• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan panjang-bobot

4.2. Pembahasan 1 Kelompok umur1 Kelompok umur

4.2.3. Hubungan panjang-bobot

Hubungan panjang dan bobot ikan kuniran di Teluk Jakarta pada setiap pengambilan contoh menunjukkan tipe pertumbuhan yang sama (Tabel 8 dan Tabel 9). Tipe pertumbuhan ikan kuniran pada pengambilan contoh pertama sampai dengan kelima menunjukan allometrik positif atau laju pertumbuhan bobot lebih besar dari pada laju pertumbuhan panjangnya (P<0,05, Lampiran 3).

Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina setiap pengambilan contohnya di Teluk Jakarta

Pengambilan

1 23 Nopember 2010 87 0,000005 3,497 0,938 allometrik positif

2 6 Nopember 2010 25 0,00001 3,059 0,864 allometrik positif

3 20 Nopember 2010 62 0,000007 3,139 0,927 allometrik positif

4 4 Desember 2010 63 0,000005 3,214 0,929 allometrik positif

5 18 Desember 2010 56 0,000008 3,1 0,907 allometrik positif

Gabungan 206 0.00001 3,052 0,953 allometrik positif

Tabel 9. Hubungan panjang bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan setiap pengambilan contohnya di Teluk Jakarta

Pengambilan

contoh Waktu n a b R2 keterangan

1 23 Nopemebr 2010 87 0,000005 3,497 0,938 allometrik positif

2 06 Nopember 2010 55 0,000003 3,337 0,873 allometrik positif

3 20 Nopember 2010 71 0,000007 3,139 0,896 allometrik positif

4 4 Desember 2010 47 0,000009 3,064 0,834 allometrik positif

5 18 Desember 2010 74 0,000006 3,172 0,892 allometrik positif

Gabungan 247 0.000009 3,082 0,944 allometrik positif

Pola pertumbuhan ikan kuniran dianalisis menggunakan data panjang dan bobot ikan sehingga dapat dilihat hubungan antara panjang dan bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang didaratkan di TPI Cilincing Jakarta. Hubungan panjang-bobot ikan kuniran disajikan pada Gambar 14.

Persamaan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan kuniran (Upeneus

sulphureus) betina adalah W=0,000001L3,052. Sedangkan hasil analisis hubungan panjang dan bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan adalah W=0,000009L3,082. Nilai b dari analisis regresi hubungan panjang dan berat lebih dari tiga menyatakan bersifat allometrik positif. Setelah dilakukan uji t (α= 0.05)

Nilai b dari analisis hubungan panjang dan bobot lebih dari tiga, menunjukkan pola pertumbuhan ikan kuniran (Upeneus sulphureus) bersifat allometrik positif, artinya laju pertumbuhan bobot lebih cepat dari pada laju pertumbuhan panjangnya (Effendie 2002). Hasil regresi hubungan panjang-bobot secara logaritma menghasilkan nilai determinasi (R2) rata-rata di atas 0,8 yang menunjukkan nilainya baik dan dapat digunakan dalam analisis data.

Gambar 14. Hubungan panjang-bobot ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di Teluk Jakarta

Tabel 10. Perbandingan pola pertumbuhan ikan kuniran (genus: Upeneus)

Spesies Daerah Penangkapan Pola Pertumbuhan

Upeneus sulphureus Teluk Jakarta

Allometrik Positif (penelitian ini)

Upeneus sulphureus

Pantai utara Jawa Timur

Allometrik Negatif (Syamsiyah 2010) Upeneus sulphureus Perairan Semarang Isometrik (Martasuganda et al. 1991 in Susilawati 2000) Upeneus sulphureus Laut Jawa Isometrik (Marzuki et al. 1987 in Susilawati 2000)

Pola pertumbuhan ikan kuniran yang diperoleh dari hasil analisis penelitian ini berbeda dengan pola pertumbuhan ikan kuniran di perairan Semarang, dan perairan Laut Jawa yaitu bersifat isometrik. Sedangkan pola pertumbuhan ikan kuniran di perairan pantai utara Jawa Timur bersifat allometrik negatif. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut, disebabkan perbedaan spesies, waktu, tempat, dan kondisi lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolski (1963) in Susilawati (2000) bahwa pola pertumbuhan organisme perairan bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan dimana organisme tersebut berada serta ketersediaan makanan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Perbedaan pola pertumbuhan juga mungkin disebabkan oleh musim, jenis kelamin, temperatur, waktu penangkapan, ketersediaan makanan dan jumlah populasi ikan yang dijadikan objek penelitian.

4.2.4. Faktor kondisi

Selama pengamatan berlangsung diperoleh nilai faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina dan jantan di Teluk Jakarta masing-masing berkisar antara 0,6793 – 1,1544 dan 0,8178 -1,1777. Faktor kondisi ikan kuniran total berkisar antara 0,6641 – 1,2456. Nilai faktor kondisi ikan kuniran di Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 11. Faktor kondisi yang diperoleh dari pengamatan selama penangkapan disajikan pada Gambar 15 dan Gambar 16.

Gambar 15. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina di Teluk Jakarta

Gambar 16. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) jantan di Teluk

Tabel 11. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta

Pengambilan

contoh Waktu

betina jantan total

n Faktor Kondisi n Faktor Kondisi n Faktor Kondisi

1 23 Oktober 2010 87 0,7286-0,9162

2 06 Nopember 2010 25 0,8559-1,1301 55 0,8178-1,0237 80 0,7354-0,9688

3 20 Nopember 2010 62 0,9291-1,1085 71 0,8185-1,1777 133 0,7610-1,0998

4 4 Desember 2010 63 0,6793-1,0827 47 0,8197-1,1325 110 0,6641-1,0297

5 18 Desember 2010 56 0,9103-1,1544 74 0,8942-1,0259 130 1,0548-1,2456

Faktor kondisi tertinggi ikan betina terdapat pada pengambilan contoh kelima (18 Desember 2010) sebesar 0,9103-1,1544 dan faktor kondisi tertinggi ikan jantan terdapat pada pengambilan contoh ketiga (20 Nopember 2010) sebesar 0,8185-1,1777. Faktor kondisi rata-rata jantan lebih kecil daripada betina, sehingga dapat diduga ikan betina agak gemuk daripada ikan jantan. Effendie (1979) menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi faktor kondisi adalah perbedaan umur, TKG, kondisi lingkungan, dan ketersediaan makanan.

4.2.5. Nisbah Kelamin

Komposisi ikan kuniran betina dan jantan berdasarkan 453 ekor ikan contoh adalah 206 ekor ikan betina dan 247 ekor ikan jantan. Hasil analisis nisbah kelamin ikan kuniran tiap pengambilan contoh terdapat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nisbah kelamin ikan kuniran (Upeneus sulphureus) untuk setiap pengambilan contoh di Teluk Jakarta

Pengambilan

contoh Waktu

Proporsi Selang Kepercayaan 95%

Betina Jantan Betina Jantan

2 6 Nopember 2010 0,3125 0,6875 0,1308<p<0,4942 0,5650<p<0,8100 3 20 Nopember 2010 0,4701 0,5299 0,3469<p<0,5934 0,4138<p<0,6459 4 4 Desember 2010 0,5727 0,4273 0,4506<p<0,6949 0,2858<p<0,5687 5 18 Desember 2010 0,4394 0,5606 0,3117<p<0,5671 0,4475<p<0,6737

Komposisi jumlah ikan jantan dan ikan betina menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 :1,2. Hal ini menyatakan bahwa populasi ikan jantan

sedikit lebih banyak dari pada ikan betina, karena pola adaptasi pertumbuhan ikan jantan lebih kuat dibandingkan ikan betina.

4.2.6. Mortalitas dan laju eksploitasi

Pada stok yang telah dieksploitasi perlu dianalisis untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang yang dianalisis dengan laju kematian alami (M) menggunakan rumus empiris Pauly dengan suhu rata-rata permukaan 28,950C. Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kuniran dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Laju mortalitas dan laju eksploitasi

Laju Nilai (per tahun)

Betina Jantan

Mortalitas Total (Z) 0,7915 0,8655

Mortalitas Alami (M) 0,3879 0,3820

Mortalitas Penangkapan (F) 0,4036 0,4835

Eksploitasi (E) 0,5099 0,5586

Menurut Pauly (1980) in Sparre dan Venema (1999), faktor yang mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan. Laju mortalitas total (Z) ikan kuniran (Upeneus suplhureus) betina dan jantan di perairan Teluk Jakarta masing-masing adalah 0,7915 per tahun dan 0,8655 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) masing-masing sebesar 0,3879 per tahun dan 0,3822 per tahun. Hasil analisis data membuktikan mortalitas penangkapan ikan kuniran (Upeneus

sulphureus) betina dan jantan masing-masing sebesar 0,4036 per tahun dan 0,4835

per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini lebih besar dibandingkan laju mortalitas alaminya. Hal ini menunjukkan faktor kematian ikan kuniran lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan.

Gambar 17. Kurva hasil tangkapan ikan betina yang dilinearkan berbasis data panjang

( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

Gambar 18. Kurva hasil tangkapan ikan jantan yang dilinearkan berbasis data panjang

( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z)

Laju eksploitasi ikan Upeneus sulphureus betina dan jantan di Teluk Jakarta masing-masing sebesar 0,5099 atau 50,99% dan 0,5586 atau 55,86%. Laju eksploitasi ikan kuniran di Teluk Jakarta telah melebihi nilai eksploitasi optimum sebesar 0,5. Nilai laju eksploitasi ikan kuniran ini menyatakan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat

menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre dan Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan kuniran. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) dilakukan melalui kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang yang digunakan (Gambar 16 dan Gambar 17).

Dokumen terkait