• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.2. Hubungan Karakteristik Masyarakat Pengguna Air Sungai Deli yang dicemari Limbah Rumah Sakit

Hubungan faktor pendukung (lama bermukim > 6 bulan, penggunaan air untuk keperluan sehari-hari, kontak langsung dengan air lebih dari 4 kali dan lama kontak dengan air lebih dari 1 jam) akan membahas keterpaparan masyarakat berdasarkan perubahan kadar kualitas air limbah yang ada di dalam badan sungai dengan penyakit kulit. Perubahan kualitas air sungai akan menjelaskan bagaimana komponen ini berpengaruh terhadap beberapa faktor pendukung dimaksud di atas dengan gangguan kulit.

Hasil penelitian yang menyangkut gangguan penyakit kulit menunjukkan bahwa ada 59 orang (29,8%) yang mengalami gatal-gatal, 60 orang (30,3%) yang mengalami bercak kemerahan, dan 60 orang (30,3%) yang mengalami bentol-bentol pada kulitnya. Berikut hubungan faktor pendukung sebagai akibat dari kualitas air limbah (BOD, COD, TSS, fosfat, NH3 Bebas) yang rendah dengan gangguan penyakit kulit.

Adanya masyarakat yang menderita gangguan kulit diprediksi adalah masyarakat yang dalam penelitian ini memang sudah bermukim lebih dari 6 bulan di lokasi ini. Hal ini terlihat dari tingginya angka penyakit kulit pada kelompok masyarakat yang sudah bermukim lebih dari 6 bulan. Seperti misalnya masyarakat yang tinggal lebih dari 6 bulan mengalami gatal-gatal sebanyak 42,8 %. Menderita bercak kemerahan pada kulit sebanyak 62,8 %, menderita bentol-bentol sebanyak 38,6%.

Gambaran pengaruh lama tinggal, kualitas dan kuantitas kontak dengan air sungai dengan kejadian penyakit kulit dapat dilihat dari hasil penelitian yang pernah dilakukan Arifin (2008). Hasil menunjukkan bahwa hampir 75 % ikan mengalami perubahan warna kulit seperti bercak kemerahan dan kebiruan pada tubuh ikan yang diteliti pada air yang keseimbangan kualitasnya tidak baik.

United States Department of Health and Human Services (DHHS) dan

International Agency for Research on Cancer (IARC) telah memberi kepastian

bahawa kondisi pH dapat menurunkan kadar berilium yang dapat memicu kejadian penyakit terutama peningkatan zat karsinogen. EPA menjangkakan bahwa

pemamparan yang lebih lama atau seumur hidup kepada 0.04 μg/m³ berilium dapat menyebabkan satu perseribu kemungkinan untuk mengidap kanker.

Hal ini juga dipertegas oleh Suriawiria (2005) yang menyebutkan bahwa keterpaparan suatu makkhluk hidup dalam kondisi air yang kurang baik dalam kurun waktu yang semakin lama akan memberi peluang terkena penyakit yang lebih kompleks yang dapat ditularkan melalui air.

Pada Bulan Juni 2004, Yayasan Suara Nurani (YSN) yang melakukan penelitian pada warga Buyat Pantai yang sudah tinggal lebih dari 1 (Satu) tahun menemukan seorang seorang balita (Andini-Almarhumah), yang cacat dengan dengan keadaan kulit seperti hangus terbakar, dan bermuka tua. Diagnosa yang disimpulkan oleh seorang dokter bahwa pasien menderita keracunan logam berat dalam waktu yang cukup lama.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Warouw (2007) bahwa polemik kesehatan warga Buyat Pantai ditunjukkan dengan 80% warga menderita simpton penyakit aneh seperti benjolan, sakit kepala, kelumpuhan, dan lain sebagainya.

Hubungan penggunaan air sungai untuk kebutuhan sehari- hari juga menunjukkan ada hubungan yang signifikan. Hal ini juga didukung dengan persentasi masyrakat yang menderita penyakit kulit seperti mengalami gatal-gatal sebanyak 50,8 %, menderita bercak merah pada kulit sebanyak 72,8% dan mengalami bentol-bentol sebanyak 50,8 %.

Menurut Devi (2004) bahwa air limbah sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia mengingat bahwa banyak penyakit yang dapat ditularkan melalui air limbah.

Air limbah ini ada yang hanya berfungsi sebagai media pembawa saja seperti penyakit kolera, radang usus, hepatitis infektiosa, serta schitosomiasis. Selain sebagai pembawa penyakit di dalam air limbah itu sendiri banyak terdapat bakteri patogen penyebab penyakit seperti: Virus Menyebabkan penyakit polio myelitis gangguan kulit lainnya. Secara pasti modus penularannya masih belum diketahui dan banyak terdapat pada air hasil (effluent) pengolahan air. Melihat hasil tersebut di atas diketahui bahwa kejadian gangguan kulit dapat disebabkan oleh kualitas air yang rendah pada air sungai.

Penelitian yang dilakukan Dudi (2006) tentang pembuangan limbah cair rumah sakit ke badan air yang mengaliri mg/L Bekasi, berdasarkan uji sampel, telah ditemukan beberapa kadar Chemical Oxyd Demand (COD), BOD, kandungan mercury, lemak dan bahkan bakteri E-coli dalam jumlah melebihi ambang batas. Kondisi ini ternyata memberi dampak negatif terutama terhadap penyakit saluran pencernaan dan penyakit kulit pada masyarakat yang menggunakan air disepanjang aliran sungai tersebut untuk kebutuuhan hidup sehari-hari.

Salah seorang warga bantaran Ciliwung, Atun (29) yang dikutip dari sebuah harian Sinar Harapan, (Endarwan, 2008) mengeluh sudah beberapa hari ini kulitnya terasa gatal dan merah di sekeliling tubuhnya. Menurutnya kejadian ini bermula dari setelah beberapa hari mandi di Mg/L Ciliwung dan merasakan gatal yang luar biasa di tubuhnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di pinggir sungai yang kualitasnya kurang baik dan menggunakannya untuk akktifitas sehari-hari mempunyai peluang besar untuk terkena penyakit kulit.

Melihat dampak-dampak penyakit kulit yang dapat ditimbulkan oleh buangan/limbah rumah sakit seperti tersebut di atas, Suriawiria (2005) menyebutkan bahwa setiap industri harus membuat pengelolaan lingkungan sebagai sebuah sistem. Sistem ini dikenal dengan Sistem Manajemen Lingkungan (Environmental Management System) sehingga limbah yang dibuang bersifat ramah lingkungan dan aman bagi masyarakat sekitar sungai yang menggunakannya untuk keperluan sehari-hari.

Hubungan kontak dengan air lebih dari 4 (empat) mg/L juga merupakan faktor pencetus gangguan kulit dengan ditunjukkannya nilai yang cukup signifikan pemaparan masyarakat dengan air sungai yang sudah mengalami penurunan kualitas air. Persentasi masyarakat yang mengalami penyakit kulit akibat dari kontak dengan air sungai lebih dari 4 (empat) mg/L juga ditunjukkan dengan persentasi masyarakat yang mengalami gatal-gatal sebanyak 40,7%, bercak kemerahan pada kulit sebanyak 28,1%, dan mengalami bentol-bentol sebanyak 40,8 %.

Menurut Arifin (2008) penggunaan asam sulfat dalam konsentrasi pekat secara berulang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan organ pernafasan, sementara cairannya mampu melepuhkan kulit bahkan logam se mg/L pun. Selain itu Helen (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa penggunaan air yang memiliki kualitas yang rendah akan memberi peluang infeksi kulit yang lebih parah pada bagian kulit yang sudah terinfeksi sebelumnya karena terjadi peningkatan bakteri sehingga luka akan terkikis dan mungkin akan menyebabkan radang atau ulser.

Hal ini di dukung oleh pendapat Toto (2004) bahwa mutu air yang rendah yang sering digunakan dapat memberi kontribusi terhadap iritasi pada setiap manusia yang berkontak dan dibiarkan dalam jangka waktu lama. Iritasi ini bagi manusia dapat meyebabkan penyakit kulit yang bervariasi jika tidak segera diatasi

Hubungan kontak langsung dalam air lebih dari 1 (satu) jam dalam penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian penyakit kulit. Hubungan kedua variabel ini juga didukung oleh persentasi masyarakat yang mengalami bentol-bentol bercak kemerahan pada kulit dan gangguan gatal-gatal sebanyak sebanyak 100% yaitu 13 orang dari masyarakat yang memang kontak dengan air lebih dari 1 jam.

Spotte (1970) dalam Marhendra (2005) berpendapat bahwa kepekatan zat terlarut dalam air yang berada dalam tingkat sub-lethal, metabolit beracun seperti amonia dapat menurunkan kemampuan organisme perairan untuk mempertahankan diri dalam suatu lingkungan yang buruk, menghambat pertumbuhan normal, menurunkan fekunditas dan menurunkan daya tahan terhadap penyakit terutama penyakit kulit.

Pendapat tersebut membuktikan bahwa kepekatan air dapat mempengaruhi kondisi kulit manusia yang mengalami kontak lebih lama dalam air yang sudah tercemar. Pendapat tersebut di atas didukung oleh Anto (2004) bahwa pemamparan jangka panjang dan berulang sebagai akibat dari kondisi yang rendah dapat meningkatkan risiko menghidap penyakit kulit.

Penelitian ini mendukung kasus yang pernah terjadi pada masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai Citarik, dimana masyarakat di sekitar pinggiran sungai yang menggunakan air sungai ini sudah tidak aneh lagi jika gatal-gatal dan penyakit kulit eksim menimpa warga (Suara Pembaharuan (2008). Menurut dokter yang menangani kasus ini Iskandar dari Mercy Jakarta yang saat ini melayani pemeriksaan kesehatan warga, sakit yang diderita oleh masyarakat merupakan penyakit kulit gatal-gatal dan penyakit kulit eksim lainnya.

Keterlibatan pemerintah yang memiliki badan yang menangani dampak lingkungan, pihak manajemen puncak rumah sakit dan lembaga kemasyarakatan merupakan kunci keberhasilan untuk melindungi masyarakat dari dampak buangan /limbah rumah sakit ini.

Dokumen terkait