• Tidak ada hasil yang ditemukan

Homoseks dalam Peraturan Perundang-undangan Pidana Di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KRIMINALISASI DAN HOMOSEKS

B. Tinjauan Umum Homoseks

3. Homoseks dalam Peraturan Perundang-undangan Pidana Di Indonesia

Perbuatan homoseks di Indonesia dianggap sebagai perilaku seksual yang menyimpang, sehingga perbuatan homoseks ini ditolak dan dilarang oleh masyarakat Indonesia untuk dilakukan di Indonesia. Meskipun dilarang dilakukan di Indonesia, larangan perbuatan homoseks tidak diatur atau dimuat secara rinci dan jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun para penegak hukum sering menerapkan peraturan perundang-undangan mengenai larangan cabul sesama jenis terhadap pratik-praktik homoseks atau sodomi yang dilakukan oleh orang dewasa teradap seorang anak.

Penerapan larangan cabul sesama jenis dinilai bermakna luas sehingga mampu mencakup perbuatan homoseks atau sodomi, walaupun hanya terbatas mencakup perbuatan homoseks atau sodomi yang dilakukan terhadap seorang anak. Soesilo, dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”,

mengemukakan mengenai pengertian “perbuatan cabul” yaitu sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, dimana semuanya itu dilakukan dalam lingkup nafsu birahi kelamin, misalnya

46 cium-ciuman; meraba-raba anggota kemaluan; meraba-raba buah dada, dan sebagainya.109

Setidaknya, terdapat 7 Pasal dalam KUHP110 dan 1 Pasal dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP di Indonesia yang memuat larangan dilakukannya perbuatan cabul, yaitu:

a. Pasal 289 KUHP, tentang perbuatan cabul dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dinyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

b. Pasal 290 KUHP, tentang perbuatan cabul dilakukan dengan seorang yang pingsan atau tidak berdaya, melakukan perbuatan cabul dengan seorang belum berusia 15 tahun, dan membujuk seorang yang belum berumur 15 tahun untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul atau bersetubuh di luar pernikahan, dinyatakan bahwa: “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

Ke-1. barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

Ke-2. barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin;

Ke-3. barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau

109 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1995, hlm. 212.

110 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ctk. 27, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 106-108.

47

umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan dengan orang lain.”

c. Pasal 292 KUHP, tentang perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa sesama jenis atau homoseks, dinyatakan bahwa:

“Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan

orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

d. Pasal 293 KUHP tentang dengan pemberian menggerakkan orang belum dewasa berbuat cabul, dinyatakan bahwa:

“(1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu,

(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas tahun.”

e. Pasal 294 KUHP tentang perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa yang dilakukan orang tua atau yang mempunyai hubungan, dinyatakan bahwa:

“(1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak

tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

48

Ke-1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya;

Ke-2. Seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.”

f. Pasal 295 KUHP tentang memudahkan anak di bawah umur untuk berbuat cabul, dinyatakan bahwa:

“(1) Diancam:

Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;

Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali tersebut ke-1 di atas yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain.

(2) jika yang bersalah, melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.”

g. Pasal 296 KUHP tentang mata pencaharian mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul, dinyatakan bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan

perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah.”

49 h. Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,111 dinyatakan bahwa:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Saat ini, Pemerintah Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang memuat pidana tambahan terhadap pelaku perbuatan cabul, yang sebelumnya ancaman pidana pelaku perbuatan cabul diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berikut isi Pasal 82 dan 82A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa:

Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai

111 Pasal 76E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

50 hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Pasal 82A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berbagai peraturan perundang-undangan yang telah dikemukakan diatas, hanya 1 (satu) pasal yang secara eksplisit memuat istilah larangan cabul sesama jenis, yaitu pada Pasal 292 KUHP. Namun, pada prakteknya, tidak

51 sedikit hakim memutus suatu perkara perbuatan homoseks terhadap korban anak dengan menggunakan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai contohnya, pada Putusan Nomor 90/Pid.Sus/2016/PN.Bms, hakim pada perkara tersebut menggunakan Pasal 76E Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tidak menggunakan Pasal 292 KUHP.112 Pertimbangan hakim untuk menggunakan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada perkara tersebut adalah pemberlakuan asas “Lex Spesialis Derogat Legi

Generalis” yang bermakna undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.

Hakim pada Putusan Nomor 90/Pid.Sus/2016/PN.Bms yang menangani perkara perbuatan homoseks atau sodomi terhadap anak laki-laki atau sesama jenis, dalam pertimbangannya telah mengadopsi doktrin Soesilo mengenai pengertian cabul,113 yang digunakan sebagai dasar memutus perkara tersebut, bahwa perbuatan homoseks atau sodomi yang dilakukan oleh pelaku terhadap anak laki-laki sesama jenis dalam perkara tersebut dinilai telah memenuhi unsur perbuatan cabul, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

112 Putusan Pengadilan Negeri Banyumas Nomor 90/Pid.Sus/2016/PN.Bms, hlm. 25.

52

Dokumen terkait