• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara etimologi kata ifta berasal dari kata afta-yufti-iftaan yang artinya memberikan penjelasan.

Sedangkan secara terminologi, fatwa adalah memberikan penjelasan mengenai hukum-hukum Allah menyangkut peristiwa-peristiwa kehidupan yang terjadi dengan berlandaskan kepada dalil-dalil yang reliable dalam Islam dan penjelasan itu diberikan kepada orang

yang meminta penjelasan mengenai hukum sebuah peristiwa dan tanpa mengharuskan kepada pihak yang bertanya untuk melaksanakan fatwa itu dalam artian bahwa pihak yang menerima fatwa bebas untuk melaksanakan fatwa atau meninggalkannya. Ketentuan “tanpa mengikat” disebutkan sebagai upaya untuk membedakan antara fatwa dengan qadha atau kekuasaan.

Dari definisi ini bisa dipahami bahwa fatwa adalah proses pembumian ajaran agama atas realita yang sedang berlangsung yang kemudian menuntut dua bentuk kepakaran atau keahlian yaitu keahlian memahami ajaran agama keahlian memahami realita.

Oleh karena itu seorang mufti (pemberi fatwa) tidak jauh beda dengan seorang dokter. Validitas hasil diagnosa seorang dokter sangat ditentukan oleh penguasaannya pada teori-teori kedokteran dalam bidang yang ia geluti dan pada ketelitian diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien. Atau sama dengan seorang arsitek yang mana seorang arsitek itu tidak hanya dituntut untuk mengetahui teori-teori arsitektur, tetapi juga harus menguasai kondisi bangunan, kondisi cuaca dan lain sebagainya. Sama halnya dengan seorang dokter dan arsitek, seorang mufti tidak hanya dituntut untuk menangkap ajaran-ajaran agama yang bersumber dari sumbernya yang asli, tetapi juga harus mengetahui secara mendalam realita sebagai obyek penerapan hukum yang ia telah pahami. Konsekuensinya, semakin kompleks realitas atau obyek penerapan hukum semakin menuntut kecerdasan dan ketelitian seorang mufti. Di sinilah titik rawan institusi fatwa dan di sini pula harus ada upaya untuk menghindari penerapan hukum secara otomatis(al-tathbiq al-tilqaiy).

2. Mufti

Mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat. Umat akan selamat bila ia memberikan fatwa yang benar dan akan sesat bila ia salah dalam berfatwa. Dengan demikian ia harus mempunyai dan memiliki syarat-syarat tertentu yang ia tidak mungkin dapat berbuat secara baik dalam profesinya itu tanpa memenuhi syarat tersebut. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufti yaitu sebagai berikut:

a. syarat umum. Karena ia akan menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan hukum syara dan pelaksanaannya, maka ia harus seseorang mukallaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya.

b. Syarat keilmuan yaitu bahwa ia ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Untuk itu, ia harus memiliki syarat-syarat sebagaimana syarat yang berlaku bagi seorang mujtahid yaitu mengetahui secara baik dalil-dalilsam’i dan dalil-dalil aqli.

c. Syarat kepribadian yaitu adil dan dapat dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang mufti karena ia secara langsung akan menjadi ikutan bagi umat dalam beragama. Dua syarat ini bahkan tidak dituntut dari seorang mujtahid karena tugasnya hanya melakukan penelitian secara mendalam dari berbagai bentuk pertanyaan yang diajukan oleh mustafti (orang yang meminta fatwa).

d. Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai ulama panutan yang oleh Imam al-Amidi diutarakan bahwa dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’, bersikap tenang dan berkecukupan. Imam Ibnu al-Qayyim mempersyaratkan bahwa seorang mufti harus mempunyai niat dan i’tikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal di tengah umat. Sebuah institusi fatwa atau seorang mufti yang ingin mengeluarkan fatwa seyogyanya mengindahkan rambu-rambu berfatwa sebagai berikut; a. Melakukan upaya peyakinan kepada orang yang punya kasus agar mereka bisa mengerti dengan baik dan memperkuat argumentasi-argumentasinya. Hal ini dilakukan terutama jika hukum fatwa itu sangat asing.

b. Hendaknya seorang mufti ketika menyampaikan fatwanya kepada orang yang meminta fatwa baik secara personal maupun publik agar memberitahu ketentuan-ketentuan yang mengikat pada fatwa itu sendiri dan berpengaruh kepadanya. Sebagai contoh yaitu pernyataan nabi yang mengatakan:”Seorang muslim tidak diqisas karena membunuh orang kafir, begitu pula orang kafir yang punya perjanjian damai dengan negara Islam”. Pernyataan kedua sebagai ketentuan fatwa yang ada pada pernyataan pertama karena boleh jadi orang bisa salah paham terhadap fatwa nabi itu dan memahami bahwa orang kafir secara umum bisa dibunuh tanpa melihat apakah ia memiliki perjanjian damai atau tidak.

c. Hendaknya institusi fatwa menjelaskan kepada mustafti alasan dan argumentasi yang rasional terhadap fatwa yang diproduksinya. Hal

ini dilakukan terutama jika mustafti itu adalah kalangan kaum terpelajar.

d. Hendaknya institusi fatwa atau seorang mufti menunjukkan jalan atau menawarkan solusi alternatif bilamana fatwanya itu mengharuskan penanya fatwa untuk meninggalkan perbuatan yang dia tanyakan. Seperti melarang mendefosito uang di Bank Konvensional yang menerapkan bunga riba dan menganjurkannya untuk menabung di Bank Islam yang menerapkan sistem

mudharabah (sistem bagi hasil) dan lain sebagainya.

e. Hendaknya seorang mufti memperhatikan kondisi pihak yang meminta fatwa. Dengan demikian, mufti sebaiknya memperluas penjelasan yang dikemukakan kalau memang kondisi penanya menghendaki demikian dan begitu pun sebaliknya.

Latihan

Untuk mendalami materi pada Satuan Bahasan , dianjurkan untuk mengerjakan latihan berikut:

1. Buat rumusan tentang taklid baik secara etimologi maupun terminologi

2. Buat rumusan tentang talfiq dan hukum talfiq

3. Buat rumusan tentang ifta, mufti dan urgensi fatwa dalam kehidupan umat

Tes Formatif

1. Jelaskan pengertian taklid baik secara etimologi maupun terminologi!

2. Jelaskan tentang talfiq baik secara etimologi maupun terminologi 3. Bagaimana hukum talfiq?

4. Kemukakan alasan-alasan yang membolehkan talfiq! 5. Kemukakan alasan-alasan yang melarang talfiq!

6. Uraikan tentang fatwa baik secara etimologi maupun terminologi 7. Apa saja kode etik yang harus diperhatikan oleh seorang mufti? 8. Berikan satu contoh dari hasil fatwa ulama yang berkaitan dengan

SATUAN BAHASAN VII QAIDAH FIQHIYYAH A. Gambaran Singkat Mengenai Materi Kuliah

Salah satu kekayaan peradaban Islam di dalam bidang hukum yang masih jarang ditulis adalah kaidah fiqh. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh akan diketahui benang merah yang mewarnai fiqh, karena kaidah fiqh menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh pada waktu dan tempat yang berbeda kasus, keadaan, dan adat kebiasaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lebih mudah di dalam memberi solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dengan tetap berpegang kepada kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan hikmah yang terkandung di dalam fiqh.

Bab ini akan menjelaskan lebih jauh tentang persoalan yang bertalian dengan Qaidah Fiqhiyyah( Pengertian, kedudukan, sumber

pengambilan, sejarah perkembangan danQaidah Kulliyah).

B. Pedoman Mempelajari Materi

Telaah dan Pahami dengan baik uraian mengenaiQaidah Fiqhiyyah(

Pengertian, kedudukan, sumber pengambilan, sejarah perkembangan danQaidah Kulliyah)., Buku ini memberikan contoh-contoh Qaidah-qaidah kulliyah dan penjelasan tentang kedudukan, sejarah dan sumber

pengambilan Qaidah Fiqhiyyah. Kemudian buatlah intisari/ringkasan dari

obyek kajian tersebut.

C. Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu untuk: 1. Menjelaskan tentang substansi‘Qaidah Fiqhiyyah

2. Mengemukakan dan memberikan contoh- contoh Qaidah-qaidah kulliyah

3. Menguraikan tentang pengertian dan kedudukan Qaidah Fiqhiyyah

QAIDAH FIQHIYYAH A. Pengertian Al-Qawa’idul Fiqhiyyah

Kata Qa’idah Fiqhiyyah, terdiri dari dua kata yakni qa’idah dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jama’nya, Qawa’id menurut bahasa

berarti dasar atau asas, seperti tersebut dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 127 :































Terjemahnya :

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. 2 : 127)

Menurut pengertian ahli nahwu (gramatika bahasa Arab), qa’idah berarti sesuatu yang tepat (dlabith), maksudnya ialah :

ﻪﺗﺎﻴﺋﺰﺟ ﻰﻠﻋ ﻖﺒﻄﻨﳌا ﻲﻠﻜﻟا ﻢﻜﳊا

Terjemahnya :

“Aturan umum yang mencakup (bersesuaian) dengan semua bagian-bagiannya”.

Berarti ketentuan aturan itu tepat dan tetap; seperti pada kedudukan fa’il (subyek) itu marfu’ dan seperti maf’ul (obyek) itu mansub.

Lain halnya pengertian qa’idah menurut ahli Ushul Fiqh: qa’idah berarti sesuatu yang biasa atau ghalibnya begitu : maksudnya ketentuan peraturan itu biasanya atau ghalibnya begitu, sehingga menurut mereka ungkapan qa’idah ialah :

ﻪﺗﺎﺘﻴﺋﺰﺟ ﻢﻈﻌﻣ ﻰﻠﻋ ﻖﺒﻄﻨﻳ ﱵﺒﻠﻏأ ﻢﻜﺣ

Terjemahnya :

“Hukum (aturan) yang kebanyakannya bersesuaian dengan sebagian besar bahagian-bahagiannya”

Kata fiqhiyyah, berasal dari kata fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf, yang dikeluarkan dari dalilnya yang terperinci.

Pengertian qa’idah fiqhiyyah dalam susunan kata sifat dan yang disifati, berarti ketentuan aturan yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqh yang diambilkan dari dalil yang terperinci.

Qa’idah fiqhiyyah sebagaimana dari suatu cabang ilmu pengetahuan, oleh Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa dita’rifkan :

ﺔﻴﻬﻘﻓ لﻮﺻأ

ﺔﻣﺎﻋ ﺔﻴﻌﻳﺮﺸﺗﺎﻣﺎﻜﺣأ ﻦﻤﻀﺗ ﺔﻳرﻮﺘﺳد ةﺰﺟﻮﻣ صﻮﺼﻧ ﰲ ﺔﻴﻠﻛ

ﺎﻬﻋﻮﺿﻮﻣ ﺖﲢ ﻞﺧ ﺪﺘﻴﻟا ثداﻮﳊا ﰱ

Terjemahnya :

“Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya”.

Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddeqy Q’aidah Fiqhiyyah itu ialah : Qa’idah-qa’idah yang bersifat kulliy yang diambil dari dalil-dalil kulliy dan dari maksud-maksud Syara’ menetapkan Hukum (maqashidusy Syar’iy) pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya.

Kedua pengertian di atas saling melengkapi, karena pengertian pertama melihat bentuk dan isi sedang pengertian kedua melihat isi dan sumber pengambilan serta perumusannya.

Dalam dokumen USHUL FIQH II. Dr. Misbahuddin, S.Ag.,M.Ag. (Halaman 164-171)

Dokumen terkait