• Tidak ada hasil yang ditemukan

sekolah Initiati ve vs guilt Keluarg a Bermain Keguna an, keberan ian Ketidakpe dulian-berdiam diri IV (7-12) Usia sekolah Industr i vs isolatio n Bertem an dan sekolah Menyelesaika n sesuatu, bekerjasama Kompet ensi Keahlian sempt-kelamban an V (12-18) Remaja Identit y vs identity cofusio n Teman, geng role modes Menjadi diri sendiri, berbagi dengan orang lain Kesetia an, loyalita s Fanatisme -penolakan VI (usia 20-an) Pemuda Intima cy vs isolatio n Teman-teman Menemukan jati diri dalam diri orang lain Cinta Rasa cuek-keterkucil an VII (akhir 20-an sampai 50-an) Separuh baya Genera tivity vs stagna si Rumah tangga, rekan kerja Mencipta, menjaga Kepedu lian kebijak sanaan Terlalu peduli-penolakka n VIII (usia 50-an dan seterusny a) Manula Integrit y vs despair Kehidu pan manusia Memasrahka n diri, merasa cukup, menanti ajal Kesombo ngan, putus asa

Sumber:Delapan Tahap menurut Erikson (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007:103)

32

Berikut ini penjelasan tentang delapan tahap perkembangan menurut Erikson.

a) Trust vs mistrust

Erikson (1968: 47) mengungkapkan Masa bayi (infancy) ditandai dengan adanya kecenderungan trust vs mistrust

(kepercayaan vs kecurugaan). Tahap ini berlangsung dari tahap oral, kira-kira pada usia 0-1 tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan

Perilaku bayi disadari oleh dorongan mempercayai atau mencurigai orang-orang di sekitarnya. Bayi mempunyai tugas untuk mengembangkan rasa percaya tanpa sama sekali menghapus kapasitas untuk curiga. Jika orang tua dapat memberi kualitas keakraban secara konsisten dan kontinyu pada individu, kemudian individu mengembangkan bahwa dunia, khususnya dunia sosial adalah tempat yang aman, maka orang bisa percaya dan dicintai. Individu belajar percaya pada tubuhnya dan memenuhi keinginan biologisnya. Kondisi atau kualitas kearaban dan kehangatan yang diciptakan orang tua yang terlalu melindungi anaknya akan diakhiri dengan tangisan yang menjadikan individu pada tendensi maladaptif (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 104).

33

b) Authonomy vs shame, adoubt

Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan Authonomy vs shame, adoubt (kemandirian, malu dan ragu-ragu). Tahap ini individu berapa pada usia 8 bulan sampai ¾ tahun (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 104). Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu (Erikson, 1968: 47).

Apabila dalam menjalankan hubungan antara anak dan orang tuanya terdapat suatu sikap yang baik, maka dapat menjadi anak yang mandiri. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anak bersikap kalah, maka anak dalam perkembangannya mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Jika orang tua berusaha mengeksplorasi dan menjadikan anak mandiri, anak berasumsi bisa melakukan apa yang ingin dilalukannya. Jika orang tua menertawakan saat anak belajar maka anak merasa malu dan ragu pada kemampuannya (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 104-105). Perlu diingat memiliki sedikit rasa malu dan ragu juga sangat diperlukan. Hal tersebut memiliki fungsi tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini anak berkembang kearah

impulsiveness (terlalu menuruti kata hati). Berbanding terbalik apabila anak terlalu memiliki perasaan malu ragu membawa pada sikap compulsiveness (Erikson, 1968: 48).

34 c) Initiative vs guilt

Masa pra sekolah (pre school age) ditandai adanya kecenderungan Initiative vs guilt (inisiatif vs kesalahan). Tahap ini individu berusia 3 sampai 6 tahun. Anak belajar untuk berinisiatif tanpa terlalu banyak merasa bersalah. Inisiatif maksudnya respon positif pada tantangan dunia, bertanggung jawab, belajar keahlian baru, dan merasa bermanfaat. Orang tua mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan adalah anak mampu mewujudkan idenya (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 105). Tetapi semua terbalik apabila tujuan anak mengalami hambatan sehingga berdampak kurang baik pada dirinya. anak merasa berdosa, sering merasa bersalah, atau malah mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri apa yang telah dilakukan.

Akibat dari perasaan bersalah anak adalah ketidakpedulian. Ketidakpedulian terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat mudah mengelolanya. Jika orang tersebut memiliki rencana yang baik tentang sekolah, cinta atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain. Orang tersebut menyingkirkan orang lain yang menghalangi rencananya. Akan tetapi, apa bila anak mendapat pola asuh yang salah mereka selalu bersalah. Krisis yang terjadi pada keduanya harus diseimbangkan. Sikap yang tepat untuk meyeimbangkannya dengan menambahkan bahwa

35

keberanian dan kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman tentang keterbatasan dan kesalahan yang dilakukan sebelumnya (Erikson, 1968: 49).

d) Industri vs isolation

Masa sekolah (school age) ditandai adanya kecenderungan

Industri vs isolation. Tahap ini individu berusia 6 sampai 12 tahun. Tugasnya adalah mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari rasa rendah diri. Saat anak berada ditingkat sosialnya bertambah luas, dari lingkungan keluarga merambah kelingkungan sekolah (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 106).

Tingkat ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya fantasi. Anak pada usia ini dituntut untuk merasakan bagaimana rasanya berhasil, baik di sekolah maupun di tempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan sikap rajin. Berbeda jika anak tidak dapat meraih sukses karena merasa tidak mampu, anak mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peran orang tua dan guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini (Erikson, 1968: 50). Tujuan utama tahap ini adalah mengembangkan kepribadian dengan sentuhan rendah diri agar anak tetap sederhada sehingga memiliki kompetensi.

36 e) Identity vs identity cofusion

Tahap kelima merupakan tahap remaja (Adolesncence)

ditandai adanya kecenderungan Identity vs identity cofusion

(identitas vs kecenderungan identitas). Masa ini dimulai ketika memasuki masa pubertas dan berakhir pada usia 18/20 tahun. Tugas utama pada tahap ini adalah mencapai identitas dan menghindari kebingingan. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan pada tahap ini (Erikson, 1968: 51).

Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peran penting, karena melalui tahap ini individu harus mencapai identitas diri. Maksudnya adalah memahami siapa dirinya dan bagaimana terjun ketengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah, namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Untuk itu remaja membutuhkan semua yang telah dipelajarinya tentang dirinya sendiri serta kehidupan yang membentuk gambaran dirinya.

Bila remaja berhasil menyelesaikan tahap ini, maka menemukan tujuan yang oleh Erikson disebut dengan fidelity

(kesetiaan). Kesetiaan berarti kepatuhan, mampu untuk hidup dengan dasar komunitas meskipun didalamnya tidak didapati adanya kesempurnaan dan kesinambungan. Remaja tidak

37

membicarakan kesetiaan yang buta, dan remaja juga tidak membicarakan tentang penerimaan pada kesempurnaan. Pada akhirnya bila remaja mencintai kelompoknya, remaja menemukan hal itu menjadi yang terbaik yang yang bisa diraih. Tetepi kesetiaan di sini bisa berarti remaja telah menemukan tempat dalam sebuah komunitas di mana remaja dapat kesempatan untuk kontibusi (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 109-110). f) Intimacy vs isolation

Masa dewasa awal (young adulthood) masa ini rejadi pada usia 20 sampai 30 tahun. Ditandai dengan adanya kecenderungan

Intimacy vs isolation. tugas utama tahap ini adalah untuk mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindari dari sikap meyendiri (Erikson, 1968: 55).

Tahap ini diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah “pacaran”. Hal ini menunjukan kelekatan dengan orang lain. Pemahaman kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerjasama yang terjalin dengan orang lain. Jika individu tidak berhasil melawatinya maka terjadi kecenderungan mal adaptif. Kecenderungan ini terlihat dari sikap mengisolasi diri dari semuanya (dari cinta, pertemanan dan komunikasi) serta mengembangkan rasa benci yang pasti pda komunitas (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 109-110).

38 g) Generativity vs stagnasi

Masa dewasa ini berusia 30 sampai 60 tahun dengan ada kecenderungan Generativity vs stagnasi. Pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pemahamannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak. Meskipun pemahaman dan kecakapan individu cukup luas, tetapi tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan. Individu mengalami hambatan untuk mengerjakan atau mencapai hal-hal tertentu.

Tugas utama pada tahap ini adalah mengelola keseimbangan antara gairah hidup dengan stagnasi (kejenuhan). Generativity

(generativitas) merupakan perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi mendatang. Melalui generativitas dapat dicerminkan sikap mempedulikan orang lain. Pemahaman ini berbeda dengan stagnasi. Stagnasi adalah pemujaan terhadap diri sendiri sehingga tidak peduli dengan orang lain. Harapan yang ingin dicapai pada tahap ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dengan stagnasi. Keseimbangan ini untuk mendapatkan kepedulian (Erikson, 1968: 56).

h) Integrity vs despair

Tahap terakhir dalam teori Erikson berada pada tahap usia senja. Individu pada tahap ini berusia 60 tahun ke atas. Masa hari

39

tua (senescance) ditandai dengan adanya Integrity vs despair

(integrasi vs keputusasaan). Pada masa ini semua individu telah memiliki kesatuan (integritas pribadi). Semua yang telah dikaji dan didalami telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin individu masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang dicapainya tetapi karena faktor usia, kecil kemungkinan untuk dicapai. Dalam situasi ini individu merasa seperti putus asa.

Individu yang berhasil sampai tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tugas sebelumnya. Tugas pada usia ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Individu harus mencapai keseimbangan antara integritas dan kecemasan guna memeperoleh suatu sikap kebijaksanaan (Erikson, 1968: 57).

2) Perkembangan Identitas Diri Menurut Marcia

Tokoh lain yang menjelaskan tentang identitas diri adalah James Marcia. Marcia (Santrock, 2007: 193) menyebutkan bahwa perkembangan identitas diri juga merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan tidak diawali atau tidak diakhiri pada masa remaja saja. Pembentukan identitas diri mulai dari munculnya kelekatan

(attachment), perkembangan suatu pemikiran tentang diri, dan munculnya kemandirian di masa anak-anak serta mencapai fase terakhir dengan pemikiran kembali tentang hidup dan pengintegrasian

40

di masa tua. Pembentukan identitas diri tidak terjadi secara teratur, tetapi juga tidak terjadi secara tiba-tiba. Menurut Marcia (Santrock, 2007: 193) identitas diri seseorang dinilai dari dua sudut pandang sebagai berikut:

a) Eksplorasi

Marcia menggunakan istilah esplorasi (eksploratoin) untuk salah satu periode perkembangan identitas. Marcia mendefinisikan eksplorasi sebagai suatu periode perkembangan identitas di mana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang bermakna (Santrock, 2007: 193).

b) Komitmen

Komitmen (commitment) merupakan bagian dari perkembangan identitas diri. Marcia mendefinisikan komitmen sebagai investasi pribadi tentang hal-hal yang hendak individu lakukan (Santrock, 2007: 193).

c. Status Identitas Diri

Marcia (Santrock, 2007: 193) membagi status identitas menjadi empat yaitu identity diffusion, identity forclosure, identity moratorium, dan

identity achivement. Melalui keempat status identitas tersebut, Marcia mengklasifikasikan individu. Adapun ke empat status identitas tersebut dapat di lihat pada tabel 2.

41

Tabel 2. Klasifikasi Status Identitas Diri Menurut Marcia

Sudahkah seseorang membuat komitmen

Sudahkah seseorang mengeksplorasi alternatif-alternatif yang bermakna dalam mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut identitas? Sudah Belum Sudah identity achivement identity moratorium Belum identity forclosure identity diffusion

Sumber : Status Identitas (Santrock, 2007: 193)

Berikut ini penjelasan tentang status identitas diri Marcia: 1) Identity diffusion

Status yang pertama identity diffusion (tidak ada komitmen, tidak ada eksplorasi). Identity diffusion adalah istilah yang digunakan Marcia bagi remaja yang belum pernah mengalami eksplorasi alternatif-alternatif yang bermanka) ataupun membuat suatu komitmen apapun (Santrock, 2007: 193). Status ini ditandai oleh ketidakadaan komitmen dan kurangnya pertimbangan serius terhadap berbagai alternatif yang tersedia. Remaja tidak yakin akan dirinya sendiri dan cenderung tidak kooperatif. Dalam kategori ini remaja cenderung tidak bahagia (Papalia, 2008: 591). Remaja dengan status ini yaitu remaja yang mengalami kebingungan tentang siapa dirinya dan mau apa dalam hidupnya. Remaja pada status ini memungkinkan berbuat hal negatif, seperti aktivitas perusakan, obat atau alkohol atau menarik dari fantasi gilanya (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 109). Menurut Agoes Dariyo (2004: 85) orang tipe ini yaitu oarng yang

42

mengalami kebingungan dalam mencapai identitas dirinya. ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki kemauan (tekad, komitmen) untuk menyelesaikannya.

2) Identity forclosure

Status yang kedua adalah Identity forclosure (komitmen tanpa eksplorasi). Identity forclosure adalah istilah yang digunakan Marcia bagi remaja yang telah membuat suatu komitmen, namun belum pernah mengalami krisis atau mengeksplorasi alternatif-alternatif yang berarti (Santrock, 2007: 193). Ramaja pada status ini tidak banyak pertimbangan dan cenderung melakukan rencana yang telah disiapkan orang lain untuk dirinya, karena memiliki ikatan keluarga yang sangat kuat, patuh dan cenderung mengikuti pimpinan yang tepat (orang tua), yang tidak menerima penolakan (Papalia, 2008: 591). Dengan demikian remaja dengan status ini belum memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan ideologi dan pekerjaannya sendiri (Santrock, 2007: 591). Menurut Agoes Dariyo (2004:84) individu berstatus ini ditandai dengan seringkali banyak angan-angan yang akan dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan masalah yang dihadapi. Akibatnya, orang tipe ini ketika dihadapkan dengan masalah realitas, tidak mampu menghadapinya dengan baik. Bahkan terkadang, ia melakukan mekanisme pertahanan diri seperti: rasionalisasi, regresi, pembentukan

43

reaksi, dan sebagainya sebagai usaha untuk menutupi kelemahan dirinya.

3) Identity moratorium

Status yang ketiga adalah Identity moratorium (Eksplorasi tanpa komitmen). Identity moratorium adalah istilah yang digunakan Marcia bagi remaja yang berada dipertengahan eksplorasi, namun tidak memiliki komitmen yang terlalu jelas (Santrock, 2007: 194). Remaja yang berada pada status ini sedang mengembangkan berbagai alternatif (dalam eksplorasi) dan akan mengarah pada komitmen (Papalia, 2008: 591). Individu pada status ini cenderung dikuasai oleh prinsip kesenangan dan egoisme pribadi. Apa yang dilakukan sering kali menyimpang dan tidak pernah sesuai dengan masalahnya. Akibatnya, ia mengalami stagnasi perkembangan artinya seharusnya ia telah mencapai tahap perkembangan yang lebih maju. Namun karena ia terus-menerus tidak mau menghadapi dan/atau menyelesaikan masalahnya (Agoes Dariyo, 2004: 84).

4) Identity achivement

Status yang keempat adalah Identity achivement (eksplorasi yang mengarah pada komitmen). Identity achivement adalah istilah yang digunakan oleh Marcia bagi remaja yang telah melewati atau mengatasi eksplorasi identitas dan telah membuat komitmen (Santrock, 2007: 194). Marcia menyebutkan dalam riset pada

44

sejumlah kultur menemukan bahwa remaja dalam kategori ini lebih matang dan kompeten dalam relasi dibandingkan remaja dalam tiga kategori lainnya (Papalia, 2008: 591). Seorang dikatakan telah memiliki identitas diri (jati diri) jika dalam dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru, dengan adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun dalam kenyataanya, ia harus mengalami kegagalan tetapi bukanlah akhir dari upaya untuk mewujudkan potensi pribadinya (Agoes Dariyo, 2004:84).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa status identitas dapat dibagi menjadi empat yaitu identity diffusion, identity forclosure, identity moratorium, dan identity achivement. Individu yang mengetahui posisinya ada di mana maka akan lebih memudahkannya untuk mencapi identitas diri.

d. Karakteistik Remaja yang Memiliki Identitas Diri

Menurut Santrock (2007:191) mengungkapkan bahwa remaja dinyatakan memiliki identitas diri, jika di dalam dirinya telah melewati masa krisis dengan baik dan penuh tekad. Dengan adanya krisis mendorong remaja untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah-masalahnya dengan baik. Semakin remaja mengatasi krisis, semakin baik perkembangannya. Erikson (Desmita, 2006: 191) menambahkan bahwa remaja yang berhasil mencapai status

45

identitas diri yang stabil, memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, pemahami persamaan dan perbedaan dengan orang lain, menyadari kekurangan dan kelebihan dalam dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat.

Sedangkan pendapat Agoes Dariyo (2004: 80-82) mengatakan bahwa remaja dikatakan mampu melewati krisis identitasnya apa bila remaja mampu memahami dirinya, memiliki konsep diri yang positif, dapat mengevaluasi dirinya dengan baik, mampu menghargai dirinya, yakin atas kemampuan yang dimiliki, mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi, bertanggung jawab, tekun dalam menjalankan tekadnya, serta tidak tergantung pada orang lain. Sedangkan Purnama (Nita Qisthi Hardiyanti, 2012: 33) menjelaskan secara rinci ciri-ciri remaja yang memiliki identitas diri, yaitu: (a) konsep diri (self concept), (b) evaluasi diri (self evaluation), (c) harga diri (self esteem), (d) efikasi diri (self efficacy), (e) kepercayaan diri (self confidance), (f) tanggung jawab

(responsibility), (g) komitmen (commitment), (h) ketekunan (endurance),

(i)mandiri (independence).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik remaja yang dikatakan memiliki identitas diri adalah remaja memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami persamaan dan perbedaan dengan orang lain, menyadari kekurangan dan

46

kelebihan dalam dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, bertanggung jawab, mandiri, serta mengenal perannya dalam masyarakat.

e. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Identitas Diri

Dalam teorinya Marcia menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi identitas. Adapun tabel yang menjelaskan fakot-fakot yang mempengaruhi identitas diri menurut Marcia adalah sebagai berikut: Tabel 3. Faktor-faktor Pembentuk Status Identitas Menurut James Marcia

Faktor identity achivement identity moratorium identity forclosure identity diffusion

Keluarga Orang tua supportif, perhatian dan mempercay ai anak Orang tua tidak menerima sikap dan perasaan anak, orang tua tidak mendengarka n keluahan dan keinginan anak Orang tua tidak punya aturan yang jelas, anak bingung terhadap otoritas orang tua Orang tua permisif, tidak berwibawa, dan tidak memberikan arahan dan bimbingan dengan baik. Kepribadia n Anak punya kekeuatan ego, kemandiria n, kontrol diri internal, akrab, percayadiri, inisiatif, kreatif dan berprestasi Anak tergantung, kontrol diri eksternal, cemas, tidak percaya diri Anak cemas, takut gagal, egois kurang percaya diri, harga diri/konseep diri rendah Perkembanga n konsep diri anak lambat, kemampuan kognitif tidak berfungsi, dengan baik, ragu-ragu, pasif tidak inisiatif

47

Berdasarkan tabel faktor-faktor pembentuk status identitas menurut Marcia (tabel 3) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan identitas diri pada remaja adalah sebagai berikut:

1) Keberhasilan atau kegagalan melewati krisis normatif pada tahap-tahap sebelumnya.

2) Faktor-faktor sosial atau lingkungan, baik pengaruh manusia-manusia yang berinteraksi dengan individu maupun pranata-pranata sosial yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat.

3) Ideologi atau nilai-nilai etis dan kebenaran yang diakui dan dianut sebagai prinsip hidup.

4) Proses pengamatan dan refleksi terhadap kehidupan pribadi maupun di luar diri individu.

Kunnen dan Bosman (Nita Qisthi Hardiyanti, 2012: 35) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas diri seseorang, sebagai berikut:

a) Kepribadian

Perkembangan identitas diri remaja juga dipengaruhi oleh kepribadiannya. Derlega (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2007: 3) mengartikan keperibadian adalah sistem yang stabil tentang kerakteristik individu yang bersifat eksternal, yang berkontribusi terhadap pemikiran, perasaan dan tingkah laku yang konsisten. Remaja dengan kepribadian yang sehat mampu menilai dirinya sebagaimana

48

adanya, baik kelebihan maupun kekeurangan/kelemahan yang menyangkut fisik dan kemampuannya.

b) Keluarga

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam mengembangkan adalah sosok penting dalam perkembangan identitas diri remaja. Dalam studi-studi yang mengaitkan perkembangan identitas dengan gaya pengasuhan, ditemukan bahwa orang tua demokratis mengembangkan identity achievement. Sebaliknya orang tua yang otoriter mengembangkan identity forclosure. Orang tua yang permisif mengembangkan identity disffusion (Santrock, 2007: 195-196)

c) Teman sebaya

Teman sebaya menjadi sosok yang dibutuhkan oleh remaja. Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika (2006: 60) mengatakan bahwa melalui teman sebaya dapat membantu remaja untuk memahami identitas diri. Teman sebaya ikut berperan dalam membantu remaja untuk melakukan eksplorasi dan menetapkan pilihannya dalam perkembangan identitas melalui dukungan emosi dan teman diskusi. d) Sekolah dan komunitas

Hurlock (Yusuf Samsul & Nurihsan Juntika, 2006: 54) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu perkembangan peserta didik baik dalam cara berfikir, bersikap maupun cara beribadah. Sekolah dan komunitas memberikan kesempatan pada

49

remaja untuk mengembangkan identitas dirinya melalui berbagai cara. Misalnya, mengadakan ekstrakulikuler yang mendukung perkembangan identitas diri remaja, memfasilitasi diskusi untuk pilihan studi lanjutan dan pekerjaan, mengadakan konseling untuk remaja, dan memberikan pelatihan untuk remaja.

e) Masyarakat

Konteks budaya dan sejarah mempunyai pengaruh terhadap perkembangan identitas diri remaja. Tuntutan peran dari masyarakat luas mendorong remaja melakukan eksplorasi dan komitmen, sehingga terbentuk identitas diri. Dengan demikian masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat dalam pembentukan status identitas remaja.

Sedangkan menurut Fuhrmann (1990:370-371) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas diri yaitu pola asuh orang tua, sifat individu itu sendiri, homogenita lingkungan, perkembangan kognisinya, pengalaman masa kanak-kanak, pengalaman kerja, interaksi sosial, dan kelompok teman sebaya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan identitas diri yaitu pengaruh pola asuh orang tua, kepribadian individu itu sendiri, teman sebaya, pengaruh lingkungan sekolah, komunitas maupun masyarakat dapat mempengaruhi terbentuknya identitas diri pada remaja.

50

3. Remaja

a. Pengertian Masa Remaja

Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Mohammad Ali & Mohammad Asrori, 2008: 9).

Santrock (2003: 26), remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Perubahan biologis, kognitif, dan

Dokumen terkait