• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola asuh merupakan faktor yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Masa anak usia balita adalah masa di mana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang cukup memadai. Kekurangan gizi pada masa ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan dibawa terus sampai dewasa. Masa anak usia 12-59 bulan (balita) adalah masa anak-anak yang masih tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu pengasuh kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk

perkembangan anak (Santoso, 2000).

Konsumsi makanan yang diperoleh bayi umur 0-12 bulan berasal dari pola asuh .gizi yang salah satunya adalah praktik pemberian ASI. ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi dan anak dibawah umur 2 tahun. ASI mengandung zat gizi yang lengkap dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi sampai dengan umur 6 bulan, sehingga ASI adalah makanan tunggal yang seharusnya diberikan kepada bayi umur 0-6 bulan. Selain itu ASI mengandung zat kekebalan yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. ASI juga merupakan makanan yang bersih, praktis dengan suhu yang sesuai dengan bayi/anak serta dapat meningkatkan hubungan psikologis serta kasih sayang antara ibu dan anak. Dengan demikian jelas bahwa ASI mempunyai hubungan terhadap status gizi, semakin baik praktek

pemberian ASI maka semakin baik pula status gizi bayi (Depkes RI,2002).

Pengaruh praktik penyapihan terhadap status gizi bayi dijelaskan oleh Depkes RI (1999) bahwa bayi yang sehat pada usia penyapihan akan tumbuh dengan pesat dan sehat, sehingga kekhawatiran terjadinya gizi kurang akibat penyakit infeksi dapat dihindari. Menurut Suhardjo (2010) kolostrum dapat memengaruhi status gizi balita, karena kolostrum mengandung lebih banyak protein, mineral serta sedikit karbohidrat dari pada air susu ibu sesudahnya. Kolostrum juga mengandung beberapa bahan anti penyakit yang dapat membantu bayi menyediakan kekebalan terhadap penyakit infeksi yang memengaruhi status gizi

Menurut penelitian Hafrida (2010), dari 40 ibu yang diteliti terdapat 30 (75%) ibu dengan pola asuh yang baik mempunyai balita dengan status gizi baik dan 10 (25%) ibu dengan pola asuh tidak baik mempunyai balita dengan status gizi kurang. Kesimpulan yang diperoleh adalah semakin baik pola asuh ibu terhadap anak maka akan semakin baik status gizi anak. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan memengaruhi keadaan gizi anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Jauhari (2010) yang dikutip oleh Hafrida (2012), menyatakan bahwa di Jakarta, Bogor dan Lombok Timur terdapat perbedaan kelompok dengan keadaan status gizi kurang dan gizi baik. Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pola pengasuhan anak. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pemberian kolostrum pada bayi segera setelah lahir dan pemberian ASI saja kepada bayi sampai usia 6 bulan termasuk ke dalam kelompok anak dengan keadaan status gizi baik, sedangkan anak yang sewaktu lahir tidak diberi kolostrum dan sebelum usia 6 bulan sudah tidak diberi ASI lagi ternyata berada dalam keadaan status gizi kurang. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengonsumsi makanan, mendapatkan respon ketika berceloteh, selalu mendapat senyum dari ibu, keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang kurang mendapat perhatian orang tua.

Selain ketersediaan pangan, masalah gizi juga dipengaruhi oleh faktor perilaku ibu, dukungan keluarga dan petugas kesehatan. Adanya pengaruh perilaku untuk menaggulangi masalah gizi pada anak. Menurut Zeitlin, (1990) dipakai untuk

menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak tertentu dengan anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama.

Beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menentukan cara-cara yang lebih baik. Berbagai stimulus yang rutin diberikan oleh ibu atau pengasuh terhadap bayi, baik stimulus visual, verbal dan auditif akan dapat menyebabkan stimulasi hormon pertumbuhan, metabolisme energi menjadi normal dan imun respon lebih baik.

Terdapat beberapa perilaku menyimpang ibu di dalam pola pengasuhan anak yang berkaitan dengan status gizi, berdasarkan hasil penelitian Zuldesni (2010) menjelaskan bahwa perilaku menyimpang ibu di dalam memenuhi kebutuhan gizi anak dilakukan dengan berbagai cara seperti pemberian makanan dan cairan misalnya pisang, air gula, madu, air teh, air tajin, dan kopi. Adapun alasan ibu memberikan makanan atau cairan tersebut antara lain adalah untuk menambah daya tahan tubuh anak ibu memberikan cairan madu, air gula dan teh manis, agar anak tidak cengeng dan merengek ibu memberikan makanan selingan seperti pisang, bubur nasi dan air teh, dan untuk mencegah panas yang tinggi (step) pada anak ibu memberikan air kopi. Apabila ibu bekerja, ibu selalu berusaha untuk menyusui anaknya terlebih dahulu sebelum berangkat ke luar rumah. Air tajin sering dibekali ibu kepada anak sebagai

pengganti ASI karena dianggap kandungan gizinya bagus. Selain itu ibu juga mampu melakukan tindakan yang baik di dalam pemberian makanan anak dan mengetahui makanan tertentu yang bergizi yang dibutuhkan oleh anak.

Makanan yang diberikan adalah berasal dari bahan makanan yang terjangkau dan tersedia untuk seluruh masyarakat. Selanjutnya ibu juga mampu mengatur frekuensi pemberian makanan dan jenis makanan yang dipilih. Ibu membeli bahan makanan yang lagi musim sebagai strategi untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga, karena harganya relatif lebih terjangkau. Supaya anak mau makan ibu menerapkan prinsip tidak membolehkan anak jajan sebelum makan. Karena jika anak sudah dibiasakan jajan terlebih dahulu, maka anak akan susah untuk makan.

Perilaku dan kebiasaan keluarga penyimpang positif dalam pola pengasuhan adalah seperti memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya peranan ayah dalam pengasuhan, melibatkan keluarga luas seperti nenek, kakak dan tetangga dalam pengasuhan, berhubungan baik dengan tetangga. Perilaku dan kebiasaan keluarga penyimpang positif dalam kebersihan seperti mencuci tangan sebelum makan, menutup makanan dengan tudung saji, memotong kuku 1x seminggu.

Kebiasaan-kebiasaan menuju sehat adalah kebiasaan-kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan seperti memberikan imunisasi, pengobatan penyakit pada masa kanak-kanak dan pencarian bantuan professional pada waktu yang tepat dapat memainkan peran penting dalam membantu memelihara kesehatan anak. Tempat berobat yang digunakan oleh ibu-ibu jika anaknya sakit diare, cukup beragam dan tergantung lamanya sakit. Untuk anak yang sakit diarenya hanya satu hari,

kebanyakan ibu-ibu tidak mengobatinya karena mereka menganggap mencret sehari biasa terjadi pada anak-anak. Bahkan ini dianggap sebagai tanda bahwa anak bertambah usia/besar dan bertambah “kepandaian”. Sedangkan untuk sakit diare yang lebih dari dua hari, kebanyakan ibu-ibu memilih puskesmas dan bidan sebagai tempat berobat. Perilaku dan kebiasaan keluarga dalam perilaku menuju sehat diantaranya adalah imunisasi yang lengkap, rajin ke posyandu, membuat makanan khusus ketika anak sakit.

Dokumen terkait