• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seiring dengan bergulirnya otonomi daerah, telah merubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan di daerah di mana kekuasaan yang bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 22/1999, kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 selanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 32/2004. Perubahan kebijakan pengaturan pemerintahan daerah tersebut diselaraskan dengan adanya perubahan kebijakan terhadap pajak dan retribusi daerah sebagai

94Ibid, hlm. 120.

landasan bagi daerah dalam menggali potensi pendapatan daerah khususnya pendapatan asli daerah, yakni undang-undang Nomor 18 Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 18/1987, kemudian dirubah dengan undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, selanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 34/2000.

Perubahan berbagai kebijakan nasional sebagaimana dimaksud membawa harapan besar bagi daerah untuk membangun daerahnya dengan menggali potensi daerahnya masing-masing sebagai sumber pendapatan daerah, khususnya pendapatan asli daerah. Harapan dari daerah tersebut merupakan hal yang wajar, karena diberikannya berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya dibarengi dengan muatan kewenangan untuk mengurus keuangannya secara otonom dalam membiayai penyelenggaraan otonomi, baik dalam menggali sumber-sumber keuangan, pemanfaatannya serta pertanggungjawabannya.

Pajak dan retribusi daerah merupakan dua dari beberapa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di mana dua elemen ini yang memiliki kontribusi terbesar bagi sumber penerimaan daerah yang dapat dilihat di dalam Anggaran dan Pendapatan Asli Daerah (APBD) yang merupakan rencana kegiatan pemerintah daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan

menunjukkan adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal dan biaya yang merupakan batas maksimal untuk suatu periode anggaran.95

Untuk itu selama ini pajak dan retribusi daerah sering menjadi tumpuan sumber PAD, hal ini terlihat dari beberapa daerah yang menerapkan banyak pajak dan retribusi dengan alasan untuk menambah kas dan APBD daerahnya. Devas dalam Supramono96 mengemukakan bahwa seringkali terjadi pengenaan beban pajak yang melebihi kemampuan bayar masyarakat akibatnya banyak investor dalam maupun luar negeri menjadi enggan untuk melakukan investasi di daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus selektif menggali sumber pendapatan yang berasal dari pajak dan retribusi daerah dengan melakukan identifikasi potensi masing-masing komponen pajak dan retribusi daerah. Dikatakan sebuah daerah memiliki ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom yang mampu berotonomi sendiri terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD khususny apajak dan retribusi daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Berkaitan

95Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Pertama, (Jakarta: Salembaempat, 2002), hlm.57.

96Devas, Nick., et.al, KeuanganPemerintah Daerah di Indonesia, (Jakarata: UI Press, 1989), hlm. 98.

dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan produktivitas PAD tanpa harus melakukan perluasan sumber atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date. Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak, misalnya: baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan pajak yang tidak optimal. Maka Fokus perhatian berkenaan dengan pembiayaan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertumpu pada persoalan pendapatan daerah yang berasal dari berbagai jenis sumber. Artinya pendapatan daerah merupakan cerminan dari kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan:

“Sumber pendapatann daerah terdiri atas:

a. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:

1) Hasil pajak daerah;

2) Hasil retribusi daerah;

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) lain-lain PAD yang sah;

b. Dana perimbangan; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.”

Jika menelusuri ketentuan Pasal 157 tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa di antara sumber pendapatan daerah tersebut, hanya

”Pendapatan Asli Daerah” yang merupakan sumber pembiayaan sebagai indikasi atau ketegasan sumber pendapatan daerah yang otonom. Sebab sumber pendapatan daerah yang berupa dana perimbangan merupakan hasil penerimaan yang didasarkan persentase perimbangan tertentu yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Adapun lain-lain pendapatan daerah yang sah ditentukan oleh ukuran yuridis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Selanjutnya diantara komponen Pendapatan Asli Daerah, perlu dicermati komponen pajak daerah dan retribusi daerah aspek yuridis yang berimplikasi terhadap peranannya dalam memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Kajian yuridis landasan pajak daerah dan retribusi daerah harus ditetapkan dalam sebuah undang-undang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 158 UU No.32/2004 : ” Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah”.

Adapun undang-undang yang dimaksud Pasal 158 ayat (1) UU No. 32/

2004 adalah UU No. 18/1987 sebagaimana telah diubah dengan UU No.

34/2000. Dengan demikian pengaturan secara yuridis tersebut tidak luput untuk dibahas terhadap dinamika perubahan pengaturannya. Di samping landasan hukum berupa undang-undang, patut ditelusuri secara yuridis peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan PP No. 65/2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan PP No. 66/2001. Pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut dilakukan melalui produk hukum berupa peraturan daerah, selanjutnya disingkat dengan sebutan Perda.

Pada sisi lain berjalannya pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah dalam membiayai daerah, memberikan peluang untuk menggali potensi daerah melalui pungutan daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah ke dalam penetapan kebijakan hukum berupa Perda tentang Pajak dan Retribusi. Maka dengan adanya Perda Pajak dan Retribusi kerangka teori hukum, menempatkan fungsi Perda tentang Pajak dan Retribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada fungsi anggaran, fungsi pengaturan, dan fungsi distribusi.97 Maksudnya dari fungsi-fungsi tersebut pertama-tama perda pajak dan retribusi adalah fungsi-fungsi anggaran yang erat kaitannya dengan fungsi perencanaan. Dengan fungsinya yang demikian, maka pajak dan retribusi mempunyai posisi yang strategis bagi kegiatan pembangunan yang diinginkan di daerah. Kegagalan memenuhi

97 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1995), hlm. 28.

target penerimaan sesuai dengan anggaran, akan berpengaruh terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan. Muara akhir semuanya ini adalah kegagalan bagi daerah dalam melaksanakan misinya mengembangkan dan meningkatkan pembangunan dalam rangka kesejahteraan rakyat di daerah.

Fungsi kedua perda pajak dan retribusi sehubungan dengan anggaran adalah fungsi pengaturan. Dalam hal ini pemerintah daerah harus menetapkan pengaturan yang jelas tentang jenis maupun besarnya tarif pajak dan retribusi yang dibebankan kepada rakyat. Pengaturan yang dituangkan dalam perda harus dapat menjamin kepastian hukum bagi rakyat di daerah. Makna kepastian hukum dalam fungsi pengaturan adalah tidak boleh ada tumpang tindih antara sebuah jenis pajak atau retribusi lainnya yang diikuti dengan kejelasan wewenang pemerintah provinsi dan wewenang kabupaten atau kota.

Fungsi ketiga perda pajak dan retribusi sebagai instrumen anggaran adalah fungsi distribusi. Pemda memainkan peran sebagai fasilitator yang baik dalam distribusi kenyamanan kepada rakyat dengan prinsip “saling dukung” (subsidi silang). Peranan ini tidak dapat lepas dari rasionalitas “prinsip keadilan” dalam proses distribusi penikmatan fasilitas yang dibiayai dari pajak dan retribusi.

Selain itu makna Kebijakan pajak dan retibusi merupakan bagian dari kebijakan publik (umum) yang diambil pemerintah sejalan sebagai cerminan kehendak rakyat dalam mencapai tujuan negara. Konskuensi lanjut terhadap hal di atas bagaimana pemerintah dapat menyelenggarakan fungsi pajak (budgeter dan reguler). Pola perumusan kebijakan pajak dan retribusi daerah

sebagai sumber pendapatan daerah didasarkan pada pola kebijaksanaan nasional yang diakomodir dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional, sebagai berikut:

1. Undang Undang Dasar 1945, khusus berkenaan dengan pajak secara umum diakomodir dalam Pasal 23A yang menyatakan ”pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Norma yang demikian mempunyai makna bahwa segala sesuatu pungutan yang menjadi beban rakyat harus sepengetahuan rakyat melalui representasinya di lembaga perwakilan rakyat. Persoalan pajak dan retribusi daerah masuk dalam lingkup konstitusional yang dimaksud di atas, sehingga perlu ada pengaturan umum tentang pajak dan retribusi daerah ke dalam undang-undang.

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selanjutnya disingkat dengan sebutan UU No. 28/ 2009 merupakan undang-undang terbaru yang mengatur pajak dan retribusi daerah menggantikan UU No. 18/1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34/2000.

Dalam Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah telah ditetapkan beberapa jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah. Jenis pajak tersebut antara lain: Pertama, Pajak Hotel dan Restoran; Kedua, Pajak Hiburan; Ketiga, Pajak Reklame; Keempat, Pajak Penerangan Jalan; Kelima, Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C; Keenam, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Selain jenis pajak

di atas, pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan pada Pasal 2 ayat (3) dan jika potensinya kurang memadai juga tidak perlu dilakukan pemungutan pade Pasal 2 ayat (4). Posisi ini dianggap sebagai sikap dilematis terhadap ketentuan ini sangat di mana sangat membatasi kreasi daerah yang dalam realitas sering dilakukan, dan di sisi lain hal ini cukup memberikan perlindungan hukum bagi rakyat untuk tidak dipungut berbagai jenis pajak daerah yang tidak mempunyai validitas normatif dan legitimasi dari masyarakat.98

Berlakunya undang-undang baru ini pada hakekatnya menjadi angin segar bagi daerah untuk bersemangat melakukan berbagai penataan kembali produk hukum daerah yang mengatur tentang pajak dan retribusi. Untuk melakukan penataan tersebut tentu harus memperhatikan berbagai hal yang telah diatur dalam berbagai pasal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Untuk hal ini, maka harus diperhatikan ketentuan Pasal 179 dan Pasal 180 yang mengatur sebagai berikut: Pada saat undang-undang ini berlaku, Pajak dan Retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah mengenai Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis pajak kabupaten atau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan Peraturan Daerah tentang Retribusi mengenai jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), jenis retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, sepanjang tidak diatur dalam

98Himawan Estu Bagijo, Pajak dan Retribusi Daerah Sebagai Sumber Pendapatan Daerah (Studi Kasus Kabupaten /Kota dan Pemerintahan Propinsi Jawa Timur, Jurnal Prespektif, Vol. XVI No. 1 Tahun 2011, hlm. 13.

Peraturan Daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (tahun) terhitung sejak saat terutang. Selain itu Pasal 180 (1) Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; (2) Peraturan Daerah tentang retribusi daerah jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, masih tetap berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan undang-undang ini.

Mencermati isi ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut, maka tidak dapat ditawar lagi bahwa jangka waktu berlakunya perda pajak dan retribusi adalah 2 (dua) tahun. Jadi siap atau tidak, pemerintah daerah harus menghentikan semua jenis pemungutan pajak dan retribusi yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas.

Untuk itu dengan adanya ketentuan otonomi dan peraturan tersebut, maka dalam kebijakan pembangunan di daerah, pemerintah daerah semakin dituntut untuk mampu membiayai pelaksanaan pembangunan daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sejalan dengan kemajuan pembangunan nasional, tetapi dalam kenyataannya bahwa tidak semua daerah mampu membiayai dirinya sendiri, hal ini disebabkan karena disamping pemberian

otonomi daerah yang kurang jelas, juga keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di daerah. Akibatnya pemerintah daerah sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat, hal ini terlihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bahwa sekitar dua pertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah dibiayai dari bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat.

92