• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dengan Fikih

Dalam dokumen KAIDAH-KAIDAH FIKIH. untuk EKONOMI ISLAM (Halaman 41-52)

BAB III PENUTUP

Bagan 2. Hubungan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dengan Fikih

Imam Asy-Syafii (w. 204 H) telah menulis kitab Ar-Risa/ah yang memuat Ushul Fikih. Kemudian pada masa-masa berikutnya karya-karya Ushul Fikih mulai banyak ditulis sebagai sebuah disiplin keilmuan yang independen. Tidak hanya dalam madzhab Syafii saja, melainkan dalam madzhab-madzhab yang lain.24Jmam Al-Qarafi dapat dianggap ulama yang pertama-tama mencoba membedakan antara kedua disiplin itu. Beliau membagi Fikih menjadi dasar-dasar (Ushu/J dan cabang-cabang (Furu'). Dasar-dasar Fikih itu terbagi mejadi dua, yaitu Ushul Fikih dan al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Menurutnya, al-Qawaid al-Fiqhiyyah

"Ali Ahmad An-Nadwi, ibid, hlmn. 67.

24 lbid, hlmn. 23.

20 I Kaldah-kaldah Flklh Untuk Ekonoml Islam

memiliki kaidah-kaidahnya yang sangat banyak yang tidak dapat ditemukan di dalam Ushul Fikih.25 lbnu Taimiyah (w 728 H) mencoba memberikan perbedaan antara al-Qawaid al-Fiqhiyyah dan Ushul Fikih dengan memberikan fokus objek yang berbeda antara keduanya. Fokus Ushul Fikih adalah mengenai dalil-dalil yang bersifat universal, sedangkan al-Qawaid al-Fiqhiyyah berkaitan dengan hukum-hukum yang bersifat universal yang disimpulkan dari dalil-dalil. Ringkasnya, terdapat sejumlah perbedaan antara al-Qawaid al-Fiqhiyyah dan Ushul Fikih yang dapat disebutkan dalam beberapa poin berikut ini:26

1) Kaidah Ushul Fikih umumnya muncul dari kaidah tata bahasa Arab, teks bahasa Arab, dan lafadz-lafadz bahasa Arab. Sedangkan a/-Qawaid al-Fiqhiyyah bersumber atau muncul dari hukum-hukum Fikih dan permasalahan-permasalahan Fikih yang sudah ada sebelumnya.

2) Al-Qawaid al-Fiqhiyyah digunakan oleh ahli fatwa (mufti), ahli Fikih, atau pelajar Fikih untuk menguasai berbagai cabang tanpa harus merujuknya kepada bab-babnya masing-masing. Sedangkan kaidah Ushul Fikih digunakan oleh seorang mujtahid dalam menyimpulkan (istimbath) hukum-hukum Islam dari dalil-dalil untuk menjawab kasus-kasus yang terjadi.

3) Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, meskipun universal, namun ia sangat terbuka untuk memiliki mustatsnayat (pengecualian-pengecualian) yang terkadang dapat menjadi kaidah cabang atau anak kaidah. Sedangkan kaidah Ushul Fikih lebih mampu mencakup seluruh cabang-cabangnya.

"Ibid, 68.

"All An-Nadwl, Ibid, hlmn. 68-69 dan Az•Zuhalll, Ibid, hlmn. 24-25

Pendahuluan I 21 4) AI-Qawaid al-Fiqhiyyah cenderung bersifat elastis atau mudah menyesuaikan dengan kemaslahatan, adat, atau keperluan menghalau kerusakan (sad dzari'ah).

Sementara kaidah Ushul Fikih bersifat lebih statis dan tidak berubah-rubah sebagai aturan dalam menentukan hukum Fikih.

5) Secara teoritis, a/-Qawaid al-Fiqhiyyah munculnya setelah ada hukum-hukum Fikih yang disampaikan atau difatwakan oleh para ulama. Sedangkan kaidah Ushul Fikih muncul sebelum adanya hukum-hukum Fikih.

6) Kaidah Ushul Fikih adalah sebagai pembatas atau frame (bingkai) dalam menyimpulkan hukum-hukum Fikih.

Sedangkan a/-Qawaid a/-Fiqhiyyah adalah hukum yang umum yang mengumpulkan hukum-hukum cabang di bawahnya.

Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan ini, namun antara a/-Qawaid al-Fiqhiyyah dan Ushul Fikih memiliki hubungan erat yang tercermin dalam beberapa hat antara lain: (1) keduanya merupakan acuan bagi hukum Islam yang sama-sama bersifat universal dan memiliki cabang-cabang yang termasuk di dalamnya; (2) keduanya merupakan kaidah-kaidah yang digunakan dalam bidang Fikih dan berguna dalam menentukan hukum permasalahan yang lama maupun baru; (3) keduanya dibutuhkan oleh seorang mujtahid pada zaman sekarang ini agar menguasai bab-bab dalam bidang Fikih.

Selain sisi perbedaanantara a/-Qawaid al-Fiqhiyyah dan Ushul Fikih, sebagian ulama juga membedakan antara a/-Qawaid a/-Fiqhiyyah dengan Nadzariyyat Fiqhiyyah (Teori Fikih). Menurut Ali An-Nadwi, Nadzariyyat Fiqhiyyah (Teori Fikih) muncul di saat para ulama modern mencoba mengelaborasikan antara Fikih dan hukum konvensional atau hukum positif, mereka mencoba mempertemukan antara Fikih dan hukum positif sehingga

22 J Kaldah-kaidah Fikih Untuk Ekonomi Islam

memunculkan teori-teori Fikih. Nadzariyyat Fiqhiyyah adalah tema-tema Fikih yang mengandung beragam permasalahan yang pada intinya terdiri dari syarat, rukun, dan hukum yang memiliki hubungan yang mengikat keduanya menjadi sebuah kesatuan tema, seperti teori kepemilikan, teori akad, teori penetapan hukum pidana, dan teori-teori Fikih lainnya.27

Selanjutnya, An-Nadwi meringkas perbedaan antara keduanya dalam dua point: Pertama, al-Qawaid a/-Fiqhiyyah memuat hukum-hukum Fikih. Hukum-hukum itu kemudian dapat berpindah kepada semua cabang-cabangnya, seperti kaidah al-yaqin ldyazi1/u bisy syakk (keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh

keraguan) memiliki kandungan hukum yang dapat diberlakukan dalam semua permasalahan-permasalahan Fikih yang di dalamnya terdapat sisi-sisi keraguan dan sisi-sisi kepastian.

Sedangkan teori Fikih tidak memiliki kandungan tentang hukum, sebab fokus pembahasannya bukan tentang halal-haram atau sah-batalnya sebuah praktek atau peristiwa. Kedua, Nadzariyat Fiqhiyyah dipastikan memiliki rukun dan syarat, misalkan dalam teori kepemilikan [Nadzariyyah Al-Milki) maka akan dijelaskan tentang syarat pemilik, syarat harta yang dapat dimiliki, dan juga bentuk kepemilikan sebagai rukunnya. Sedangkan Qawaid a/-Fiqhiyyah tidak terdiri dari syarat rukun yang membentuknya, melainkan kumpulan dari produk-produk hukum yang sudah terhimpun dalam sebuah kaidah yang bersifat universal.

Sebagaimana telah dijelaskan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah itu bersifat universal, sehingga mampu mencakup semua hukum-hukum cabang ffuru') yang berada di bawahnya. Jika hukum-hukum cabang itu masih berada dalam satu bab atau permasalahan, maka kaidahnya disebut sebagal dhabith atau dhawabith yang maknanya adalah 'prinsip-prinsip'. Sedangkan

27 Ali An-Nadwi, ibid, hlmn. 64

Pendahuluan

I

23 jika hukum-hukum cabang itu dari berbagai bah atau permasalahan, maka disebut sebagai al-Qawaid. Sebagai contoh, kaidah "al-umiiru bi maqiishidiha" (segala sesuatu tergantung niatnya), kaidah ini berlaku dalam bab shalat, puasa, nikah, mu'ama/ah, bahkan hukum kriminal Uinayah). Contoh dari dhawabith adalah penyataan "setiap air yang tidak berubah sifat-sifatnya adalah suci". Hukum ini bersifat universal karena

mencakup semua macam air jernih yang tidak berubah warna, bau, maupun rasanya, namun hukum universal itu jelas hanya terbatas dalam pembahasan tentang air saja dan tidak berlaku untuk pembahasan Fikih yang Iainnya.

Sebagian ulama memang ada yang tidak membedakan antara al-Qawaid al-Fiqhiyyah dan DhawabithFiqhiyyah sehingga beberapa Dhawabith pun sering disebut sebagai Qawaid. Shidqi AI-Burnu memasukkan beberapa Dhawabith ini ke dalam

al-Qawaid a/-Fiqhiyyah yang cabang.2BAJ-Burnu berpendapat bahwa al-Qawaid al-Fiqhiyyah terbagi menjadi tiga: (1) Qawaid al-Fiqhiyyah Kubra (kaidah-kaidah Fikih yang pokok), yaitu lima kaidah seperti al-umiiru bi maqashidiha (segala sesuatu itu berdasarkan niatnya), al-yaqin la yuzalu bisy syakk, (yang pasti/yakin tidak dapat dihapus oleh keraguan), al-masyaqqatu tajlibut taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan), adh-dhararu yuza/u (kemadharatan itu dihapuskan), al- 'iidah muhakkamah (adat/kebiasaan menjadi dasar hukum)29 ; (2) a/-Qawaid al-Fiqhiyyah Mutawasitah (kaidah-kaidah Fikih yang tercakup dalam al-Qawaid al-Fiqhiyyah Kubra), yaitu kaidah-kaidah yang masih bersifat universal dan mencakup beragam bab Fikih namun cakupannya masih di bawah kaidah pokok, seperti kaidah

adh-,a Shidqi AI-Burnu, 1996, AI-Wajiz Fi AI-Qaqaid AI-Fiqhiyyah, Muassasah Ar-Risalah, Beirut, hlmn 28.

29 Shidqi Al~Burnu menambah Hrna kaidah pokok besar ini menjadi enam, yaitu dengan menambahkan kaidah "i'malul ka/am aula_min ihmalihi"(menggunakan perkataan itu lebih utama daripada meninggalkanya], hhat: 1b1d, hlmn 26

24 I Kaldah-kaidah Fiklh Untuk Ekonomi Islam

dhariiratu tubfchul machdhiirat ( darurat itu memperbolehkan ha!

yang dilarang) yang masuk dalam kaidah besar /pokok al-masyaqqatu taj/ibut taisfr (kesulitan mendatangkan kemudahan) atau kaidah yang berdiri sendiri, seperti kaidah at-tasharruf 'alar ra 'iyyah maniithun bi/ mashlachah (kebijakan untuk rakyat dikaitkan dengan kemashlahatan); (3) al-Qawaid al-Fiqhiyyah Shughra (kaidah-kaidah Fikih kecil) yang hanya berlaku pada sebagian permasalahan saja. Sedangkan Dhawabith -dalam pembagian Al-Burnu- termasuk dalam bagian ketiga ini, seperti kaidah "kullu kaffaratin sababuha ma 'shiyah fahuwa 'ala/ Jauri (setiap kaffarat ( denda)yang disebabkan dosa maksiat itu harus ditunaikan secara langsung).

1.F Sumber Epistemologis

al-Qawaid al-Fiqhiyyah Seperti diketahui dari sejarah kemunculannya, Qawaid al-Fiqhiyyah bukanlah sebuah disiplin keilmuan yang sudah ada semenjak zaman Rasulallah Saw, walaupun embrionya sudah dapat diketemukan semenjak masa-masa kenabian, namun kemunculannya sebagai sebuah ilmu yang independen dalam lingkup ilmu Fikih merupakan kreasi para ulama. AI-Qawaid al-Fiqhiyyah merupakan disiplin keilmuan yang disusun untuk memberikan fungsi dan manfaat yang menjadi latar belakang kemunculan dan pembukuannya, yaitu dengan merujuk dan meneliti dari sumber-sumber yang diterima dalam hukum-hukum Islam.

Sumber-sumber al-Qawaid al-Fiqhiyyah yang dapat diterima umat Islam dan selanjutnya membentuk epsitemologi al-Qawaid

Pendahuluan I ZS

al-Fiqhiyyah di kalangan para ahli Fikih dapat ditelusuri dari tiga aspek sebagaimana berikut:3o

Pertama, Al-Quran yang merupakan pedoman yang bersifat universal dan global. Di dalam Al-Quran terdapat kaidah-kaidah yang umum, dasar-dasar hukum yang luas, dan prinsip-prinsip menetapkan hukum yang memberikan penerangan bagi para ulama ahli Fikih untuk menyimpulkan hukum-hukum Fikih terkait permasalahan dan kasus yang dihadapi. Al-Quran selalu mengedepankan kemashlahatan manusia, selalu relevan dan cocok untuk setiap masa dan setiap tempat Karakteristik AI-Quran demikian itu dikarenakan dua alasan: (1) untuk

memastikan bahwa agama Islam dengan kitab sucinya AI-Quran ini adalah agama yang telah se)esai dan sempurna, seperti ditegaskan di dalam QS. AI-Maidah: 3 bahwa agama Islam telah disempurnakan oleh Allah Swt: (2) untuk memastikan bahwa Islam dengan AI-Qurannya memiliki kelenturan dan mampu beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan zaman serta kemajuan teknologi yang lintas abad dan tempat.31

Di dalam AI-Quran terdapat sejumlah ayat yang merupakan kaidah dalam menentukan hukum dalam bidang Fikih, antara lain:

kaidah tentang penyelesaian dengan cara musyawarah, sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Swt:

Dan urusan mereka (sahabat) adalah musyawarah di antara mereka. (QS. Asy-Syura: 38)

"Muhammad Az-Zuhaili, ibid, hlrnn. 29-30.

"Ibid, hlmn. 29.

26

I

Kaldah-kaldah Flklh Untuk Ekonoml Islam

Musyawarah m1 dapat diterapkan dalam segala permasalahan; dalam masalah keluarga, masalah masyarakat, masalah kantor, masalah politik, dan lain sebagainya. Ayat itu dapat diterapkan dalam permasalahan-permasalahan yang bermacam-macam.

Dalam bidang mu'amalah (hukum ekonomi Islam), Al-Quran juga memiliki kaidah yang dapat diterapkan ke dalam semua hukum-hukum cabang yang berada di bawahnya, seperti kaidah saling rela dalam tukar menukar yang disebutkan dalam ayat AI­

Quran berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan Jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara

kamu. (QS, An-Nisa': 29)

Suka sama suka (tartidhin) merupakan kaidah yang berlaku dalam hukum-hukum akad dan transaksi. Tanpa adanya suka sama suka,akad dan transaksi tidak dapat dianggap sah.

Ketentuan tariidhin ini bersifat universal dan berlaku untuk hukum-hukum cabang dalam bab-bab atau pembahasan Fikih yang lain. Keberadaan Al-Quran sebagai rujukan bagi al-Qawaid al-Fiqhiyyah akan tampak jelas dalam pembahasan tentang landasan dasar setiap kaidah Fikih sebagaimana akan dijelaskan dalam buku ini.

Kedua, Hadits atau Sunnah. Seperti halnya AI-Quran yang banyak mengandung hukum-hukum universal, Rasulallah Saw juga diberikan keistimewaan dengan jawlimi'ul kalim (bahasa yang umum sekaligus sarat makna). Oleh sebab itu, cukup banyak

-Pendahuluan

I

27 perkataan Rasulallah Saw dalam Haditsnya yang dapat dijadikan sebagai kaidah yang mencakup banyak hukum-hukum cabang

(furu').

Misalkan sabda Rasulallah Saw:

"al-mus/imuna 'ala syuruthihim

(orang-orang Islam itu sesuai dengan syarat-syarat yang dibuatnya),

innamal a'malu

bin n(yyat (sesungguhnya amal itu berdasarkan niatnya), al-chalalu bayyinun wal

charamu

bayyinun (halal itu sudah jelas dan haram juga sudah jelas), dan lain sebagainya. Bahkan dalam Kaidah Fikih juga terdapat kaidah yang memang redaksi aslinya adalah redaksi teks dari Hadits Rasulallah Saw.

Ketiga, Ijtihad Sejumlah kaidah Fikih diambil oleh para ulama dari ijitihad mereka dalam memahami dua dasar hukum di atas (Al-Quran dan Hadits) sekaligus dari kaidah-kaidah bahasa Arab, serta cara berfikir logis, dan juga pengumpulan secara induktif terhadap hukum-hukum cabang dalam madzhab­

madzhab Fikih. Melalui bekal-bekal itulah para ulama ahli Fikih kemudian menyusun al-Qawaid al-Fiqhiyyah. Sebagai contoh, kaidah yang berbunyi "adh-dhararu yuzalu" (bahaya itu dihilangkan) yang merupakan hasil dari ijtihad terhadap Hadits

"la dharara wa Id

dhirar"

(tidak ada bahaya maupun membahayakan). Kaidah Fikih

"al-ashlu fil kalami al-chaqiqah"

(yang asal dalam ucapan itu makna hakikatnya yang diambil dari kaidah ilmu bahasa. Kaidah Fikih

"idza

zalal

mdnf 'adal mamnu '"

(jika yang menghalangi telah hilang maka akan kembali yang terhalang) yang merupakan kesimpulan berfikir logis induktif.

·•

BAB II

KAIDAH-KAIDAH FIKIH POKOK

Kaidah-Kaidah Fikih (al-Qawaid al-Fiqhiyyah) dilihat dari segi cakupannya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: Pertama, Kaidah-Kaidah Pokok (al-Qawaid al-Asasiyyah) yang di bawahnya terdapat Kaidah-Kaidah cabang (Qawaid al-Far'iyyah). Kedua, Kaidah-Kadiah Umum (al-Qawaid al-Kulliyyah). 32

Dapat dikatakan bahwa Kaidah-Kaidah Pokok (Qawaid al-Asasiyyah) merupakan kaidah-kaidah yang disepakati oleh ahli

Fikih dari lintas madzhab, seperti 5 Kaidah Pokok yang akan dibahas dalam buku ini beserta Kaidah-Kaidah Cabangnya (al-Qawaid al-Far'iyyah). Sedangkan Kaidah-Kaidah Umum (a/-Qawaid al-Kulliyyah) merupakan kaidah-kaidah yang dapat berlaku dalam sebagian pembahasan-pembahasan Fikih saja dan tidak dapat berlaku dalam pembahasan yang lain. Termasuk dalam kaidah-kaidah ini adalah kaidah-kaidah yang digunakan oleh sebagian madzhab, namun tidak digunakan oleh madzhab lain.33

Kaidah-kaidah tersebut tetap memiliki nilai keumuman meskipun keumuman itu hanya terbatas pada lingkup madzhab atau pembahasan tertentu. Kaidah-kaidah inilah yang oleh sebagian ahli Fikih dimasukkan dalam Dhawablth Fiqhiyyah dikarenakan cakupannya yang terbatas oleh sebagian pembahasan bidang Ilmu Fikih atau oleh sebagian madzhab Fikih yang mempergunakan.

"Muhammad Az-Zuhaili, ibid, hlmn 32

3., Umar Abdullah Kamil, ibid, hlmn 63

30 I Kaldah-kaldah Flklh Untuk Ekonoml Islam

Pt'mbagian kelompok Kaidah-Kaidah Fikih tersebut dapat dig.unbarkan dalam bagan berikut ini:

l

.1i-C.:a.:id ,:I-F1/1)__1.1h (K.iidah-Kaidah Fikih1

.. _ i~p.ih ' .i,~a».lid .1.L.Ar<ll!Ll.7h tKaidah-Kaidah

Pokok)

\K.iidah-Kaidah

'a\ l:mwn) l

..1-C.r.J-aid al-F"'!l,1ah

l

tKaidah-Kaidah Cabang)

Dalam dokumen KAIDAH-KAIDAH FIKIH. untuk EKONOMI ISLAM (Halaman 41-52)