• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Bentuk-Bentuk Kerukunan Sosial Dalam Novel KE

4.2 Bentuk-Bentuk Kerukunan Sosial Dalam Novel KEI

4.2.5 Hubungan Cinta

Menurut Ahmadi (1999: 236) ada empat elemen utama yang mendasari tumbuhnya rasa cinta, yaitu pengertian, kepercayaan, kerja sama, dan pernyataan kasih sayang. Cinta yang

memang benar-benar murni keluar dari hati akan memiliki ke empat elemen tersebut. Dalam novel KEI, pengarang tidak ada menggambarkan hubungan percintaan para tokoh pencerita yang berujung ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, dalam ceritanya terdapat hubungan percintaan antara Sala dengan Namira yang begitu harmonis. Awalnya Salad an Namira dipertemukan di kamp pengungsian. Tujuan keduanya berada di kamp pengungsian sangat berbeda. Sala berada di kamp pengungsian sebagai sukarelawan yang membantu para pengungsi, sedangkan Namira sebagai warga pengungsi. Ketika itu, Sala bersama beberapa kaum lelaki lainnya bertugas untuk menjaga keselamatan para pengungsi, khususnya kaum hawa. Saat itu para pengungsi dibagi menjadi dua kelompok dan Sala menjaga bagian kelompok yang di isi oleh Namira.

Namira berjalan melewati belakang rumah orang-orang, menuju jalan setapak. Di samping jalan ada kantor balai desa. Namira sempat melihat orang-orang di sana sedang berunding di bawah lampu stromking. Kini mereka melewati pinggir-pinggir rumah penduduk. Merunduk-runduk di bawah jajaran pohon maja. Buahnya bulat-bulat besar berwarna hijau bagai kepala-kepala bergelantungan dalam cuaca gelap. Namira bergidik. Tiba-tiba gadis itu merintih. Sesuatu yang setajam pisau telah menancap di telapak kakinya, (KEI: 68).

“Saya keluarkan pecahan botol ini. Kalau tidak, kaki nona bisa infeksi.” Namira berjalan timpang mengikuti pemuda yang barusan mengeluarkan pecahan botol itu di kakinya. Sesekali pemuda yang satunya mengarahkan cahaya senter di depan kaki-kaki para pengungsi yang terus melangkah maju.

“Namamu siapa?” tanya Namira Evav pada pemuda itu. “Sala, hanya Sala, tak pakai marga. Nama nona?” “Namira.” (KEI: 69).

Pada dasarnya, rasa cinta akan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi individunya yang berhubungan. Rasa bahagia tersebut muncul karena adanya keinginan untuk saling melengkapi dan menyayangi. Hal ini terpancar dari hubungan yang dibangun oleh Sala dengan Namira. Semenjak mereka menjalin hubungan percintaan, keduanya selalu bahagia. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut.

Sejak berkenalan dengan Namira, Sala mulai bisa tertawa. Sebaliknya, sejak bertemu Sala, wajah Namira tak lagi muram. Sala menggenggam tangan Namira, menyatukan jemarinya dengan jemari gadis itu. “Saya menyayangimu,” katanya lirih, (KEI, 91).

Rasa cinta merupakan ungkapan perasaan seseorang yang paling dalam terhadap orang yang dicintainya, bukan semacam cinta yang dibuat-buat agar seperti dicintai atau mencintai. Ketulusan cinta diukur dari seberapa besar rasa pengertian, rasa kasih sayang, dan rasa kesetian yang dimiliki seseorang. Dalam novelnya, pengarang menggambarkan cinta yang dimiliki oleh Sala kepada Namira benar-benar tulus keluar dari hati keduanya. Ketulusan cinta keduanya diuji dari perbedaan yang mereka miliki. Sala merupakan warga Kei yang beragama Kristen, sedangkan Namira beragama Islam. Namun, mereka dapat bersatu dalam ikatan percintaan yang murni.

“Pacar Kakak orang mana?” “Orang Watran, sayang!” “Agama kakak apa?” “Islam, sayang,” “Pacar, kakak?” “Protestan, sayang,”

“Hmm, apakah bisa pacaran beda agama?”

Pada pertanyaan itu Namira terdiam beberapa saat. Dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan bocah itu.

“Kenapa diam, kak?”

“Boleh tidak?” susu si bocah lagi. Namira merunduk hingga kepalanya sejajar dengan kepala bocah itu. Kedua tangannya menyenatuh pundak si bocah.

“Yang mengatur kasih sayang itu Tuhan. Jadi, kita tak bisa memilih pada siapa hati diberikan. Hati selalu punya pilihan sendiri. Kamu paham kan sayang?” Gadis kecil itu menggeleng, (KEI: 141).

Cinta sebenarnya adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanyalah sebagi aktor yang menjalankan perannya masing- masing. Setidaknya hal inilah yang terjadi dalam hubungan percintaan diantara Sala dan Namira.

Walupun berbeda agama, mereka tetap dapat bersatu dan hidup rukun dalam hubungan percintaannya yang dibangun.

Selesai mandi dan berpakaian, Sala membimbing Namira di atas ranjang, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur kapuk bersprei kuning. Dia menyelimuti Namira dan hendak beranjak keluar, tetapi dia mendengar gadis itu kembali terisak. Sala tak jadi keluar. Dia kini duduk di tepi ranjang. Pemuda itu menghapus air mata Namira dengan ujung jemarinya. Mata pemuda itu juga merah menahan kesedihan. Dia merasakan kesedihan yang sama setiap kali Namira sedih, (KEI, 97-98).

Dari kutipan di atas, pengarang menggambarkan perhatian yang dicurahkan Sala kepada Namira begitu besar. Sala selalu menjaga Namira dengan baik. Menurut Soekanto (1982: 233) bahwa rasa cinta sejatinya menghasilkan perbuatan-perbuatan yang mengarah ke hal-hal yang positif, dari pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ketulusan cinta Sala kepada Namira dapat disebut sebagai bentuk perbuatan yang baik, mengingat cinta itu sendiri ungkapan perasaan yang tulus. Bagi Sala, Namira adalah sosok yang sangat penting dalam hidupnya. Sala kini tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ibunya sudah meninggal akibat rusuh yang terjadi di pulau Kei. Hal ini diungkapkan langsung oleh Sala kepada Namira.

Sala kemudian mengucapkan sesuatu “Saya ingin berjanji padamu satu hal. Saya akan melindungimu. Kau satu-satunya orang yang saya sayangi sekarang,” kata Sala, (KEI, 99).

Semakin lama, rasa cinta Sala kepada Namira semakin besar. Sala berkeinginan untuk menikahi Namira apabila kerusuhan di pulau Kei sudah mereda. Ungkapan perasaan ini menunjuk betapa tulusnya cinta yang dimiliki Sala terhadap Namira. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

“Saya ingin menikahimu!” Tiba-tiba saja Sala mengatakan hal itu. Namira menatap wajahnya. Menelusuri wajahnya yang berwarna madu. Menelusuri rahang kokoh yang mengapit pipi Sala. Di sana di cokelat bola mata pemuda itu, sama sekali tak ada gurauan, melainkan keteguhan hati dan rasa cinta, (KEI, 100).

Dari kutipan di atas, kesungguhan rasa cinta yang dimiliki Sala kepada Namira dibuktikan dengan keinginan Sala untuk menikahi Namira. Namira merasakan keseriusan akan cinta yang dimiliki Sala kepadanya. Akan tetapi, takdir berkata lain. Pada akhir ceritanya, pengarang menggambarkan bahwa cinta Sala dengan Namira berujung kepada perpisahan. Sebelum rusuh mereda di pulau Kei, Sala pergi merantau untuk mencari Namira. Di tanah perantaunnya, akhirnya Sala meninggal duni. Dia meninggalkan segala kenangannya yang indah, tentang hubungan persaudaraannya di desa Kei, tentang hubungan percintaannya yang rukun, dan tentang hubungan kekeluargaannya dengan masyarakat Kei. Sedangkan Namira kembali ke tanah kelahirannya, yaitu tanah Kei. Semenjak kelompok perusuh masuk ke desa Evu, Namira memilih ikut mengungsi ke Makassar. Setelah kerusuhan mereda, Mery meminta sahabatnya untuk pulang ke pulau Kei.

Dokumen terkait