• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INSTRUMEN – INSTRUMEN PERATURAN HUKUM

B. Hubungan UNESCO Convention 2001, UNCLOS 1982 dan

UNESCO Convention 2001 sangat terkait dengan UNCLOS 1982 terutama tentang penetapan zona maritime dan pelaksanaan fungsi – fungsi di

36

Ibid, hal 4

37

zona maritime tersebut khususnya dalam pengaturan masalah benda budaya bawah air. Selain itu terdapat beberapa prinsip umum hukum internasional yang dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan perlindungan terhadap benda budaya bawah air yang berada di luar jurisdiksi negara. Prinsip umum hukum internasional tentang nasionalitas (nasionality) dan teritorialitas (territoriality) dapat digunakan dalam perlindungan benda budaya yang berada di luar perairan jurisdiksi suatu negara. Selain itu UNESCO Convention 2001 tidak mempersoalkan/mengatur tentang hak, jurisdiksi dan kewajiban negara khususnya kewilayahan yang diatur dalam hukum internasional termasuk dalam UNCLOS 1982.38

Korelasi antara UNESCO Convention 2001 dengan UNCLOS 1982 dan Hukum Internasional lainnya, antara lain:

a. hak jurisdiksi suatu negara terhadap benda budaya bawah air yang berada di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial.

Kedaulatan suatu negara pantai meliputi daratan, perairan pedalaman, dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, dan suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang disebut debagai laut teritorial selebar maksimal 12 mil laut serta ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya39. Salah satu bentuk kedaulatan negara pantai/kepulauan adalah hak negara pantai untuk mengatur, mengelola dan membuat

38

Sunaryo,“ Hubungan Antara “ Convention on The Protection of The Underwater Cultural

Heritage” dengan United Nations Convention on The Law of The Sea” (UNCLOS)1982, disajikan

dalam diskusi tentang “ Convention on The Protection of The Underwater Cultural Heritage” UNESCO, pada tanggal 18 Mei 2006 di Depdiknas, hal 3.

39

peraturan perundang – undangan di wilayah perairan serta kemampuan untuk melakukan penegakan hukum terhadap peraturan perundang – undangan yang dimaksud. Dalam hal perlindungan benda budaya bawah air, negara pantai/kepulauan dapat mengatur dan mengawasi kegiatan yang ditujukan langsung pada benda budaya bawah air di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial40.

Dalam melaksanakan hak untuk mengatur kegiatan yang ditujukan kepada perlindungan benda budaya bawah air,negara pantai/kepulauan harus berdasarkan aturan (rule)41 yang telah ditetapkan dalam UNESCO Convention 2001. Ketentuan ini dimaksudkan agar benda budaya bawah air tetap mengandung nilai budaya tinggi karena diperlakukan sesuai standar internasional yang sudah baku.

Apabila negara pantai/kepulauan menemukan suatu kapal atau pesawat negara (termasuk kapal perang dan pesawat tempur) di perairan – perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorialnya, agar memberitahukan kepada negara asal kapal atau pesawat negara, apabila dapat diketahui negara asal benda budaya dimaksud. Ketentuan ini merupakan “general practice” antar negara, tanpa bermaksud untuk mengganggu kedaulatan negara pantai/kepulauan.

b. hak jurisdiksi suatu negara terhadap benda budaya bawah air yang berada di zona tambahan.

40

Pasal 7 Ayat (1) Convention on The Protection of The Underwater Cultural Heritage 2001.

41

Zona tambahan adalah suatu zona di luar dari laut teritorial selebar 24 mil laut diukur dari garis pangkal. Zona tambahan tidak secara langsung dimiliki oleh negara pantai, kecuali negara pantai mengajukan klaim terhadap zona tersebut. Jika suatu negara melakukan klaim zona tambahan maka negara pantai dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk pelaksanaan peraturan perundang – undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan sanitasi42.

UNCLOS 1982 mengatur secara khusus dalam kaitannya dengan UNESCO Convention 2001 antara lain negara pantai dapat melakukan pengawasan terhadap aktifitas salvage benda budaya bawah air dalam jarak 12 sampai dengan 24 mil laut43. Pasal ini dengan jelas dimaksudkan bahwa negara pantai/kepulauan dapat melakukan kontrol terhadap lalu lintas benda budaya yang dibawa oleh kapal ataupun benda budaya yang berada di zona tambahan. Hal ini sangat terkait dengan ketentuan yang ada dalam UNESCO Convention 2001, dimana disebutkan bahwa negara pantai dapat mengatur dan mengawasi kegiatan benda budaya bawah air di zona tambahannya44. Ketentuan ini merupakan landasan hukum bagi suatu negara dalam melindungi benda budaya bawah air di zona tambahan dengan alasan yang berkaitan dengan penyelundupan, migrasi, dll, sedangkan beberapa negara secara spesifik menyatakan untuk melindungi benda budaya bawah air. Amerika Serikat, Perancis, Norwegia, dan Belanda memproklamirkan

42

Pasal 33 UNCLOS 1982.

43

Pasal 303 Ayat (2) UNCLOS 1982.

44

zona tambahan dengan dasar untuk melindungi benda budaya dan mengatur mekanisme pengambilan benda budaya bawah air. Bahkan Australia, Irlandia Utara dan Spanyol menetapkan landas kontinen sebagai zona perlindungan benda budaya bawah air. UNESCO Convention 2001 tidak mengatur secara jelas tentang zona perlindungan benda budaya bawah air yang meliputi ZEE ataupun landas kontinen suatu negara, akan tetapi UNESCO Convention 2001 tidak melarang suatu negara untuk menetapkan zona sebagaimana dimaksud dengan batasan sejalan dengan hukum internasional lainnya.

Berkenaan dengan pengaturan di zona tambahan, negara – negara pihak dapat mengatur dan memberi izin kegiatan – kegiatan yang berkaitan dengan benda budaya bawah air tersebut di Zona Tambahannya. Tetapi semua pihak berkewajiban untuk melindungi benda budaya bawa air yang ditemukan di ZEE dan landas kontinen suatu negara, dan karena itu setiap penemuan benda berharga di ZEE suatu negara haruslah diumumkan kepada semua pihak dalam konvensi, dan setiap negara pihak, berdasarkan hubungan budaya, sejarah dan arkeologi terhadap benda berharga tersebut, dapat menyatakan kepentingannya untuk berkonsultasi tentang bagaimana caranya memelihara benda budaya bawah air tersebut secara efektif45

c. Hak yurisdiksi suatu negara terhadap benda budaya bawah air yang berada di Landas Kontinen/ZEE.

45

Hasjim Djalal, Peninggalan Bawah Air dan Kaitannya Dengan Hukum Kelautan, disajikan dalam Pertemuan Konsultatif Tingkat Nasional tentang Warisan Budaya Bawah Air, Bogor , 12-14 Juni 2007, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

UNCLOS tidak mengatur perlindungan benda budaya bawah air di luar dari zona tambahan, sehingga negara pantai tidak dapat melaksanakan jurisdiksi berkaitan dengan perlindungan benda budaya bawah air di luar zona tambahan (ZEE dan Landas Kontinen). Akan tetapi ada beberapa negara (Australia, Irlandia Utara dan Spanyol) yang membuat peraturan nasional yang mengatur tentang perlindungan benda budaya bawah air di Landas Kontinennya. Langkah yang ditempuh beberapa negara dimaksud merupakan penjabaran dari UNCLOS 1982 dan UNESCO Convention 2001, akan tetapi ada beberapa pendapat menyatakan bahwa langkah yang dilakukan justru bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku dan merupakan langkah “creeping jurisdiction” (perluasan jurisdiksi suatu negara dengan cara menganalogikan suatu ketentuan dalam UNCLOS 1982)46.

Pembuatan peraturan yang dilakukan oleh beberapa negara dengan argumentasi bahwa di ZEE/Landas Kontinen, suatu negara mempunyai hak berdaulat dan jurisdiksi untuk melindungi sumber daya alam dan kegiatan yang ada di zona maritim tersebut. Dalam hal ini bentuk perlindungan tidak dibatasi pada perlindungan sumber daya alam akan tetapi termasuk perlindungan benda budaya bawah air di ZEE/Landas Kontinen. Amerika Serikat dalam ini mendasarkan pada “National

Marine Sanctuaries Act” yang dalam pertimbangannya dinyatakan

bahwa suatu negara mempunyai hak terhadap sumber daya alam yang

46

ada di Landas Kontinennya maupun di ZEEnya, dan mempunyai hak untuk melindungi sumber daya alam dimaksud. Walaupun kapal yang tenggelam (karam) bukan merupakan sumber daya alam, akan tetapi dalam beberapa kasus terdapat argumentasi tentang terganggunya ekosistem yang ada di sekeliling kapal dengan pengambilan benda budaya yang ada, hal tersebut dapat dijadikan alasan suatu negara untuk menghentikan aktivitas pengambilan benda budaya.

UNESCO Convention 2001 mengatur bahwa semua negara yang bertanggung jawab untuk melindungi benda budaya bawah air di ZEE/Landas Kontinen. Oleh karena itu apabila ada suatu negara (kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut) menemukan benda budaya bawah air di ZEE/Landas Kontinen agar melaporkan temuannya kepada Direktur Jenderal UNESCO. Apabila penemuan tersebut berada di ZEE/Landas Kontinen negara lain maka nahkoda kapal agar melaporkan temuan dimaksud kepada negara yang bersangkutan. Selanjutnya negara yang bersangkutan dapat mendeklarasikan bahwa benda budaya bawah air milik mereka berada di ZEE/ Landas Kontinen negara lain. Negara – negara tersebut dapat melakukan aktivitas perlindungan terhadap benda budaya dimaksud melalui perjanjian/kerjasama.

Suatu negara yang akan melaksanakan perlindungan ataupun pemanfaatan benda budaya bawah air di ZEE negara lain harus melalui tahapan eksplorasi ataupun riset ilmiah terlebih dahulu untuk menentukan jenis, besaran, asal, karakter benda budaya bawah air.

Dalam melakukan eksplorasi ataupun riset ilmiah di ZEE harus mendapat izin terlebih dahulu dari negara pantai/kepulauan. Hal ini disebabkan riset ilmiah kelautan yang dilaksanakan di ZEE suatu negara merupakan hak eksklusif negara pantai47. Oleh karena itu dalam rangka eksplorasi benda budaya bawah air yang berada di ZEE negara lain harus ada izin terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan.

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur masalah ini dalam pasal 303, dimana dinyatakan bahwa negara – negara berkewajiban untuk melindungi benda – benda yang mempunyai nilai arkeologis dan historis yang ditemukan di laut dan harus bekerjasama guna mencapai maksud ini. Negara pantai dapat menetapkan bahwa pemindahan objek tersebut tanpa izin dari Contiguous Zonenya dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kepentingannya. Konvensi Hukum Laut 1982 tidak mengatur penemuan – penemuan benda berharga di ZEE dan Landas Kontinennya, dengan asumsi bahwa pengelolaan benda – benda berharga di dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial adalah kewenangan negara pantai itu sendiri.

d. Perlindungan benda budaya bawah air di luar jurisdiksi negara.

Prinsip nasionalitas dan teritorialitas yang merupakan prinsip umum hukujm internasional dapat digunakan sebagai dasar dalam perlindungan benda budaya yang berada di luar jurisdiksi nasional suatu negara antara

47

lain aktivitas di Kawasan (area). Akan tetapi dalam penggunaan kedua prinsip umum hukum internasional ini harus dicantumkan terlebih dahulu dalam hukum nasional suatu negara. Sebagai contoh langkah yang ditempuh oleh negara Inggris (protection of military remains act

1986) yang mengatur bahwa kapal perang Inggris yang tenggelam di

perairan internasional merupakan milik negara Inggris dan negara lain ataupun orang perorang tidak boleh merubah, mengambil maupun merusak kapal perang dimaksud. Peraturan yang dikeluarkan oleh Inggris ini menunjukkan bahwa Inggris masih berhak untuk mengatur kapal – kapal yang sudah tenggelam dan berada di luar wilayah perairannya.

Berdasarkan prinsip teritorialitas, suatu negara mempunyai hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap semua orang yang datang ke wilayahnya yang meliputi daratan, wilayah perairan, lingkungan perwakilan negara yang berada di negara lain dan kapal yang mengibarkan bendara negara yang bersangkutan. Dalam hal suatu kapal tenggelam, maka negara bendera kapal masih mempunyai hak terhadap kapal dan muatannya walaupun berada di luar wilayah jurisdiksi suatu negara. Hal ini disebabkan dapat menimbulkan benturan hak kepemilikan kapal dan muatannya antara negara bendera dengan negara lain dimana kapal tersebut berada. Negara Inggris menerapkan prinsip ini khususnya untuk kapal perang dan pesawat tempur yang tenggelam

di luar wilayah jurisdiksinya serta adanya Titanic Agreement yang akan melindungi benda – benda dari kapal Titanic yang tenggelam.

Salah satu cara penerapan prinsip nasionalitas dan teritorialitas adalah dengan mengadakan kerjasama antara negara dalam perlindungan benda budaya bawah air. Kerjasama ini merupakan salah satu “conerstone” dari UNESCO Convention 2001, yang meminta kepada semua negara peserta konvensi untuk melakukan kerjasama dalam perlindungan benda budaya48. Ketentuan untuk melakukan kerjasama dalam peerlindungan benda budaya bawah air ditegaskan pula dalam UNCLOS 198249.

Kerjasama antar negara dalam perlindungan benda budaya bawah air dapat diwujudkan dalam perjanjian bilateral maupun multilateral. Berdasarkan perjanjian tersebut negara – negara dapat membuat aturan untuk melindungi benda budaya tertentu sesuai dengan kepentingan masing – masing negara. Perjanjian kerjasama dimaksudkan untuk menghindari adanya perselisihan yang disebabkan permasalahan jurisdiksi antar negara dikaitkan dengan keberadaan kapal suatu negara ditemukan berada di perairan negara lain. Beberapa contoh perjanjian kerjasama perlindungan benda budaya bawah air yang menerapkan prinsip nasionalitas dan teritorialitas antara lain:

1) Perjanjian yang berkaitan dengan penumpang ferry Estonia 2) Perjanjian Titanic.

48

Pasal 6 Convention on The Protection of The Underwater Cultural Heritage 2001.

49

UNESCO Convention 2001 menyatakan bahwa negara – negara berkewajiban untuk melindungi benda budaya bawah air yang berada di Kawasan (area)50. Ketentuan ini sesuai dengan pengaturan dalam UNCLOS 1982 yang antara lain menyebutkan bahwa semua benda purbakala dan yang mempunyai nilai sejarah harus dipelihara atau digunakan untuk kemanfaatan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak – hak yang didahulukan dari negara asal atau negara asal kebudayaan atau negara asal kesejarahan dan asal kepurbakalaan51. Berdasarkan ketentuan ini maka suatu negara dapat mendeklarasikan bahwa benda budaya bawah air yang berada di kawasan merupakan milik negara yang bersangkutan. Deklarasi dimaksud dapat ditujukan kepada Direktur Jenderal UNESCO, akan tetapi tidak dapat serta merta benda budaya bawah air tersebut dieksplorasi karena harus memenuhi ketentuan sesuai yang disyaratkan dalam UNESCO Convention 2001.

C. Benda Budaya berdasarkan Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage 2001 ( UNESCO Convention 2001 )

Dalam UNESCO Convention 2001 yang diartikan dengan Underwater Cultural Heritage (benda cagar budaya) adalah all traces of human existence

having a cultural, historical or archeological character which have been partially

50

Pasal 11 Convention on The Protection of The Underwater Cultural Heritage 2001.

51

or totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years suchs as:

a. Sites, structures, buildings, artifacts and human remains, together with their archeological and natural context.

b. Vessels, aircraft, other vehicles or any part there of, their cargo or other content, together with their archeological and natural context; and

c. Object of prehistoric character.52

Jaringan pipa, kabel dan instalasi – instalasi lainnya di dasar laut tidak dianggap bagian dari Underwater Cultural Heritage ( benda cagar budaya)53. Sementara itu benda cagar budaya tidak boleh dieksploitasi secara komersial, dan negara – negara pihak harus bekerja sama dalam melindungi underwater cultural heritage (benda cagar budaya) dan memeliharanya untuk kepentingan umat manusia.

UNESCO Convention 2001 yang dihasilkan dari Konferensi UNESCO di Paris dengan pertimbangan bahwa benda budaya merupakan bagian dai sejarah peradaban manusia , bangsa dan negara, sehingga harus menjadi perhatian semua negara dan menjadi tanggung jawab negara – negara di dunia. Para peserta konferensi menyadari bahwa benda budaya yang ada saat ini terancam oleh tindakan – tindakan orang perorang dalam memanfaatkan benda budaya untuk kepentingan individu, selain itu ada beerapa negara yang mempunyai kebijakan untuk memanfaatkan benda budaya dari segi ekonomi tanpa melihat aspek lainnya

52

Pasal 1 pasal (a),Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage 2001

53

Pasal 1 pasal (b) and (c) Convention On The Protection Of The Underwater Cultural Heritage 2001

antara lain pendidikan, sejarah, budaya, dll. Dalam konferensi tersebut ada 3 prinsip yang disampaikan dalam perlindungan bawah air yaitu pertama, preservasi

in situ terhadap warisan budaya bawah air, kedua tidak boleh dipublikasikan

untuk kepentingan komersial dan ketiga pengembangan pemahaman warisan budaya bawah air54. Oleh sebab itu UNESCO Convention 2001 menghimbau kepada negara – negara untuk melakuikan kerjasama dalam perlindungan benda budaya bawah air dan mengambil langkah – langkah konkrit untuk melindungi benda budaya yang ada di wilayah perairannya. Selain itu, tindakan yang berhubungan dengan penanganan situs bawah air berkaitan dengan tingkat kemampuan suatu negara itu adalah berbeda – beda, oleh sebab itu diperlukannya pelaksanaan peningkatan kapasitas, pengembangan infrastruktur, pengembangan jaringan kerjasama di wilayah Asia Pasifik, serta pertukaran informasi melalui berbagai pertemuan.55

Tujuan utama dari UNESCO Convention 2001 adalah menciptakan kerangka hukum dalam mengatur aktifitas pengambilan benda budaya yang lazim disebut harta karun yang berada di laut. UNESCO Convention 2001 menyatakan bahwa pengaturan perlindungan benda budaya yang berada di wilayah perairan suatu negara menjadi tanggung jawab negara yang bersangkutan, akan tetapi yurisdiksi negara dalam pengaturan perlindungan dan pemanfaatan benda budaya di luar wilayah negaranya menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu harus diatur

54

Surya Helmi , Laporan Pembahasan Peraturan – Peraturan Terkait tentang Peninggalan Warisan Budaya Bawah Air disajikan pada Pertemuan Konsultatif Tingkat Nasional tentang Warisan Budaya Bawah Air, Bogor, 12-14 Juni 2007, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

55

lebih jelas dan pengelolaan dilakukan dengan standar baku, sebagaimana diatur dalam Annex UNESCO Convention 2001.

Beberapa hal yang menonjol dalam UNESCO Convention 2001, antara lain: 1. benda budaya bawah air dibatasi semua benda yang berada di bawah air

yang berusia lebih dari 100 tahun. Benda – benda tersebut antara lain: bangunan, artefak, daerah, kapal, pesawat udara, kargo kapal/pesawat udara dan benda – benda lainnya yang mempunyai karakter pra sejarah. 2. pelaksanaan dari UNESCO Convention 2001 tidak dimaksudkan untuk

merubah ketentuan hukum internasional yang sudah ada khususnya tentang kedaulatan negara terhadap kapal dan pesawat udara negara lain. 3. negara dihimbau untuk melindungi benda budaya bawah air di perairan

nasionalnya termasuk wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen negara terebut. Negara harus menginformasikan dan melaporkan ke Direktorat Jenderal UNESCO adanya benda budaya yang ada di ZEE maupun di landas kontinen.

4. negara diharapkan untuk menentukan saksi atas pelanggaran terhadap perlindungan benda budaya bawah air. Sanksi dimaksud untuk dicantumkan dalam peraturan perundang – undangan nasional.

5. negara – negara dihimbau untuk mengadakan kerjasama dalam perlindungan benda budaya bawah air dan mengambil langkah – langkah konkrit dalam mewujudkan perlindungan benda budaya bawah air.

6. perlindungan benda budaya bawah air di in-situ harus menjadi pilihan utama sebelum memperbolehkan kegiatan lainnya.

7. benda budaya bawah air tidak boleh dieksploitasi untuk tujuan komersial56.

56

Sunaryo, Hubungan Antara Convention on The Protection of The Underwtaer Cultural Heritage dengan UNCLOS 1982, disajikan dalam Diskusi tentang “Convention on The Protection of The Underwater Cultural Heritage” UNESCO, pada tanggal 18 Mei 2006 di Depdiknas.

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Ketentuan – ketentuan tentang pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya :

1) UU No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 2) PP 10 Tahun 1993 tentang benda cagar budaya dan

3) Peraturan perundang – undangan lainnya yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Terdapat pengertian yang bersifat ambivalen antara definisi pemanfaatan menurut makalah yang disajikan oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air dengan PP No 19 Tahun 2007. Definisi yang dijabarkan oleh Direktorat Peninggalan Bawah Air melalui makalahnya tersebut lebih mengacu pada UU No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Berkaitan dengan benda cagar budaya pengertian pemanfaatan adalah upaya menggunakan secara maksimal dari setiap perwujudan budaya untuk berbagai kepentingan seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, pariwisata, dan kepentingan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian. Sedangkan pelestarian benda cagar budaya adalah upaya perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan warisan budaya, baik yang bersifat fisik maupun non fisik.Terdapat satu definisi lagi mengenai pemanfaatan benda cagar budaya yaitu kegiatan yang meliputi penjualan kepada pihak ketiga dan pemanfaatan lain untuk Pemerintah.

2. Perhatian yang tertuju kepada keberadaan benda cagar budaya tidak hanya berasal dari tingkat nasional tetapi juga perhatian dari tingkat Internasional, yaitu antara lain :

1) Pada Tahun 2001 UNESCO mengadakan konferensi di Paris yang kemudian menghasilkan Convention on The Protection of The

Underwater Cultural Heritage dengan pertimbangan bahwa benda

budaya merupakan bagian dari sejarah peradaban manusia, bangsa dan negara, sehingga harus menjadi perhatian semua negara dan menjadi tanggung jawab bersama negara – negara di dunia.

2) Pengaturan mengenai benda cagar budaya juga diatur pada UNCLOS 1982 pada pasal 303 Ayat (1 ). UNCLOS 1982 merupakan konvensi yang salah satunya mengatur tentang wilayah maritime yang menjadi jusrisdiksi suatu negara dan wilayah maritime yang di luar jurisdiksi negara, termasuk fungsi – fungsi yang dapat dilakukan di wilayah – wilayah maritim.

B. SARAN

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan antara lain:

1. Bahwa sebaiknya perlu dibuat sebuah peraturan yang mengatur lebih lanjut mengenai benda cagar budaya bawah air sebab meskipun Indonesia telah mempunyai UU No 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya, namun undang – undang hanya mengatur benda budaya yang berada didaratan dan belum

mengatur secara jelas tentang perlindungan benda budaya yang berada di bawah air.

2. Adanya rencana meratifikasi Convention on The Protection of The

Underwater Cultural Heritage 2001 dan sebaiknya rencana ini

perlu disambut baik dengan syarat melalui beberapa kajian dan sosialisasi untuk dapat merumuskan dampak dari ratifikasi tersebut.

3. Bahwa dengan rencana untuk meratifikasi Convention on The

Protection of The Underwater Cultural Heritage sebaiknya

Pemerintah Indonesia bersiap untuk melakukan perlindungan yang lebih intens terhadap benda cagar budaya melalui peningkatan pelestarian, pengawasan, disiapkannya prasarana dan sarana yang memadai, serta segala biaya yang diperlukan demi terwujudnya perlindungan yang intens terhadap benda cagar budaya.

Dokumen terkait