BAB II. PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK BIDANG
E. Hubungan Kebijakan Publik dan Hukum dalam Konteks
Pembuatan kebijakan publik harus didasarkan pada hukum karena dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditentukan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut Immanuel Kant, negara hukum merupakan salah satu tujuan negara, maksudnya : Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan yang menjadi rakyatnya. Ketertiban hukum perseorangan ialah syarat utama dari tujuan suatu negara. Tujuan negara ialah pembentukan dan pemeliharaan hukum di samping dijamin daripada kebebasan dan hak-hak warganya. Rakyat harus mentaati undang-undang yang dibuat dengan persetujuannya sendiri. Lain daripada itu perseorangan dilihat oleh Kant sebagai pihak yang sama derajatnya dengan negara sendiri. Baik negara maupun perseorangan adalah subyek-subyek hukum, yang harus memandang satu dengan lain sebagai sesamanya, sebagai pihak-pihak yang memegang hak-hak dan kewajiban. Hal ini berarti bahwa negara tidak dapat memandang perseorangan sebagai obyek yang tak bernyawa dan tak mempunyai hak apa-apa”46
46
Yunas, Didi Nazmi, Konsepsi Negara Hukum, (Padang : Angkasa Raya, 1992). hal. 26.
Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka tindakan yang dilakukan baik oleh Pemerintah Daerah maupun warga masyarakatnya harus didasarkan pada hukum. Dasar hukum bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan tindakannya ini dapat dilihat dari dua sisi yakni pada satu sisi, memberikan keabsahan bagi tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang sekaligus memberikan perlindungan hukum jika terjadi gugatan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, maka salah satu inti hakikat hukum administrasi adalah “melindungi administrasi negara itu sendiri.47 Maksudnya, kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Daerah akan mendapat perlindungan hukum jika kebijakan itu dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pada sisi lain, melalui dasar hukum dilakukan pembatasan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembatasan ini perlu dilakukan karena “sekecil apa pun kekuasaan yang digenggam satu lembaga atau seseorang, seperti yang sudah dibuktikan dalam keseharian kita, ia tetap problematik ketika tidak diatur”48
Seperti diketahui, hukum tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya bukan sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri namun sebagai lembaga yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan publik. Untuk menghindari terjadinya
47
Basah, Sjachran, Perlindungan Hukum terhadap sikap tindak Administrasi Negara, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 6.
48
Lay, Cornelis, “Lembaga Kepresidenan di Indonesia”, dalam Tidak Tak Terbatas Kajian atas Lembaga Kepresidenan RI, (Yogyakata : Pandega Media dengan BEM UGM, 1997), hal. 12.
penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah maka hukum dapat dipergunakan sarana untuk mencapai tujuan tersebut karena secara teknis hukum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat;
2. Hukum merupakan sarana Pemerintah untuk menerapkan sanksi;
3. Hukum sering dipakai oleh Pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik;
4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.49
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana bagi kebijakan publik untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan melalui proses politik. Hasil utama dari sistem politik adalah hukum. Oleh karena itu, maka “constitution, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Law also sets the framework for public policy”.50
Hukum tertulis sebagai hukum positif merupakan hukum yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Sehubungan dengan hukum positif ini, dalam Pasal 7 ayat Dengan demikian, dasar bagi suatu pembuatan kebijakan publik oleh Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus didasarkan pada hukum baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
49
Sunggono, Bambang, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta : Sinar Grafika 1994), hal. 76-77.
50
Sigler, Jay A., Beede and Rutgers, The Legal Sources of Public Policy, (Toronto: Lexington, Massaehusetts, 1977), hal 4.
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan “Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
Kemudian dalam ayat (2) pasal ini ditentukan bahwa “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Sehubungan dengan peraturan perundangundangan ini, dalam Pasal 7 ayat (4) ditentukan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Dalam penjelasan pasal ini ditentukan bahwa :
Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri, kepala bidang, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Selain hukum tertulis, yang juga menjadi dasar pembuatan kebijakan publik adalah hukum tidak tertulis yakni asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principle of good administration). Asas-asas ini meliputi :
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security); 2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)
6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence);
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness);
9. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation);
10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision);
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life);
12. Asas kebijaksanaan (sapientia);
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).51
Asas keseimbangan (principle of proportionality), artinya kepentingan-kepentingan yang mempunyai hubungan langsung dengan kebijakan publik harus
Asas kepastian hukum ( principle of legal security) mempunyai dua aspek yakni aspek material dan formal. Aspek material dari kepastian hukum berhubungan erat dengan asas kepercayaan. Dalam keadaan tertentu asas kepastian hukum dapat menghalangi badan pemerintah untuk menarik kembali suatu ketetapan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Kemudian sisi formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan yang menguntungkan harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas ini memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya.
51
Syafrudin, A., “Asas-asas Pemerintahan Yang Layak Pegangan Bagi Pengabdian Kepala Daerah”, dalam Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B), penyusun : Paulus Effendie Lotulung, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 38 - 39.
dipertimbangkan secara seimbang. Akibat dari suatu kebijakan publik harus sebanding dengan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pembuatan kebijakan publik sehubungan dengan asas keseimbangan sebagai berikut :
1. Kepentingan-kepentingan yang relevan harus dipersamakan;
2. Harus ada beberapa nilai kepentingan bagi pelaksanaan keseimbangan;
3. Beberapa pandangan harus diterima sebagai kepentingan tertentu yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain secara keseluruhan.
4. Keputusan badan publik harus dibuat sungguh-sungguh seimbang;
5. Pengadilan akan menentukan bagaimana menggunakan kriteria pengujian secara intensif.52
52
Craig, S. The New Corporate Philanthrophy, Harvard Business Review, May-June, 1994. pp. 414-415
Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan pangreh (principle of equality), maksudnya hal-hal yang sama harus diperlakukan sama. Asas kesamaan ini dipandang sebagai salah satu asas yang paling mendasar dan berakar di dalam kesadaran hukum warga masyarakat. Asas persamaan memaksa Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat tidak diskriminatif. Asas bertindak cermat (principle of carefulness), mensyaratkan agar pemerintah sebelum membuat kebijakan publik meneliti semua fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang relevan ke dalam pertimbangannya.
Asas motivasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation), maksudnya suatu kebijakan publik harus dapat didukung oleh alasan-alasan yang dijadikan dasarnya. Asas jangan mencampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence), artinya kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain dari tujuan yang ditentukan untuk kewenangan itu.
Asas permainan yang layak (principle of fair play), maksudnya Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap kebijakan publik yang dibuatnya. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness), maksudnya Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak boleh membuat kebijakan yang sewenangwenang karena kebijakan demikian ini dapat menimbulkan kerugikan bagi warga masyarakat. Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation), artinya harapan-harapan yang ditimbulkan oleh janji-janji Pemerintah terhadap warga masyarakat secara layak harus dihormati. Kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah Daerah harus sesuai dengan harapan-harapan yang dijanjikannya karena kalau tidak maka dapat mengurangi kepercayaan warga masyarakat terhadap Pemerintah Daerah.
Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision), maksudnya dapat saja terjadi bahwa tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dibatalkan oleh Pejabat yang
berwenang. Dengan demikian, Pemerintah wajib meniadakan kerugian-kerugian yang telah diderita oleh warga masyarakat.
Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life), artinya sesuatu yang dianggap baik berupa pandangan hidup pribadi warga masyarakat wajib diperhatikan pada saat dibuatnya kebijakan publik.
Asas kebijaksanaan (sapientia), artinya jika Pemerintah Daerah membuat kebijakan publik dalam penerapan asas kebijakasanaan wajib ditentukan kerangka hukumnya secara pasti untuk mencegah terjadinya penafsiran ambivalen yang dapat merugikan warga masyarakat.
Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service), artinya kepentingan umum menunjukkan kepentingan sebagian besar warga masyarakat yang sepatutnya didahulukan dari kepentingan pribadi dan golongan oleh Pemerintah Daerah dalam pembuatan kebijakan publik.
Penggunaan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (asas-asas umum pemerintahan yang baik) sebagai landasan bagi pembuatan kebijakan publik adalah penting dengan maksud agar penerapan hukum itu dapat menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, kebijakan publik umumnya harus “dilegalisasikan dalam bentuk hukum, karena sebuah hukum adalah hasil dan kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini kita dapat melihat keterkaitan di antara keduanya dengan sangat jelas. Bahwa
sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu pada tataran praktek tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring, sejalan dengan prinsip saling mengisi”53. Jika dikaji berdasarkan logika, dapat dikatakan bahwa “sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya. Demikian pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum tentu akan sangat lemah dimensi operasionalisasi dari kebijakan publik tersebut.54
Salah satu bentuk kebijakan yang mencerminkan hubungan antara pusat dan daerah yang membawa dampak terhadap keleluasaan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan otonominya riil dan seluas-luasnya. Prinsip ini tidak dianutnya lagi oleh UU.No.5 Tahun 1974, melainkan dianutnya “prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab” karena prinsip otonomi riil dan seluas-luasnya dipandang akan menimbulkan disintegrasi dan membahayakan keutuhan negara kesatuan. Di dalam undang-undang ini tidak dijelaskan istilah seluas-luasnya itu. Apakah istilah tersebut diartikan secara kuantitatif atau mungkin karena sifat urusan yang diserahkan tersebut tidak bisa terlepas dari sifat dan kualitasnya. Banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah belum tentu akan mendorong pengembangan otonomi daerah. Bahkan mungkin akan menambah beban bagi daerah, kalau tidak memperhatikan batas wewenang, sifat, macam, dan kualitas urusan yang diserahkan.
F. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Kabupaten Deli Serdang
53
Wibowo, Eddi, Hukum dan Kebijakan Publik, (Yogyakarta : Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004), hal. 32.
54
Perubahan prinsip otonomi yang telah membawa implikasi terhadap penekanan tentang makna dan sifat otonomi daerah yang menyatakan bahwa otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak, adalah pernyataan yang tidak lazim, terutama apabila dihubungkan dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sebagai perwujudan azas desentralisasi teritorial. Dalam pengertian otonomi, kewajiban adalah tidak disangkal. Akan tetapi, pengertian kewajiban adalah sebagai imbangan hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Konsekuensinya, pemerintah daerah wajib untuk mempertanggungjawabkannya. Kalau saja persepsi tentang makna otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak dipandang tepat, maka daerah sebagai penerima kewajiban berhak untuk memperoleh imbalannya sebagai perimbangan kekuasaan. Kalau imbalan ini tidak diperolehnya, akibatnya daerah selalu tergantung kepada pemerintah pusat karena tidak mempunyai diskresi untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya. Lebih jauh lagi akan mengakibatkan lemahnya kemandirian pemerintah daerah. Kenyataan ini menunjukkan betapa krusialnya hubungan kewenangan pusat dan daerah sehingga masalah perimbangan keuangan, subsidi, pembagian sumber-sumber keuangan sering menjadi isu yang berkepanjangan.
Dengan demikian, bila merujuk pada paradigma demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dan aparat, dapat ditafsirkan bahwa otonomi daerah sebagaimana kehendak UU.No.22 Tahun 1999 tidak diartikan untuk pemerintah daerah, tetapi lebih dimaksudkan kepada masyarakat daerah agar mempunyai daya
untuk berinisiatif dan mengembangkan prakarsa aktifnya sendiri. Pemerintah daerah hanya bersifat fasilitatif dalam melaksanakan peran steering, sehingga peran rowing
dihilangkan. Pengertian ini merupakan pengejawantahan dari makna paradigma pemberdayaan masyarakat dan aparat.
Berkenaan dengan hubungan antara faktor sumber daya dengan hubungan antar organisasi, walaupun hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang rendah terhadap pelaksanaan otonomi daerah, namun mempunyai dampak signifikan terhadap luasnya kewenangan dalam melaksanakan aktifitas pembangunan, termasuk dalam penggalian sumber-sumber pembiayaan pembangunan.
Perundang-undangan mengenai perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 1999 bukan sekedar untuk memenuhi juridis-formal, tetapi secara substansial dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber keuangan daerah, dengan berangsur-angsur menurunkan derajat hubungan antar organisasi secara vertikal atau ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Pengurusan berbagai perizinan dilaksanakan di Kabupaten Deli Serdang masih dilakukan pada tempat terpisah-pisah (ada di beberapa kantor/instansi satuan kerja), dan pungutan liar yang dianggap wajar, terkesan sulit dan tidak transparan, serta tidak jelas pembiayaan dan waktu penyelesaian perizinannya. Birokrasi tersebut akan menciptakan mutu pelayanan yang buruk dan tentu saja mengakibatkan masyarakat dan kalangan usaha enggan untuk mengurus perizinan, terutama izin usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini berakibat pada menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Daerah, dan kalangan dunia usaha, investor akan ragu untuk melakukan investasi.
Agar masyarakat dapat memperoleh informasi yang lengkap, setiap perizinan dilengkapi dengan brosur/ leaflet mengenai informasi dasar hukum, persyaratan yang diperlukan, besarnya tarif retribusi terhadap perizinan, masa berlakunya retribusi perizinan dan waktu penerbitan izin yang dimaksud (transparansi informasi), dan setiap personil birokrasi pelayanan izin dituntut untuk melayani dan memberikan informasi kepada masyarakat dengan standar kepastian yang jelas.
Bentuk transparansi dalam unit ini dilakukan dengan menerakan besarnya biaya retribusi yang dibayarkan oleh masyarakat pada Sertifikat Izin serta masyarakat dapat meminta penjelasan bagaimana tata cara penerapan besaran retribusi yang ditetapkan serta pembayaran retribusi dilakukan oleh pemohon langsung kepada bank yaitu BNI ’46.
Bagi Pemerintah Daerah, kondisi pelayanan yang mudah, cepat, dan dengan biaya yang transparan berdampak positif pada meningkatnya kepuasan masyarakat dalam menerima pelayanan dari Pemerintah kabupaten Deli Serdang sehingga diharapkan mampu mendukung peningkatan iklim usaha (khususnya bagi UKM) dan berdampak positif pula bagi peningkatan pendapatan daerah.
G. Kajian Hukum terhadap Perizinan
Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga. Menurut Spelt dan Ten Berge, izin adalah suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan Undang-Undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang-undangan. Sementara itu Ridwan HR, dengan merangkum serangkaian pendapat para sarjana menyimpulkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dengan mendasarkan pengertian seperti itu, maka unsur dalam perizinan meliputi instrumen yuridis, peraturan perundang-undangan, organ pemerintah, peristiwa konkret, prosedur dan persyaratan.
Sebagai sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka izin dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu berupa keinginan untuk mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu, mencega bahaya bagi lingkungan, keinginan melindungi obyek-obyek tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan juga dapat ditujukan untuk pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas tertentu.55
Seperti diketahui dari luas wilayah yang begitu besar, jumlah penduduk yang banyak, maka pemekaran daerah dilakukan. Sebagai konsekuensi dari asas desentralisasi, maka berbagai urusan pemerintahan diserahkan ke daerah menjadi urusan daerah. Penyerahan kewenangan dalam kerangka desentralisasi tersebut dimaksudkan untuk menjembatani kebutuhan efisiensi dan efektivitas penanganan masalah, optimalisasi peran lokal, sekaligus akomodasi terhadap keanekaragaman daerah. Dengan kenyataan yang demikian maka penanganan terhadap masalah perizinan pun juga menjadi salah satu yang didistribusi, tidak hanya menjadi
55
Spelt, Mr. NM. & JBJM Ten Berge disunting Philipus M. Hadjon. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya (Yuridika, 1993), hal. 4-5.
kewenangan pemerintah pusat akan tetapi juga menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, pemerintah yang sedang membangun memiliki beberapa fungsi yakni:56
Melalui izin dapat pula pemerintah mengendalikan dan mengontrol kegiatan masyarakat. Hal seperti itu misalnya nampak dalam hal anggota masyarakat sebagai pemegang izin diwajibkan untuk mendaftar ulang ataupun mengajukan perpanjangan izinnya untuk setiap periode tertentu. Dalam hal seperti itu setiap kali pendaftaran memimpin warga masyarakat (leading), mengemudikan pemerintahan (governing), memberi petunjuk (instructing), menghimpun potensi (gathering), menggerakkan potensi (actuating), memberikan arah (directing), mengkoordinasi kegiatan (coordinating), memberi kesempatan dan kemudahan (facilitating), memantau dan menilai (evaluating), mengawasi (controlling), menunjang/mendukung (supporting), membina (developing), melayani (servicing), mendorong (motivating) dan melindungi (protecting).
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut pemerintah membuat perencanaan (het plan) baik untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tersebut seringkali digunakan sebagai pedoman bagi kegiatan masyarakat maupun pemerintah sendiri. Instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan masyarakat seperti itu antara lain menggunakan sarana perizinan.
56
Ateng Syafrudin, 1994. Butir-butir Bahan Telaahan Tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Layak Untuk Indonesia, dalam Paulus Efendi Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 64.
ulang atau perpanjangan dilakukan, maka akan dilihat pula dampak dari kegiatan yang diizinkan. Apabila kegiatan itu memberikan dampak positif bagi masyarakat di sekitarnya maupun bagi pemerintah sendiri, atau setidak-tidaknya tidak menimbulkan kerugian dan dampak negatif bagi pihak lain, maka perpanjangan atau pendaftaran dapat dilayani. Hal tersebut penting untuk diperhatikan, mengingat dalam Hukum Ekonomi, asas pengawasan publik dan asas campur tangan terhadap kegiatan ekonomi merupakan bagian dari asas utama dari Hukum Ekonomi.57
Izin dapat dipandang sebagai perdoman dan sekaligus jaminan bagi kegiatan usaha mereka. Masalah perizinan dewasa ini sering dikeluhkan oleh masyarakat luas. Tak jarang terdengar keluhan para investor yang mengatakan rumit dan panjangnya proses pengurusan perizinan. Hal yang seperti itu tentu perlu diantisipasi antara lain dengan mengadakan koordinasi dengan instansi-instansi terkait, sehingga birokrasi-birokrasi yang tidak begitu penting dapat ditiadakan untuk kemudian disatukan dalam bagian lainnya. Memang ada yang memandang izin sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebuah insentif bagi kegiatan usaha, di mana dengan adanya berbagai kemudahan untuk pengurusan perizinan maka akan memberikan rangsangan bagi pengusaha untuk memulai investasi. Akan tetapi sebenarnya mengenai insentif itu sendiri tidak selamanya mendesak bagi dunia usaha.58
57
Redjeki Hartono, 1995. Perspektif Hukum Bisnis pada Era Teknologi. Pidato Pengukuhan Peresmian Jabatan Guru Besar di dalam Hukum Dagang pada Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang, hal. 18.
Mereka yang berpandangan
58
Menurut Kwik Kian Gie, Swasta itu tidak perlu diberikan kemudahan-kemudahan dalam bentuk apapun. Sebaliknya kalau swasta diberikan kemungkinan untuk berusaha, mereka pasti akan selalu tahu jalan untuk menjadi besar. Dihambatpun mereka akan selalu mengetahui bagaimana caranya menerobos hambatan ini, kalau perlu dengan cara-cara yang kurang wajar. Justru kalau kita
bahwa insentif bagi dunia usaha tidak selamanya diperlukan, melihat bahwa di dalam setiap usahawan selalu sudah tertanam sifat jiwa usaha (entrepeneurship).
Untuk masalah perizinan sendiri kiranya cukup apabila birokrasi pengurusannya tidak cukup apabila birokrasi pengurusannya tidak terlalu panjang,