• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan budaya Jawa tentang segala mitos Perempuan Jawa selalu diperhadapkan dengan konflik dalam keluarga, gereja dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, Perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan yang dapat menjalani hidup secara independen, percaya akan kemampuan dirinya, mampu menampilkan dirinya sebagai pribadi yang utuh, serta memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap tindakan yang merugikan kaumnya dalam hidup berkeluarga, bernegara maupun bergereja. Seorang perempuan Jawa yang ideal juga harus mampu berjuang menuntut hak-hak kaumnya yang selama ini terbelenggu oleh si perempuan sistem patriakal. Perempuan Jawa untuk turut terlibat dalam pekerjaan yang bernilai ekonomi karena itu satu-satunya jalan untuk dapat dihargai sebagai seorang pribadi yang utuh.106

Responden mengungkapkan bahwa Budaya Jawa adalah kebiasaan-kebiasaan hidup manusia yang dilakukan bersama oleh sekelompok masyarakat khususnya masyarakat yang

104

2012,Pengarusutamaan Jender Lingkup Departemen Kehutanan, (http://www.dephut.go.id/index.php/news/detail/269) Diakses pada tanggal 10 September 2014.pkl 21.12.

105

Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Ts,Bl, Minggu,5 Jan 14. pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

106

berasal atau tinggal di pulau Jawa dan berbahasa Jawa. Masyarakat yang berbudaya Jawa percaya bahwa dalam kehidupan sehari-hari perlu mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian. Hal ini tampak dalam keseharian hidup orang Jawa dari upaya mereka menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhaaan.107

Perkembangan Jaman seperti sekarang ini, mendorong perempuan Jawa harus bisa mandiri dan tidak boleh bergantung pada laki-laki. Perempuan Jawa bukan berarti pembantah tetapi karena sudah adanya kemajuan dalam hal pendidikan maupun pengaruh luar, harus berani tampil dan juga bersaing dengan laki-laki. Perlawanan perempuan terhadap budaya ini sudah dibuktikan oleh R.A Kartini. Maka sudah saatnya peran perempuan dalam memimpin keluarga, masyarakat maupun organisasi. Perempuan Jawa sudah terbiasa hidup dalam perubahan dengan tetap berusaha menjaga terjadinya kesimbangan, keselarasan dan keserasian hidup sehari-hari.108

Responden mengungkapkan bahwa Perempuan Jawa lebih maju, pandai, bisa mencari nafkah sendiri, mampu menjadi seorang pemimpin. Perempuan Jawa semakin terangkat derajatnya dengan adanya kesamaan gender dan sudah dibuktikan dengan mempunyai Presiden Perempuan. Perempuan memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu, mendapatkan jabatan struktural, baik dalam bidang politik dan organisasi sosial. Sudah mulai diberi kesempatan, terbukti dengan adanya kuota-kuota yang di sediakan bagi perempuan dalam berbagai bidang untuk menduduki jabatan puncak. Sekarang saatnya perempuan Jawa mewujudkan Emansipasinya. Hal ini seharusnya membuat perempuan makin sadar untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan agar memiliki peran yang sama dengan laki-laki. Telah banyak bukti Perempuan Jawa kompeten sebagai pemimpin lokal,

107

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

108

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Sh,TFj,Hl, Minggu,2 Des 13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

nasional bahkan dunia. Bahkan di era Reformasi untuk pertama kalinya Indonesia memiliki pemimpin negara perempuan.109

Perempuan Jawa kini semakin aktif berpolitik dengan adanya ketentuan Caleg dari satu partai harus mencapai 30% dari seluruh calon. Peran perempuan Jawa dalam berpolitik sangat baik yaitu ada menteri perempuan, presiden perempuan. Bahkan ada perempuan Jawa mampu menjadi pemimpin bank dunia yaitu dalam diri Sri mulyani. Partisipasi perempuan Jawa sebagai pemimpin politik telah mengalami peningkatan. Perempuan Jawa yang sudah mempunyai wawasan yang luas dapat diandalkan dalam kancah politik. Kaum perempuan saat ini sudah pandai-pandai dan kuat serta mandiri.110

Perempuan Jawa sebenarnya lebih maju, pandai, bisa mencari nafkah sendiri, mampun menjadi seorang pemimpin. Pada masa Orde Baru kondisi perempuan Jawa terangkat derajatnya dengan adanya Undang-undang Perkawinan dan PNS harus hanya mempunyai satu istri. Kondisi perempuan Jawa dalam konteks orde baru, peran perempuan lebih meningkat hal ini terbukti dari beberapa perempuan yang tampil dalam jabatan politik, jabatan struktural maupun dalam organisasi sosial. Dan sebagai perempuan Jawa tetap menunjukkan ciri khas kejawaannya yang selalu andhap asor, walau perempuan Jawa tersebut menduduki jabatan sebagai ketua/kepala dalam unit kerja/aktifitasnya. Kaum perempuan lebih mempunyai peluang yang lebih besar dalam berperan, perempuan mulai berperan di gereja dan di masyarakat. Sudah mulai ada pejabat perempuan Jawa dalam pemerintahan, dalam perusahaan dan banyak juga jenis pekerjaan laki-laki yang mulai dikerjakan oleh perempuan. Perempuan Jawa mengalami perubahan, dengan adanya emansipasi perempuan maka sudah banyak yang berpendidikan tinggi dan bekerja

109

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,TFj, Minggu,28 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat

110

Hasil wawancara dengan Ibu Ks,Wh,Hl,Nn,Hs, Minggu,19 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

sebagaimana laki-laki. Perempuan Jawa diberi kesempatan dalam berpendidikan, berkarya dan bekerja.111

Dalam menjalankan tugasnya, perempuan Jawa pasti tidak mau kalah dengan kaum laki-laki, terlebih lagi pendeta laki-laki bahkan lebih hebat. Untuk itulah, tuntutan pendeta perempuan harus profesional dan proporsional dalam tugas pelayanannya. Secara normative tidak ada aturan dari Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ yang membatasi dan mendiskriminasi. Perempuan Jawa jaman sekarang juga sudah banyak yang tampil sebagai pemimpin diberbagai lembaga/ instansi, perusahaan bahkan dikancah politik.112 Perempuan perkotaan dalam realitas banyak yang mandiri, aktif, kritis, keluar dari lingkungan domestiknya dan mampu memenuhi tuntutan perkembangan jaman. 113

Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala suatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.114 Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya. Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh institusi sosial berupa Dharma wanita. Demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama.115

Selama ini perempuan tersisihkan dikarenakan rangkaian konvensi yang sangat kuat mengatur perbedaaan antara peran privat dan peran publik perempuan. Pembedaan ini

111

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Ks,Nn,Vk,Ews,Wh,Hw,DIk, Minggu,28 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

112

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

113 Einar M Sitompul, Agama-agama & Perjuangan Hak-hak Sipil, (Jakarta : Marturia, 2005), 160.

114Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.)

Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001), 23-34.

115

Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur

memotong akses perempuan dipatok terus pada kewajiban-kewajiban di lingkup privat yang menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap hari, seperti yang ditekankan oleh Louise Ackers bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang membutuhkan full-time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak ini membuat mereka sulit untuk

berpartisipasi sebagai warga negara yang „sesungguhnya‟ di ranah publik.116

Gambaran ideal perempuan Jawa harus mempunyai sifat gemi, ati-ati, nastiti, sebagai bentuk bakti kepada laki-laki.117 Ki Hajar dewantara mengatakan: “Inilah keadaan yang

nyata, yang khas, dan tubuh-tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan laki-laki, perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya karena akan menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak dan lain-lain”.118

Adapun fungsi sebuah peran merupakan aspek dinamis dari status tersebut. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. Peran sendiri adalah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan dan disertai dengan cara tingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan tersebut.119

Pada umumnya masyarakat Jawa masih menilai tinggi bahwa setelah menikah sebaiknya perempuan tinggal dirumah mengurus rumah tangga dan mendidik anak.120 Seorang laki-laki tidak pantas menyibukkan diri dengan seluk beluk rumah tangganya.121Dalam masyarakat Jawa, cerminan kepribadian perempuan Jawa akan terlihat dalam sistem sosialnya, yakni bersifat conform ( berusaha menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku supaya dapat memenuhi harapan lingkungan masyarakatnya, meskipun tindakan-tindakannya itu tidak sejalan dan sesuai dengan keinginannya), melalui proses sosialisasi dan

116 Louse Ackers,Shifting Space: Women, Citizenship and Migration within th European Union, 41.

117 Sri Suhandjati Sukri, Perempuan dalam Tradisi Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2001), 85.

118 J Raharjo, Wanita Kota Jakarta,Kehidupan Keluarga dan Keluarga Berencana (Yogyakarta: GajahMada University Press, 1980), 16.

119 Brunetta R Wolfman, Peran Kaum Wanita, cet V (Yogyakarta: Kanisius,1994), 10.

120 Proyek Penelitian (Javanologi), Wanita Jawa dan Kemajuan Jaman, peny. Gandarsih M.R. Santosa (Yogyakarta: ttp,1985), 5.

121

inkulturasi. Sosialisasi yang didapatkan perempuan adalah bahwa perempuan harus manis, diam, menurut, menerima dan mendengarkan serta selalu mendukung. Sebaliknya perempuan dilarang interupsi dan bertindak kompetitif.122

Dalam keseharian hidup orang Jawa mengutamakan hubungan baik seperti: kerukunan, tolong menolong, ramah, santun, tidak agresif, tidak suka berdebat, tidak menonjolkan emosi, tidak to the point, tidak suka mengkirik orang, Mikul dhuwur, mendhem jero artinya menghormati orang lain terutama kepada atasannya, orang tuanya atau suami/isterinya, serta menyimpan aib saudaranya didalam hatinya, dan sebagainya. Dalam berkomunikasi tingkat kesopanan, keseimbangan, keselarasan dan keserasian diperhatikan melalui penggunaan bahasa yaitu bahasa Jawa yang bertingkat dari ngoko, krama hingga krama inggil. Orang Jawa akan berusaha menggunakan tingkatan bahasa Jawa dan memperlihatkan bahasa tubuh yang akan menimbulkan kesopanan dan keselarasan hidup dengan orang lain. Budaya Jawa menjunjung tinggi derajat laki-laki dan seorang perempuan dianggap sebagai konco wingking.123

Nilai-nilai tradisional Jawa banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam 124 yang menginterpretasikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan mengharuskan perempuan untuk patuh kepada laki-laki. Pentingya kepatuhan perempuan itu direfleksikan dalam ungkapan

“swarga nunut neraka katut” yang artinya seorang perempuan harus mengikuti laki-laki dengan setia, apakah ia akan ke surga atau ke neraka.125

Budaya Jawa juga menghasilkan kepercayaan sendiri yaitu Kejawen. Kejawen itu sendiri berisikan seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa dalam menjalankan hidup mereka sehari-hari, dalam interaksi dengan Tuhan, alam dan sesama

122 Nasarudin Umar, Bias Jender dalam pemahaman Islam, (Yogyakarta: gama Media, cet I, 2002), 18.

123

Hasil wawancara dengan Ibu Hl,Ibu Ckb Senin, 2 Desember 2013,pkl 17.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

124 Mark R Woodword, Islam Jawa; Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, alih bahasa hamus Salim HS, (Yogyakarta: LKiS,1999), 89.

125

manusia. Kejawen ini semacam spiritualitasnya suku Jawa. Dulu masyarakat Jawa adalah penganut agama Hindu, Budha dan Kejawen. Peninggalan kehidupan sehari-hari serta kehidupan agama masa Hindu - Budha masih bisa kita temukan hingga sekarang. Namun mengingat mayoritas orang Jawa sekarang telah menganut agama Islam, Kristen atau Katholik, maka nilai Hindu, Budha atau Kejawen tidak lagi mendominasi budaya hidup mereka. Secara kelas sosial orang Jawa dapat dibagi dalam 3 kelas yaitu Abangan, Priyayi

dan Santri. Sejarah yang menunjukan bahwa di Jawa dapat menerima pengaruh masuknya berbagai agama, etnis, interaksi ekonomi ini sebenarnya telah membentuk masyarakat Jawa yang tidak suka konfrontasi, hidup harmonis dan toleran dengan perbedaan. 126

Dari uraian diatas, pandangan atau perspektif perempuan Jawa tentang identitas Perempuan adalah bahwa perempuan Jawa masih mengalami tekanan dalam hidupnya. Perempuan Jawa masih merasakan adanya pembedaan, martabatnya masih rendah, dianggap menjadi sumber masalah, tidak boleh interupsi, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, dan masih dimasih diperlakukan sebagai konco wingking. Perempuan Jawa masih dianggap sebagai pembantu penguasa dalam hal ini laki-laki. Perempuan Jawa menganggap bahwa perundang-undang yang bias, tidak menjamin akan hak-haknya dan Pemerintahpun belum mempunyai kepekaan akal hal ini.

2.5.3.Perempuan Jawa mengubah sistem Patriakal

Segala anggapan dan perlakuan perempuan dalam gereja, masyarakat, keluarga menimbulkan gerakan untuk melakukan sebuah perubahan. Demikian pula pemahaman responden, sangat diperlukan adanya rekontruksi atau perubahan cara pandang. Perubahan cara pandang harus dilakukan oleh semua pihak karena pada umumnya budaya tidak mudah

126

untuk diubah, butuh waktu untuk mengubah kebiasaan, dan butuh keterlibatan berbagai pihak. 127

Perempuan Jawa jaman sekarang sudah “dibebaskan” atau bebas dari penindasan, tidak merasa ditindas seiring kemajuan emansipasi perempuan dalam berbagai bidang. Pada saat ini perempuan sudah lebih dapat menikmati hak-haknya. Jika perempuan itu berpendidikan, berwawasan yang luas, beriman dan berkeinginan maju dan berkeinginan untuk bangkit dan maju maka akan sulit ditindas. Kesempatan perempuan Jawa untuk menuntut ilmu sama seperti laki-laki. 128

Untuk jaman sekarang ini, sudah banyak berubah dimana kaum perempuan mendapat hak yang sama dalam gereja, terlihat dengan banyak majelis perempuan, pendeta perempuan dan juga pelayan-pelayan gerejawi yang lainnya juga banyak yang perempuan. 129 Peran perempuan di luar kehidupan keluarga, bahan mulai dipandang sangat kompeten menjadi pemimpin. Perempuan pada masa ini diperbolehkan ikut partai politik melalui Partai Golkar yang dimotori oleh Kowani. Bahkan sebagai penghargaan beberapa pengurus Kowani disediakan kursi diadalam Parlemen (DPR dan MPR). Pada masa Orde Baru ini pemerintah membentuk organisasi perempuan yang diberi nama Komisi Nasional kedudukan Wanita Indonesia ( KNKWI ).130

Dalam kehidupan bergereja di GKJ, perempuan sudah banyak yang diangkat sebagai penatua dan diaken, bahkan dalam perkembangannya mampu menjadi ketua komisi, ketua panitia. Maka perempuan diperlukan juga agar dapat ambil bagian di kehidupan Gereja Kristen Jawa. Dan bukan hanya itu saja adanya masalah gender memang seharusnya perempuan juga ambil bagian di kehidupan Gereja Kristen Jawa. Gereja Kristen Jawa tidak

127

Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

128

Hasil wawancara dengan Ibu Ah,Nn,Ts,Wh, Ns, Minggu,21 Des13.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

129

Hasil wawancara dengan Ibu Hw, Minggu,21 Des 2013.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

130

membedakan jemaat baik laki-laki dan perempuan, demikian juga tempat duduk jemaat tidak dipisahkan. Jabatan dalam kemajelisanpun bagi Perempuan tetap diperbolehkan, demikian pula berkotbah bila perempuan mampu dan diberi talenta untuk berkotbah dipersilahkan, sepanjang tidak keluar dari tata Gereja Kristen Jawa.131

Sebaiknya perlu juga Gereja Kristen Jawa mempertimbangkan adanya pendeta perempuan sehingga dapat menampung hal-hal tertentu dari aspirasi jemaat. Karena masalah perempuan itu banyak sekali, dan untuk mengemukakan hal-hal tertentu kepada pendeta laki-laki agak sungkan. Maka diperlukan pendeta perempuan agar dapat menampung permasalahan perempuan, tetapi juga diberikan hak-haknya sebagai perempuan (cuti hamil, melahirkan dsb). Dalam era yang makin memberi ruang tumbuhnya kesamaan peran pria dan wanita, maka GKJ perlu memotivasi perempuan untuk tampil menjadi Pendeta perempuan atau pemimpin Jemaat. Hal ini perlu ditempuh dengan jalan melakukan sosialisasi dan menunjukkan jalur yang harus mereka tempuh untuk sampai kesana yaitu kompeten menjadi Pendeta Perempuan. GKJ bekerjasama dengan keluarga dan semua pihak agar Pendeta Perempuan dapat terwujud.132 Mulai dari rekontruksi budaya keluarga akhirnya perubahan budaya masyarakat, dan berbagai pihak yang terkait. Teladan Pendeta yang berhasil di sebuah gereja Klasis lain atau gereja lain di luar GKJ dapat di jadikan referensi. 133 Dengan perkembangan jaman sebaiknya perempuan sudah harus mulai maju dan berani menjadi pendeta perempuan. Setiap GKJ perlu mendorong perempuan Jawa untuk bisa menjadi memimpin bahkan menjadi Pendeta Perempuan .134

Mulai dari rekontruksi budaya dalam keluarga, dan pada akhirnya perubahan budaya masyarakat, serta berbagai pihak yang terkait. Perubahan cara pandang sangat diperlukan

131

Hasil wawancara dengan Ibu Wh,Sh,Tt, Minggu,19 Jan 14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

132

Hasil wawancara dengan Ibu Sh,Hl, Minggu,12 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

133

Hasil wawancara dengan Ibu Ht,Tt, Minggu,5 Jan14.pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

134

agar ada persamaan gender bukan hanya di bicarakan saja tetapi perlu diperjuangkan. Seorang perempuan (calon pemimpin) bukan hanya dari gendernya saja tetapi harus dilihat dari potensi yang ada didalam orang tersebut (baik itu laki-laki maupun perempuan). Pada akhirnya perempuan tidak lagi dipandang kurang pantas dan kurang mumpuni untuk menjadi seorang pendeta perempuan/pendeta jemaat dan juga dalam hal pengajaran iman.135

Perlu adanya penjemaatan sehingga warga gereja akan lebih memahami bahwa perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki didalam berjemaat dan perempuan juga pantas menjadi seorang pendeta. Pendeta perempuan harus diberi kepercayaan penuh, jangan dibeda-bedakan dengan pendeta laki-laki, untuk membuktikan perlu dicoba kemampuannya. Kebanyakan Jemaat perempuan ada yang lebih menikmati membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi dengan Pendeta perempuan daripada dengan pendeta laki-laki. Terutama permasalahan rumah tangga. Karena masalah perempuan itu banyak sekali, dan untuk mengemukakan pada pendeta laki-laki agak sungkan. Maka diperlukan pendeta perempuan agar dapat menampung permasalahan perempuan.136

GKJ perlu bekerjasama dengan keluarga dan semua pihak agar Pendeta Perempuan dapat terwujud dan kesadaran sehingga perempuan dan laki-laki dalam pelayanan bisa berjalan dengan baik. Supaya ideal maka perempuan dapat dijadikan Pendeta ke dua supaya dapat saling melengkapi dalam satu gereja.137

Dengan adanya kondisi yang bersifat kultural (terkait dengan nilai-nilai budaya patriarkal), sekaligus bersifat struktural (dimapankan oleh tatanan sosial politik yang ada), maka diperlukan tindakan pemihakan yang jelas dan nyata guna menghilangkan kesenjangan

135

Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh,Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

136Hasil wawancara dengan Ibu Ah, Ibu Ne, Ibu Hw, Ibu Nn Minggu,12 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

137 Hasil wawancara dengan Ibu Skw, Minggu, 12 Desember 2013,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

gender dalam berbagai bidang. Untuk itu, diperlukan kemauan yang kuat agar semua kebijakan dan program memperhitungkan kesetaraan dan keadilan gender. Upaya peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan, serta kesetaraan gender dilaksanakan dalam kerangka arah kebijakan: Meningkatkan taraf pendidikan, dan layanan kesehatan, serta bidang pembangunan lainnya, untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan.138Program ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup, peran, dan kedudukan perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, dan meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.139

Responden mengungkapkan bahwa ada pengaruh budaya Patriarkal terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan Jawa. Responden mengungkapkan bahwa budaya patriarkal adalah sebuah cara pandang dalam melihat eksistensi kaum perempuan, dimana peran laki-laki lebih diutamakan ketimbang peran perempuan, maka akibatnya, lahir pola hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan hubungan laki-laki dan perempuan Jawa ini dapat terjadi baik dalam berbagai ranah. Perbedaan hubungan akan terjadi baik di ranah sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Budaya patriarkal ini tidak hanya berhenti pada persoalan gagasan, melainkan juga telah menghasilkan kebijakan- kebijakan yang berimbas pada persoalan ekonomi kaum perempuan. 140

Budaya patriakal yang disepakati di dalam keluarga dan masyarakat akan menimbulkan hubungan dimana laki-laki ditempatkan sebagai pemimpin, penggung jawab, pengambil keputusan. Laki-laki atau Ayah dalam keluarga memiliki otoritas terhadap perempuan,

138

Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh,Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

139 Hasil wawancara dengan Ibu Srt, Ibu Wh,Ibu Hw,Minggu, 5 Januari 2014,pkl 10.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)

140

anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menyebabkan urutan perempuan dibawah laki-laki (subordinasi).141

Patriarkal ini menyebabkan perbedaan distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan (garis ayah dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik, agama atau pemilihan posisi dari berbagai pekerjaan laki-laki dan perempuan ditentukan oleh pembagian kerja secara gender.142

Mengingat budaya patriarkal di Indonesia sangatlah kuat pengaruhnya, maka keluarga atau masyarakat yang melakukan budaya semacam ini akan mendorong laki-laki untuk berpengaruh secara lebih kuat dalam keluarga. Laki-laki lebih berhak mengambil keputusan ketika ada masalah dan menentukan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam keluarga. Jika budaya patirakal ini terjadi dalam suatu keluarga maka perempuan akan cenderung memilih peran atau terpaksa berperan di luar peran laki. Dominasi peran

Dokumen terkait