• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI KROMOSOM PADA ANYELIR (Dianthus caryophyllus Linn.) MUTAN (Dianthus caryophyllus Linn.) MUTAN

MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV3 Pendahuluan

V. IDENTIFIKASI KROMOSOM PADA ANYELIR (Dianthus caryophyllus Linn.) MUTAN (Dianthus caryophyllus Linn.) MUTAN

Pendahuluan Latar belakang

Dalam rangka memperbaiki kualitas tanaman hias atau bunga dan menciptakan keragaman, berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dengan pemuliaan konvensional, mutasi dan rekayasa genetika. Pada tanaman hias, program pemuliaan terutama ditujukan untuk mendapatkan tanaman yang mempunyai bunga dengan warna, ukuran dan bentuk yang unik dan beragam, sehingga dihasilkan jenis tanaman yang bernilai estetika dan komersial yang tingi.

Pemuliaan mutasi merupakan salah satu cara yang relatif mudah dilakukan untuk memperbaiki karakter tanaman dan menghasilkan keragaman, serta mempunyai keuntungan dibandingkan dengan metode persilangan. Persilangan antar varietas atau spesies kurang efisien karena adanya beberapa masalah seperti sifat inkompatibilitas dan sterilitas (van Harten 2002).

Mutasi adalah perubahan genetik secara tiba-tiba yang tidak disebabkan oleh segregasi dan rekombinasi normal (van Haten 2002). Perubahan genetik ini dapat terjadi baik pada tingkat gen maupun kromosom (Chaudhari 1971). Mutasi dimulai dari perubahan pada satu sel. Posisi serta perkembangan sel yang termutasi pada tanaman tersebut akan menentukan diwariskan tidaknya suatu mutasi. Pewarisan ini juga dipengaruhi oleh kemampuan sel mutan untuk bertahan hidup, terutama di antara sel-sel yang tidak termutasi (Broertjes dan van Harten 1988).

Mutagen (baik mutagen fisik maupun mutagen kimia) mengakibatkan tiga macam pengaruh pada jaringan yang dikenainya, yaitu kerusakan fisologis, mutasi gen (mutasi titik), dan mutasi kromosom (Gaul 1977). Kerusakan fisiologi biasanya hanya terjadi pada generasi pertama. Pengaruh terpenting dari kerusakan fisiologi ini misalnya adanya penghambatan pertumb uhan dan kematian. Studi tentang hal ini sudah banyak dilakukan oleh Sparrow (1979).

Mutasi kromosom adalah mutasi yang perubahannya dapat dilihat pada tingkat kromosom, sedangkan mutasi gen adalah mutasi yang tingkat perubahannya terjadi di tingkat gen (De Robets et al. 1960). Mutasi gen yang terjadi pada satu pasang DNA

disebut point mutation atau mutasi titik. Mutasi pada tingkat kromosom secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu mutasi yang menyebabkan perubahan struktur kromosom dan mutasi yang menyebabkan perubahan jumlah kromosom (Jusuf 2001). Jadi mutasi dapat dianalisa secara fisiologis dengan mengamati hambatan pertumbuhan atau letalitas, atau secara genetis dengan mengamati adanya aberasi kromosom, atau adanya perubahan ukuran dan jumlah kromosom.

Menurut Darnaedi (1990) informasi kromosom dapat menerangkan tingkat fertilitas, tipe reproduksi, mengamati evolusi dan membahas hubungan kekerabatan (taksonomi) suatu kelompok tumbuhan. Selain itu, informasi kromosom juga dibutuhkan untuk menunjang perbaikan genetik dan juga digunakan untuk menganalisa perubahan genetik yang terjadi. Selanjutnya Darnaedi (1990) menyebutkan lima perbedaan penting dari informasi kromosom, yaitu variasi ukuran absolut, variasi pada reaksi pewarnaan, variasi bentuk kromosom, variasi ukuran relatif dan variasi jumlah kromosom.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik secara sitologi pada mutan akibat iradiasi sinar gamma yang telah terseleksi, melalui pengujian di tingkat kromosom.

97

Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU)-IPB, kampus Darmaga, Bogor dan Laboratorium Herbarium Bogoriense, pada Bulan Desember 2004 sampai Februari 2005.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman ya ng digunakan adalah ujung akar dan pucuk meristem tanaman anyelir baik tanaman mutan maupun tanaman normal, dari tiap-tiap genotipe anyelir yang dicobakan. Bahan kimia yang diperlukan meliputi 8- hydroxyquinolin 0.002 M untuk pra perlakuan, asam asetat 45%, larutan former (15 ml asam asetat glasial + 45 ml alkohol absolut) untuk fiksasi, HCl 1N untuk maserasi dan aceto orcein 2% untuk pewarnaan.

Pengamatan kromosom mutan dilakukan menggunakan mikroskop merk Olymphus. Pemotretan dilakukan dengan camera foto Nikon Fx-35 WA, menggunakan film merk Kodak asa 400.

Metode Percobaan

Metode pengerjaan analisis kromosom ini dibagi dalam dua tahap, yaitu (1) tahap persiapan larutan dan (2) tahap pengamatan mitosis.

(1) Persiapan larutan.

Larutan hydroxyquinolin 0.002 M dibuat dengan cara melarutkan 0.3 g 8-hydroxyquinolin dalam 1 liter aquadesh pada suhu 700C, kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirer selama 1 jam sampai terlihat warna kekuningan. Larutan disimpan dalam wadah tertutup, di dalam lemari es. Larutan former dibuat dengan cara mencampur 15 ml asam asetat glasial dengan 45 ml alkohol absolut (3:1). Aseto orcein 2% dibuat dengan cara memanaskan 22.5 ml asam asetat dalam gelas reaksi sampai mendidih, diangkat, lalu dimasukkan 1 g tepung orcein sambil wadah digoyang-goyangkan selama 10 menit (suhu dipertahankan 90-950C). Setelah agak dingin, ditambahkan 27.5 ml aquadesh, dan dibiarkan hingga suhu mencapai 200C. Lalu dilakukan filtrasi di gelas lain, untuk kemudian disimpan di ruang gelap.

(2) Pengamatan mitosis.

Pembuatan preparat dilakukan dari ujung akar dan pucuk meristem daun. Pada pembuatan preparat dari akar, bagian ujung akar diambil dengan memilih bagian ujung akar yang aktif yang berwarna keputihan, kemudian dipotong hingga 1 cm. Kotoran pada akar dibuang dengan merendam dalam air dan dibersihkan bagian yang kotor, lalu ujung akar dimasukkan dalam 0,8-hydroxyquinolin selama 3-5 jam. Untuk perlakuan fiksasi sebelum pengamatan, ujung akar dimasukkan dalam air bersih, kemudian tud ung akar dibuang dan dimasukkan pada larutan (1 N HCl: acetic acid 45% = 3:1) yang terendam air bersuhu 60°C selama 1-3 menit. Setelah itu ujung akar diangkat dan dimasukkan dalam orcein. Setelah dipindahkan ke gelas preparat, ujung akar dipotong bagian ujungnya hingga 1-2 mm, kemudian ditetesi orcein. Preparat ditutup dengan cover glass, kemudian ditekan dan dipukul halus dengan pensil berkaret, setelah itu dipanaskan. Preparat dipukul halus lalu dipanaskan kembali, setelah itu preparat diamati.

Pada bagian pucuk meristem daun, pembuatan preparat dilakukan dengan mengupas bagian pucuk daun sehingga diperoleh bagian daun yang paling muda. Bagian tersebut dimasukkan dalam 0,8-hydroxyquinolin 20° C selama 3 jam dan dipindahkan dalam larutan carnoy. Kemudian disiapkan tempat lain berisi kertas tissue yang dibasahi 45% asam asetat. Orcein hydrochlorite (1% Orcein : 1 N HCl = 9:1) disiapkan kemudian materi tanaman dalam preparat diambil, lalu diurai di atas gelas preparat, di bawah binokuler dengan bantuan jarum dan ditetesi orcein sampai terendam. Materi tanaman dimasukkan pada tempat yang berisi 45% asam asetat yang sudah disiapkan sebelumnya, lalu dibiarkan selama 10-20 menit. Kemudian materi tanaman disimpan di atas preparat, ditutup cover glass, ditekan atau dipukul halus dengan pensil berkaret, dilewatkan pada api bunsen, lalu diketuk–ketuk lagi dengan karet pinsil secara hati- hati, ditekan dengan ibu jari, dan kemudian preparat siap diamati di bawah mikroskop.

Pengamatan

Pada saat pengamatan, preparat yang penyebaran kromosomnya tampak baik, dilakukan pemotretan. Dari hasil pemotretan ini secara deskriptif diamati terjadinya penyimpangan-penyimpangan kromosom seperti terbentuknya bridges, clumping, laggards akibat pemisahan yang terlalu cepat atau terlambat, dan sebagainya.

99

Pengamatan pada Analisis Kromosom

Pengamatan kromosom dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali (40 x 10). Pada preparat yang memiliki penyebaran kromosom yang baik dilakukan pengamatan dengan perbesaran 1000 kali lalu dilakukan pemotretan dengan mikroskop-foto Nikon Fx-35 WA dengan perbesaran 8 kali. Gambar hasil mikroskop-foto ini lalu discanning, diperbesar dan dicetak dengan Corel Draw versi 12. Hasil cetak gambar kromosom tersebut diperbesar untuk pengamatan jumlah dan bentuk kromosom. Rumus penghitungan luas bidang pandang yang diamati adalah :

X = F A x B x F/G X = 1 Bar (bidang pandang mikroskop pada foto) A = Perbesaran kamera

B = Perbesaran mikroskop F = Lebar foto (mm)

G = Lebar negatif film (mm)

Pengukuran kromosom dilakukan dengan satuan milimikron. Cara menentukan konversi dari satuan centimeter pada foto ke satuan milimikron, ditentukan dengan menggunakan rumus berikut ini :

Y = X F Y = Panjang objek ( ì m)

X = 1 Bar (bidang pandang mikroskop pada foto) F = Lebar foto (cm)

Contoh penghitungannya adalah :

X = 126.5 mm = 0.03 mm 8 x 100 x 126.5/24 Lebar negatif film = 24 mm

Lebar foto = 126.5 mm Perbesaran mikroskop = 100 kali Perbesaran kamera = 8 kali

Y = 0.03 mm = 2.37 ì m 12.65 cm

Dari rumus diatas diperoleh konversi 1 cm dalam gambar foto yang setara dengan 2,37 milimikron, yaitu ukuran sel sebenarnya. Tiap-tiap kromosom yang telah diamati

diberi pegenotipean dan digunting. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap lengan panjang dan pendek kromosom, lalu dihitung rasio lengan kromosom, rumusnya adalah :

C = p dimana C = Rasio lengan kromosom

q p = Lengan pendek kromosom ( ìm)

q = Lengan panjang kromosom (ìm) Contoh penghitungannya : C = 0.25 = 0.5 dimana : p = 0.25 ì m

0.5 q = 0.5 ì m

Dari nilai rasio lengan ini dapat diperoleh kategori bentuk kromosom. Fukui (1996) meyatakan bahwa pengelompokkan bentuk kromosom ditentukan berdasarkan besar rasio lengan kromosom. Bentuk-bentuk kromosom berdasarkan rasio lengan kromosom tertera pada tabel 31 berikut (Modifikasi dari Fukui 1996):

Tabel 31. Bentuk Kromosom Berdasarkan Rasio Lengan Kromosom

Bentuk Kromosom Rasio Lengan Kromosom

Metasentrik (M) 0.59 < x < 1.00

Submetasentrik (sm) 0.33 < x < 0.59

Akrosentrik atau subtelosentrik (t) 0.14 < x < 0.33

Telosentrik (T) x < 0.14

Diagram Pencar

Selanjutnya dibuat diagram pencar antara nilai rasio lengan sebagai sumbu x dan nilai panjang total kromosom sebagai sumbu y, untuk setiap genotipe kromosom. Kromosom yang terletak pada titik-titik yang berdekatan pada diagram pencar dikelompokkan sebagai kromosom homolog dan dipasangkan. Setelah diperoleh panjang kromosom lalu ditentukan panjang relatif kromosom. Fungsi panjang relatif untuk menentukan kisaran ukuran kromosom yang sama antar kromosom. Cara mendapatkan panjang relatif adalah 1000 kali panjang kromoson tertentu dibagi panjang set kromosom haploid.

PR = (p+q) X 1000 Panjang set kromosom haploid PR = Panjang relatif

p = Lengan pendek kromosom ( ìm ) q = Lengan panjang kromosom ( ìm )

101

Contoh penghitungannya :

PR = (0,25 ìm + 0,5 ìm) X 1000 = 98,2921 p = 0,25 ìm

7,3251 ìm q = 0,5 ìm

Panjang set kromosom haploid = 7,3251 ìm

Kariotipe dan idiogram

Pada pembentukan kariotipe, pasangan kromosom diurutkan berdasarkan panjang total kromosom terbesar sampai yang terkecil, dan rasio panjang lengan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Idiogram dibuat berdasarkan data kariotipe ini. Penyusunannya dilakukan dengan mengurutkan kromosom yang memiliki satelit dengan lengan pendek ke lengan panjang, dilanjutkan dengan kromosom yang tidak memiliki satelit, dimulai dari lengan terpendek sampai lengan pendek terpanjang.

Rumus kariotipe ditentukan setelah pasangan kromosom didapatkan. Setiap pasangan kromosom dihitung menurut letak sentromernya. Pasangan kromosom yang sama letak sentromernya dijumlahkan lalu ditambahkan dengan jumlah pasangan kromosom lain yang memiliki letak sentromer berbeda dengan pasangan kromosom sebelumnya. Pasangan kromosom yang memiliki satelit digolongkan pada golongan tersendiri dan diberi keterangan ’SAT’ (SAT= Sine Acido Thymonucleinico= without thymonucleic acid).

Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum

Secara umum dapat dikatakan bahwa studi mutasi secara sitologis terhadap kromosom anyelir, telah berhasil dilakukan. Walaupun demikian, mengingat kecilnya ukuran kromosom anyelir, maka pengamatan kromosom anyelir yang diambil dari ujung akar (baik planlet maupun stek pucuk) tidak dapat dilihat dengan baik. Semua kromosom yang berhasil dibuat preparatnya adalah berasal dari pucuk meristem tanaman anyelir di lapangan. Uji kromosom dilakukan pada semua genotipe anyelir mutan, namun karena tingkat kesulitan pembuatan preparat kromosom anyelir sangat tinggi (ukuran kromosom sangat kecil), maka genotipe-genotipe mutan yang berhasil dianalisis kromosomnya tidak sama antara genotipe anyelir.

Analisis kromosom yang berhasil dilakukan adalah terhadap mutan anyelir genotipe 10.8 mutan akibat iradiasi 10 dan 30 Gy; anyelir mutan genotipe 11.10 akibat perlakuan iradiasi 30 dan 60 Gy; anyelir mutan genotipe 24.1 akibat perlakuan iradiasi 15, 30, 50 dan 60 Gy, anyelir mutan genotipe 24.14 akibat iradiasi 30 dan 40 Gy, serta anyelir mutan 24.15 akibat iradiasi 30 Gy. Sebagai perbandingan terhadap kromosom tana man kontrol (anyelir normal, tanpa iradiasi), digunakan hasil penelitian Widyarti (2005). Gambar kromosom normal dari masing- masing genotipe anyelir ditunjukkan pada Gambar 33 – 37.

Gambar 33. Kromosom Gambar 34. Kromosom Gambar 35. Kromosom Anyelir 10.8 Normal Anyelir 11.10 Normal Anyelir 24.1Normal

Gambar 36 Kromosom Gambar 37 Kromosom Anyelir 24.14 Normal Anyelir 24.15 Normal

103

Diagram Pencar

Berdasarkan pengukuran terhadap lengan panjang dan lengan pendek diperoleh nilai rasio lengan masing- masing kromosom. Diagram pencar dibuat dengan meletakkan nilai rasio lengan pada sumbu X dan nilai panjang total kromosom pada sumbu Y untuk masing- masing genotipe kromosom. Kromosom yang terletak pada titik yang sama merupakan kromosom yang benar-benar homolog. Kromosom yang tidak berpasangan dipasangkan dengan kromosom yang terletak pada titik terdekatnya.

Dari hasil pengukuran terhadap rasio dan panjang lengan masing- masing genotipe, anyelir genotipe 10.8 normal hanya memiliki 7 pasang kromosom yang terletak pada titik yang sama, sedangkan anyelir genotipe 11.10 normal memiliki 13 pasang kromosom yang benar-benar homolog, karena terletak pada titik yang sama. Demikian pula dengan anyelir genotipe 24.1 normal memiliki 8 pasang kromosom yang sama, sedangkan baik anyelir genotipe 24.14 normal maupun genotipe 24.15 normal, keduanya memiliki 10 pasang kromosom yang terletak pada titik yang sama. Diagram pencar untuk masing- masing genotipe genotipe anyelir baik kromosom normal maupun kromosom mutan, dibuat untuk membantu perpasangan kromosom tersebut. Pada Lampiran 8, ditampilkan contoh hasil diagram pencar untuk kromosom normal. Selanjutnya hasil dari diagram pencar ini digunakan untuk membuat kariotipe kromosom.

Jumlah Kromosom

Dalam setiap set kromosom anyelir (Dianthus caryophyllus Linn.) terdapat 15 buah kromosom (x= 15). Jadi dalam keadaan diploid, kromosom anyelir berjumlah 30 (2n= 2x= 30). Menurut Darlington dan Wylie (1955), Dianthus caryophyllus memiliki tingkat ploidi yang cuk up tinggi, bisa mencapai hexaploid. Dalam keadaan hexaploid maka kromosomnya mencapai jumlah 90 kromosom (2n= 6x= 90). Namun semua genotipe anyelir normal yang digunakan pada penelitian ini memiliki kromosom diploid.

Hasil pengamatan kromosom lima genotipe anyelir normal ini menunjukkan bahwa semua genotipe anyelir yang dicobakan mempunyai jumlah kromosom yang sama, yaitu 2n = 2x = 30 (Gambar 33-37). Penghitungan jumlah kromosom pada kromosom-kromosom mutan anyelir disajikan pada Tabel 32.

Analisis kromo som anyelir genotipe 10.8 yang termutasi dilakukan pada mutan akibat iradiasi 10 Gy dan 30 Gy. Jumlah kromosom yang diamati pada anyelir mutan

genotipe 10.8 akibat iradiasi 10 Gy (untuk seterusnya ditulis 10.8-10Gy) adalah 2n = 30 (mempunyai 15 pasang kromosom bivalen), sehingga mutan masih bersifat diploid seperti kromosom normalnya. Namun kromosom anyelir mutan genotipe 10.8-30Gy memiliki kromosom 2n–1–1 = 28, atau pasangan kromosom 13II + 2I (13 pasang bivalen dan 2 pasang univalen) sehingga ind ividu ini diduga menjadi monosomi ganda.

Tabel 32. Jumlah Kromosom Beberapa Mutan Anyelir Akibat Iradiasi Sinar Gamma

Geno-tipe

Dosis Iradiasi Sinar Gamma (Gy)

Jumlah Kromosom Pasangan

Kromosom Tingkat ploidi 10.8 10 2n = 2x = 30 15 II Diploid 30 2n = 2x – 1 – 1 = 28 13 II + 2 I Monosomi ganda 11.10 30 2n = 2x = 30 15 II Diploid 60 2n = 2x = 30 15 II Diploid 24.1 15 2n = 2x + 1 + 1= 32 15 II + 2 I Trisomi ganda 30 2n = 2x = 30 15 II Diploid 50 2n = 2x = 30 15 II Diploid 60 2n = 2x = 30 15 II Diploid 24.14 30 2n = 2x = 30 15 II Diploid 40 2n = 2x + 1 = 31 15 II + 1 I Trisomi 24.15 30 2n = 2x = 30 15 II Diploid

Pengurangan jumlah kromosom anyelir mutan genotipe 10.8-30gy menjadi 2n–1– 1 = 28 terjadi akibat adanya kromosom yang kehilangan salah satu pasangannya yaitu pada pasangan kromosom genotipe 14 dan pasangan kromosom genotipe 15 (Gambar 38). Iradiasi bisa menyebabkan aberasi kromosom akibat terjadinya patahan pada kromosom, patahan pada kromatid, patahan pada subkromatid, patahan pada isokromatid, patahan yang menyatu kembali, pembelahan sentromer secara transversal, translokasi, inversi, dup likasi atau delesi (Sparrow 1979). Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan terjadinya perubahan jumlah kromosom, terbentuknya sel binukleus atau multinukleus, dampak pada sentromer, bahkan menyebabkan kematian inti sel (Suryo 1995). Dalam analisis sitologi terhadap daun bougenvillea dan Lantana depressa mutan (daun menjadi variegata akibat iradiasi sinar gamma), Datta, Dwivedi dan Banerji (1995) mendapatkan frekuensi kromosom abnormal yang tinggi pada sel-sel mutan, seperti clumping, micronuclei, cytomixis, bridges, laggard dan binucleate; Sementara pada kultivar asalnya, pembelahan sel somatik terlihat normal. Pengaruh iradiasi sinar gamma

105

terhadap jumlah kromosom krisan mutan telah dipelajari oleh Datta dan Banerji (1993). Berdasarkan hasil pengamatannya ternyata dari 38 krisan mutan yang diamati, terdapat penyimpangan jumlah kromosom (aneuploidy) pada sembilan kultivar krisan mutan.

Mutan pada anyelir genotipe 11.10 yang dilakukan analisis kromosomnya adalah mutan akibat iradiasi 30 Gy dan 60 Gy. Tingkat ploidi kedua mutan ini masih sama dengan tanaman normalnya, yaitu diploid, karena jumlah kromosomnya 2n = 2x = 30.

Anyelir genotipe 24.1 menghasilkan mutan akibat iradiasi sinar gamma yang terbanyak, dibandingkan genotipe- genotipe anyelir lainnya. Pada analisis kromosom ini diuji mutan 24.1 akibat iradiasi 15, 30, 50 dan 60 Gy. Pada keempat mutan ini, hanya mutan akibat perlakuan 15 Gy yang memperlihatkan perubahan, yaitu munculnya 2 buah kromosom tambahan, atau terdapat dua kromosom yang tidak berpasangan, sehingga pasangan kromosom menjadi 15II + 2I (15 pasang bivalen dan dua pasang univalen). Penambahan kromosom bisa terjadi karena adanya patahan akibat iradiasi. Patahan yang terjadi akibat paparan sinar gamma dapat menimbulkan kromosom yang berbeda ukurannya dengan kromosom normal, dan juga dapat menghasilkan kromosom tambahan pada salah satu inti sel anakan, namun berkurang pada inti sel anakan yang lain.

Fenomena ini dikemukakan pada teori Breakage-fusion-bridge Cycle oleh McClintock (1941) pada jagung (Schulz dan Scheffer 1980). Dalam teori ini dijelaskan bahwa kromosom cincin yang terbentuk akibat patahan/ delesi interstitial, pada saat profase akan terjadi duplikasi sehingga memiliki dua sentromer, yang masing- masing sentromer akan pergi ke kutub yang berbeda saat anafase. Akibatnya terbentuk jembatan sehingga kedua kutub saling tarik menarik, dan kembali terjadi patahan. Bila patahan ini tidak seimbang, maka kromosom pada anak sel yang terbentuk akan tidak sama, sehingga kromosom pada satu sel mengalami delesi, sedangkan pada sel lain mengalami duplikasi.

Kromosom Anyelir Mutan Genotipe 24.14 juga mengalami perubahan akibat iradiasi sinar gama 40 Gy, yaitu mengalami penambahan satu buah kromosom. Mekanisme serupa dengan mutan 24.1-15Gy bisa terjadi pada mutan 24.14-40Gy ini.

Panjang Kromosom

Salah satu ciri morfologi yang biasa digunakan untuk menandai suatu genotipe kromosom yaitu ukuran panjang kromosom. Secara umum panjang total kromosom

kelima genotipe anyelir ini berada pada kisaran antara 0.2-0.6 µm. Tabel 33 memperlihatkan ukuran lengan panjang dan pendek, panjang total, dan panjang relatif kromosom lima genotipe anyelir normal dan mutan.

Fukui (1996) menyatakan bahwa berdasarkan ukuran rata-rata panjang kromosom, kromosom dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu kromosom tipe besar (large type atau L-type) dan tipe kecil (small type atau S-type). Kromosom yang termasuk dalam kelompok tipe besar adalah kromosom yang mempunyai rata-rata panjang kromosom antara 8-10 µm atau lebih seperti pada genus Lilium, Tritic um, dan Secale. Kromosom tipe kecil adalah kromosom yang mempunyai rata-rata panjang antara 1-3 µm atau lebih kecil lagi, seperti pada genus Zea dan Chrysanthemum. Berdasarkan pengelompokkan tersebut tanaman anyelir termasuk dalam kelompok tanaman dengan tipe kromosom kecil. Panjang pasangan kromosom homolog untuk masing- masing genotipe anyelir normal dan mutan disajikan pada tabel Lampiran 9, Tabel 9A-9P.

Tabel 33. Kisaran Ukuran Kromosom Beberapa Genotipe Anyelir Normal dan Mutan Akibat Iradiasi Sinar Gamma

Genotipe -Perlakuan Lengan Panjang (µµM) Lengan Pendek (µµM) Panjang kromosom(µµM) Panjang Relatif 10.8 kontrol 0.120 – 0.380 0.070 – 0.180 0.190 – 0.500 34.36-90.42 10.8-10 Gy 0.220 – 0.490 0.130 – 0.370 0.380 – 0.830 44.68-95.74 10.8-30 Gy 0.170 – 0.520 0.110 – 0.280 0.310 – 0.670 42.92-92.27 11.10 kontrol 0.210 – 0.460 0.090 – 0.210 0.330 – 0.650 49.11-96.73 11.10-30 Gy 0.144 – 0.447 0.105 – 0.184 0.249 – 0.617 40.38-100.1 11.10-60 Gy 0.131 – 0.369 0.105 – 0.157 0.236 – 0.526 39.97-89.09 24.1 kontrol 0.140 – 0.280 0.070 – 0.220 0.210 – 0.500 36.21-98.43 24.1-15 Gy 0.094 – 0.402 0.071 – 0.206 0.165 – 0.532 31.66-102.1 24.1-30 Gy 0.112 – 0.214 0.081 – 0.122 0.193 – 0.336 48.03-83.62 24.1-50 Gy 0.095 – 0.237 0.095 – 0.118 0.141 – 0.332 37.89-88.58 24.1-60 Gy 0.127 – 0.356 0.076 – 0.176 0.203 – 0.508 38.05-95.22 24.14 kontrol 0.330 – 0.740 0.070 – 0.400 0.400 – 1.020 35.09-89.47 24.14-30 Gy 0.094 – 0.255 0.075 – 0.113 0.169 – 0.349 41.77-86.26 24.14-40 Gy 0.124 – 0.240 0.071 – 0.115 0.195 – 0.320 52.25-85.75 24.15 kontrol 0.120 – 0.340 0.080 – 0.150 0.200 – 0.490 39.92 – 97.8 24.15-30 Gy 0.150 – 0.250 0.070 – 0.130 0.220 – 0.380 48.03-82.97

107

Pada Tabel 33, tampak panjang total, panjang lengan panjang maupun panjang lengan pendek pada kromosom anyelir 10.8 mutan yang diradiasi sinar gamma 10 Gy maupun 30 Gy berada pada kisaran yang lebih panjang dari kromosom normalnya. Begitu pula dengan panjang relatifnya, memiliki kisaran yang relatif lebih panjang dari kromosom normalnya.

Beberapa kemungkinan yang dapat mengakibatkan ukuran kromosom memanjang bisa terjadi, misalnya akibat terjadinya peristiwa duplikasi, karena perlakuan mutagen

dapat menginduksi terjadinya duplikasi kromosom (IAEA 1977). Walaupun

kemungkinannya kecil, tapi duplikasi terminal pada kedua utas DNA dapat mengakibatkan pemanjangan kromosom. Hal ini dapat terjadi akibat pengulangan materi kromosom dalam kromosom homolognya. Studi duplikasi gen pada Pisum sp. (Lamprect 1953 dalam IAEA 1977) menunjukkan dari 10 pasang kromosom, 7 pasang memiliki morfologi yang sama, 2 pasang agak beda dan 1 pasang sama sekali beda dari tetuanya.

Iradiasi sinar gamma dengan dosis 30 dan 60 Gy pada genotipe 11.10 dan dosis 30 dan 40 Gy pada genotipe 24.14 tampak menghasilkan kromosom dengan ukuran yang lebih pendek dibandingkan ukuran kromosom normalnya (Tabel 33). Mutagen dapat menyebabkan aberasi kromosom, yang dapat mengakibatkan perubahan yang dapat dilihat sampai pada tingkat morfologi, dapat menurunkan viabilitas, bahkan dapat menyebabkan kematian. Pengurangan ukuran kromosom bisa diakibatkan oleh delesi pada seluruh lengan kromosom dalam kejadia n gagal berpisah, delesi pada segmen panjang dari satu lengan kromosom, atau delesi pada satu kromomer dari sebuah kromosom (IAEA 1977).

Pada mutan anyelir genotipe 24.1, perlakuan iradiasi 60 Gy secara visual belum memperlihatkan akibat yang jelas terhadap ukuran kromosom, namun pada perlakuan 30 dan 50 Gy, tampak ukuran kromosom yang diha silkan cenderung lebih pendek dibandingkan kromosom normalnya. Fase sel pada saat pembuatan preparat kromosom dilakukan juga harus diperhatikan. Pada profase awal, ukuran kromosom akan relatif lebih panjang dibandingkan dengan saat metafase dimana semua benang kromosom sudah berada di bidang ekuator, kromosom menebal dan memendek.

Menurut Suryo (1995) panjang relatif sebuah kromosom adalah sama dengan 1000 kali panjang kromosom tertentu dibagi dengan jumlah panjang set kromosom haploid. Ukuran panjang relatif ini berguna untuk mengetahui kisaran ukuran kromosom

yang sebenarnya. Jika dilihat dari ukuran panjang relatif, tidak terdapat perbedaan yang terlalu menyolok. Panjang relatif pada kromosom anyelir 10.8 normal berkisar antara 34.36-90.42, sedangkan panjang relatif kromosom anyelir mutan 10.8-10gy berkisar antara 44.68 – 95.74; dan panjang relatif mutan 10.8-30gy berkisar antara 42.92– 92.27. Panjang relatif kromosom pada mutan 11.10-30gy menghasilkan kisaran yang lebih lebar, menunjukkan semakin bervariasinya ukuran kromosom dalam sel mutan tersebut, dibanding tanaman normalnya. Deskripsi kromosom anyelir lima genotipe anyelir normal dan mutannya dapat dilihat pada Lampiran 9.

Bentuk dan Kariotipe

Berdasarkan letak sentromernya, terdapat tiga macam bentuk kromosom tanaman anyelir ini, yaitu metasentrik, subme tasentrik, dan akrosentrik (Lampiran 9, Tabel 9A-9P). Namun sebagian besar kromosom anyelir normal berbentuk submetasentrik (sekitar 50 % di tiap genotipe), yaitu bentuk kromosom dengan rasio lengan antara 0.33-0.59 µm. Tabel 34. Rumus Kariotipe Beberapa Genotipe Anyelir Normal dan Kromosom

Mutannya Akibat Iradiasi Sinar Gamma

Genotipe -perlakuan Rumus Kariotipe

10.8 kontrol 2n = 2x = 30 = 2m + 8sm + 1sm (SAT) + 4 t 10.8-10 Gy 2n = 2x = 30 = 8m + 1m(SAT) + 5sm + 1 t 10.8-30 Gy 2n = 2x -1-1 = 28 = 4m + 1 m(SAT) + 9 sm + 1 t 11.10 kontrol 2n = 2x = 30 = 3m + 1m (SAT) + 11 sm 11.10-30 Gy 2n = 2x = 30 = 6m + 7 sm + 1sm (SAT)+ 1 t 11.10-60 Gy 2n = 2x = 30 = 3m + 1m (SAT) + 11 sm 24.1 kontrol 2n = 2x = 30 = 4m + 10sm + 1sm (SAT) 24.1-15 Gy 2n = 2x + 1 + 1 =32= 6m +7sm + 1 sm(SAT) +1 t 24.1-30 Gy 2n = 2x = 30 = 4m + 10 sm + 1 sm (SAT) 24.1-50 Gy 2n = 2x = 30 = 4m + 9 sm +1 sm (SAT) + 1 t 24.1-60 Gy 2n = 2x = 30 = 5m + 8 sm + 1sm (SAT) 1 t

24.14 kontrol 2n = 2x =30 =2 m+ 6 sm +1 sm (SAT) +5 t +1 t (SAT)

24.14-30 Gy 2n = 2x = 30 = 5m + 9 sm + 1sm (SAT)

24.14-40 Gy 2n = 2x + 1 = 31 = 2m + 1m (SAT)+ 12 sm

24.15 kontrol 2n = 2x = 30 = 1m + 13sm + 1sm (SAT)

24.15-30 Gy 2n = 2x = 30 = 7m + 7 sm + 1sm (SAT)

109

Kromosom dengan bentuk akrosentrik hanya ditemukan pada anyelir normal genotipe