• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Politik Distributif dengan Teori Patron-Client

Politik distributif merupakan upaya pendistribusian sumber daya yang dilakukan untuk menarik perhatian konstituen sehingga pendistribusian berbagai sumber daya tersebut dilakukan untuk mencari dukungan suara saat pemilu tiba (Stokes et al, 2012). Bentuk nyata politik distributif adalah melalui klaim keberhasilan atas program-program pemerintah ataupun melalui upaya distribusi sumber daya langsung pada masyarakat secara non-programatik.

Politik distribusi tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara patron dengan client. Pola hubungan patronase yang ada dalam masyarakat kerap dinilai menjadi penghambat bagi pemenuhan unsur demokratis dalam pemilu. Hal demikian dikarenakan pola hubungan patronase berdasarkan pada posisi yang tidak seimbang antara patron dengan client sehingga bertentangan dengan demokrasi yang menjunjung kesetaraan dan kebebasan dalam pemilu (Sjafrina, 2012). Pada sisi lain, eksistensi hubungan patron

dengan client dalam masyarakat juga dapat berimplikasi positif bagi efektivitas upaya-upaya pemenangan pemilu. Hal demikian dikarenakan hubungan patron-client memuat unsur loyalitas di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak jarang tokoh masyarakat yang menjadi patron kemudian pilihan politiknya dapat mempengaruhi masyarakat pengikutnya sebagai client yang loyal.

Hal penting yang dapat dilihat dalam hal ini adalah adanya keterkaitan antara partai dengan hubungan patron client di tingkat lokal. Partai akan membangun jaringannya sendiri melalui hubungan patron client maupun bergantung pada hubungan patron client yang telah terbentuk dalam masyarakat kemudian mengintegrasikannya pada organisasi partai. Kondisi demikian membuat proses meraih kemenangan dalam pemilu menjadi memerlukan biaya yang sangat tinggi. Ketergantungan partai pada hubungan patron client kemudian menuntut partai politik untuk mengalirkan anggaran lebih guna meraih kemenangan maupun mempertahankan basis kekuatan partai di daerah pemilihan tertentu.

Sementara itu, aspek tingkat elektabilitas kandidat maupun partai politik kemudian menjadi sangat penting guna memenangkan pemilu. Tingkat elektabilitas dalam pemilu tersebut merupakan suatu hal yang dipengaruhi oleh client. Kondisi demikian menurut Scott (1992) terjadi karena setiap suara (vote) dari client akan sangat menentukan keberhasilan kandidat dalam pemilu. Lambat laun client kemudian menyadari bahwa sumber daya yang dimilikinya tersebut dapat berubah atau bahkan

dipertukarkan menjadi sumber daya lain yang akan didistribusikan kandidat terpilih. Pada akhirnya kondisi tersebut membuat posisi patron menjadi sangat bergantung pada penerimaan sosial di dalam lingkungan masyarakat daerahnya.

Kondisi demikian tidak dapat dilepaskan dari upaya pembentukan kembali mekanisme distributif dari pengaturan tradisional dalam pemilu. Ketika kedudukan patron menjadi tergantung pada penerimaan sosial dalam komunitasnya, maka patron kemudian dituntut untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari pada dukungan client pada lawan-lawan politiknya. Dalam hal ini mekanisme paksaan terhadap client tidak akan lebih efektif dari pada upaya memberikan penawaran-penawaran yang lebih baik kepada client dibanding lawan politiknya. Melalui mekanisme demikian, maka patron akan dapat memperoleh dukungan dari komunitas tersebut. Akibatnya, guna mendapat penerimaan sosial tersebut tidak jarang kandidat atau partai politik melakukan berbagai cara, termasuk cara-cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara politik distribusi dengan pemanfaatan hubungan patron-client dalam upaya pemenangan pemilu dapat dilihat dari dua sisi. Pertama adalah pemanfaatan eksistensi hubungan patron-client yang telah tumbuh dalam masyarakat, sedangkan yang kedua adalah menempatkan kandidat sebagai patron itu sendiri. Dalam hal ini, kandidat sebagai kepanjangan tangan dari partai politik melakukan distribusi sumber daya secara langsung kepada

masyarakat sebagai client. Harapannya yaitu melalui distribusi sumber daya tersebut maka loyalitas klien dapat dipertahankan, sehingga bermanfaat bagi upaya pemenangan pemilu.

Apabila seorang kandidat memanfaatkan eksistensi hubungan patron-client yang telah terbentuk dalam masyarakat, maka pihak patron tersebut berkedudukan sebagai penghubungan antara kandidat dengan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa kandidat partai politik yang berada di dalam pemerintahan akan memiliki akses terhadap sumber daya sehingga dapat mendistribusikannya pada masyarakat. Ketika masyarakat berkedudukan menjadi client maka distribusi sumber daya dapat diarahkan guna meningkatkan elektabilitas kandidat. Sebagai imbal baliknya maka masyarakat yang telah mendapat distribusi sumber daya kemudian memberikan loyalitasnya pada kandidat bersangkutan.

Terkait dengan hal demikian, maka secara teoritis diperlukan penghubung antara partai dengan masyarakat guna mengoptimalkan distribusi sumber daya dalam hubungan patron-client tersebut. Penghubung ini dikenal dengan istilah broker. Broker dalam hal ini merupakan penghubung antara masyarakat pemilih dengan kandidat (Tomsa dan Ufen, 2013). Broker juga diistilahkan sebagai middleman karena posisinya sebagai mediator (Sumarto, 2014).

Tokoh-tokoh masyarakat dan individu yang memiliki pengaruh pada kelompok tertentu merupakan broker dalam hubungan antara kandidat dengan masyarakat. Pada konteks ini, maka individu-individu kanidat

kemudian dapat memanfaatkan aspek loyalitas masyarakat terhadap tokoh masyarakat tersebut melalui distribusi sumber daya. Bentuk nyatanya adalah dengan menegaskan pilihan politik tokoh-tokoh masyarakat dengan harapan secara tidak langsung dapat mempengaruhi pilihan politik masyarakat.

Uraian tersebut menunjukan bahwa bagi individu kandidat, broker merupakan client karena kandidat merupakan patron. Sementara itu, bagi masyarakat, broker adalah patron karena masyarakat merupakan client. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa hubungan patron-client yang terbentuk antara kandidat dengan masyarakat dilakukan melalui mediator broker di dalamnya.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan politik distribusi tidak dapat dilepaskan dari hubungan patron-client. Hal demikian dikarenakan aliran distribusi sumber daya dilakukan melalui jalur-jalur hubungan patron-client dalam masyarakat, yaitu dari kandidat ke masyarakat secara langsung, atau dapat pula dilakukan melalui perantara broker.

Dokumen terkait