• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan

BAB II ITSBAT NIKAH DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

D. Hubungan Itsbat Nikah dengan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak-hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, memiliki bukti otentik perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Di dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3

28

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan, Mimbar Hukum No. 26 Tahun IVV (Mei-Juni, 1996), h. 51-52.

dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.29

Oleh karena itu untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah dan rahmah setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pencatatan perkawinan, menjelaskan dalam pasal 5 yaitu:

Pasal 5 ayat (1): Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.

Pasal 5 ayat (2): pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-undang No. 22 tahun1946 jo dan Undang-undang No. 32 tahun 1954 tentang penetapan berlakunya undang-undang Republik Indonesia tanggal 21 november No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di seluruh daerah luar jawa dan madura.30

Tehnik pelaksanaannya, dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 yang menyebutkan :

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pegawai pencatat nikah

29

Ahmad Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 251-252.

30

2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.31

Secara rinci peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Bab II pasal 2 menjelaskan tentang :

1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan, nikah, talak, dan rujuk.

2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-perundangan mengenai pencatatan perkawinan.

3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah sampai dengan pasal 9 Peraturan Pemerintah PP No. 9

31

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h. 109.

Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini.32

Dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan yang akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan suatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.33

Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan) adapun hal-hal yang diberitahukan meliputi: Nama, Umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (pasal 5

32

Abdul Ghani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama,

h. 32.

33

Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan adanya pemberitahuan ini, kemungkinan terjadinya pemalsuan atau penyimpangan identitas dapat di hindari. 34

Tindakan yang harus diambil oleh Pegawai Pencatat nikah setelah menerima pemberitauan, diatur dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut:

1. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.

2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meliputi pula:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai.

34

c. Izin tertulis atau izin Pengadilan sebagai dimaksud pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri. e. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2)

undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. f. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian

surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

g. Izin tertulis dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM atau PANGAB, apabila salah seorang anggota calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.

h. Surat kuasa otentik atau diawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat nikah, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.35

Ketentuan dalam klausul Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi manfaat, Pertama: memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kompetensi relatif, kewilayahan dari pegawai pencatat nikah.

35

Kedua: menghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan hukum lainnya, seperti : identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Penelitian pegawai pencatat nikah juga bermaksud untuk meneliti status perkawinan seseorang baik calon suami atau calon istri oleh karena itu, jika diperlukan calon mempelai melampirkan surat-surat yang telah disebutkan diatas.36

Mengingat kesadaran masyarakat yang menjadi subyek hukum tidak sama, mungkin karena tidak tahu atau karena hal lain, sehingga ketentuan-ketentuan tersebut di atas belum dapat berjalan dengan baik, peraturan perundang-undangan memberi alternatif atau kelanggaran kepada pihak-pihak karena suatu hal harus segera melangsungkan perkawinan. Yaitu mengajukan izin tertulis, izin pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.37

Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya sesuatu sebab, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengungkapkan sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.

36

Kompilasi Hukum Islam, Pasal: 7, h. 15.

37

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkwinan.

4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.38

Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan suatu hal yang sangat penting, dalam Al-Qur’an masalah hutang piutang Allah menganjurkan kepada kita untuk mencatatkan seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

! "

38

#$% ! &

'()

*+ ,

-./012

( 4567 8

9

:;<= >%*

?@ = BC&

4: " D7

E#F! G%* &

9

D/

HI8

J: " KL

M

-1:5<=

ND7

O N :

P

9

:;6R >8: 8

S+ :FN T%*

U

O%>(:

.V %*

SVC; >%*

WOC& .

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaknya seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya” (Al-Baqarah: 2/282).

Para pemikir islam (Faqih) dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan ada aktanya, sehingga mereka menganggap hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan pertimbangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan serta sejalan dengan kaidah Fiqh:

!"#

$% &' ﻡ

)

*$+

,

”Menolak kemudhoratan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan ”.39

39

Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqih, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media, 2004), Cet Ke-1, h. 148.

Dengan demikian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dan mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonsia.40 Dan Usaha ini dimaksudkan agar setiap pihak dapat mengerti dan menyadari betapa pentingnya nilai ketertiban dan keadilan dalam perkawinan yang menjadi pilar tegaknya kehidupan berumah tangga.

Menurut ahmad Rofiq pencatatan perkawinan merupakan syarat administratif perkawinan. Tetapi walaupun hanya sebagai suatu kewajiban administratif saja, ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Manfaat dari pencatatan perkawinan ini adalah:

Pertama: Manfaat yang bersifat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya ataupun menurut perundang-undangan yang berlaku di indonesia. Dengan ini dapat dihindari pelanggar terhadap kompetensi relatif pegawai pencatat perkawinan. Atau menghindari terjadinya pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.41

40

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Cet. Ke-1, h. 29-30.

41

Kedua: Manfaat akta nikah yang bersifat refresif yaitu bagi suami istri yang karena sesuatu perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta nikah, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan) kepada Pengadilan Agama, pencatatan inilah disebut sebagai tindakan refresif, yang dimaksudkan untuk membentuk masyarakat, agar didalam melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqh saja, tetapi aspek-aspek keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.42

Dalam pembahasan diatas tampaklah hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan. Dimana esensi dari itsbat nikah itu sendiri adalah pencatatan perkawinan. Dengan tercatatnya suatu perkawinan, maka pihak yang bersangkutan akan mendapatkan bukti otentik, telah terjadinya perkawinan tersebut yang berwujud dalam bentuk akta nikah, maka bagi yangbelum mendapatkan dapat dimintakan itsbat nikah (Pengesahan Nikah).

42

BAB III

HAK PEREMPUAN DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Keberpihakan Hukum Terhadap Kaum Perempuan

Selama abad ke-19 sejarah hukum cenderung merupakan pencatatan peningkatan pengakuan hak-hak pribadi yang seringkali dianggap hakiki dan mutlak. Untuk abad ke-20 sejarah itu dirombak dengan cara menetapkan kerangka dasar lain yang memperhatikan pengakuan yang lebih luas terhadap kebutuhan, permintaan, maupun kepentingan-kepentingan sosial.43

Kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia, baik secara pribadi maupun melalui hubungan antar-pribadi, atau melalui kelompok. Menurut Roscoe Pound seseorang ahli hukum dari Amerika dan mantan dekan Harvard Law School, pound beranggapan keadilan dapat dilaksanakan menurut maupun tanpa hukum. Keadilan menurut hukum bersifat yudisial, sedangkan keadilan tanpa hukum mempunyai ciri administratif. Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai acuan yang paling adil dan paling mengayomi, namun pihak lain, janganlah diabaikan bahwa hukum juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan

43

Soejono, Soekanto, Prespektif Sosiologis Studi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 30.

dan kepentingan, dan tentunya akan ada pihak menjadi korban dari hukum yang tidak adil.44

Sifat hakiki dari hukum adalah kepastian dan formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum, dalam arti materi hukum dituntut agar sesuai dengan mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat. Bagaimana menentukan apakah hukum itu adil atau tidak, perlu kita perhatikan bahwa kita bergerak di tingkat faktual Oleh karena itu, tuntutan keadilan dapat diterjemahkan bahwa hukum harus sesuai mungkin dengan cita-cita keadilan masyarakat yang bersangkutan. Jika keadilan dapat dilaksanakan dengan maupun tanpa hukum asalkan ada keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Salah satu bentuk ketidakadilan yang menimpa laki-laki dan perempuan adalah ketiadakadilan jender.45

Uraian di atas dapat memberi sedikit gambaran bahwa masalah keadilan tidak mudah untuk dirumuskan apalagi kalau dikaitkan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dalam lapangan hukum yang berbeda atau dalam kondisi tempat atau waktu yang berlainan, dalam hubungan laki-laki dan perempuan justru mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan. Rumusan keadilan ulpianus seorang pakar hukum klasik berpendapat lebih sesuai untuk diterapkan pada hubungan antara laki-laki dan perempuan karena harus

44

Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008), h.

45

Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005), Cet. 1. h. 59.

memenuhi tiga unsur yaitu; (1) sikap batin dan perilaku yang sesuai dengan kesusilaan, (2) tidak merugikan orang lain secara sewenang-wenang, (3) memberikan pada semua orang bagiannya.46

Indonesia mendukung Undang-undang atau pun peraturan-peratuan yang berpihak pada kaum perempuan, baik di tingkat nasional maupun internasional. “Undang-undang tersebut sangat penting untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan, serta melindungi mereka dari kekerasan”, adanya Undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga tersebut merupakan upaya memberi perlindungan bagi kaum perempuan dan anak-anak hingga dalam urusan domestik suatu keluarga, Namun Perlindungan hukum terhadap wanita dalam sistem hukum nasional belum begitu menggembirakan. Kita masih dapat melihat adanya peraturan perundang-undangan yang menempatkan wanita sebagai subordinasi dari pria. Salah satunya adalah peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebuah kebijakan termasuk di dalamnya hukum dan peraturan perundang-undangan dikeluarkan adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan golongan tertentu.47

Dalam masyarakat di mana terdapat nilai-nilai kultural perempuan mencerminkan ketidakadilan jender akan sangat berpengaruh hukum. Substansi

46

Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, h. 56.

47

“Perlindungan Hukum Bagi Perempuan dalam Perkawinan”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2009 dari http://wap.fajar.co.id/index.php.

hukum di indonesia juga mendukung dan memperkuat jender. Acuan pertama untuk menyatakan bahwa indonesia telah menganut dan menerapkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan adalah pasal 27 Undang-undang dasar 1945 tentang amandemen (ayat 1) yang meletakkan hak-hak dasar bahwa: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Atas dasar pasal tersebut indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang bertujuan untuk menghapus diskriminasi dan meningkatkan status perempuan.48

Terutama mengingat bahwa isi Konvensi Wanita memuat hak-hak Perempuan yang harus dipenuhi agar tindak diskriminasi terhadap perempuan disemua bidang kehidupan dapat dihapus, seperti dalam pasal 16 konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tentang kesetaraan dalam perkawinan dan hubungan keluarga pasal 15 ayat (1) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum. (2) Negara-negara pihak wajib memberikan kepada perempuan, dalam hal sipil, kecakapan hukum yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menggunakan kecakapan tersebut. Secara khusus, negara harus memberikan kepada perempuan persamaan hak untuk mengikat kontrak dan untuk mengelola kepemilikan dan wajib memberi perlakuan yang sama

48

kepada laki-laki dan perempuan di semua tingkat prosedur di muka hakim dan peradilan. Sesuai Dalam pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 yaitu;

1. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga dan khususnya harus menjamin, berdasarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan;

a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan

b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan penuh darinya. c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada

pemutusan perkawinan.

d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka dalam semua hal kepentingan anak-anak harus diutamakan.

e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka dan untuk memperoleh akses, pada informasi, pendidikan dan sarana agar mereka dapat menggunakan hak tersebut.

f) Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, atau lembaga-lembaga sejenis di

mana konsep-konsep ini ada dalam perundang-undangan nasional dalam semua hal kepentingaan anak wajib diutamakan.49

Sejalan dengan peratifikasian konvensi-konvensi internasional tersebut, kebebasan pemerintah indonesia pada tahun 1974 tentang perkawinan melakukan reformasi hukum keluarga (Undang-undang Perkawian No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Tetapi, dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Ini berarti dalam soal perkawinan perempuan harus tunduk pada hukum agamanya, sedangkan kawasan hukum agama menyentuh mengenai hak-hak kewarisan, hak atas kekayaan, pemeliharaan anak, perceraian, pengangkatan anak, perwalian anak, dan poligami. Jadi, negara memberi persamaan kepada perempuan, tetapi kalau agama menentukan lain, negara tidak ikut campur.50

Terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan terdapat peraturan perundang-undangan yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki, tetapi tidak sedikit peraturan perundang-undangan, termasuk kebijakan, dan rancangan undang-undang sekalipun, yang tidak responsif terhadap kepentingan perempuan, malahan berimplikasi terhadap terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Hal ini

49

Kelompok Kerja convetion Watch, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender/Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia; edisi III. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2007), h. 65.

50

menunjukkan bahwa terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan satu sama lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang sangat dikenal sarjana hukum, sebenarnya keadaan ini tidak boleh terjadi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apalagi undang-undang dasar. Namun, inilah yang terjadi di indonesia.51

Padahal Undang-undang dasar 45 Pasal 27 (b) menyebutkan telah menyatakan kesamaan di muka hukum bagi setiap warga negara, tetapi terdapat banyak undang-undang sampai peraturan daerah, yang mengandung rumusan yang berstandar ganda. Contohnya dalam pasal 34 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengenai perkawinan memberikan status kepada suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai implikasinya, terutama bagi perempuan bekerja karena tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama. Kondisi diatas menunjukkan bahwa hukum sesungguhnya tidak netral (tidak berpihak) dan objektif (secara tepat).

Perbedaan jender sebetulnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan jender. Namun ternyata perbedaan jender baik melalui mitos-mitos, sosialisasi, kultur, dan kebijakan pemerintah telah

51

Sulistyowati, Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum Yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan, (Jakarta: Universitas Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 33.

melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan. Sedangkan hukum adalah pencerminan dari standar nilai yang dianut oleh masyarakat.52

Bias jender dari pemahaman keagamaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan peran sosial wanita dalam posisi dan interaksinya di masyarakat. Karena itulah dengan adanya justifikasi teologis tersebut banyak kaum hawa yang merasa dirinya tidak bisa disejajarkan dengan kaum pria. Kaum pria dianggap lebih pintar, lebih hebat, dan lebih segalanya. Kalau kaum wanita meminta sekedar untuk “disejajarkan” kaum pria tidak akan keberatan, namun akan keberatan bila “didominasi” oleh kaum hawa sebagaimana dalam sistem

matriarchal. Keberatan tersebut kembali didasarkan pada tafsir teologis agama, bahwa pria adalah pemimpin wanita. Tuntutan kaum hawa untuk mensejajarkan diri dengan kaum pria bukan berarti ingin “mendominasi” pria sebagaimana dalam sistem matriachal, melainkan untuk menuntut hak agar bisa diberikan peran dan kesempatan yang sama dengan pria untuk berkiprah dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan.53

B. Hak Perempuan Menurut Undang-Undang Perkawinan

Allah SWT telah memberikan kepada perempuan hak untuk memilih baik dalam aqidah, pernikahan, dan semua isi kehidupan lainnya. Bahkan

Dokumen terkait