• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDEOLOGI BESAR DUNIA

Dalam dokumen MODUL PENDIDIKAN PANCASILA (Halaman 120-126)

MODUL VI: PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA PERTEMUAN: (1 kali tatap muka)

A. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI INDONESIA

2. IDEOLOGI BESAR DUNIA

Kebedaan Pancasila sebagai ideologi negara senantiasa diperbandingkan dengan ideologi-ideologi besar dunia. Perbandingan ini dapat menjadi bukti bahwa ideologi Pancasila merupakan ideologi integral yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa, bukan berasal dari dominasi ideologi besar dunia yang sedang menguasai pandangan dunia kala Indonesia lahir. Perbandingan ini juga menjadikan wacana

Pancasila sebagai ideologi Indonesia lebih menarik untuk diperbincangkan. Memperbincangkan Pancasila dengan cara yang demikian juga diharapkan mampu memupuk kemauan dan keyakinan bagi segenap masyarakat Indonesia untuk mempraktikkan ideologi bangsanya dan tidak silau terhadap gempuran ideologi asing yang menembus batas geografis.Tidak semua ideologi besar dunia akan dibahas di sini, namun hanya beberapa ideologi yang paling penting dan berpengaruh sejauh catatan historis yang ada.

a. Liberalisme

Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam segala bidang. Menurut paham ini, manusia adalah titik pusat, ukuran segala hal, atau dalam istilah filsafat disebut antroposentris. Bahwa nilai-nilai manusia merupakan pusat untuk berfungsinya alam semesta dan alam semesta menopang dan secara tahap demi tahap mendukung nilai-nilai itu (Lorens bagus, 2000: 60). Karena eksistensi individu, masyarakat dapat tersusun dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu. Lahirnya liberalisme untuk pertama kalinya muncul akibat dominasi kaum feodal dan kaum agama. Keadaan ini pada akhirnya membuat kelompok cerdik pandai dan kaya, yang kemudian dikenal sebagai kelompok bourjuis, melawan kelompok agama dan feodal dengan mendalihkan falsafah kebebasan bahwa setiap manusia yang dilahirkan bebas dan sama (man are born free and equal). Falsafah kebebasan semacam ini lalu berpengaruh dan mendominasi masayarakt Eropa dan dunia pada umumnya, bahkan pada batas-batas tertentu berpengaruh bagi masyarakat Indonesia (Oetojo Oesman, dan Alfian, 1991: 98). Setiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.

Praktik liberalisme dalam bidang politik (negara), menurut John Locke, Thomas Hobbes, dan Jean Jaque Rousseau bahwa negara tidak lagi dipahami sebagai tanah atau kekayaan (land and reich), sebagaimana tesis kaum feodal.

perjanjian masyarakat (social contract). Jadi negara adalah hasil perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas, sehingga hak-hak orang atau hak asasi lebih tinggi kedudukannya ketimbang negara yang merupakan hasil bentukan individu-individu yang bebas (Oesman, dan Alfian, 1991: 93). Negara tidak mempunyai legitimasi untuk mengurus segala-galanya. Inti paham liberal tentang negara adalah bahwa kekuasaan negara harus seminimal mungkin, oleh karena itu dapat dilihat liberalism sangat membatasi peran dan fungsi Negara. Pembatasan kekuasaan ini berangkat dari prinsip dasar bahwa semua orang berkedudukan sama, tidak ada orang atau kelompok yang berhak memerintah pada yang lain/kelompok lain (Magnis Suseno, 2003: 229-230).

Pada wilayah ekonomi, liberalisme klasik yang dimotori oleh Adam Smith menyandarkan pemikiran ekonominya pada konsep determinisme alam. Dalam buku The Wealth of Nations, Smith berasumsi bahwa kebebasan alamiah individu untuk berinteraksi dalam bidang ekonomi, masing-masing memburu kebaikannya sendiri, dengan menawarkan barang dan jasa kepada orang lain, akan mengarah pada alokasi sumber daya secara efesien dari sudut pandang masyarakat. Untuk bekerjanya mekanisme pasar yang menguntungkan semua pihak, diperlukan apa yang disebutnya kondisi “persaingan yang sempurna” (Yudi Latief, 2011: 564-565).

Sementara pada pemahan agama, liberalisme meminggirkan agama hanya berperan di ruang privat. Agama dipinggirkan hanya menjadi urusan pribadi. Pemisahan antara agama dan negara ini (sekularisme) ditandai dengan pemisahan gereja dan negara di masa itu. Pemisahan agama dan negara sangat mungkin memunculkan sebuah sikap militan, Ketika agama tersudut dari ruang publik menjadi ruang privat, ekspresi spiritual personal terputus dari ruang publik, spiritual tanpa pertanggungjawaban sosial, politik tanpa jiwa.

b. Libertarian

Perkembangan lebih lanjut paham ekonomi liberal klasik ini memberi jalan pada ekspansi kapitalisme yang melahirkan kolonialisme jenis baru. Pemikiran ekonomi yang jauh lebih liberal lalu dikembangkan terutama menekankan pada paham libertarianisme (libertarian capitalism), yang melahirkan kini apa yang disebut

dengan neoliberalisme. Neoliberalisme cenderung meringkus peran negara, dengan membatasinya semata-mata sebagai pelayan pasar (pemodal). Dengan memberikan ruang yang besar kepada negara sebaai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu besar pada kebebasan individu, melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya tersendiri (Yudi Latief, 2011: 276-268).

c. Kapitalisme

Orientasi kaum kapitalis murni berdasarkan mengejar modal atau uang, bahkan pengejaran keuntugan ini diselubungi oleh ideologi yang dianggap suci. Kapitalis terus menyebarkan sayap untuk menguasai modal dan keuntungan, maka pada titik ini posisi kaum buruh kian terjepit. Penguasaan barang, jasa, modal dan keuntungan yang hanya dimiliki oleh kaum kapitalis, menyebabkan kaum buruh semakin tersingkir dalam persaingan bebas ekonomi. Maka, tidak ada jalan lagi kecuali kaum buruh harus merebut alat-alat produksi yang dikuasi oleh kaum pemodal. Kaum buruh bangkit, merebut pabrik dan modal dari kaum kapitalis. Setelah kaum buruh mampu bekerja dengan bebas dan kreatif, maka diciptakanlah masyarakat komunis (Magnis Suseno, 2003: 269-270).

Aliran ini erat kaitannya dengan materialisme yang menonjolkan penggolongan, pertentangan antar golongan, kekerasan dengan tujuan revolusi, dan perebutan kekuasaan negara (Bakry, 2010:187). Masyarakat komunis diandaikan sebagai kegiatan kerja yang tidak eksklusif, orang dapat bekerja dengan bebas, tanpa tekanan, pagi hari berburu, siang hari memancing, sore memelihara ternak dan sesudah makan mengkritik. Negara tidak dihapus, ia akan mati dengan sendirinya. Proses produksi dipimpin oleh persekutuan bebas semua individu (Magnis Suseno, 2003: 269-270).

d. Komunisme

Cara pandang individualistik dan dominasi kelas tertentu ini mendapat pertentangan dalam sejarah kenegaraan di Eropa dari kelompok sosialis-komunis yang dipelopori oleh Marx, Engels, Lenin, yang beranggapan berdasarkan teori

kuat untuk menindas yang lemah. Menurut Marx, negara tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, negara justru melayani kepentingan kelas tertentu untuk mengamankan posisi dan statusnya. Dalam masyarakat yang sungguh manusiawi, yang bebas dari penguasaan kelas, negara tidak mempunyai fungsi lagi (Magnis Suseno, 2003: 261). Pemikiran Marx ini di kolaborasi dengan pemikiran Lenin oleh Engels. Engels menyusun sistem operasional dari pemikiran-pemikiran Marx, meliputi politik, ekonomi, dan sosial. Cita-cita komunisme adalah kehidupan masyarakat tanpa kelas, yang diharapkan menghadirkan atmosfir kedamaian, tanpa hak milik. Namun pada praktiknya, kediktaktoran muncul untuk menguasai dan membentuk kehidupan yang tanpa kelas itu.

Pandangan Marx, tentang agama sebetulnya dipengaruhi oleh Ludwig Feuerbach. Marx menulis, “Manusia yang membangun agama, bukan agama yang membuat manusia”, agama adalah perealisasian hakikat manusia dalam angan- angan, tanda keterasingan dari dirinya sendiri. Pertanyaan mendasar Marx mengenai hal ini, apakah yang membuat manusia berada dalam keterasingan diri yang direalisasikan dalam angan-angan semata?. Marx lalu memberikan gambaran bahwa kenyataannya, masyarakatlah yang menggiring pada pola pikir demikian. Oleh karena itu, lanjut Marx kini harus diarahkan pada sikap materialistik, yakni kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik (Magnis Suseno, 1997: 10).

e. Jalan Tengah Pancasila

Di antara pertentangan yang sangat tajam antara liberalism-kapitalisme dan sosialisme-komunisme, para pendiri bangsa ini memberikan jalan alternatif untuk berada di antara dua titik ekstrim tersebut. Dalam pidatonya, Mr. Soepomo menguraikan adanya cara pandang ketiga yang disebut cara pandang integralistik, yakni melihat negara sebagai suatu kesatuan organik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hegel, Adam Muller dan Spinoza. Cara pandang integralistik ini berbeda dengan cara pandang Rousseau dkk dan kolektivisme Rusia. Hatta mengkritik cara pandang integralistik ini karena dinilai terdapat kemungkinan tumbuhnya negara dengan kekuasaan absolut, sekalipun ada kemipiripan dengan

cara pandangan Indonesia mengenai makro dan mikrokosmos. Hatta melengkapi cara pandang integralistik tersebut dengan mengajukan usulan penghargaan terdapat hak-hak dasar manusia. Kemudian hak-hak dasar itu muncul pada urain UUD 45, yakni kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berpendapat (Oetojo Oesman dan Alfian, 1991: 93-94).

Cara pandang integralistik ini melihat kemakmuran masyarakat diutamakan, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Cara pandangan seperti ini tidak melihat negara secara organis, melainkan sebagaimana disepakati kemudian yang kemudian terumuskan pada alenia ke-3 pembukaan UUD 1945. Bahwa negara adalah suatu keadaan kehidupan berkelompoknya bangsa Indonesia yang atas berkat rahmat Allah yang didorongkan oleh keinginan yang luhur bangsa Indoneis untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Sementara dalam bidang ekonomi, jelas Pancasila Ekonomi pancasila didefinisikan sebagai sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan nasional. Sistem ekonomi Pancasila bersumber langsung dari Pancasila sila kelima; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat pasal 33 27, 31, 33 34. Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi integratif yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim (Mubyarto, 1980).

Peranan unsur moralitas sangat kuat dalam konsep ekonomi Pancasila. Karena unsur moral dapat menjadi salah satu pembimbing utama pemikian dan kegiatan ekonomi. Kalau moralitas ekonomi Smith adalah kebebasan (liberalisme) dan ekonomi Marx adalah diktator mayoritas (oleh kaum proletar). Moralitas Ekonomi Pancasila mencakup ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pelaku-pelaku ekonomi inilah yang secara agregatif menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial dan besifat sosialistik yaitu adanya perhatian yang besar pada mereka yang tertinggal (Mubyarto, 1981). Ditambah dengan semangat nasionalistis dan kesungguhan dalam implementasi, Ekonomi pancasila akan mampu menciutkan kesenjangan kaya-miskin atau mampu mencapai tujuan

Sementara itu, hubungan antara Pancasila (Negara) dengan agama diletakkan dalam kerangaka pembedaan (differentiation), bukan pemisahan (sekularisme). Pembadaan agama dan negara dalam konteks ini diartikan masing- masing mempunyai batas otoritas, tetapi terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (tapi bisa saja terhubung) dalam metode, bentuk pemikiran, wacana dan tindakan. Perihal tersebut disebut “toleransi kembar” (twin tolerations), yakni situasi ketika institusi agama dan negara menyadari batas otoritasnya masing-masing (Yudi Latief, 2011).

Agama menyediakan landasan moral untuk menopang atau bahkan melawan kekuasaan; Agama tak perlu diintegrasikan ke dalam negara (institusi), sebab rawan dengan politisasi agama. Agama justru harus terus mengkontrol kecenderungan absolutisme dunia sekuler negara. Untuk itu, agama harus melakukan proses obyektivikasi dan rasionalisasi agar bersifat universal. Institusi negara bebas menjalankan kebijakan dalam batas konstitusi, sementara agama juga diberi kebebasan penuh beribadah privat dalam batas keyakinan masing-masing. Agama bisa mengembangkan nilai keagamaan di ruang publik melalui civil society atau bahkan political society (Yudi Latief, 2011).

3. IDEOLOGI PANCASILA DALAM KAJIAN HISTORIS

Dalam dokumen MODUL PENDIDIKAN PANCASILA (Halaman 120-126)