• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PIDANA TENTANG DESERSI

Kita ketahui bersama, bahwa Hukum Pidana Umum bertaku bagi setiap orang, dengan demikian Hukum Pidana Umum tersebut berlaku juga bagi militer. Walaupun bagi militer yang melakukan tindak pidana berlaku ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Umum, namun bagi militer terdapat ketcntuan-ketentuan yang menyimpang dari ketcntuan-ketentuan-ketcntuan-ketentuan yang diatur di dalam KUHP yang khusus diberlakukan bagi militer. Ketentuanketentuan yang khusus itu diatur di dalam Kltab Undang-undang Hukum Pldana Militer (KUHPM).19

Dengan diaturnya peraturan-peraturan khusus di dalam KUHPM itu, hal tersebut merupakan penambahan dari aturanaturan yang telah diatur di dalam KUHP. Adapun alasan diadakannya peraturanperaturan tambahan dari KUHP itu disebabkan:

a. Adanya beberapa perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh militer saja bersifat asli militer dan ticlak berlaku bagi umum, contohnya: desersi, menolak perintah dinas, insubardiansi dan sebagainya.

b. Beberapa perbuatan yang bersifat berat sedemikian rupa, apabila dilakukan oleh anggota militer di dalam keadaan tertentu, ancaman hukuman dari hukum pidana umum dirasakan terlalu ringan.

c. Apabila peraturan-peraturan khusus yang diatur di dalam KUHPM dimasukkan ke dalam KUHP akan membuat KUHP sukar dipergunakan, karena terhadap ketentuanketentuan itu hanya tunduk sebagian kecil dari anggota masyarakat, juga peradilan yang berhak melaksanakannya juga tersedndiri yakni peradilan militer. Pasal 1 KUHPM berbunyi : “Pada waktu memakai undang-undang ini, berlaku aturan-aturan Hukum Pidana Umum, termasuk disitu Bab kesembilan dari Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali aturan-aturan yang menyimpong yang ditetapkan dalom undang-undang”.20

Berlainan dengan bunyi Pasal 2 KUHPM, yang hanya menyebutkan hal berlakunya Hukum Pldana Mlltter, maka Pasal fnl menyebutkan bahwa pada waktu mempergunakan Kitab Hukum Pidana Militer, segala ketentuan-ketentuan dari undang-undang (termasuk KUHPM sendiri) yang mengadakan penyimpangan-penyimpangan mengenai hal-hal tertentu, hingga hal-hal tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi KUHPM; sesungguhnya tidak perlu disebut lagi karena pengertian itu sudah tercakup pada kalimat terdahulu, “berlaku aturan-aturan Hukum Pidana Umum dan sebagainya”. Tujuan dari pemuatan kalimat itu tidak lain agar tidak timbul keragu-raguan tentang berlakunya Bab IX KUHP bagi undang-undang lain. Pasal 103 sebagai Aturan Penutup dari Bab IX sama sekali tidak menyebutkan berlakunya Bab IX bagi undang-undang lain. Pasal 103 membatasi berlakunya Bab IX ini karena pada undang-undang dan peraturan lainnya yang sudah ada sebelum tahun 1886 terdapat pula istilah-istilah yang sama bunyinya, akan tetapi mempunyai pengertian yang berlainan

dengan istilah yang terdapat dalam Bab IX KUHP. Pemasukan Bab IX ini ke dalam KUHPM dianggap sangat perlu untuk penafsiran berbagai macam soal dan istilah-istilah seperti permufakatan jahat (samenspaning), kekerasan, musuh, perang, dalam waktu perang, hari dan sebagainya.

Pasal 1 KUHPM itu tidak saja berlaku bagi ketentuan-ketentuan dari Buku I KUHP, juga bagi Buku II, seperti Pasal 140 KUHPM, tentang hal pencurian dalam bentuk yang luar biasa. Yang dimaksud dengan istilah pencurian dalam Pasal ini unsur-unsurnya sama dengan pencurian yang diuraikan secara formil dalam Pasal 362 KUHP dan penghukumannya untuk kejahatan dalam Pasal 140 KUHPM ini, berlaku pula ketentuan-ketentuan dari Pasal 366 KUHP ialah pencabutan hak-hak yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1-4. Contoh lain adalah Pasal 145 KUHPM tentang penadahan dtpakat pengertian-pengertian dari Pasal 480 KUHP.21

3.1 Penyimpangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Bahwa KUHPM itu merupakan hukum yang khusus bagi militer. Karena kekhususannya itu, maka terjadi pengurangan, penambahan, atau penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam KUHP.

Pengurangan, penambahan, atau penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam KUHP tersebut karena tidak diaturnya ketentuanketentuan tentang percobaan dan penyertaan dalam KUHPM.

Adapun ketentuan-ketentuan KUHP yang menyimpang dari KUHPM mengenai “penyertaan” terdapat dalam:

a. Pasal 72 KUHPM tentang peniadaan pidana pada peserta;

b. Pasal 78 (1) ke-3 dan ke-4, Pasal 88 (1) ke-2, Pasal 103 (3) ke-3, Pasal 142 (2), ketentuan-ketentuan mengenai pemberatan pidana;

c. Pasal 75 (2) gabungan dengan penyertaan.

d. Pasal 65 (pemberontakan militer), Pasa) 108, Pasal 113 yang masingmasing merupakan tindak pidana tersendiri.22

Mengenai penyimpangan tentang ketentuan “percobaan” dalam hal ini dititikberatkan pada tidak adanya pengurangan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (2). Sedangkan pengurangan diatur dalam Pasal 33 dan 34 terhadap seorang militer yang belum dewasa, di dalam Pasal 45 KUHP dikembalikan kepada orang tuanya, maka di dalam KUHPM dikembalikan kepada Ankum atau pemutusan ikatan dinas.

Tentang penambahan adanya pemberatan hukuman yang dilakukan oleh mtllter dalam keadaan tertentu, mtsalnya: kejahatan dilakukan pada waktu perang. Kalau dalam keadaan biasa perbuatan itu diancam dengan hukuman seumur hidup, maka jika dilakukan pada waktu perang diancam dengan hukuman mati, bahkan dalam pertempuran dapat diperlakukan sebagai musuh dan dapat langsung ditembak mati.23

22 Ibid, hal.60

3.2 Tindak Pidana Militer

Tindak pidana Militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subyek militer, terdiri dari:

(1) Tindak Pidana Militer Murni (Zuiver Militaire Delict). Tindak pidana militermurni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer.

(2) Tindak Pidana Militer Campuran (Germengde Militaire Delict).

Tindak pidana militer campuran adalah suatu perbuatan yang dilarang yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, sedangkan ancamanhukumanya dirasakan terlalu ringan apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang militer. Oleh karena itu diatur lagi dalam KUHPM disertai ancaman hukuman yang lebih berat, disesuaikan dengan keadaan yang khas militer. Jadi walaupun di dalam KUHP sudah diatur di dalam Pasa152 tentang pemberatan ancaman pidana, ancaman pidana yang diatur dalam KUHP tersebut masih dirasakan belum memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu perlu diatur dalam KUHPM secara

Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer TNI yang Melakukan Tindak Pidana Desersi khusus.Pengertian khusus itu adalah ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi anggota militer saj a dan dalam keadaan tertentu pula.

3.3 Pertanggungjawaban Militer Terhadap Perbuatan Pidana Desersi

Pengertian pertanggungjawaban secara umum adalah merupakan bentuk tanggung jawab seseorang atas tindakan yang dilakukannya. Sedangkan untuk pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk pemidanaan pelaku dengan

maksud untuk menentukan apakah seseorang tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dimintai pertanggung jawaban pidana atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum. Dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) pada umumnya: (1) Keadaan jiwanya: tidakterganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair), tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu/idiot), tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, melindur, mengigau karena demam. (2) Dengan perkataan lain bahwa subjek dalam keadaan sadar, kemampuan jiwanya: dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya, dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.24 (Sianturi, 1985: 249).

Untuk pengertian pertanggung jawaban militer, tidak diatur secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Jadi dapat disimpulkan dengan mengkaitkannya pada pertanggungjawaban pidana, bahwa pertanggungjawaban militer adalah kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit (pelanggaran disiplin), sehingga perkaranya dapat diselesaikan di luar Pengadilan, misalnya: datang terlambat waktu apel, tidak menghormati atasan dan berpakaian kurang rapi. Seorang militer yang telah melakukan pelanggaranpelanggaran yang telah disebutkan di atas dapat dimintai bentuk pertanggungjawaban pidana berupa hukuman disiplin yang terdapat

dalam pasal 8 UU Hukum Disiplin Prajurit ABRI berupa: (a) teguran, (b) penahanan ringan paling lama 14 (empat belas) hari, (c) penahan berat paling lama 21 (dua puluh satu) hari.Pidana militer bertujuan untuk pendidikan militer dan penjeraan kepada pelaku tindak pidana, dimana tindak pidana pada umumnya dirasakan menggangu keseimbangan masyarakat. Penjatuhan pidana dalam tindakan pidana dianggap perlu sebagai alat terakhir atau senjata pamungkas kepada pelaku. Bentuk pertanggungjawaban pidana bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana diatur dalam Pasal 6 KUHPM yaitu: (1) Pidana Pokok: (a) Pidana Mati. Pasal 255 Hukum Acara Pidana Militer (selanjutnya disebut HAPMIL) menentukan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak di muka umum. Jika terpidana mati adalah seorang anggota TNI, maka sewaktu pelaksanaan pidana mati berpakaian dinas harian tanpa pangkat dan tanda kehormatan. (b) Pidana Penjara. Pidana Penjara ancaman hukumanya minimum satu hari dan maksimum lima belas tahun, yang pelaksanaan hukumannya bagi militer dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil). (c) Pidana Kurungan. Pidana kurungan ancaman hukumannya minimum satu hari dan maksimum satu tahun. Terhadap terpidana yang dijatuhkan pidana kurungan dalam peraturan kepenjaraan diadakan perbedaan, dimana kepada terpidana kurungan diberikan pekerjaan di dalam tembok rumah pemasyarakatan dan pekerjaan yang diberikan lebih ringan dibandingkan dengan terpidana yang dijatuhi hukuman penjara. (d) Pidana Tutupan. Pidana tutupan adalah pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana dalam rangka melaksanakan tugas Negara, tetapi melakukannya secara berlebihan. Pidana tersebut dalam

KUHPM dimaksudkan untuk meng-imbangi itikad baik dari terpidana. Di Indonesia baru satu kali dijatuhkan yaitu pada perkara peristiwa 3 Juli 1946, hukuman pidana tidak dilaksanakan. (2) Pidana Tambahan: (a) Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki Angkatan Bersenjata. Da1am rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, sebaiknya pemecatan itu agar diikuti dengan pencabutan haknya untuk memasuki angkatan bersenjata. Karena kalau tidak diikuti dengan kata dicabut haknya untuk memasuki angkatan bersenjata, maka yang bersangkutan setelah dipecat dari suatu angkatan dikhawatirkan masuk angkatan yang lain. Pemecatan tersebut menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari angkatan bersenja atau kemampuan bertanggungjawab yang dilakukan oleh anggota militer atas kesalahan yang dilakukan. Hakikat pertanggungjawaban pidana bagi seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan suatu tindakan penjeraan atau pembalasan selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelai selesai menjalani pidana. Seorang militer (eks narapidana) yang akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan berguna baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil tindakan pendidikan yang ia terima selama dalam rumah penjara militer (pemasyarakatan militer). Seandaianya tidak demikian halnya, maka pemidanaan itu tiada mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya dalam masyarakat militer.

Hal seperti itu perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menentukan perlu tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana di sampingdasardasar lainnya yang sudah ditentukan. Jika terpidana adalah seorang non-militer, maka hakekat pelaksanaan pertanggungjawaban

pelak-sanaan pidananya sama dengan yang diatur dalam KUHAP.25 (Sianturi, 1985: 69)

Anggota militer dalam tindak pidana desersi dapat dipidana jika perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur rumusan tindak pidana desersi, sedangkan untuk kemampuan bertanggungjawab tidak begitu dipertimbangkan karena pelaku adalah seorang militer. Hukum menganggap militer tersebut memang j elas mampu bertanggung jawab karena keadaan batin seorang militer saat melakukan perbuatan pidana dianggap dalam keadaan sehat dan normal.

3.4 Dasar Hukum Dan Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Militer

Pertanggungjawaban pdana adalah dengan menerima segala pemidanaan yang telah diberikan kepada pelaku. Dalam hal ini untuk pemidanaan atau sanksi bisa berupa pidana pemecatan, penurunan pangkat atau pencabutan hak-hak tertentu. Hal tersebut diatur dalam Pasa16 sampai dengan Pasal 31 Bab II Buku I KUHPM dan Pasal 8 UU Hukum Disiplin Prajurit ABRI yang berlaku untuk seluruh militer/TNI baik mengenai norma-normanya maupun mengenai sanksinya, diadakan penyatuan. Adapun bentuk pertanggung jawaban pidana bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana dapat diselesaikan menurut hukum disiplin atau penjatuhan sanksi pidana melalui Peradilan Militer. Hukuman disiplin militer merupakan tindakan pendidikan bagi seorang militer yang dijatuhi hukuman yang tujuannya sebagai tindakkan pembinaan (disiplin) militer. Sedangkan pidana militer lebih merupakan gabungan antara pendidikan militer dan penjeraan, selama terpidana tidak dipecat dari dinas militer.Penyelesaian

menurut hukum disiplin dilakukan dalam hal tindak pidana yang dilakukan sedemikian ringan sifatnya dan bukan merupakan perbuatan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah selama dinasnya yang dahulu. Penjatuhan pidana pemecatan clisamping pidana pokok dipandang hakim militer sudah tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer dan apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan dikhawatirkan kehadiran terpidana nantinya dalam militer setelah ia menjalani pidananya, akan menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat. (b) Penurunan pangkat. Di dalam praktek, penjatuhan hukuman penurunan pangkat ini jarang diterapkan, karena dirasakan kurang adil dan tidak banyak manfaatnya dalam rangka pembinaan militer, terutama bagi Bintara Tinggi dan Perwira-perwira. (c) Pencabutan hak-hak yang disebutkan pada Pasal 35 Ayat 1 nomor ke 1,2 dan 3 KUHP. Ke-1, hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu adalah Pencabutan hak untuk memegang jabatan biasanya apabila yang bersangkutan melakukan kejahatan jabatan yang dihubungkan dengan Pasal 52 dan 52a KUHP. Ke-2, hak memasuki angkatan bersenj ata adalah Pencabutan hak untuk memasuki angkatan bersenjata, apabila menurut pertimbangan hakim bahwa orang tersebut tidak layak untuk berada dalam masyarakat militer. Ke-3 hak memilih dan dipilzh dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum adalah pencabutan hak untuk memilih dan dipilih hal ini biasanya dijatuhkan terhadap seorang prajurit yang melakukan tindak pidana politi yang bertentangan dengan ideologi Negara terutama terhadap aktivis Gerakan 30 September, maka pada umumnya terhadap mereka dicabut haknya untuk memilih dan dipilih.

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Kajian hukum militer terhadap pelaku tindak pidana desersi sebagai Anggota Militer (TNI) ancaman hukumannya lebih berat dibandingkan dengan ancaman hukuman yang terdapat pada KUHP (dipandang kurang memenuhi rasa keadilan) ; karena militer dipersenjatai guna menjaga keamanan; justru dipergunakan desersi. Adapun bentuk desersi dapat dilihat pada Pasal 87, terdiri desersi murni selamanya dari kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang; untuk menyeberang ke musuh dan memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasan lain tanpa dibenarkan untuk itu dan desersi sebagai peningkatan dari kejahatan, ketidakhadiran tanpa ijin, dengan sengaja dalam waktu selama 30 hari berturut-turut. Adapun tindak pidana desersi dalam KUHP Pasal 124 (3), Pasal 136 dan Pasa) 165 ; Pasal 124 (3) ke 2 di atas antara lain menyebutkan: Pidana Mati atau Pidana Penjara seumur hidup atau sementara dua puluh tahun diancam jika petindak menggerakkan atau menganjurkan desersi dalam masyarakat militer (kejahatan terhadap kcamanan nogara).

2. Bahwa hubungan antara KUHPM dengan KUHP, suatu hubungan yang tidak dapat terpisahkan karena KUHPM merupakan bagian dari KUHP; KUHP berlaku bagi setlap orang dengan demfklan bag[ militer (TNI), berlaku KUHP, dan bagi Militer (TNI) yang melakukan tindak pidana deersi akan diperlakukan/diterapkan aturan khusus yakni KUHPM, hal ini merupakan

penyimpangan dari KUHP. Adapun prinsip-prinsip dari KUHPM antara lain : kesatuan hukum bagi militer, kodifikasi tersendiri bagi militer yang tersendiri; yurisdiksi tersendiri; kemungkinan penyelesaian suatu tindak pidana secara hukum disiplin, penerapan dan ketentuanketentuan umum dan tidak mengenal pemidanaan kolektif dan sistematika dari KUHP dengan KUHPM berbeda, selanjutnya penerapan KUHPM hanya kepada militer dan/atau yang disamakan sesuai dengan lingkungan aturan, dan ketentuan tentang pidana dalam KUHPM Yang berbeda dengan aturan dalam KUHP.

4.2 Saran

1. Sangat diharapkan kepada aparat penegak hukum khususnya yang berada dalam lingkungan Peradilan Militer hendaknya mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai alat penegak hukum yang benar-benar sebagai penegak hukum, khususnya kepada Hakim yang memeriksa dan memutus perkara dalam putusannya diawali dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” disini Hakim menyandarkan putusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pert anggungjawabannya dunia akhirat. 2. Sangat diharapkan kepada anggota militer (TNI) sedapat mungkin hindari

perbuatan yang tercela; dapat merugikan diri; karena bila melakukan tindak pidana desersi dan terbukti ancaman hukumannya sangat berat, semoga tidak melakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Hamzah. 1991. Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Ragunan. Amirroedin Syarif. Hukum Disiplin Militer. Jakarta : Rineka Cipta. 1996

Amirroedin Syarif. Disiplin Militer dan Pembinaannya. Jakarta : Galia Indonesia. 1982.

A. Mulya Sumaperwata. Hukum Acara Peradilan Militer. Bandung : Pasundan Law Faculty Alumnus Press. 2007.

A.S.S. Tambunan. Hukum Militer di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Militer. 2005.

Bahan Kuliah Hukum Acara Peradilan Militer, 2016. F.H Unwar Denpasar Bahan Kullah Fiukum Maria Mlllter, 2009. F.H Unsrat Manado, hal.7

E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 1981. Hukum Pidana Militer di Indonesia, Penerbit Alumni AHM-PTHM Jakarta.

Moch. Faisal Salim, 2006. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Mandar Maju. Moedjatno, 1959. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bumi Aksara, Jakarta, hal. 6

The Army Almanac; The Stackpole Company.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-undang Huum Pidana Militer (KUHPM)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Bidang Pertahanan Keamanan (HANKAM) 1997, 1999, Sekretariat Umum Mabes TNI, Jakarta, hal. 79

Undang-Undang Dasar 1945, Menkum HAN Jakarta

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit. Peraturan Perundang-undangan bidang Pertahanan Keamanan (HANKAM) 1997,

1999, Sekretariat Umum Mabes TNI, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan No.26 Tahun 1997 tentang Hukum Displin Prajurit ABRI, Jakarta

Dokumen terkait