• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

B. Hukum Pendaftaran Tanah Milik Adat

Tanah adat dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang sangat erat satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat adat lebih mengedepankan rasa kekeluargaan. Asas kekeluargaan mengandung keadilan, kearifan, kebersamaan, kesamaan, gotong-royong, tenggang rasa, dan tanggung jawab dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.35 Hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat sebagai suatu kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat yang merupakan hak asli dan utama dalam hukum tanah adat dilingkungan masyarakat hukum adat, yang juga dianggap sebagai sumber hukum adat dan dapat dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat tersebut.36

Adat bermaksud suatu peraturan yang diamalkan secara turun-temurun (sejak dahulu kala) didalam masyarakat sehingga merupakan hukum dan peraturan yang harus dipatuhi. Adat juga didefinasikan sebagai suatu cara yang sudah menjadi kebiasaan.37 Kebiasaan-kebiasaan yang hidup didalam masyarakat itu telah diyakini sebagai hukum. Peraturan hukum itu memberikan akibat pada situasi tertentu, seperti keadaan, kejadian atau perbuatan untuk posisi hukum, untuk keseluruhan hak dan kewajiban para subjek (manusia/ badan hukum). Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru. Pembentukan Hukum Tanah Nasional (HTN) kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hiraki yang berjenjang. Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang yaitu sebagai berikut :

35 S. Sumarsono, Mansyur, dkk, Pendidikan kewarganegaraan, Cetakan ke-2, PT. SUN,

Jakarta 2002, Hal. 108.

36

Sukanti Arie Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Rajawali, Jakarta,1983, Hal 21

1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara.

2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa Indonesia.

Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme hukum. Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Apabila dibicarakan tentang kedudukan dan peranan hukum adat, analisisnya sedikit banyaknya mempunyai kecenderungan untuk bersifat sosiologis. Hal ini terutama disebabkan karena;38

1. Sebagai hukum kebiasaan, hukum adat adalah merupakan suatu abstraksi dari perilaku nyata yang terakhir dan unik.

38 Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Cetakan ke-2

2. Untuk mengadakan identifikasi terhadap hukum adat, ada kecendrungan untuk mempergunakan metode sosiologis (dan antropologis)

3. Konsepsi-konsepsi “kedudukan” dan “peranan” merupakan konsepsi sosiologis (sebagai bagian dari struktur sosial).

Dalam konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “Kepentingan Bersama” dengan “Kepentingan Perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Menurut Sumantri, konsepsi hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”.

Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku hukum pendaftaran tanah yang tumbuh bagi masyarakat adat sebelum 24 september 1960. Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang- undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. Bila diselusuri dari fungsi dan keberadaan hukum, dan dikaitkan dengan jural postulates yang dikemukakan oleh kohler, terlihat bahwa didalam UUPA, nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat mulai dikesampingkan dan digantikan oleh “hukum” yang baru didalam mengatur kehidupan masyarakat, sehingga menyebabkan seringnya timbul pertentangan

kepentingan sebagaimana sering kita lihat dan kita saksikan.39 Perundang-undangan juga berfungsi mengayomi dan melindungi hak warga Negara.40 Lalu bagaimana dengan hak ulayat menurut hukum adat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat juga diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria, yaitu: “dengan mengingat ketentuan- ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Bahwa isi Pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat. Hukum pertanahan di Indonesia mengakui adanya hak adat atau yang sering kita kenal dengan hak ulayat dengan tanda kutip bahwa sepanjang pada kenyataannya “Masih Ada”, sebagaimana yang di amanatkan oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria. Untuk didaerah Aceh, khususnya Aceh Tamiang tidak ada kita temukan penamaan khusus atas tanah adat akan tetapi masyarakat setempat menyebutnya dengan nama “Tanah Adat”. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat itu sendiri baik yang merupakan persekutuan hukum yang didasarkan kesamaan tempat tinggal maupun yang didasarkan pada keturunan. Jika diliat lagi dari Peraturan Menteri Negara

39Zainudin Ali,Sosiologi Hukum,Sinar Grafika, Palu 2005, Hal. 50.

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dalam ketentuan umum pasal 1 yakni;

1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu.

3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.41

Dalam hal mana penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana yang terdapat pada suatu wilayah dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat

41Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,

yang ada didaerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansi- instansi yang mengelola sumber daya alam.

Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas kepemilikan tanah ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tanah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 41),TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).

Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 tahun 1999 tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, Kepres Nomor 111 tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Isu tentang

penyerobotan terhadap tanah ulayat negeri lahan bukan baru kali ini saja, tetapi sudah terjadi dari generasi ke generasi. penyerobotan tanah ulayat tersebut tidak mempunyai alas hak yang kuat (dasar hukum), pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat oleh Undang-undang Pokok Agraria merupakan pengakuan secara de facto dan de jure terhadap adanya hak ulayat dari masyarakat adat diseluruh Republik Indonesia. pengakuan tersebut merupakan hal yang wajar karena masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hal tersebut merupakan bukti nyata secarade factoadanya negeri adat.

Dalam hukum adat tindakan yang menyebabkan pemindahan hak bersifat contain, sedangkan pendaftaran menurut Undang-undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya bersifat administrasif. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah sebagai berikut:

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus teratur dan berkesinambungan, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.42

Tanah milik adat adalah hak atas tanah dari masyarakat hukum adat yang belum pernah didaftarkan, yang dibeberapa wilayah di Indonesia dikenal dengan

berbagai nama seperti : Hak Ulayat adalah merupakan suatu rangkaian dari hak-hak dan kewajiban masyarakat hukum adat yang berhubungan langsung dengan tanah- tanah yang termasuk lingkungan wilayah tempat kediamannya. Hak persekutuan hukum atas tanah sekitar lingkungannya yang dikenal dengan hak ulayat itu merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat, dimana masyarakat tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah atau sebidang tanah yang ada disekitar lingkungannya.

Keuntungan dari terlaksananya pendaftaran tanah yang baik antara lain adalah43:

1. Diberikannya rasa aman kepada pemegang hak atas tanah karena adanya kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya, yang pada gilirannya akan memberikan rasa kemantapan dalam usahanya yang produktif dengan menggunakan tanah tersebut;

2. Berkurangnya sengketa sehingga terdapat penghematan dalam biaya dan waktu bagi perorangan maupun bagi Negara. Di sebagian besar Negara- negara berkembang banyak perkara di pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan tanah;

3. Mudah, murah dan pastinya transaksi mengenai tanah-tanah, Peralihan hak perorangan atas tanah yang tidak terdaftar seringkali mengakibatkan biaya yang mahal dan ketidak pastian.

43 Sambutan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Seminar

4. Meningkatkan investasi dengan menjadikan tanah sebagai jaminan guna memperoleh kredit jangka panjang. Pada umumnya lembaga perbankan menuntut adanya rencana dan adanya hak yang sah sebelum memberikan kredit.

5. Hasil pendaftaran tanah dapat digunakan sebagai instrumen untuk penetapan dan pengenaan pajak tanah.

6. Data pendaftaran tanah dapat dijadikan data pokok dan alat untuk : a. Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan landreform.

b. Pengendalian transaksi-transaksi tanah.

c. Segala macam perencanaan umum, terutama perencanaan kota. Pelaksanaan konversi sebagaimana yang kita ketahui dilaksanakan oleh kantor pendaftaran, dimana tanah-tanah tersebut berada dan mengenai hak-hak mana yang belum didaftar pada kantor pertanahan, pelaksanaan konversi tersebut akan dapat diselenggarakan setelah pemegang haknya datang mendaftarkanya. Berbagai-bagai cara dan upaya untuk dapat memperoleh hak atas tanah yang akan didaftarkannya antara lain; a. Jual-beli b. Hadiah c. Tukar-menukar d. Hibah e. Testamen

1. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang, 2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat.44

Dr. Maxwell Maltz, dalam bukunya psycho Cybernetics (1960), menyatakan, “kita telah diciptakan sebagai mekanisme pencari tujuan”. Kita memang terbentuk demikian. Manakala kita tidak mempunyai yang kita minati dan yang cukup berarti bagi kita, kita harus berputar-putar, merasa tersesat dan mendapatkan hidup kita tidak berarti dan tidak bertujuan.45 Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan haknya; serta pemberian surat tanda bukti hak (sertipikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang Pertaturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), Pemerintah wajib menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia dan mengharuskan kepada pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan.

Kegiatan administrasi dalam pendaftaran tanah setelah tanah terdaftar dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 disebut juga pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kegiatan tersebut dapat dibagi kedalam (3) tiga kategori, yakni;

1. Kegiatan sebelum penerbitan sertipikat tanah (penetapan hak atas tanah).

44Syamsul Arifin,Pengantar Hukum Indonesia,Medan Area University Press, Medan, 2012,

Hal. 183.

2. Kegiatan setelah penerbitan sertipikat (perubahan data yuridis). 3. Kegiatan setelah penerbitan sertipikat (perubahan data fisik).

Dalam hal ini dapatlah diuraikan bahwa kegiatan yang bersifat administratif sebelum penerbitan sertipikat tanah yang berupa penetapan hak atas tanah, meliputi;

1. Konversi hak atas tanah.

2. Pengakuan dan penegasan hak atas tanah. 3. Pemberian hak atas tanah.

4. Penolakan hak atas tanah.

5. Redistribusi tanah dan konsolidasi tanah. 6. Perwakafan tanah.46

Sedangkan kegiatan yang bersifat administrasi setelah penerbitan sertipikat tanah yang dilakukan karena terjadinya perubahan data yuridis (subjek hak, jenis hak, dan jangka waktu hak atas tanahnya), terdiri dari;47

1. Peralihan hak atas tanah dan, 2. Pemindahan hak atas tanah,

3. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah, 4. Pembaharuan hak atas tanah,

5. Perubahan hak atas tanah, 6. Pembatalan hak atas tanah, 7. pencabutan hak atas tanah,

46 Mhd. Yamin Lubis, Abd. Rahim Lubis,Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi,Mandar

Maju, Bandung 2010, Hal. 210.

8. Pembebasan hak atas tanah,

9. Perubahan data karena putusan dan penetapan pengadilan, 10. Perubahan data karena perubahan nama,

11. Hapusnya hak atas tanah, 12. Penggantian sertipikat.

Sementara kegiatan yang bersifat administratif setelah penerbitan sertipikat tanah yang dilakukan karena terjadinya perubahan data fisik atau objek hak atas tanah, terdiri dari;

1. Pemisahan bidang tanah. 2. Pemecahan bidang tanah. 3. Penggabungan bidang tanah.

Untuk kepentingan umum, termasuk untuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat itu sendiri, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Petanahan Nasional Republik Indonesia.

Adapun Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 UUPA ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Bagan 2. pemastian lembaga;48 1. Recording of title 3. Panitia pembebasan 4. pengawas PPAT 5. Panitia Tanah 6. Dan lain-lain.

Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota saling berkaitan fungsi dan tugas pokoknya terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena PPAT merupakan rekan kerja Kantor Pertanahan. PPAT diwajibkan membuat akta-akta yang berkaitan dengan tanah tanah yang terdaftar dan PPAT hanya dapat melakukan balik nama apabila suatu tanah tersebut telah mendapatkan haknya.

48A.P. Parlindungan,Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Cetakan ke-9 , Mandar

Maju, Bandung 2008, Hal. 122.

PPAT BPN

(KANTOR PERTANAHAN)

Recording of deeds of conveyance 1. Mutasi

2. Pengikatan hak tanggungan 3. Pemberian Hak baru 2. Continous Recording

Berdasarkan pembagian fungsi dan tanggung jawab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuatan akta PPAT yang efektif tidak saja memenuhi kaedah tekhnis pembuatannya, tetapi harus memperhatikan kepentingan kantor pertanahan sesuai dengan pedoman pengisian akta PPAT dalam Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.

Disamping bertugas pokok membuat akta, PPAT mempunyai tugas lain baik yang berkaitan dengan pembuatan akta atau sebagai tindak lanjut dari pembuatan akta atau tugas lain dibidang pertanahan. PPAT dengan Kepala Kantor Pertanahan untuk mempercepat pendaftaran hak milik atas tanah untuk tempat tinggal yang diberikan dengan Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1997 jo Nomor 1 tahun 1998, Nomor 2 tahun 1998 dan Nomor 6 tahun 1998 (Intruksi Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1998). Fungsi pelayanan terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah apabila pelaksanaan pendaftaran tanah terdapat keterlambatan, PPAT diwajibkan melapor kepada kepala kantor kabupaten/ kota. (Intruksi Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999).

Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah sebagai instansi pendaftaran tanah. Pemerintah melakukan pendaftaran tanah karena, mewakili negara sesuai ketentuan UUPA untuk menguasai tanah dalam pengertian:

a. Mengatur serta menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan akan keadaan suatu tanah yang dimaksudkan;

b. Menentukan dan mengatur hak hak yang dimiliki atas kepemilikan tanah tersebut untuk sapa, kepada siapa dan kemana harus diberikan;

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antar subjek dan perbuatan hukum atas tanah tersebut.

Selanjutnya hak-hak atas tanah yang sebagaimana yang menjadi bidang tugasnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), perlu terlebih dahulu dilihat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 16 UUPA yaitu:

1. Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah: a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Tanah g. Hak Memungut Hasil Hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

2. Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) adalah;

a. Hak Guna Air

c. Hak Guna Ruang Angkasa.

Dasar hukum pendaftaran mutasi atau perpindahan hak atas kepemilikan tanah adalah sebagai berikut :

a. Pasal 19 UUPA :49

(1) Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut meliputi :

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

b. Pasal 23 UUPA :

(1) Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan

(2) Pendaftaran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

c. Pasal 32 UUPA :

49R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Cetakan ke-37, PT.

(1) Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian pula setiap peralihannya dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan. (2) Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai

peralihan. d. Pasal 38 UUPA :

(1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian pula setiap peralihannya dan hapusnya harus didaftarkan.

(2) Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan.

Undang-undang Pokok Agraria juga mempertegas adanya Pendaftaran Tanah itu untuk kepentingan nasional dan ikut untuk menertibkan ketatanegaraan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 19:

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Penjelasan pasal tersebut jika dikaitkan dengan penjelasan umum angka IV yaitu bahwa usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah adalah ketentuan Pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah. Dengan maksud agar mereka

Dokumen terkait