• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA LANDASAN TEORITIK

2.1. Intensitas Menghafal al-Qur’an

2.1.3. Hukum Menghafal al-Qur’an

Al-Qur’an memperkenalkan diri dengan berbagai ciri dan sifatnya. Salah satunya adalah bahwa ia merupakan salah satu kitab suci yang dijamin keasliannya oleh Allah swt. sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. hingga sekarang bahkan sampai hari kemudian, sebagaimana firman Allah:

ﹶﻥﻮﹸﻈِﻓﺎﺤﹶﻟ ﻪﹶﻟ ﺎﻧِﺇﻭ ﺮﹾﻛﱢﺬﻟﺍ ﺎﻨﹾﻟﺰﻧ ﻦﺤﻧ ﺎﻧِﺇ

)

ﺮﺠﳊﺍ

:

9

(

”Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. ( QS. Al-Hijr: 9).

Firman Allah tersebut bersifat aplikatif , artinya pemeliharaan terhadap kemurnian al-Qur’an itu adalah Allah yang memberikannya, tetapi tugas operasional secara riil untuk memeliharanya harus dilakukan oleh umat yang memilikinya. Ayat ini memberikan peringatan agar umat Islam senantiasa waspada terhadap usaha-usaha pemalsuan al-Qur’an.

Menghafal al-Qur’an hukumnya fardhu kifâyah. Ini berarti bahwa orang yang menghafal al-Qur’an tidak boleh kurang dari jumlah mutawatir sehingga tidak akan ada kemungkinan terjadinya pemalsuan dan pengubahan terhadap ayat-ayat suci al-Qur’an. Jika kewajiban ini telah terpenuhi oleh sejumlah orang yang mencapai (mutawatir) maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya. Sebaliknya jika terpenuhi maka semua umat Islam akan menanggung

dosanya (Al-Hafidz, 2000: 24). Prinsip fardhu kifâyah ini dimaksudkan untuk menjaga al-Qur’an dari pemalsuan, perubahan, dan pergantian seperti kitab-kitab yang lain pada masa lalu.

As-Suyuti sebagaimana dikutip oleh Sa’dulloh (2008: 19) berpendapat bahwa sesungguhnya menghafal al-Qur’an itu hukumnya fardhu kifâyah bagi umat. Para penghafal dan ahli-ahli al-Qur’an akan dengan cepat mengetahui kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan dalam satu penulisan Qur’an. Sedangkan menghafal sebagian al-Qur’an hukumnya fardhu ‘ain, hal ini merujuk pada sabda Rasulullah saw. bahwa tidaklah sah shalat seseorang tanpa membaca Al-Fatihah. 2.1.4. Metode Menghafal al-Qur’an

Memori ingatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena hanya dengan ingatan itulah manusia mampu merefleksikan dirinya, berkomunikasi dan menyatakan pikiran dan perasaannya yang berkaitan dengan pengalaman-pengalamannya. Ingatan juga berfungsi memproses informasi yang kita terima pada setiap saat, meskipun sebagian besar informasi yang masuk tersebut diabaikan saja, karena dianggap tidak begitu penting untuk diperlukan di hari-hari berikutnya. Dalam menghafal al-Qur’an, seluruh proses pengingatan terhadap ayat dan bagian-bagiannya mulai dari proses awal hingga pengingatan kembali harus tepat. Salah dalam memasukkan atau menyimpannya akan salah pula dalam mengingatnya kembali atau bahkan sulit ditemukan dalam memori.

Seorang ahli psikolog, Atkinson dikutip oleh Sa’dulloh (2008: 46) menyatakan bahwa ingatan ada tiga tahapan, yaitu encoding (memasukkan informasi ke dalam ingatan), storage (menyimpan informasi yang telah dimasukkan), dan retrival (mengingat kembali). Kemudian aplikasi dari proses kerja ingatan tersebut dalam menghafal al-Qur’an, Sa’dulloh (2008: 46-51) menjelaskan sebagai berikut: 2.1.4.1. Encoding (memasukkan informasi ke dalam ingatan)

Encoding adalah proses memasukkan data-data informasi kedalam ingatan. Proses ini melalui dua alat indera manusia yaitu penglihatan dan pendengaran.

Seorang penghafal al-Qur’an sangat dianjurkan mendengarkan bacaan suara sendiri pada saat menghafal al-Qur’an agar kedua alat sensorik yaitu mata dan telinga bekerja dengan baik. Tanggapan dari penglihatan dan pendengaran oleh kedua alat sensorik tadi marus mengambil bentuk tanggapan yang identik atau sama. Karena itu untuk memudahkan menghafal al-Qur’an sangat dianjurkan hanya menggunakan satu jenis mushaf al-Qur’an saja secara tetap agar tidak berubah-ubah strukturnya di dalam peta mental. 2.1.4.2. Storage (Penyimpanan)

Proses lanjut setelah encoding adalah penyimpanan informasi yang masuk di dalam gudang memori. Gudang memori terletak di dalam memori jangka panjang (long term

memory). Semua informasi yang dimasukkan dan disimpan di dalam gudang memori itu tidak akan pernah hilang. Lupa sebenarnya hanya tidak berhasil menemukan kembali informasi tersebut dalam gudang memori. Penyimpanan informasi dalam gudang memori dan seberapa lama kekuatannya juga tergantung pada individu masing-masing. Ada yang memiliki daya ingat teguh, sehingga menyimpan informasi dalam waktu lama, meskipun tidak atau jarang diulang, sementara yang lain memerlukan pengulangan secara berkala bahkan cenderung terus-menerus.

Materi hafalan yang mengharuskan keutuhan urutan-urutan (sequence) seperti hafalan al-Qur’an memang harus selalu diulang, berbeda dengan materi yang cukup diperlukan makna dan intisarinya saja biasanya tidak terlalu menuntut pengulangan yang terus-menerus. Belahan otak (otak kanan dan otak kiri) memiliki fungsi yang berbeda. Fungsi belahan otak kiri terutama menangkap persepsi kognitif, menghafal, berfikir linier dan teratur. Sedangkan belahan otak kanan lebih terkait dengan persepsi holistik imajinatif, kreatif, dan bisosiatif. Menurut fungsinya tersebut, maka belahan otak kirilah yang bekerja keras ketika menghafal al-Qur’an.

2.1.4.3. Retrieval (pengungkapan kembali)

Pengungkapan kembali (reproduksi) informasi yang telah disimpan di dalam gudang memori adakalanya serta-merta dan adakalanya perlu pancingan. Dalam proses menghafal al-Qur’an urutan-urutan ayat sebelumnya secara otomatis menjadi pancingan terhadap ayat-ayat selanjutnya, karena itu lebih sulit menyebutkan ayat yang terletak sebelumnya dari pada yang terletak sesudahnya.

Memang terdapat banyak faktor yang mempengaruhi hafalan al-Qur’an, baik yang menyangkut mudah sukarnya melakukan tahfîdz dan takrîr, lama singkatnya dalam penyimpanan, maupun kuat tidaknya dalam pengulangan kembali. Faktor-faktor tersebut dapat disebabkan oleh upaya-upaya yang dilakukan. Perbedaan individu misalnya faktor intelegensi, faktor kepribadian tertentu, faktor usia (setelah usia 30 tahun kemampuan mengingat terus-menerus). Sedangkan yang dapat diupayakan misalnya tingkat kemampuan memahami makna ayat, efektivitas waktu dan penggunaan metode-metode yang baik.

Dalam menghafal al-Qur’an setiap orang memiliki metode menghafal yang berbeda-beda. Namun metode apapun yang digunakan tidak akan lepas dari pembacaan yang berulang-ulang sampai dapat mengucapkannya tanpa melihat mushaf sedikitpun.

Menurut Sa’dulloh (2008: 52-54), proses menghafal al-Qur’an dilakukan melalui bimbingan kepada seorang guru tahfîdz. Proses bimbingan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 2.1.4.1. Bi an-Nadzr

Bi an-Nadzr yaitu membeca dengan cermat ayat-ayat al-Qur’an yang akan dihafal dengan melihat mushaf al-al-Qur’an secara berulang-ulang. Proses ini hendaknya dilakukan sebanyak mungkin atau empat puluh satu kali seperti dilakukan oleh para ulama terdahulu. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang lafadz maupun urutan ayat-ayatnya. Agar lebih mudah dalam menghafalnya, maka selama proses bi an-nadzr ini diharapkan calon hafidz juga mempejari makna dari ayat tersebut.

2.1.4.2. Tahfîdz

Tahfîdz yaitu menghafal sedikit demi sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang telah dibaca berulang-ulang sacara bi an-nadzr tersebut, misalnya menghafal satu baris, beberapa kalimat atau sepotong ayat pendek sampai tidak ada kesalahan. Setelah satu baris atau beberapa kalimat tersebut sudah dapat dihafal dengan baik, kemudian ditambah dengan merangkaikan baris atau kalimat berikutnya sehingga sempurna. Kemudian rangkian ayat tersebut diulang kembali sampai benar-benar hafal.

2.1.4.3. Talaqqî

Talaqqî yaitu menyetorkan atau memperdengarkan hafalan yang baru dihafal kepada seorang guru atau instruktur. Guru tersebut harus hafal al-Qur’an dan benar-benar mempunyai silsilah sampai kepada Nabi Muhammad saw. Proses talaqqî ini dilakukan untuk mengetahui hasil hafalan seorang calon hâfidz dan mendapatkan bimbingan seperlunya.

2.1.4.4. Takrîr

Takrîr yaitu mengulang hafalan atau memperdengarkan hafalan yang sudah pernah dihafalkan atau sudah pernah diperdengarkan kepada guru tahfîdz. Takrîr dimaksudkan agar hafalan yang pernah dihafal tetap terjaga dengan baik. Selain dengan guru, takrîr juga dapat dilakukan sendiri dengan maksud melancarkan hafalan, misalnya pada pagi hari untuk menghafal materi hafalan baru kemudian sore harinya untuk takrîr hafalan yang sudah dihafal.

2.1.4.5. Tasmî’

Tasmî’ yaitu memperdengarkan hafalan kepada orang lain baik berupa perseorangan maupun kepada jamah. Dengan tasmî’ ini seorang penghafal al-Qur’an akan diketahui kekurangan pada dirinya karena boleh jadi ia lengah dalam mengucapkan huruf atau harakat. Dengan

tasmî’ seseorang juga akan lebih berkonsentrasi dalam hafalan.

Menurut Sa’dulloh (2008: 55) metode yang dikenal untuk menghafal al-Qur’an ada tiga macam:

2.1.4.1. Metode seluruhnya, yaitu membaca satu halaman dari baris pertama sampai baris terakhir secara berulang-ulang sampai hafal.

2.1.4.2. Metode bagian, yaitu menghafal ayat demi ayat, atau kalimat demi kalimat yang dirangkaikan sampai satu halaman.

2.1.4.3. Metode campuran, yaitu kombinasi antara metode seluruhnya dengan metode bagian. mula-mula dengan membaca satu halaman berulang-ulang, kemudian pada bagian tertentu dihafal tersendiri, kemudian diulang kembali secara keseluruhan.

Menurut Al-Hafidz (2000: 63-66), lima macam metode menghafal al-Qur’an, yaitu:

2.1.4.1. Metode Wahdah

Yang dimaksud dengan metode ini adalah menghafal satu per satu ayat-ayat yang hendak dihafalnya. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat dapat dibaca sebanyak sepuluh kali, atau dua puluh kali atau lebih, sehingga proses ini mampu membentuk pola dalam bayangannya.

2.1.4.2. Metode Kitâbah

Kitâbah artinya menulis. Pada metode ini penghafal terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan dihafal pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya hingga benar-benar lancar dan benar bacaannya kemudian dihafalkan.

2.1.4.3. Metode Sima’i

Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini adalah mendengarkan suatu bacaan yang hafalnya. Metode ini sangat efektif begi penghafal yang memiliki daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tuna netra atau anak-anak yang masih di bawah umur yang belum mengenal tulis baca al-Qur’an.

2.1.4.4. Metode Gabungan

Metode ini merupakan metode gabungan antara metode wahdah dan kitâbah, metode kitâbah di sini lebih memiliki fungsional sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah dihafalnya. Dalam metode ini setelah penghafal selesai menghafal ayat, kemudian mencoba untuk menulis ayat yang telah dihafal tadi di atas kertas yang telah disediakan untuknya dengan hafalan pula.

2.1.4.5. Metode Jama’

Yang dimaksud dengan metode ini adalah cara menghafal yang dilakukan secara kolektif, artinya ayat-ayat yang dibaca secara kolektif atau bersama, dipimpin oleh seorang instruktur.

Dokumen terkait