• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merantau tak bisa dipisahkan dari masyarakat Minangkabau, karena asal usul kata merantau itu sendiri berasal dari bahasa dan budaya Minangkabau, yaitu “rantau”. Yang pada awalnya bermakna : wilayah-wilayah yang berada diluar wilayah inti Minangkabau, diluar Luhak Nan Tigo (Luhak Tanah Data, Luhak Agam Dan Luhak Limopuluah), tempat awal mula peradaban Minangkabau. Aktivitas orang-orang dari wilayah inti tersebut ke wilayah luar disebut “merantau” atau pergi ke wilayah rantau.104

Tsuyishi Kato menemukan adanya suatu perubahan besar masyarakat Minangkabau dalam tradisi merantau sebelum 1950, dan setelah Perang Dunia ke-2. Mereka yang merantau sebelum 1950, yang berlangsung sampai puluhan tahun atau berabad ini, umumnya kampung bagi mereka tetap merupakan basis, sedang merantau berarti petualangan dalam mencari rejeki ke luar daerah. Pada waktu itu anak-anak muda pergi merantau, namun beberapa waktu kemudian kembali kekampung. Tetapi bagi perantau Minang setelah Perang Dunia ke-2, mereka merantau secara eksklusif, terkait dengan keluarga inti. Pola merantau mereka, meninggalkan daerah asalnya dengan mengajak keluarga. Atau seorang suami pergi merantau lebih dahulu, baru kemudian mendatangkan istri dan anak-anaknya. Para perantau Minangkabau ini, cenderung tinggal lebih lama, guna mendapatkan kehidupan lebih mapan. Namun demikian, kedua pola migrasi tersebut ada

104

persamaan, yaitu selalu sama-sama menggunakan kesempatan pulang kampung untuk memamerkan kekayaan, pengetahuan, danprestiseyang diperolehnya di rantau.105

Perantau Minangkabau sering disingkat dengan “perantau Minang”. Sama artinya dengan “orang Minangkabau yang mencari nafkah, penghidupan, ilmu, dan sebagainya di negeri lain atau di luar kampung halamannya. Dan Minang perantauan merupakan istilah untuk orang Minangkabau, yang hidup diluar kampung halamannya, atau di luar provinsi Sumatera Barat.106

Merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan bagi sebagaian besar masyarakat Minangkabau. Dengan merantau, tidak hanya harta kekayaan, ilmu pengetahuan yang mereka dapat, juga prestise dan kehormatan individu ditengah-tengah lingkungan adat. Disamping itu, banyak pula masyarakat Minangkabau merantau untuk mencari perubahan dalam kehidupan. Karena itu, walau semua perantau berasal dari keluarga petani di desa-desanya, namun tidak satupun di antara mereka yang memegang pekerjaan yang sama dengan sebelumnya di kampung halaman. Mereka dari masyarakat petani berubah menjadi pedagang, ilmuwan, pengusaha bahkan menjadi pejabat tinggi negara dan sebagainya. Dalam hal bidang usaha, para perantau Minang umumnya memilih kegiatan atau usaha yang dibutuhkan orang banyak, seperti rumah makan, tukang jahit, fotokopi, kelontong, toko buku, bidang jasa, atau kegiatan dakwah, sehingga memudahkan mereka untuk membaur dan menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya.107

105 Ibid.

106

Ibid, Hal. 653 107Ibid, Hal. 654

Seiring berjalannya waktu, pengertian merantau sekarang bukan lagi mengenai perluasan wilayah, tetapi berdagang dan mencari kehidupan baru diperantauan. Faktor lain yang mendorong orang Minangkabau untuk pergi merantau cukup banyak, di antaranya adalah karena faktor tradisi atau budaya, faktor ekonomi, pendidikan dan faktor peperangan. Adapun sebagai berikut:108

1. Faktor Budaya : ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan, sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumahnya hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan beserta suuaminya, dan anak-anak. Sedangkan kaum laki-laki, harus tidur bersama teman-teman sesama laki-laki di surau, hingga mendorong mereka untuk mencari tempat yang lebih baik, diantaranya dengan merantau.

2. Faktor Ekonomi : masyarakat Minangkabau telah mengembangkan keterampiannya di bidang pertanian, akan tetapi karena bertambahnya populasi penduduk, tanah yang tersedia tidak mencukupi lagi untuk memberi kehidupan layak bagi penduduk yang jumlahnya selalu bertambah, jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sebagai sumber utama tempat orang-orang Minangkabau hidup, dapat menghidupi keluarga. Berbeda dengan kondisi sekarang, hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka, kini tak cukup lagi memberi hasil untuk kebutuhan bersama. Sebab, hasil pertanian harus dibagi dengan beberapa keluarga. Hal inilah salah satunya, yang mendorong lelaki Minangkabau untuk pergi merantau.

3. Mendalami Ilmu : pada zaman dulu, tidak adanya sekolah dan pendidikan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi di Minangkabau, mengakibatkan banyak pelajar Minangkabau merantau, dengan tujuan mendalami ilmu. Merantau dengan tujuan mendalami ilmu, sering terbatas pada golongan/kelompok tertentu saja. Meskipun terbatas, faktor ini menjadi mampu merangsang pelajar Minang lainnya untuk merantau. Pelajar yang sukses di rantau membukakan jalan untuk pelajar berikutnya. Dan konsep asli dari merantau itu sendiri, memang untuk mencari ilmu dan pengalaman dalam rangka mempersiapkan diri lebih baik, agar dapat hidup berguna dikampung halaman nanti, sesudah kembali dari rantau.

108

4. Faktor Perang : orang Minangkabau merupakan masyarakat yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Mereka selalu merasa bangga dengan perlawanan terhadap kekuatan luar, baik dari Jawa maupun Eropa. Seperti muncul pemberontakan di Batipuh menentang tanam paksa Belanda, disusul pemberontakan Siti Manggopoh dalam perang Belasting menentang belasting dan pemberontakan komunis tahun 1926-1927. Karena itu, beberapa peperangan juga menimbulkan gelombang perpindahan masyarakat Minangkabau, terutama dari daerah konflik, setelah Perang Padri. Berikutnya setelah kemerdekaan, muncul PRRI yang juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran masyarakat Minangkabau ke daerah lain.

Dengan didorong oleh faktor-faktor tersebut, dan didukung dengan daerah perantauan yang dapat menjanjikan ketenangan dan kesuksesan, menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat Minang perantauan, sehingga masyarakat Minangkabau menjadi jarang untuk mengunjungi kampung halaman dan memilih menetap di Kecamatan Tapaktuan. Hal itu disebab juga karena kecamatan Tapaktuan merupakan daerah yang ramah penduduknya, kaya akan hasil alamnya, memiliki pesona wisata yang indah, serta memiliki kenyamanan dan ketenangan untuk ditempati.109

Menetapnya masyarakat Minangkabau di kecamatan Tapaktuan, akan menyebabkan adanya perkembangan terhadap hukum adat kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini terjadi dikarenakan terjadinya pencampuran dua adat yang berbeda. Meskipun terdapat beberapa kesamaan dalam pengaturan hukum adatnya, namun jika dilihat dari sistem kekerabatannya sudah memperlihatkan adanya perbedaan dari masing-masing masyarakat adatnya, khususnya dalam hal kewarisan.

109

Wawancara dengan Bapak Ari Kurniawan, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 10-Maret-2016 di Tapaktuan

Sebagaimana yang kita ketahui, pada masyarakat Tapaktuan yang menarik garis keturanan secara parental/ bilateral, sedangkan pada masyarakat Minangkabau menarik garis kekerabatan secara matrilinieal. sehingga terhadap hukum adat waris yang digunakan juga terdapat perbedaan, dimana Adat Aceh yang sepenuhnya di dasarkan kepada Hukum Islam, sedangkan adat Minangkabau membagi waris dengan 2 (dua) kelompok warisan, yaitu pusako tinggi untuk garis perempuan, dan pusako randahsecara hukumfara’idh.

Hukum adat Minangkabau khususnya dalam hal waris yang digunakan terhadap pembagian harta pusako tinggi sudah tidak dapat dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat Minangkabau yang berada diperantauan, mengingat pembagian harta pusaka disyaratkan harus tetap berada di daerah asal, Minangkabau. Syarat ini disebabkan pada mulanya harta pusaka diperoleh oleh nenek moyang, yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi menurut garis ibu. Sehingga penggunaan atau pengeloaan pusaka tersebut tidak berpindah dari tempat asalnya, dan tidak jatuh kepada orang lain diluar kaum.110

Ada dua bentuk harta yang menjadi milik suatu kaum, yaitu harta milik bersama kaum yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan yang merupakan harta yang diwarisi dari beberapa generasi sebelumnya.111Dan harta yang didapat dari hasil usaha sendiri dari anggota kaum, yang kemudian disebut harta pencaharian.112

110Wawancara Dengan Ibu Dasmayanti, Ketua IKAMI Tapaktuan, tanggal 28-Februari-2016 di Tapaktuan

111Amir Sjarifoedin Tj. A,Op. Cit, Hal. 189 112Amir Syarifuddin (Buku I),Op. Cit, Hal. 261

Terhadap hartapusako tinggi yang merupakan pusaka turun temurun yang berada di daerah asal Minangkabau, masyarakat Minangkabau yang menetap dan tinggal di daerah Tapaktuan pada saat sekarang ini hampir keseluruhan sudah tidak menggunakan sistem pembagianpusako tinggitersebut. Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan sudah melakukan pembagian warisan dengan mengikuti hukum adat yang berlaku di Aceh, yang juga sesuai dengan hukumfara’idh.

Hukum adat yang berlaku di Minangkabau bukan suatu hukum yang salah, melainkan suatu bentuk hukum yang tepat, dikarenakan pemberian pusaka yang ditujukan pada garis keturunan perempuan akan membawa banyak manfaat bagi anggota kaum, dikarenakan anak perempuan dapat menjaga pusaka lebih baik, jika dibanding dengan anak laki-laki, walaupun dalam pelaksanaannya anak perempuan tetap berada dalam pengawasan seorang mamak. Namun, besarnya kepercayaan dan rasa sayang yang sama besarnya terhadap anak-anak menjadikan sebagian besar masyarakat Minangkabau di Tapaktuan memilih untuk membagi warisan secara hukum adat Aceh, yang memberikan warisan kepada seluruh anak, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga seluruh anak-anaknya dapat mewarisi harta peninggalan pewaris.113

Selain rasa percaya dan rasa kasih sayang yang sama besarnya terhadap anak-anak, masyarakat Minang perantauan melakukan pembagian waris secara hukum adat yang berlaku di Aceh ( hukum fara’idh) disebabkan karena adanya

113 Wawancara dengan Ibu Musnar, Masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal l 2-Maret-2016 di Tapaktuan

pemahaman yang lebih dalam mengenai Hukum Islam khususnya dalam hal pewarisan, sehingga masyarakat Minang perantauan lebih memahami akan bagian warisan yang telah ditentukan oleh Hukum Islam. Sejalan dengan itu, masyarakat Minang perantauan sudah seharusnya mengikuti hukum adat ditempat yang menjadi daerah perantauannya.114

Meskipun hampir keseluruhan masyarakat Minangkabau dalam pelaksanaan pembagian warisan sudah menggunakan hukum adat Aceh, dan sangat memegang pepatah yang menyatakan Dimano bumi dipijak, disitu langik

dijunjung, (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung), masih juga terdapat

masyarakat Minangkabau yang membagi warisan secarapusako tinggiyang ada di kampung asal mereka, Minangkabau. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya kerabat dari masyarakat Minang perantauan yang berada di Minangkabau. Pewarisan yang disyaratkan harus berada di kampung asal pusaka ini berada, dilakukan sama halnya dengan pembagian pusako tinggi pada umumnya, yaitu dengan cara memberikan warisan kepada ahli waris anak perempuan tertua yang ditinggalkan pewaris. Namun yang menjadi pembeda antara ahli waris pusako

tinggi lainnya adalah dalam hal pengelolaannya. Pusako tinggi yang diberikan

kepada anak perempuan seharusnya dikelola dan dimanfaatkan langsung dengan sebaik-baiknya oleh anak perempuan dengan dijaga dan diawasi oleh mamaknya, namun terhadap ahli waris pusako tinggi (anak perempuan) yang berada

114

Wawancara dengan Bapak Atiak, orang yang dituakan oleh masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 13-maret-2016 di Tapaktuan

diperantauan, oleh ahli waris tersebut pengelolaannya diberikan kepada orang lain untuk menjaga pusaka tersebut selama ahli waris tersebut berada diperantauan, Bukan dikelola oleh ahli waris tersebut sendiri.115

Tabel 3 : Hasil Wawancara Responden

No. Nama Hukum Adat Yang

Digunakan Dalam Pewarisan Adat Aceh/ Hukum Islam Adat Minangkabau 1. AN √ 2. AR √ 3. AT √ 4. BR √ 5. BP √ 6. DY √ 7. ES √ 8. FA √ 9. FM √ 10. ID √ 11. JM √ 12. MA √ 13. MD √ 14. MI √ 15. MN √ 16. MZL √ 17. OR √ 18. OY √ 19 RA √ 20 RH √ 21 RM √ 22. SA 23. SC 24. SU 115

Wawancara dengan Bapak Andri, masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, tanggal 16-Maret-2016 di Tapaktuan

25. WA

26. WD

27. YD √

28. YL

No. Nama Hukum Adat Yang Digunakan Dalam Pewarisan Adat Aceh/ Hukum Islam Adat Minangkabau 29 ZS 30. ZT Jumlah 26 4

Sumber : Data Primer

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa masih terdapat perbedaan dalam penerapan hukum waris adat pada masyarakat Minangkabau yang ada di kecamatan Tapaktuan. Tidak keseluruhan masyarakat Minangkabau memakai hukum adat Minangkabau, dan juga tidak keseluruhannya memakai hukum adat Aceh. Hampir sebagian besar masyarakat Minangkabau sudah memilih menggunakan hukum adat Aceh dalam pembagian warisan, namun juga ada beberapa keluarga yang masih menerapkan hukum waris adat Minangkabau di perantauan.

Tabel 4 : Penggunaan Hukum Waris Adat Masyarakat Minangkabau Di Tapaktuan

n = 30 No. Hukum Waris Adat Yang Digunakan Frekuensi Persentase 1.

2.

Waris Adat Aceh

Waris Adat Minangkabau

26 4

86,6 13,3

Jumlah 30 100

Berkurangnya jumlah masyarakat Minangkabau yang menggunakan hukum waris adat Minangkabau dalam pembagian waris disebabkan oleh sebagaian besar masyarakat Minangkabau yang telah mengerti dan memahami makna dari pepatah yang menyatakan dimana langik dipijak disitu bumi dijunjung, yang bermakna menghargai kultur dan budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur budaya sendiri, sehingga bagi masyarakat Minangkabau hukum adat yang digunakan sekarang adalah hukum adat dimana tempat mereka tinggal dan menetap sekarang, yaitu hukum adat Aceh. Ditambah lagi hukum adat yang di gunakan di Aceh adalah sejalan dengan Hukum Islam, sehingga secara langsung masyarakat Minang perantauan juga lebih memahami mengenai pewarisan serta bagian-bagian yang ada dalam Hukum Islam. Hartapusako tinggi yang tidak dapat dibawa keluar dari kampung asal, juga menjadi hal yang dapat dimengerti oleh masyarakat Minangkabau di Tapaktuan, sehinggapusako tinggitersebut langsung diberikan kepada ahli waris yang lain yang berhak dan ada di Minangkabau.

Dokumen terkait