isi rumen yang dikeringkan; sunflower meal; dan sesame seed cake didapatkan nilai retensi protein sebesar 19.02; 19.63; 20.45%. dan nilai retensi lemak 9.02; 10.15; dan 11.51. Sedangkan Gonzales (2007) menggunakan tumbuhan sebagai dasar penyusun pakan larva ikan nila hanya mendapatkan nilai retensi protein 31,9%. Ali et al. (2003) pada pakan ikan nila menggunakan alfafa leaf meal pada taraf 5, 10, 15 dan 20 % didapatkan nilai retensi protein berturut-turut 35.30; 31.80; 29.81 dan 27.74%. Perbedaan nilai komposisi asam amino esensial serta jumlah karbohidrat sederhana yang berlebih diindikasi menjadi penyebab perbedaan nilai retensi protein ini.

Terhambatnya absorbsi asam amino dalam saluran pencernaan oleh glukosa yang berlebih pada saluran pencernaan ikan dengan pakan mengandung 30% TDL terhidrolisis selain mempengaruhi nilai retensi protein juga akan berpengaruh pada nilai retensi lemak. Dimana pada perlakuan 30 % TDL terhidrolisis di dalam pakan, didapatkan nilai retensi protein sebesar 20,92 dan nilai retensi lemak sebesar 14,40%, sedangkan perlakuan dengan TDL tanpa hidrolisis dengan taraf yang sama didapat nilai retensi protein sebesar 24,68% dan retensi lemak 20,46%. Ketersediaan energi yang terbatas dalam bentuk protein pada perlakuan ini, mengakibatkan ikan berusaha memanfaatkan sumber energi yang lain yaitu lemak sehingga retensi lemaknya menjadi turun drastis dibandingkan perlakuan lain dengan TDL terhidrolisis.

Ketersediaan glukosa dalam sel yang merupakan produk hidrolisis karbohidrat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh dan kebutuhan energi. Setelah kebutuhan terpenuhi, glukosa yang tersisa akan merangsang terjadinya proses glikogenesis dan lipogenesis (Stryer, 2000). Glikogenesis adalah perubahan bentuk glukosa menjadi glikogen seperti yang terjadi di dalam hati dan otot. Peningkatan aktifitas glikogenesis inilah yang menyebabkan

meningkatnya kadar glikogen hati pada ikan uji yang diberi pakan mengandung TDL terhidrolisis dibandingkan dengan TDL tanpa hidrolisis. Nilai kadar glikogen hati pada perlakuan TDL terhidrolisis berada pada kisaran 1,03 – 1,27(µg/g), sedangkan pada TDL tanpa hidrolisis berkisar 0,000267 - 0,001167 (µg/g). TDL terhidrolisis dengan cairan rumen domba akan meningkatkan kadar glukosa terlarut. Sehingga meningkatnya pemakaian TDL dalam pakan juga akan meningkatkan kandungan glukosa dalam pakan yang dikonsumsi. Pada Gibel carp yang bersifat omnivora, Tan et al. (2006) melaporkan perlakuan pakan selulosa menghasilkan kadar glikogen di hati dengan lebih tinggi dari ikan dengan perlakuan pakan glukosa dan dextrin serta sukrosa dan soluble starch serta tidak ada pengaruh perlakuan pada nilai hepatosomatik indeks. Pada penelitian ini tingginya kandungan glukosa terlarut pada TDL terhidrolisis perlakuan diduga menjadi penyebab didapatkan simpanan glikogen yang lebih tinggi pada perlakuan dengan TDL terhidrolisis dibandingkan TDL tanpa hidrolisis.

Nilai HIS eksperimen 1 dengan menggunakan TDL terhidrolisis dalam pakan semakin meningkat dengan meningkatnya penggunaan TDL terhidrolisis. Fakta ini diduga sebagai respon meningkatnya simpanan glikogen dengan meningkatnya kesediaan glukosa/karbohidrat sederhana di dalam pakan. Data HIS ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hutchins et al. 1998 menyatakan bahwa ikan sunshine bass dengan pakan mengandung karbohidrat sederhana yang semakin meningkat dalam pakan mempunyai nilai HIS yang lebih besar dibandingkan ikan dengan pakan tanpa karbohidrat sederhana. Pada ikan flounder Lee et al. 2003 melaporkan nilai HIS lebih besar pada perlakuan pakan mengandung 15 % glukosa dan 15 % maltose dibandingkan dengan perlakuan yang mengandung dextrin.

Fakta yang berbeda didapat pada eksperimen menggunakan TDL tanpa terhidrolis. Nilai HIS semakin menurun dengan meningkatnya taraf TDL dalam pakan. dengan nilai terkecil HIS 0,95%. Menurunnya nilai HIS ini disebakan karena lebih rendahnya simpanan glikogen yang didapat dari jalur glikogenesis.

Selain itu faktor keberadaan bahan antinutrisi asam fitat juga diduga menjadi penyebab semakin kecilnya nilai HIS dengan meningkatnya kandungan TDL dalam pakan. Seperti yang dilaporkan oleh Olude et al. (2008) menggunakan copra meal dan moringga leaf meal, dimana semakin banyak persentasenya dalam pakan maka nilai HIS akan semakin menurun.

Untuk mengetahui pengaruh pakan dengan TDL terhidrolisis pada struktur hati dan usus dilakukan preparasi histologi pada kedua organ ini. Menurut Brauge et al. (1994) pada ikan rainbow trout, sintesis lemak yang berasal dari karbohidrat berlangsung di dalam hati. Perubahan lemak dalam hati ikan nila dapat dilihat pada sel hati yang bervakuola. Vakuola pada hepatosit terbentuk karena pada saat proses preparasi histologi lemak dalam hati akan dilarutkan oleh alkohol. Hepatosit yang bervakuola mengindikasikan adanya penyimpanan lemak dalam hati ikan nila. Pada perlakuan tanpa menggunakan TDL, memperlihatkan ukuran dari hepatosit yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan dengan menggunakan TDL. Hal ini mengidikasikan tingginya proses lipogenesis yang terjadi di dalam hati. Sedangkan jumlah hepatosit pada perlakuan TDL, 10, dan

Dokumen terkait