• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau dan Asosiasi Merbau dengan Jenis Dominan Lainnya Jenis Dominan Lainnya

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau dan Asosiasi Merbau dengan Jenis Dominan Lainnya Jenis Dominan Lainnya

Keberadaan suatu spesies di alam dapat saja bersifat independent terhadap kehadiran atau ketidakhadiran jenis lain, namun dapat juga terjadi interaksi antara dua atau lebih spesies (Krebs 1978). Hubungan asosiasi antara dua spesies tersebut dapat berbentuk positif atau negatif. Asosiasi positif terjadi apabila kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama. Asosiasi negatif dapat terjadi jika keduanya memerlukan kondisi yang berbeda atau bersaing satu sama lain (Southwood 1966). Hubungan asosiasi individu dengan jenis lain dapat menjadi suatu penciri untuk menentukan keberadaan individu yang bersangkutan. Jika individu A berasosiasi positif dengan individu B, maka apabila ditemukan individu A dalam suatu tempat, kemungkinan besar akan ditemukan pula individu B disekitarnya. Hal ini bisa menjadi penanda untuk menemukan jenis-jenis yang relatif langka.

Tabel 14 Pola hubungan asosiasi antara Intsia bijuga dan Intsia palembanica Kondisi Hutan a X2 Ea OI Pola hubungan asosiasi Hutan primer 3 4,336 0,853 0,375 asosiasi positif LOA umur 15 tahun 0 3,168 0,080 0,000 tidak berasosiasi LOA umur 11 tahun 0 0,266 0,693 0,000 tidak berasosiasi LOA umur 5 tahun 3 2,004 1,520 0,281 tidak berasosiasi LOA umur 2 tahun 2 1,806 0,800 0,258 tidak berasosiasi

Berdasarkan perhitungan dengan metode presence-absence atau matriks kontingensi, ternyata pada hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis I. palembanica dengan indeks asosiasi sebesar 0,375. Kasus yang berbeda terjadi pada keempat area bekas tebangan dimana antara I. bijuga dan I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi. Hal ini disebabkan di lokasi yang altitudenya lebih rendah, kedua jenis merbau dapat tumbuh dengan baik akibat

kondisi tapak yang lebih kaya unsur hara serta berkumpulnya biji merbau di lokasi ini. Akibatnya kedua jenis merbau bersifat saling bebas satu sama lain. Bahkan pada pada LOA berumur 11 dan 15 tahun, walaupun kedua jenis merbau tidak berasosiasi, nilai a ≤ Ea menunjukkan adanya kecenderungan persaingan satu sama lain akibat peluang tumbuh yang besar.

Selain asosiasi antara kedua jenis merbau, juga dilakukan perhitungan hubungan asosiasi dengan jenis dominan lainnya yaitu jenis yang berjumlah ≥ 20 pada masing-masing lokasi. Mahfudz (2010) menyatakan bahwa jenis Intsia spp. berasosiasi dengan jenis Hopea spp., Palaquium sp., Maniltoa sp., Myristica spp., dan Pometia spp. Menurut Thaman et al. (2006), jenis Intsia bijuga berasosiasi positif dengan jenis Pisonia grandis, Manilkara dissecta, Diospyros elleptica, Excoecaria agallocha, Cynometra, Maniltoa spp., Vavaea amicorum, Planconella grayana, Elattostachys falcata, Polyalthia amicorum, Santalum spp., Ficus spp., Neisosperma oppositifolia dan Pandanus tectoris.

Pada penelitian ini ternyata di hutan primer jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), pala hutan (Horsfieldia irya), sindur (Sindora sp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar 0,463 yaitu dengan jenis Vatica rassak. Jenis I. palembanica pada lokasi ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lainnya.

Jenis I. bijuga pada LOA berumur 2 tahun berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum) dengan indeks asosiasi sebesar 0,435 dan dengan jenis matoa (Pometia pinnata) dengan indeks asosiasi 0,396. Jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lainnya pada lokasi ini.

Pada LOA berumur 5 tahun, I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), palapi (Heritiera littoralis), matoa (Pometia acuminata), jambu-jambu (Syzygium spp.) dan resak (Vatica rassak). Indeks asosiasi tertinggi sebesar 0,421 pada jenis jambu-jambu. Jenis I. palembannica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun.

LOA berumur 11, jenis I. bijuga berasosiasi positif dengan jenis Hopea dyeri dengan nilai indeks asosiasi 0,347. Sedangkan jenis I. palembanica tidak berasosiasi dengan jenis lain. Pada LOA berumur 15 tahun, baik jenis I. bijuga

maupun jenis I. palembanica tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis manapun.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pada pada hutan primer, LOA berumur 2 dan 5 tahun, begitu banyak jenis yang berasosiasi dengan I. bijuga sehingga keberadaanya satu sama lain tidak saling bebas (dependent). Pada area yang berada pada ketinggian tempat yang lebih rendah, I. bijuga hanya berasosiasi dengan jenis Hopea dyeri sedangkan pada LOA 15 tahun tidak berasosiasi dengan jenis apapun. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah altitudenya, jenis I. bijuga bersifat independent terhadap jenis lain. Begitupun dengan jenis I. palembanica yang hanya berasosiasi dengan I. bijuga pada hutan primer.

Kondisi ini dapat menjadi penciri suatu tapak yang disukai oleh merbau atau adanya saling ketertarikan antar jenis tersebut. Dengan ditemukannya jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau pada area yang lebih tinggi ketinggian tempatnya, maka besar kemungkinan merbau juga dapat tumbuh pada area tersebut. Oleh karena itu, regenerasi buatan merbau di tempat yang lebih tinggi atau di daerah hulu sungai dapat dilakukan dengan menanam terlebih dahulu jenis-jenis yang berasosiasi positif dengan merbau. Pada lokasi yang berada pada ketinggian tempat lebih rendah, permudaan buatan jenis merbau dapat langsung dilakukan karena jenis ini tidak memiliki hubungan asosiasi dengan jenis lain. 5.5 Struktur Tegakan Horizontal

Struktur tegakan horizontal menunjukkan distribusi pohon berdasarkan kelas diameter pohon penyusun tegakan. Kegiatan pemanenan hutan tentu saja akan berdampak terhadap perubahan struktur tegakan akibat kerusakan tegakan tinggal dan diambilnya pohon-pohon pada kelas diameter tinggi. Berikut ini disajikan hasil perhitungan model struktur tegakan, dimana k menunjukkan jumlah pohon pada kelas diameter rendah dan a menyatakan laju pengurangan pohon dengan semakin meningkatnya kelas diameter. Semakin besar nilai k maka semakin tinggi kerapatan tegakan pada kelas diameter rendah, dan semakin besar nilai a maka semakin banyak pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.

Tabel 15 Nilai konstanta k dan a pada model persamaan struktur tegakan Kondisi Hutan Persamaan N = k e -aD R2

Hutan primer N = 345,532 e -0,062 D 89,139

LOA 15 tahun N = 541,717 e -0,074 D 93,536

LOA 11 tahun N = 311,214 e -0,068 D 88,559

LOA 5 tahun N = 297,984 e -0,065 D 90,196

LOA 2 tahun N = 270,814 e -0,059 D 88,342

Kurva struktur tegakan pada kelima kondisi hutan sama-sama membentuk huruf J terbalik (Gambar 9). Nilai k dan a pada keempat lokasi bekas tebangan juga memiliki pola yang sama yaitu akan semakin kecil dengan berkurangnya umur lokasi bekas tebangan (Tabel 15). LOA berumur 15 tahun bahkan memiliki nilai k dan a yang lebih besar daripada hutan primer yang berarti kerapatan permudaan pada lokasi ini lebih besar daripada hutan primer serta semakin cepat pohon berkurang bila kelas diameter bertambah.

Kegiatan penebangan telah membuka celah kanopi sehingga mendukung jenis-jenis intoleran untuk tumbuh dalam jumlah banyak namun kemampuan pohon untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar kurang. Kondisi yang demikian menunjukkan adanya persaingan yang tinggi antar permudaan sehinggga pada lokasi bekas tebangan tersebut perlu dilakukan kegiatan pembebasan untuk mengurangi persaingan.

Gambar 9 Model struktur tegakan kelima kondisi hutan. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 115 N/Ha Diameter (cm) Virgin forest LOA 15 LOA 11 LOA 5 LOA 2

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) Hutan primer 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) LOA 15 tahun 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm) LOA 5 tahun 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 15 25 35 45 55 65 75 85 95 105 N/Ha Diameter (cm)

LOA 2 tahun Ulmaceae Tiliaceae

Sterculiaceae Sonneratiaceae Sapotaceae Rubiaceae Rhamnaceae Podocarpaceae Moraceae Mimosaceae Meliaceae Malvaceae Lauraceae Gnetaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Dilleniaceae Datiscaceae Combretaceae Clusiaceae Burseraceae Bombacaceae Apocynaceae Annonaceae Anacardiaceae Sapindaceae Fabaceae Myristicaceae Myrtaceae Dipterocarpaceae data aktual model

Gambar 10 Struktur tegakan per suku, model, dan data aktual pada kelima kondisi hutan.

Kelima gambar di atas menyajikan perbandingan kurva struktur tegakan berdasarkan data aktual, hasil model, dan struktur per suku. Grafik yang dibuat berdasarkan data aktual tidak berbeda jauh dengan grafik model struktur tegakan bahkan cenderung berhimpit. Akan tetapi kurva model cenderung berada di bawah kurva data aktual terutama pada kelas diameter rendah. Hal ini menunjukkan bahwa model yang ada cenderung underestimate pada kelas diameter tersebut.

Semakin tinggi kerapatan suatu famili pada setiap kelas diameter, maka akan semakin lebar kurvanya. Terdapat satu famili yang selalu mendominasi di semua lokasi penelitian, yaitu jenis yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Suku ini memiliki kerapatan tegakan yang tinggi baik pada kelas diameter rendah atau kelas diameter tinggi. Kondisi ini tentu saja sangat menguntungkan karena jenis-jenis Dipterocarpaceae memiliki nilai ekonomis tinggi. Jenis Dipterocarpaceae yang ditemukan pada lokasi penelitian antara lain mersawa (Anisoptera iriana), merawan (Hopea dyeri) dan resak (Vatica rassak). Famili lain yang juga memiliki kerapatan tinggi adalah Myrtaceae dan Myristicaceae.

Kerapatan yang tinggi pada hampir semua kelas diameter menunjukkan bahwa ketiga famili di atas mampu beregenerasi dan tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi hutan. Pada pembahasan sebelumnya juga disebutkan bahwa jenis I. bijuga memiliki hubungan asosiasi positif dengan beberapa jenis dari famili Dipterocarpacea (Vatica rassak dan Hopea dyeri), Myrtaceae (Syzygium spp.) dan Myristicaceae (Horsfieldia irya). Oleh karena itu, kerapatan yang tinggi pada jenis-jenis tersebut dapat mendorong tumbuhnya permudaan merbau di sekitarnya.

Sesuai JPT RKT tahun 2010 PT MAM, jenis merbau sendiri ditebang dengan intensitas 1,51 pohon/ha. Nilai JPT ini tidak melebihi rata-rata kerapatan tegakan merbau diameter 40 cm-up pada kelima lokasi penelitian yaitu 3,8 pohon/ha sehingga intensitas penebangan yang digunakan pada jenis tersebut relatif aman.

BAB VI

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Pola sebaran spasial kedua jenis merbau sangat bergantung pada kondisi fisik lingkungannya. Pada lokasi yang memiliki ketinggian tempat lebih rendah, kedua jenis merbau cenderung membentuk pola sebaran seragam, sedangkan pada tempat yang lebih tinggi akan mengelompok.

Lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 5 tahun (74,149%), disusul dengan LOA berumur 2 tahun (71,57%), LOA berumur 15 tahun (70,428%) dan yang paling tidak mirip adalah LOA berumur 11 tahun (60,208%). Pada lokasi LOA yang umur tebangannnya relatif berdekatan (LOA 2 tahun dan 5 tahun, serta LOA 11 tahun dan 15 tahun), LOA yang lebih tua memiliki indeks kesamaan komunitas yang lebih besar sehingga menunjukkan adanya kecenderungan bahwa komposisi jenis pada masing-masing bekas tebangan secara berangsur-angsur akan menyerupai hutan primer.

Pada hutan primer, I. palembanica berasosiasi positif dengan I. bijuga. Jenis I. bijuga sendiri berasosiasi positif dengan jenis kenari (Canarium hirsutum), pala hutan (Horsfieldia irya), sindur (Sindora sp.), resak (Vatica rassak), matoa (Pometia pinnata, P. acuminata), palapi (Heritiera littoralis), jambu-jambu (Syzygium spp.) dan merawan (Hopea dyeri) pada hutan primer, LOA berumur 2, 5 dan 11 tahun. Semakin rendah ketinggian tempat, jenis merbau tidak berasosiasi dengan jenis manapun. Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang lebih rendah, merbau bersifat independent.

Struktur tegakan pada hutan primer dan hutan bekas tebangan sama-sama membentuk kurva berbentuk J terbalik. Akan tetapi kegiatan penebangan telah membuka celah kanopi sehingga mendukung jenis-jenis intoleran untuk tumbuh dalam jumlah banyak namun kemampuan pohon untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar kurang karena tingginya tingkat persaingan di lokasi bekas tebangan. Famili yang memiliki kerapatan tinggi pada kelima kondisi hutan ditempati oleh famili yang sama yaitu Dipterocarpaceae, Myristicaceae dan

Myrtaceae. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga famili di atas mampu beregenerasi dan tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi hutan.

5.2 Saran

Kegiatan penebangan di sekitar tempat tumbuh merbau pada hulu sungai atau lokasi yang memiliki altitude tinggi perlu direncanakan dengan baik dan diusahakan tidak menimbulkan kerusakan tempat tumbuh merbau. Permudaan buatan jenis merbau di tempat ini perlu ditingkatkan dan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menanam jenis-jenis yang berasosiasi dengan merbau. Kerapatan yang sangat tinggi pada jenis-jenis berdiameter rendah serta kurangnya kemampuan untuk tumbuh ke kelas diameter yang lebih besar pada hutan bekas tebangan menunjukkan adanya tingkat persaingan yang tinggi. Oleh karena itu kegiatan pembebasan pohon-pohon inti perlu dilakukan secara intensif guna mengurangi persaingan yang ada dan meningkatkan riap pertumbuhannya.

Dokumen terkait