BAB II : LANDASAN TEORI
8. Hukum Berhujjah Dengan Hadits Dha’if
dalam hukum dan fadhail a’mal. Perbedaan itu diuraikan kepada 3 pendapat, yaitu sebagai berikut:
a. Pendapat pertama: haditss dha’if dapat digunakan secara mutlak, baik dalam masalah halal haram, maupun yang berkenaan dalam masalah kewajiban, dalam hal keutamaan beramal, targhib wa tarhib, dan sebagainya dengan dua syarat:
1) Hadits dha’if tersebut tidak terlalu dha’if, karena hadits yang terlalu dha’if itu ditinggalkan para ulama.
2) Hadits yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan hadits lain.
97Ahmad bin Ali bin Hajar al- Atsqalani, Tabyin al- ‘Ajab bima warada fi syahri Rajab, Hlm. 23
98 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Hlm.185
40
3) Hadits dha’if yang digunakan ketika dalam suatu masalah tidak diperoleh hadis-hadis shahih atau hasan yang menerangkannya.99 Arah pembahasan pertama ini adalah apabila suatu hadis dha’if dimungkinkan benar dan tidak bertentangan dengan teks dalil lainnya, maka segi kebenaran periwayatan hadis ini sangat kuat, sehingga hadits tersebut dapat diamalkan.100
Diantara ulama yang berpegang dengan pendapat ini diantaranya adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Kamaluddin bin al-Hamam, Muhammad al-Ma’in bin Muhammad al-Amin.101
Ibnu Hazm menjelaskan, semua ulama Hanafi sepakat terhadap pendapat Abu Hanifah, bahwa hadis daif menurutnya adalah lebih utama dari pada ra’yu (logika) dan kias.102 Oleh karena itu, ia mendahulukan mengamalkan hadis-hadis mursal dari pada mengamalkan kias. Abu Hanifah yang dikenal dengan ulama ahlu ar-ra’yi, baru akan mengamalkan kias apabila tidak didapati hadis yang menjelaskan tentang persoalam hukum.
Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa’d al-Bawardi berkata bahwa di antara pendirian al-Nasa’i adalah mengeluarkan hadis dari setiap rawi yang tidak disepakati untuk ditinggalkan.
99 Teungku Muhammad Hasby as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
(Semarang: Pustaka Rizky Putra, 2009), cet. 2, hlm. 174.
100 Abdul Karim Bin Abdullah Bin Abduurahman Al-Hadhir, Al-Hadits Adh-Dha’if Wa Hukmu Al-Ihtijaj Bihi,( Riyadh: Maktabah Dar Al-Minhaj, 1402 H), Hlm 249
101 Abdul Karim, Al-Hadhir, Al-Hadits Adh-Dha’if, Hlm. 250-259
102 Ahmad Sa’id Hawi, Al-Madkhal Ila Madzhab Al-Imam Abi Hanifah An-Nu’man, (Jeddah: Dar Al-Andalus Al-Khadra’, 1423 H), Cet.1, Hlm. 67
41
Selain itu, Abu Daud al-Sijistani pun mengambil hadis yang sama sebagaimana yang diambil oleh al-Nasa’i dan mencantumkan sanad yang dha’if jika tidak ditemukan hadis lain pada bab tersebut. Karena menurutnya hadis yang demikian lebih kuat daripada pendapat ulama.103
Pendapat selanjutnya dikemukakan oleh Imam Ahmad yang mengatakan bahwa ia lebih menyenangi hadis dha’if daripada pendapat ulama. Hal ini disebutkannya karena kita tidaklah boleh berpaling kepada qiyas kecuali setelah tidak ada nash yang menerangkannya. Mengenai pendapat yang disebutkan oleh Ibnu Mandah dan Abu Daud tersebut, terdapat sekelompok ulama yang menakwilkan bahwa yang disebut kedua imam di atas adalah bukan pengertian dha’īf yang telah dikenal. Melainkan hadis hasan yang juga merupakan hadis yang lemah jika dibandingkan dengan hadis shahih.104
Pendapat ini akhirnya dipatahkan oleh ucapan Abu Daud yang bertentangan dengan pendapat tersebut. Abu Daud menyebutkan bahwa sesungguhnya sebagian sanad hadis yang terdapat dalam kitab sunan-nya ada yang tidak bersambung, yaitu hadis mursal dan mudallas. Abū Dāwud juga menyebutkan bahwa hal ini hanya akan terjadi ketika tidak ditemukan hadis-hadis. Seperti hadis dari al-Hasan dari Jabir, al-Hasan dari Abu Hurairah, dan al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas.105
b. Pendapat kedua: menurut sebagian muhaqqiq ahli ilmi berpendapat bahwa hadits dha’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam
103 Nur Ad-Din ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fi Ulum Al-Hadits, Hlm 292
104 Ibid, Hlm.292
105105 Ibid, Hlm.292
42
soal hukum, atau dalam fadhail a’mal, maupun dalam targhib wa tarhib.
Diantara ulama yeng berpegang pada pendapat ini antaranya adalah Imam Imam Muhammad bin Ismail Bukhari, Imam Muslim bin al-Hajaj al-Qusyairi ,Yahya bin Ma’in, al-Hafidz Abu Zakariya al-Naisaburi, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi , Ibn Abi Hatim ar-Razi, Ibn Hibban, Imam Abu Sulaiman Khathabi, Abu Muhammad bin Hazm, al-Qadhi Abu Bakr bin Abi al-‘Arabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Abu Syamah al-Maqdisi, Jalaluddin al-Diwani, Muhammad bin Ali al-Syaukani, Shadiq Hasan Khon, Ahmad Muhammad Syakir, Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan Subhi as-Shalih.106
c. Pendapat ketiga: Pendapat ini berbeda dengan pendapat pertama dan kedua diatas. Pendapat ini merupakan pendapat dari jumhur ulama. Pendapat mereka menengahi kedua pendapat-pendapat yang sebelumnya yaitu menerima hadis dha’if dalam hal fadha’il a’mal, Targhib dan Tarhib dan mereka menolak menggunakan hadits dha’if dalam hal hukum halal dan haram.
Pendapat ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh sebagian fuqaha dan ahli hadis, seperti Imam Nawawi,107 syekh Ali al-Qari, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal itu telah disepakati para ulama.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya “al-adzkar” berkata bahwa para ulama muhadditsin dan fuqaha dan lainnya berkata: dibolehkan beramal
106 Abdul Karim, Al-Hadhir, Al-Hadits Adh-Dha’if, Hlm. 259-272
107 Ibid, Hlm.272
43
dengan hadits dha’if dalam hal fadhail a’mal, targhib wa tarhib, adapun dalam hal hukum halal, haram, jual beli, nikah, talak dan lain sebagainya maka tidak boleh menggunakan hadits dha’if kecuali harus dengan hadits shahih atau hadits hasan.108
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami membenarkan penggunaan dalil hadis dha’if dalam fadha’il a’mal. Beliau berkata “para ulama sepakat untuk menggunakan hadits dha’if yang berhubungan dengan fadhail a’mal, karena seandainya hadits yang bersangkutan itu hakikatnya shahih maka sudah seharusnya ia diamalkan dan seandainya ia tidak shahih maka pengamalan terhadapnya itu tidak mengakibatkan mafsadah berupa menghalalkan hal yang haram, mengharamkan yang halal dan menghilangkan hak orang lain.109