• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEOR

B. Kerangka Teori

5. Hukum Islam

Fiqh muamalah yang merupakan gabungan dari dua kalimat dari bahasa Arab al-fiqh dan al-mu’amalah. Secara lughawi masing-masing dapat dijelaskan : al-fiqh berarti al-fahmu; seperti dalam firman Allah yang artinya :

“ Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran

Kami silih berganti agar mereka memahaminya”.

Arti dari Teks Al-Quran diatas menunjukkan bahwa penggunaan lafazh al-fiqh diarahkan untuk menyebut arti faham. Maka, dapat dipastikan bahwa, al-fiqh berarti al-fahm. Lafazh ini digunakan semata-mata untuk menegaskan bahwa rumusan-rumusan aturan dalam “fiqh” adalah hasil

“pemahaman” mujtahid terhadap pesan suci Al-Quran dan Al-Hadis (Afandi, 2009:3).

Fiqh muamalah secara sempit merupakan peraturan yang menyangkut hubungan kebendaan; ia berisi aturan-aturan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain terkait dengan penguasaan benda, konsumsi dan pendistribusiannya, seperti hak pembeli terhadap harta dan hak penjual mendapatkan uang, wewenang pemilik modal memperlakukan modal yang diinvestasikan dan lain-lain. Dalam arti luas adalah kumpulan hukum yang disyariatkan Agama Islam yang mengatur hubungan kepentingan antar manusia dalam berbagai aspek. Dari kedua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa fiqh muamalah memiliki makna hukum yang berkaitan dengan aktifitas perbuatan manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya, termasuk didalamnya masalah ekonomi.

Berdasarkan pembagian muamalah dalam pengertian sempit, ruang lingkup fiqh muamalah dibagi menjadi dua. Pertama, ruang lingkup al-

mu’amalah al-adabiyah. Dalam muamalah adabiyah ini yang menjadi ruang lingkup pembahasan adalah aspek moral yang harus dimiliki oleh manusia (pihak-pihak yang melakukan transaksi), seperti munculnya ijab kabul, atas dasar keridhoan masing-masing pihak, tidak dalam kondisi terpaksa, transparan, jujur, bebas dari unsur gharar (penipuan) dan lain sebagainya. Demikian juga aspek moral yang harus dijauhi seperti, tadlis (tidak transparan), gharar (tipuan), risywah (sogok), ihktikar (penimbunan) dan

semua prilaku yang merugikan bagi salah-satu pihak yang bersumber dari indera manusia.

Kedua, ruang lingkup al-mu‟amalah al-madiyah; dalam al-mu‟amalah al-madiyah ruang lingkup pembicaraannya meliputi bentuk-bentuk perikatan (akad) tertentu seperti jual-beli (al-bai’), gadai (rahn), al-ijarah, al-istishna’, al-kafalah, al-hawalah, al-wakalah, al-shulh, al-syirkah, al-mudharabah, al- hibah, al-muzara’ah, al-musaqah, al-wadi’ah, al-ariyah, al-qismah, al-qardh

dan lainnya.

Fiqh Islam yang bersifat dinamis, yang bahkan melahirkan perkembangan pemikiran dan pemahaman baru yang kontekstual. Oleh karena itu musyawarah para ulama tidak hanya terbatas pada pokok hukum untuk peristiwa-peristiwa yang pada dasarnya telah menjadi kenyataaan dan terjadi di kehidupan umat manusia, namun belum dinashkan saja. Bukan hanya itu, perlunya penetapan hukum yang jelas juga sangat penting untuk digunakan dan menjadi pegangan seperti kemajuan zaman dikehidupan masa sekarang maupun yang akan datang (Ismail. Skripsi, 2012).

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, masyarakat yang hidup dizaman yang berbeda terus berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan kehidupan. Persoalan kehidupan dikalangan masyarakat semakin komplek dan luas, permasalahan dan timbulnya berbagai pertanyaan tidak dapat terselesaikan hanya dengan Al-Qur‟an dan Hadis saja (Anwar, 2010: 95). Dengan demikian permasalahan dan persoalan yang timbul setelah Nabi

wafat dibahas dengan cara musyawarah dan ijtihad yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang sudah ditentukan nashnya.

Dalam pembiayaan kepemilikan logam mulia ini sama halnya dengan pembiayaan yang lain, dimana memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Objek dan subjek akad pun harus jelas. Dalam mengeluarkan hukum yang ditetapkan DSN-MUI juga harus dengan segenap kemampuan agar sampai kepada suatu perkara atau pekerjaan. Sedangkan definisi ijtihad adalah pencurahan kemampuan seseorang ahli ushul fiqh dan menetapkan suatu penjelasan hukum yang bersifat operasional dan memiliki dalil-dalil serta dasar yang sudah ada dan terperinci. Sedangkan kegiatan ijtihad untuk masa sekarang dan masa yang akan datang menurut Yusuf al-Qaradhawi, dapat dibedakan menjadi tiga bentuk dalam melakukannya. Pertama ijtihad dalam bentuk perundang-undangan modren, kedua ijtihad dalam bentuk fatwa, dan yang ketiga ijtihad dalam bentuk penelitian atau studi (Qaradhawi, 1995 : 55-61).

Pada dasarnya Islam juga menganut kebebasan yang terikat, dalam hal ini terikat yang dimaksud yaitu seperti boleh menentukan dan melahirkan hukum baru, namun harus berdasarkan dalil-dalil serta hadis yag jelas sudah ada terlebih dahulu. Harus tetap memegang teguh keadilan dan nilai-nilai syriat agama Islam.

Untuk itu Islam melarang dan mengharamkan adanya transaksi yang mengandung gharar, mayisir, riba. Yang akan mengakibatkan keuntungan disatu pihak dan merugikan pihak lain, atau ada pihak yang ter dzalimi.

Prinsip-prinsip hukum Islam tentang muamalat yang telah dirumuskan dalam dalil-dalil dan hadis yaitu (Ismanto, 2009: 157)

1. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain dari Al-Quran dan As-Sunnah.

2. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa adanya unsur paksaan. 3. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbanga yang mendatangkan

manfaat dan menghindari madarat dalam hidup masyarakat.

4. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari dari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

Dengan demikian, untuk mencapai kesejahteraan harus mengandung dasar-dasar etika atau moral. Dari sini dapat dikatakan bahwa kegiatan jual- beli sebenarnya adalah kegitan moral. Jual beli dapat terjadi dan dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh syara‟. Tidak hanya terlepas dari hal tersebut, bahwasannya kegiatan jual beli juga berlandaskan atas dasar kerelaan, kejujuran dan suka-sama suka. Seperti dalam firman Allah :

جت

ت ْ أ ا

ْ ْ ْ ْ ْ أ كْ ت ا آ أ

ح ْ ك ه ۚ ْ سفْ أ ْقت ا ۚ ْ ْ ض ت ْ ع

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu”. (Qs. An-nisa(4):29)

Firman Allah SWT diatas menunjukkan bahwa Al-qur‟an sudah menjelaskan bahwa manusia menjauhi memakan harta dengan cara yang

bathil dan keharusan melakukan perdagangan yang didasarkan pada kerelaan atau suka sama suka yang tentunya diridhoi Allah SWT. Masih banyak keterkaitan dengan firman Allah SWT diatas bahwa hukum Islam juga melarang melakukan kegitan jual-beli yang mengandung unsur riba, yaitu berlebihan atau menggelebung. Yang menjadi faktor utama larangan riba adalah langsung dari Allah SWT dan rassul-Nya yang melarang dan mengharamkan Riba. Seperti Firman Allah SWT

طْ ش ط

ق ك ا

ق ا

كْ

ح عْ ْ ه حأ

ْث عْ ْ ق ْ ك ٰ ۚ س ْ

ه ْ أ ف س ف ٰ ْ ف ْ ظعْ ء ج ْ ف ۚ

َ

خ ف ْ حْصأ ك ٰ ف ع ْ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Qs. Al-Baqarah(2); 275)

Alasan diharamkannya riba antara lain adalah bahwa riba membuat orang malas berusaha yang sah menurut syara‟ dan juga karena riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia (Hendi, 2002 : 58). Ada beberapa penggolongan tentang riba dalam jual-beli, yaitu riba tunai yang menurut Zakaria Ansari adalah jual beli tunai dengan pembayaran dibelakang atau penyerahan barang dan pembayaran kemudian setelah kesepakatan terjadi. Sedangkan riba an-Nasa‟ oleh abu Zahra

didefinisikan dengan berhutang atau menunda antara satu dari dua benda penukar, baik yang sejenis atau tidak manakala diwajibkan tunai (Khoiruddin, 1996 : 39).

Hadis-hadis yang melarang jual-beli emas dengan tidak tunai, secara khusus lebih menegaskan betapa spesialnya emas sebagai sebuah benda, sehingga tata cara mentransaksikannya diingatkan dengan begitu detilnya oleh Nabi SAW. Emas tidak seperti benda komoditas lainnya yang lazim diperjual- belikan dipasar. Nabi sangat menyadari betul hal ini mengingat emas sebagai logam mulia secara kebendaan memiliki sifat kualitas yang stabil sehingga meekat padanya fungsi sebagai yang menyimpan nilai (store of value), sebagai ukuran menilai barang lain (unit of account), dan dengan begitu emas menjadi benda yang paling pantas menjadi alat pertukaran (jual- beli) atau uang (medium of exchange). Meski karena kemulian emas dapat saja bertambah fungsinya menjadi atau sebagai pakaian dalam bentuknya berupa perhiasan, namun emas tetaplah emas, dimana fungsinya sebagai penyimpan nilai, alat ukur dan alat tukar tetap melekat padanya.

Salah satu alasan Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai tersebut karena adanya permohonan surat dari Bank Mega Syariah (BMS) No. 001/BMS/DPS/I/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal Permohonan Fatwa Murabahah Emas. Hal inilah yang menimbulkan kebingungan jika dikaitkan dengan pesan yang tersirat pada

bagian “menimbang” bahwa fatwa ini seolah-olah memberi pesan bukan

pertimbangan kebutuhan LKS sebagimana biasanya fatwa-fatwa lain yang sudah dikeluarkan.

Dalil al-Qur‟an yang digunakan fatwa DSN-MUI merujuk pada dalil induk yang membolekan jual beli yaitu Qs. Al-Baqarah (2): 275. Sementara hadis yang menjadi rujukan disebutkan ada enam hadis yang menjadi landasan yaitu, jual beli yang harus berdasarkan pada kerelaan pihak yang bertransaksi, jual beli emas dengan emas haruslah secara tunai, jual-beli emas dengan perak adalah riba kecuali dilakukan secara tunai, jangan menjual emas dengan emas kecuali sama nilainya dan tidak menambah sebagian atas sebagian serta jangan menjual emas dengan perak yang tidak tunai dengan yang tunai, karena Nabi melarang menjualemas dengan perak secara piutang atau ditangguhkan.

Dalam keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional dinyatakan bahwa jual beli emas secara tidak tunai itu boleh (mubah), selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang), baik dengan jual beli biasa ataupun dengan jual beli murabahah. Akan tetapi dalam transaksi ini ada tiga batasan dan ketentuan sebagai berikut (Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 77/DSN- MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai) :

1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perjanjian setelah jatuh tempo.

2. Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).

3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka dua tidak boleh diperjualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.

Pendekatan filosofi, dalam studi hukum Islam bersumber pada al- Quran dan Hadis sebagai dalil naqli, karena didalamnya terdapat ayat-ayat dan hadis-hadis yang merupakan suatu petunjuk yang dapat digunakan untuk memahami hukum Allah. Pendekatan filosofi, dalam studi hukum Islam merupakan pendekatan yang didasarkan pada Maqasid Asy- Syari’ah (tujuan hukum) yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin hal-hal yang pokok (daruriyyat), pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (Hajiyyat), dan kebaikan-kebaikan (tahsiniyyat).

Lembaga keuangan perbankan syariah yang sudah memiliki produk pembiayaan emas harus mendasar pada ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ditetapkan DSN-MUI salah satunya melalui fatwa DSN No 77/DSN- MUI/V/2010.

Kerangka diatas merupakan landasan umum bagi penyusun untuk mecari kejelasan tentang hukum jual beli emas secara tidak tunai berdasarkan fatwa MUI. Penulis berharap memperoleh kejelasan tentang tujuan dan manfaat dikeluarkannya fatwa DSN-MUI tentang jual beli emas secara tidak tunai sehingga dapat diambil hikmah yang terkandun di dalamnya.

Dokumen terkait