• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National

BAB V : KESIMPULAN

Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National

Sumber: Ilustrasi dibuat oleh penulis berdasarkan penjabaran Prinsip Neokonservatif (Vaisse 2010:3-7), Doktrin Bush (Jervis 2003:365) dan US National Security Strategy 2002

Hubungan dari isi prinsip neokonservatif, Doktrin Bush dan US National Security Strategy 2002 penulis ilustrasikan dalam sebuah tabel sebagai berikut.

Prinsip Neokonservatif Doktrin Bush National Security Strategy 2002 mempengaruhi mempengaruhi

Tabel 4.3 Tabel Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan National Security Strategy Tahun 2002

Prinsip Neokonservatisme

Doktrin Bush US National Security Strategy 2002 1. Internasionalisme Kepercayaan mengenai

rezim domestik negara dalam pembuatan kebijakan Luar Negeri AS dan menentukan waktu yang tepat untuk mentransformasikannya dalam politik Internasional  Memperjuangkan aspirasi martabat kemanusiaan  Membangun agenda kerjasama dengan global power lainnya  Bekerjasam dengan negara lain untuk mencegah konflik regional

2. Keunggulan AS harus memiliki keunggulan untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di level

regional dan

 Mentransformasikan institusi keamanan nasional AS untuk menghadapi

82

internasional tantangan dan

peluang di abad 21  Mempromosikan era

baru pertumbuhan ekonomi melalui pasar bebas dan perdagangan bebas 3. Unilateralisme Unilateralisme

4. Militerisme Preventive War  Memperkuat Aliansi untuk melawan terorisme global dan mencegah serangan kepada AS dan Aliansi AS (termasuk Israel)  Mencegah musuh menggunakan

senjata masal untuk mengancam AS, sekutu, negara-negara sahabat AS

lingkaran pembangunan dengan keterbukaan masyarakat dan pembangunan infrastruktur demokrasi

Sumber: Prinsip Neokonservatif (Vaisse 2010:3-7), Doktrin Bush (Jervis 2003:365) dan US National Security Strategy 2002

Doktrin kedua Presiden Bush yaitu preventive war yang kemudian dituangkan dalam US National Security Strategy 2002, terinspirasi dari prinsip militerisme kelompok neokonservatif dengan patron hawkish-nya. Hal ini diungkapkan oleh Profesor John Mearsheimer dalam Kabalan (2010:13), menurutnya neokonservatif percaya bahwa AS adalah negara dengan power terbesar di dunia dan power ini harus digunakan untuk membentuk tatanan dunia yang sesuai dengan kepentingan AS. Sehingga penggunaan power secara militer akan lebih efektif dibandingkan dengan diplomasi.

Doktrin Bush dan prinsip militerisme melahirkan strategi baru bernama preventive war. Berdasarkan National Security Strategy tahun 2002, AS boleh menyerang negara lain terlebih dahulu (preventive war) jika diperlukan demi alasan

84

keamanan untuk menghentikan negara yang jahat beserta aliansi grup terorisnya sebelum negara teroris tersebut menjadi ancaman dan menggunakan weapon of mass destruction (senjata pemusnah masal). Maka bisa dikatakan perang melawan teror yang dicanangkan Presiden Bush sebagai alasan untuk membela Israel dari Suriah, merupakan strategi ofensif yaitu menyerang sebelum musuh menyerang duluan (Azpiroz 2012:180). Hal ini terlihat jelas dari dukungan AS pada serangan Israel ke Suriah pada tahun 2003, Perang Israel – Hizbullah tahun 2006 dan penyerangan perbatasan di Desa Hwijeh pada 2008.

Kemudian, prinsip kemampuan bertindak unilateral. Ini merupakan karakteristik dari kelompok Neokonservatif yang tidak percaya pada institusi multilateral (Celik 2005:27). Menurut kelompok Neokonservatif hanya dominasi great power seperti AS-lah yang bisa mendominasi penentuan norma dunia tentang mana yang boleh dilakukan negara-negara dan mana yang tidak. Oleh karena itu AS tidak mempertimbangkan norma saat memilih strategi karena AS-lah yang paling berwenang membuat norma tersebut. Contohnya saat gagal memimpin perdamaian antara Suriah dan Israel, padahal dari segi kapabilitas AS adalah negara yang paling mampu menyukseskan perdamaian ini. AS tidak mempertimbangkan norma dan stereotype aktor-aktor lainnya akan penciptaan perdamaian abadi, AS hanya mempertimbangkan kepentingan AS.

Lebih jauh lagi Amerika Serikat sebagai great power memiliki kapabilitas untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya tanpa mementingkan kepentingan aktor lain.

AS akan menjadi aktor rasional yang menunjukan pencarian strategi yang tetap dan menginginkan pilihan yang lebih disukai. Preferensi ini bisa berupa: sikap egois, menghancurkan diri sendiri, dan lain-lain. Oleh karena itu strategi AS terhadap Suriah terkesan eksklusif sehingga bersifat kontradiktif mengikuti lingkungan strategis. AS tidak membutuhkan saran dari PBB maupun aktor lain untuk menentukan strateginya. Contoh tindakan unilateral AS adalah melakukan veto terhadap tiap resolusi yang akan dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Israel.

Selanjutnya menciptakan hegemoni AS. Kelompok Neokonservatif berpendapat bahwa AS sedang menghadapi tantangan dalam mengatur sistem dunia yang unipolar pasca keruntuhan Uni Soviet. Agar sistem unipolar ini langgeng maka AS harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyebarkan nilai-nilai Amerika Serikat seperti demokrasi ke seluruh dunia. Menurut Kelompok Neokonservatif, otoritarian dan teokrasi merupakan akar dari gerakan anti-Amerika dan lahirnya kelompok teror seperti Hizbullah di Timur Tengah. Usaha menciptakan hegemoni ini berkaitan erat dengan Doktrin Bush dan dukungan Neokonservatif terhadap strategi baru bernama preventive war atau perang pencegahan untuk meredam kelompok-kelompok teror ini dalam menghalangi usaha AS untuk menyebarkan nilai-nilai AS ke seluruh dunia (Celik 2005:27).

Untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah, AS melakukan usaha-usaha manajemen hegemoni. Usaha-usaha ini dilakukan melalui strategi balancing yang bertumpu pada aliansi AS – Israel untuk meredam Suriah yang dianggap sebagai

86

negara revisionis pasca dimasukkan dalam daftar negara pendukung terorisme oleh Departemen Luar Negeri AS (Country Reports of Terrorism 2008:282).

4.3 AS menciptakan Balance of Power (BoP) di Timur Tengah

Politik Internasional Timur Tengah didominasi oleh beragam konflik (yang bisa berkembang menjadi eksternalisasi konflik domestik dan bilateral), perang saudara dan intervensi eksternal dari great power. Great power pada era perang dingin adalah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Keduanya tertarik untuk berperan dalam dinamika Timur Tengah karena sumber daya minyak yang dimiliki Timur Tengah, lokasinya yang strategis sebagai jalur penghubung Asia dan Eropa serta kepentingan politik dan ekonomi. Keterlibatan AS dan Uni Soviet mempengaruhi politik regional khususnya ketika AS dan Uni Soviet berkompetisi melakukan balancing dengan adu pengaruh terhadap beberapa negara di Timur Tengah atau ketika AS sebagai satu-satunya great power yang tersisa melakukan manajemen hegemoni. Kompetisi balancing antar great power dan manajemen hegemoniini akan menciptakan balance of power dan mencegah lahirnya hegemoni regional karena negara-negara akan cenderung beraliansi dengan great power (bandwagoning) (Paul, Wirtz dan Fortmann 2004:202). Oleh karena itu kehadiran negara-negara revisionis seperti Suriah dan Iran akan dimarjinalkan dan mendapat penangkalan dari great power.

Pasca Perang Dingin dan keruntuhan Uni Soviet balance of power berubah dari bipolar yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat ke unipolar hanya AS saja. Menurut analisa penulis, AS menjaga aliansi dengan Israel untuk menjaga hegemoninya melawan negara-negara yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet seperti

Suriah. Sejarah mencatat bahwa keberpihakan negara-negara Arab begitu dinamis sehingga sering berubah aliansi contohnya Suriah pada Perang Teluk 1990 – 1991 mendukung AS namun saat invasi AS ke Irak tahun 2003 menentang AS. Maka Israel yang non-Arab adalah sekutu yang paling loyal dan tepat untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan AS di Timur Tengah.

Lebih jauh lagi bagi AS, peran penting Israel di Timur Tengah adalah sebagai buck-catcher yaitu negara yang menerima tanggung jawab untuk menghadapi aggressor dari negara buck-passer (AS) (Toft 2003:8). Israel akan membantu AS menghadapi aktor-aktor di kawasan yang masuk dalam terminologi “musuh” bagi AS seperti Hizbullah. Keberadaan Israel membuat AS tidak harus selalu turun langsung dalam menghadapi Hizbullah contohnya Perang Israel – Hizbullah tahun 2006. AS hanya memberikan bantuan kepada Israel dan Israel-lah yang menyerang Hizbullah secara langsung.

Menurut analisa penulis konflik Israel dengan Suriah dan negara-negara Arab lain yang menolak keberadaan Israel juga memberikan keuntungan sendiri pada AS, yaitu membuat Suriah dan negara-negara Arab tergantung pada AS untuk mendapatkan kembali daerah yang telah diokupasi oleh Israel melalui jalur diplomasi. Oleh karena itu, menurut analisa penulis AS harus menjaga kapabilitas militer Israel agar aktor lain di Timur Tengah, tidak bisa mengalahkan Israel dengan jalur militer. Jika Suriah bisa mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dengan jalur militer maka Suriah dan negara Arab tidak memerlukan peran AS lagi di kawasan. Jika negara-negara di Timur Tengah yang sebagian besar merupakan negara-negara OPEC tidak merasa

88

membutuhkan AS lagi maka ketika terjadi konflik yang disebabkan oleh keberadaan dan okupasi Israel serta kepentingan AS yang eksklusif maka skenario terburuk (bagi AS), yaitu embargo minyak seperti tahun 1973 akan terulang lagi. Selain itu jika tidak ada pengaturan balance of power dari great power seperti AS maka eskalasi konflik di Timur Tengah akan meningkat seperti munculnya aktor-aktor revisionis yang ingin mengubah tatanan regional yaitu Iran, Hizbullah, Al Qaeda, Israel, Suriah, Irak dan akan terjadi perlombaan pengembangan senjata nuklir untuk menciptakan imperium dan hegemoni di Timur Tengah, seperti yang sudah mulai marak terjadi pada periode 2002-2008.

AS sebagai Great Power dalam BoP berperan sebagai balancer (Shehaan 1996:77). Fungsi balancer adalah mencegah lahirnya hegemoni suatu negara atau aliansi terhadap negara-negara lain atau bahkan membuat sebuah imperium dalam sistem internasional. AS sebagai balancer akan mengeluarkan kebijakan yang penting dalam menjaga keseimbangan power di Timur Tengah. Implementasinya bisa melalui fleksibilitas diplomatik, memberikan dukungan bagi Israel untuk melawan Suriah, atau bahkan melakukan aksi militer terhadap Suriah (Shehaan 1996:65-66). Balancing (penyeimbangan) adalah mengambil langkah bertanggung jawab secara langsung untuk menghalangi aggressor (penyerang) yang potensial melalui pembangunan internal (penyeimbangann internal) atau dengan formasi aliansi internasional (penyeimbangan eksternal) atau kombinasi dari keduanya (Toft 2003:8).

Lebih jauh lagi Organski dalam Sheehan (1996:54) mengidentifikasi metode yang digunakan oleh negara-negara untuk menjaga Balance of Power yaitu meningkatkan

kemampuan militer, memperluas territorial, membangun buffer zone, beraliansi, ikut campur dalam masalah internal negara lain atau memecah belah dan menaklukan.

Dalam hal ini, AS meningkatkan kapabilitas militer Israel dengan memberikan bantuan keuangan yang jumlahnya selalu meningkat, dari tahun 1987 ke tahun 1990 jumlahnya 2,3 milyar dollar AS, tahun 1991-1994 jumlahnya 2,7 milyar dollar AS, tahun 1995 – 1998 jumlahnya 2,6 milyar dollar kemudian tahun 1999 – 2002 jumlahnya naik drastis menjadi 7 milyar dollar (Cordesman dan Popescu 2007:17). Jumlah ini merupakan jumlah bantuan militer terbesar yang diberikan AS diantara negara di Timur Tengah lainnya. Dibandingkan dengan Suriah yang pada tahun 1987 – 1990 mendapatkan bantuan dari Rusia senilai 5,3 milyar dollar AS, tahun 1991 – 1994 turun drastis menjadi 500 juta dollar AS, tahun 1995 – 1998 senilai 200 juta dollar AS dan tahun 1999 – 2002 senilai 100 juta dollar AS. Jumlah bantuan militer ini memperlihatkan usaha AS dan Rusia untuk tetap menjaga pengaruhnya dan menciptakan superioritas militer.

Bantuan ekonomi dan militer yang diberikan AS digunakan oleh Israel untuk melakukan balancing militer terhadap Suriah dan negara-negara Arab lainnya. Berikut adalah perbandingan anggaran belanja militer Israel dan Suriah dalam periode penelitian 2002 – 2008.

90

Tabel 4.4 Military Balance Anggaran Militer Israel dan Suriah (dalam Milyar Dollar AS)

Sumber: Cordesman 2010:38

Tabel diatas menunjukan bahwa jumlah anggaran militer Israel jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah anggaran militer Suriah. Aliansi AS menjadi peran penting dalam membentuk perimbangan konvensional di Timur Tengah. Perimbangan konvensional adalah waktu dan intensitas sumber daya, maksudnya negara-negara bisa membuat perubahan signifikan bagi kekuatan dan kelemahan angkatan militernya dengan perencanaan yang matang, sumberdaya yang memadai dan pembangunan militer yang tertata dengan baik. Perimbangan militer merupakan kombinasi dari anggaran belanja negara di bidang militer, bantuan luar negeri, kapasitas industri nasional dan strategi yang efektif dan perencanaan militer yang bisa mencapai balance of power di Timur Tengah. Dengan usaha balancing yang dilakukan AS ini, militer Israel tetap unggul secara kualitas meskipun hanya memiliki jumlah personil militer yang terbatas (Cordesman 2010:4).

Kemudian AS juga melakukan balancing diplomatik dengan cara menveto resolusi PBB yang di inisiasi oleh Suriah dan tidak menguntungkan bagi Israel. Contohnya draft resolusi nomor s/2002/1385 tanggal 20 Desember 2002 terkait Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Israel 9,672 7,865 10,925 10,864 11,967 10,044 10,098 Suriah 2,020 1,594 1,7431 1,382 1,877 1,551 2,020

dengan pembunuhan Ian Hook staf PBB dan penyerangan kantor World Food Programme di Kamp Pengungsian Jenin, Tepi Barat. Selanjutnya AS juga menveto draft resolusi nomor s/2003/891 tanggal 16 September 2003 tentang keputusan Israel untuk mengganti Pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arrafat. AS juga menveto draft resolusi nomor 14 Oktober 2003 tentang pembangunan pagar keamanan oleh Israel di Tepi Barat. Kemudian AS menveto draft resolusi nomor s/2004/783 tanggal 5 Oktober 2004, draft resolusi nomor s/2006/508 tanggal 13 Juli 2006 dan draft resolusi nomor s/2006/878 tanggal11 November 2006 tentang himbauan penghentian operasi militer Israel di Gaza dan penarikan pasukan dari daerah tersebut (Okhovat 2011:60-61).

Aliansi AS dan Israel pada akhirnya berusaha menciptakan balance of power untuk meredam kemungkinan saling menghancurkan antara Arab dan Israel serta meredam kebangkitan negara-negara revisionis yang ingin mengubah tatanan politik di Timur Tengah. Suriah dan negara-negara Arab tidak akan menghancurkan Israel karena Israel memiliki sekutu yang sangat kuat (AS) dan senjata nuklir. Israel pun tidak akan menghancurkan Arab karena menyadari kapabilitas militer-nya yang walaupun tergolong superior di Timur Tengah namun masih belum bisa mengalahkan gabungan negara-negara Arab tanpa bantuan AS. Pola seperti ini membuat tidak akan ada perdamaian abadi di Timur Tengah jika AS sebagai great power tidak mengizinkan dan tidak benar-benar menjadikan perdamaian sebagai kepentingan nasionalnya. Maka penciptaan BoP merupakan salah satu alasan pemilihan strategi

92

kontradiktif AS, fungsinya adalah untuk melindungi Israel namun tetap membuka peluang hubungan dengan Suriah.

Lebih jauh lagi balancing dengan strategi kontradiktif yang dilakukan AS bertujuan untuk membuat tatanan regional yang menguntungkan bagi AS. Tatanan regional dimana AS berperan sebagai balancer membuat AS menjadi satu-satunya negara yang mampu menciptakan stabilitas di Timur Tengah. Efeknya negara-negara di Timur Tengah seperti Israel, Arab Saudi dan Turki akan cenderung memilih untuk beraliansi dengan AS. Negara revisionis seperti Suriah juga akan memilih bekerjasama dengan AS karena ingin mendapatkan wilayahnya kembali melalui negosiasi perdamaian yang dipimpin oleh AS.

Ketika proses strategic appraisal ini selesai maka Pemerintah AS akan mendapatkan rekomendasi kepentingan nasional apa yang AS miliki dalam merespon Konflik Suriah - Israel, mengidentifikasi sumberdaya yang tepat untuk mencapai kepentingan ini serta resiko dari strategi yang dipilih. Hasil akhirnya, strategi yang dipilih akan menciptakan efek yang sesuai harapan dan merealisasikan kepentingan nasional (Bartholomees 2010:64).

92 BAB V

KESIMPULAN

Amerika Serikat merupakan great power yang telah melibatkan diri dalam proses penyelesaian Konflik Timur Tengah, salah satunya konflik Suriah - Israel, sejak resolusi Perang 1973. Awal mula keterlibatan AS dalam proses perdamaian Suriah – Israel adalah ketika negara-negara Arab melakukan embargo minyak kepada AS karena dukungan AS terhadap Israel dalam Perang Arab – Israel 1973. Konflik Suriah – Israel yang terjadi pada periode penelitian (2002 -2008) disebabkan oleh okupasi dan aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan tahun 1967, Konflik perbatasan, Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah dan Konflik perebutan pengaruh di Lebanon.

Ada empat hal yang membuat AS menjadi satu-satunya tumpuan dalam penyelesaian Konflik Arab – Israel. Pertama, AS menjalin hubungan diplomatik yang luas dengan negara-negara Timur Tengah, khususnya Israel. Kedua, superioritas perekonomian AS memungkinkan AS untuk memimpin perdamaian di Timur Tengah dengan cara memberikan bantuan ekonomi dan teknologi bagi pihak-pihak yang bersedia terlibat dalam proses perdamaian. Ketiga, pasca Perang Dingin, keruntuhan Uni Soviet menyebabkan negara-negara aliansinya yang berada di Timur Tengah, seperti Suriah bersedia meminta AS memimpin proses perdamaian. Keempat, AS adalah satu-satunya aktor yang berhasil mengadakan direct talks antara negara-negara

93

yang berkonflik sehingga mengubah perang terbuka menjadi cold peace melalui perjanjian damai dan gencatan.

Secara umum strategi AS dalam konflik Suriah – Israel membawa lima fungsi yaitu pertama, membangun kontak jika kedua pihak tidak berusaha berhubungan. Kedua, menyelidiki posisi yang menentukan titik temu dan menentukan target yang akan dicapai. Ketiga, menyediakan persuasi, tekanan dan insentif yang dibutuhkan. Keempat, menyarankan solusi yang dapat menjembatani kedua belah pihak. Kelima, menawarkan jaminan yang dapat dipercaya atas implementasi (Fishere, 2008:28).

Tujuan negosisasi Suriah – Israel terbagi menjadi dua hubungan yaitu hubungan antara kedaulatan di Golan dan perdamaian penuh dan hubungan antara penarikan diri dan normaliasi. Secara spesifik, landasan Strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah – Israel pada periode 2002 – 2008 dituangkan dalam National Security Strategy tahun 2002. Poin National Security Strategy yang dipegang teguh oleh AS untuk merumuskan strategi adalah bekerjasama dengan negara lain untuk menyelesaikan konflik regional yaitu Konflik Suriah – Israel.

Strategi ini memiliki dua prinsip. Pertama, Amerika Serikat harus menginvestasikan waktu dan sumberdayanya untuk membangun hubungan internasional dan institusi yang dapat membantu menangani krisis lokal saat krisis tersebut timbul (US National Security Strategy tahun 2002). Kedua, Amerika Serikat harus realistis tentang kemampuannya dalam membantu negara-negara yang tidak

ingin atau tidak siap untuk membantu dirinya sendiri. Ketika pihak-pihak terkait telah siap atas perannya maka AS akan bergerak dengan jelas (US National Security Strategy tahun 2002).

Implementasi dari strategi ini adalah mengadakan pembicaraan damai untuk mengakomodir Suriah dan Israel yaitu Inisiasi Jenewa tahun 2003 dan Konferensi Annapolis tahun 2007. Kemudian mengadakan shuttle trip untuk mengunjungi Suriah dan Israel untuk mempersiapkan dimulainya pembicaraan damai. Kedua, meningkatkan kerjasama dan memberikan bantuan kepada Israel. Ketiga, mengadakan kerjasama kontra-terorisme dengan Suriah dan Israel. Keempat, memberikan tekanan kepada Suriah melalui Syria Accountability Act dan menutup Kedubes AS di Suriah. Kelima mendukung tindakan konfrontatif Israel terhadap Suriah.

Strategi ini cukup menarik untuk diteliti karena terkadang bersifat konfrontatif dan terkadang kooperatif. Oleh karena itu penulis menggunakan teori strategi, konsep balance of power dan kepentingan nasional untuk menganalisa alasan AS memilih strategi yang kontradiktif ini. Hasilnya penulis menemukan alasan AS memilih strategi ini adalah pertama, mengamankan kepentingan AS, bukan untuk mencapai perdamaian Suriah – Israel. Kedua sebagai implementasi dari Doktrin Bush. Ketiga, AS ingin menciptakan balance of power di Timur Tengah.

xv

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, Mahmoud M.A. 2012 The Middle East Process and U.S Special Interest Groups. Jerman: Heidelberg University Thesis.

Al-Rousan, Mogammad Ali. 2013. American – Israeli relations during Presiden Bill Clinton Reign. European Scintific Institute.

Amidror, Yaakov. 2007. The Hizballah – Syria – Iran Triangle. Middle East of International Affairs Vol 11 No.1.

Axelrod, Robert dan Robert O. Keohane. 1985. “Achieving Cooperation under Anarchy: Strategies and Institutions”. World Politics, Vol. 38 No. 1: 226-227. The John Hopkins University Press. Diunduh pada 2 Januari 2015

(http://links.jstor.org/sici?sici=0043- 8871%28198510%2938%3A1%3C226%3AACUASA%3E2.0.CO%3B2-A)

Azpiroz, Maria Luisa. 2013. Framming as A Tool for Mediatic Diplomatic Analysis: Study of George W. Bush’s Political Discourse in The War on Terror. Communicaton & Society Communication Y Sociedad.

BBC 7 Desember 2006. The Misunderestimated President? diakses pada 24 Desember 2014 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/7809160.stm)

BBC 16 September 2014. Syria Profile diakses pada 24 Desember 2014 (http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14703995).

xvi

Beehner, Lionel. 6 Desember 2006. The Baker Hamilton Commision (aka Iraq Study Group). Council On Foreign Relations (http://www.cfr.org/iraq/baker-hamilton-commission-aka-iraq-study-group/p12010).

Bie, Stale. 2012. Tesis “From Sinai to The Golan Heights: A Comparative Analysis of Israeli Peace Negotiations. Master Thesis in Political Science Institute of Political Science Universitet I Oslo

Biro Statistik Israel, Website Resmi. Data jenis komoditas Ekspor Israel ke AS pada tahun 2008 diuduh pada 24 Desember 2014

(http://www.cbs.gov.il/fortr/?MIval=%2Fimpexp%2Fimpexp_bycountries _e.html&TypeOfActivity=1&SortingType=1&FYY=2008&LYY=2011& SumOrDetail=2&MyContinent=4&MyCountry=505&TypeOfPresentation =2&MyYear=2008&SortBy=2)

Blackwill, Robert D. Dan Walter B. Scolombe. 2011. Israel A Strategic Asset for The United States. The Washington Institute for Near East Policy.

Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif: Ekonomi, Komunikasi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya h.108. Jakarta: Predana Media.

xvii

Bartholomees, Jr. 2010. The US Army College Guide To National Security Issues Volume 1 Theory of War and Strategy: 49-53. Pennsylvania: Director, Strategic Studies Institute, U.S Army War College.

Beehner, Lionel. 2006. The Baker Hamilton Commission Council on Foreign Relations Website diunduh pada 6 Januari 2014 (http://www.cfr.org/iraq/baker-hamilton-commission-aka-iraq-study-group/p12010)

Ben-Meir, Alon. 2010. Common strategic interests balancing support for Israel against other American interests. American Diplomacy Publishers.

Benjamin, Daniel. 2008. Strategic Counterterrorism. Foreign Policy at Brookings Intitution :Washington D.C.

Bradbury, Edward. 2009. US Diplomacy From Wilson to Bush. Review Company Ltd.

Buzan, Barry dan Ole Waever. 2003. Regions and Powers The Structure of International Security. New York: Cambridge University Press.

Cato Institute. 2009. Cato Hand Book for Policy Maker 7th Ed. Washington D.C: Cato Institute.

Celik, Arif. 2005.Thesis The Role of Neoconservative Ideas In The Security Policies of The First George W. Bush Administration. Departement of International Relations Bilkent University Ankara.

xviii

CIA, Website Resmi diunduh pada 24 Desember 2014 (https://www.cia.gov/library/publications/the-world

factbook/wfbExt/region_mde.html)

Cordesman, Anthony H. 2011. Terrorism Center Reporting Terrorism in The

Dokumen terkait