• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum dan Kedudukan Rasm Uthma>ni

BAB II : RASM MUSHAF DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

E. Hukum dan Kedudukan Rasm Uthma>ni

Lafadz (

فوعديخ

) dalam ayat tersebut dapat dibaca menurut versi qira‟at lain, yaitu (

فوعديخا

). Sedang, apabila ditulis dengan (

فوعديخا

) tidak memberi kemungkinan untuk dibaca (

فوعديخ

).

3. Dengan menggunakan penulisan yang berbeda dari rasm imla‟i, dapat menunjukkan makna atau maksud tersembunyi dalam ayat-ayat tertentu., seperti:

اىمَّسلاىك

ۚ

نٍيىػنىػب ىء

ٰػى

ىك وديٍيىأًب اىه

ٳ

( ىفويعًسويمىل اَّن

١١

)

Sebagian ulama berpendapat bahwa penulisan lafadz (

وديٍيىأًب

) dengan dua huruf

ya‟ untuk memberi isyarat akan kebesaran kekuasaan Allah SWT, khusunya

dalam penciptaan langit dan alam semesta.

4. Dapat menunjukkan keaslian harakat suatu lafadz, seperti penambahan huruf

wawu pada ayat

)ينقىسفلا راد مكي ركأس)

dan penambahan huruf ya‟ pada ayat

(بىرقلا لذ لءاتي ). كٳ

E. Hukum dan Kedudukan Rasm Uthma>ni

Terjadi pergulatan pemikiran (ikhtila>f) di antara para ilmuwan dan pemerhati Alquran terkait hukum penulisan Alquran dengan rasm usma>ni. Setidaknya, terdapat banyak tokoh berpengaruh yang ikut meramaikan diskusi

34

besar terkait rasm al-Qur‟a>n.75 Sebagian mereka ada yang sekedar melarang, mengharamkan, menganjurkan, membebaskan dengan syarat, dan lain-lain.76

Dalam perkembangannya, pendapat-pendapat ini terakumulasi dan mengerucut dalam dua terminologi besar yang masyhur, yaitu pendapat yang menyatakan rasm uthma>ni adalah tauqi>fi> (penulisan yang telah ditetapkan Nabi kepada para penulis wahyu) dan ijtiha>di> (substansinya bukan arahan Nabi SAW atau upaya para Sahabat).77 Kemudian, pada tahun 660 H/1266 M muncul tokoh besar bernama Izzudin ibn Abdissalam yang mencoba menengahi dua pendapat itu dengan memberi fatwa bahwa pola penulisan uthma>ni> bukanlah sesuatu yang tauqi>fi>, sehingga penulisan Alquran dapat menggunakan pola manapun yang memudahkan bagi masyarakat awam, namun tetap menganjurkan pembelajaran akan rasm uthma>ni> untuk kalangan tertentu.78

Berdasarkan penjelasan diatas, hukum atas penggunaan rasm uthma>ni> dapat dikerucutkan dalam tiga pendapat, yakni:

1. Wajib

75Zainal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasm Uthma>ni dalam Penulisan Alquran”, Journal of

Qur‟an and Hadith Studies, Vol. 1, No. 2 (2012), 217.

76

Ibid.; Al-Qattan, Maba>hith fi> al‟Ulu>m, 146-148.

77

Nyatanya, dari sekian ulama yang pendapatnya dijadikan dasar tauqi>fi> , tidak ada yang

menyebut secara eksplisit, kecuali perkataan Ahmad Ibn Mubarak (1090-1155 ) yang mengutip pendapat Abdul Aziz al-Dabbagh (1090-1132 H). Selebihnya hanya memberi peringatan sebagai bentuk kehati-hatian dalam upaya menjaga dan melestarikan Alquran, tidak lantas menjustifikasi sebagai tauqif yang menutup kontribusi ijtihad. al-Qattan, Maba>hith fi> al‟Ulu>m, 146-148.

35

Wajib menggunakan pola uthma>ni> dalam penulisan Alquran dan tidak boleh menyalahinya.79 Kelompok ini menganggap rasm uthma>ni yang dasarnya dari suhuf Abu Bakar adalah sesuai dengan arahan Nabi SAW kepada para juru tulis Alquran. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Nabi yang pernah memberikan arahan kepada Muawiyah saat ia menulis Alquran.80

Menurut Salim Muhaisin,81 ulama yang banyak dimasukkan dalam kelompok „tauqi>fi>‟ adalah Malik bin Anas (w. 179 H/ 795 M), Yahya al-Naisaburi (w. 226 H/ 840 M), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/ 854 M), Abu Amr al-Dani (w. 444 H/ 1051 M), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 450 H/ 1065 M), Ali bin Muhammad al-Sakhawi (w. 643 H/ 1244 M), dan Ibrahim bin „Umar al-Jabiri (w. 732 H/ 1331 M).

2. Jaiz

Penulisan Alquran boleh dengan selain rasm uthma>ni>.82 Kelompok

ini beranggapan pola uthma>ni adalah ijtiha>di>, yaitu formulasi penulisan yang tercetus dari kreasi para sahabat yang dikenal sebagai juru tulis Alquran. Argumentasi yang mendasari pendapat ini adalah pertama, tidak ada dalil dari Alquran maupun hadis yang secara ekslipit menjelaskan aturan penulisan Alquran dengan metode khusus, justru Alquran „boleh‟ ditulis dengan pola manapun yang memudahkan, kedua, budaya tulis-menulis belum begitu

79

Anshori, Ulumul Qur‟an, 163; Hasanuddin AF, Perbedaan Qira‟at dan Pengaruhnya Terhadap

Istinbath Hukum dalam al-Qur‟an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 88-90.

80al-Qattan, Maba>hith fi> al‟Ulu>m, 147.

81Madzkur, “Legalisasi Rasm, 222; Muhammad Salim Muhaisin, al-Fath al-Rabbani> fi>

„Ala>qa>t al-Qira>‟at bi al-Rasm al-Uthma>ni> (Mamlakah al-„Arabiyyah al-Su‟udiyah:

Jami‟ah al-Imam Muhammad bin Su‟ud al-Islamiyah, 1418 H/ 1998 M)

36

dikenal pada masa awal Islam yang juga kondisi kebudayaannya dalam fase peralihan.

Hal itu ditandai dengan hampir mayoritas sahabat tidak cakap menulis, sehingga banyak dari mereka mempelajari Alquran dengan metode hafalan

(sima>‟i).83

Pendapat ini dipelopori oleh Abu Bakar al-Baqillani dan

Abdurrahman ibn Khaldun (w. 808 H/ 1405 M). 3. Jaiz dengan syarat

Alquran boleh ditulis dengan pola Arab-konvensional yang berkembang, namun tetap harus ada mushaf dengan bentuk rasm uthma>ni>. Dasar argumentasi ini bertumpu pada eksistensi rasm uthma>ni> yang merupakan warisan khazanah klasik yang pelestariannya penting dilakukan. Tokoh yang membidani lahirnya pendapat netral ini adalah Izzuddin Abdissalam (661 H/ 1266 M), yang diikuti oleh ulama sesuadahnya, seperti al-Zarkashi, al-Zarqani, ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dll.

Dari ketiga pendapat diatas, banyak peneliti cenderung memilih yang paling akhir. Dikarenakan, para tokoh yang digolongkan pada pendapat rasm

uthma>ni> adalah tauqi>fi> tidak menyatakannya secara eksplisit, melainkan

hanya berbentuk peringatan, seperti Malik bin Anas yang menjawab suatu pertanyaan perihal boleh tidaknya penulisan Alquran menggunakan Arab konvensional dengan „la> illa „ala al-katbah al-u>la>‟, Ahmad bin Hanbal menyatakan, „yah}rumu mukha>lifah khat} mushaf „Uthma>n fi> wa>win…

wa ghairu dha>lik‟, atau Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi yang mengajurkan,

83Madzkur, “Legalisasi Rasm, 223-224; Muhammad Rajab Farjani, Kaifa Nata‟addab ma‟a

al-Mushaf (TK: Da>r al-I‟tis}a>m, 1397 H/ 11978 M); Muhammad bin Muhammad Abu Shuhbah, al-Madkha>l li Dira>sah al-Qur‟a>n (Beirut: Da>r al-Ji>l, 1412 H/ 1992 M), 318.

37

„man kataba mush}afan yanbaghi> an yuha>fiz}a „ala> al-h}ija>‟…‟.84 Sehingga, justifikasi akan ke-tauqi>fi-an rasm Uthma>ni> dinilai sebagai sikap yang berlebihan oleh Subhi S{alih85-meminjam istilah Zainal Arifin Madzkur- dapat dipertimbangkan kebenarannya.

Sedang pendapat yang kedua dinilai kurang praktis dengan pertimbangan, apabila pendapat tersebut dieksplor tanpa batas, orang akan memahami bahwa Alquran boleh ditulis dengan skrip apapun sehingga mengakibatkan tulisan Alquran mudah berubah dan seiring perkembangan zaman akan berganti edisi pada tiap generasi. Lebih jauh, integrasi kandungan Alquran dalam teks akan bernilai kurang sakral, tidak ubahnya buku cetak yang mudah direvisi dalam setiap edisi.86

Dokumen terkait