(Covid-19 Crisis: An International Law Perspective to Pandemics) Sabrina Nadilla
2. IHR dan Kesiapan Pandemi: Praktik Penanganan Pandemi Pasca Revisi IHR
2005
Meskipun kesiapsiagaan dalam penanganan pandemi tidak secara eksplisit tercantum di dalam IHR 2005, faktanya, IHR menjadi rujukan utama bagi negara pihak dalam persiapan menghadapi pandemi.35 Hal ini mengingat, posisi IHR sebagai instrumen hukum internasional terkuat yang mampu mengintegrasikan pemangku kebijakan dalam kerangka kerja deteksi dan respons penyakit dalam skala global.36 Dalam konteks pandemic preparedness, IHR menyaratkan negara pihak untuk ”establish, operate and maintain a national public health emergency response plan, including the creation of multidisciplinary/multisectoral teams to respond to events that may constitute a public health emergency of international concern.”37
Dengan kata lain, kesuksesan dari kerangka kerja IHR dalam penanganan pandemi akan sangat bergantung pada kapasitas nasional dan kerja sama dari masing-masing negara pihak.
a. H1N1 2009 dan Ebola 2014, Pandemi Mo-dern yang ’Menguji’ Operasional IHR 2005
Kurang dari dua tahun setelah IHR 2005 resmi berlaku, publik internasional dihadapkan pada pandemi pertama di abad ke 21. Tepatnya pada Maret 2009, virus H1N1 –yang juga dikenal sebagai flu babi (swine influenza)– menyebar dari sebuah desa kecil di Meksiko hingga ke seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan minggu.38
Peristiwa luar biasa ini kemudian menjadi momentum pengujian terhadap mekanisme yang disediakan oleh IHR pasca dilakukan revisi. Awal mula terdeteksinya penyebaran virus H1N1 ialah setelah Kementerian Kesehatan Mexico mulai mendeteksi keluhan penyakit sejenis influenza (influenza-like illness) yang tidak biasa.39 Pada awal April, otoritas kesehatan Meksiko meningkatkan pengintaian yang berhasil mendeteksi peningkatan penyebaran di desa La Gloria. Pada saat yang sama, sistem pengintaian Pan American Health Organization (PAHO) mengidentifikasi peningkatan perhatian media terkait penyebaran penyakit tersebut dan meminta informasi lebih lanjut dari focal point IHR Mexico.40 Sebagai respons, NFP Meksiko menyelesaikan penilaian risiko menggunakan instrumen IHR, melaporkan bahwa peristiwa La Gloria ”might constitute a Public Health Emergency of International Concern.”41
Menanggapi situasi demikian, Direktur Jenderal WHO pada saat itu, Dr. Margaret Chan, menyelenggarakan pertemuan dengan Komite Darurat pada akhir April 2009. Berdasarkan 34 Bogdandy and Villarreal, International Law on Pandemic Response: A First Stocktacking in Light of the Coronavirus
Crisis, 15.
35 Katz and Fischer, ”The Revised International Health Regulations : A Framework for Global Pandemic Response,” 7.
36 Ibid., 8.
37 Annex I International Health Regulation 2005, 6g
38 Davies, Kamradt-Scott, and Rushton, Disease Diplomacy: International Norms and Global Health Security, 93; Gostin, ”Influenza A (H1N1) and Pandemic Preparedness Under the Rule of International Law,” 2376.
39 Trygve Ottersen, Steven J Hoffman, and Gaëlle Groux, ”Ebola Again Shows the International Health Regulations Are Broken: What Can Be Done Differently to Prepare for the Next Epidemic?,” American Journal of Law and Medicine 42 (2016): 364.
40 Ibid.
pertemuan tersebut, peristiwa penyebaran yang sedang terjadi telah memenuhi kriteria PHEIC dan mendesak seluruh negara pihak untuk ”meningkatkan intensitas pengintaian terhadap penyebaran influenza-like illness dan pneumonia yang tidak biasa.”42 Dua hari selanjutnya setelah memperoleh informasi epidemiologi lebih jauh, Komite Darurat merekomendasikan level kesiagaan pandemi ditingkatkan dari Fase 3 (limited human-to-human transmission) menjadi Fase 4 (community level outbreak) dan terus meningkat hingga Fase 5 (sustained community transmission).43 Puncaknya pada 2010, sebanyak 214 negara melaporkan kasus terkonfirmasi H1N1 dengan total perkiraan kasus berkisar antara puluhan hingga dua ratus juta kasus dan angka kematian mencapai 18.500 kasus.44 Pandemi H1N1 akhirnya dinyatakan selesai pada 10 Agustus 2010, setelah Direktur Jenderal WHO menyatakan bahwa dunia telah memasuki periode pasca pandemi.
Empat tahun pasca berakhirnya pandemi H1N1, publik internasional kembali dihadapkan pada Ebola Crisis, yang hingga saat ini, merupakan penyebaran virus ebola terbesar dan paling kompleks dalam sejarah.45 Penyebaran penyakit ini bermula dari seorang anak yang tinggal di dekat perbatasan Guinea dengan
Liberia dan Sierra Leone pada akhir 2013; petugas kesehatan Guinea yang tidak familiar dengan ebola menyebabkan kasus tersebut tidak terdeteksi hingga Maret 2014.46 Sementara itu, para ilmuwan di Sierra Leone memperkirakan ebola telah menyebar di wilayahnya, yang kemudian dikonfirmasi berhubungan dengan praktik penguburan yang tidak aman di Guinea. Informasi ini, bagaimanapun tidak terdeteksi oleh sistem pengintaian Sierra Leone hingga akhir Mei. Dengan penyebaran pada lebih dari enam puluh lokasi di Guenia, Liberia, dan Sierra Leone pada akhir Juni.47 Dengan situasi tersebut, Médecins Sans Frontères (MSF) satu-satunya organisasi humaniter internasional yang merawat pasien ebola, mengeluarkan peringatan bahwa ebola sudah ”di luar kendali” dan membutuhkan ”pengerahan sumber daya secara masif” untuk menahan laju penyebaran.48 Pada praktiknya, Ebola Virus Disease (EVD) dapat dikendalikan secara efisien melalui sistem kesehatan publik yang kuat dan kanal komunikasi yang terbuka. Negara pasca konflik seperti Guinea, Liberia, dan Sierra Leone, bagaimanapun, masih harus menghadapi sistem kesehatan publik yang lemah, rendahnya literasi kesehatan, dan sumber daya manusia serta infrastuktur yang tidak memadai adalah faktor 42 World Health Organization, ”WHO Ad Hoc Scientific Teleconference on the Current Influenza A(H1N1) Situation,” WHO, accessed May 20, 2020, April 29, 2009. www.who.int/csr/resources/publications/swineflu/TC Report2009_05_04. pdf.
43 Davies, Kamradt-Scott, and Rushton, Disease Diplomacy: International Norms and Global Health Security, 96.
44 Ottersen, Hoffman, and Groux, ”Ebola Again Shows the International Health Regulations Are Broken: What Can Be Done Differently to Prepare for the Next Epidemic?,” 365.
45 Tsung-ling Lee, ”Making International Health Regulations Work : Lessons from the Ebola Outbreak,” Vanderbilt Journal of Transnational Law 49, no. 31 (2015): 941.
46 Rebecca Davis, ”Ebola Epidemic 2014: Timeline,” Guardian, last modified 2014, accessed May 20, 2020, http://www. theguardian.com/world/2014/oct/15/ebola-epidemic-2014-timeline.
47 Lee, ”Making International Health Regulations Work : Lessons from the Ebola Outbreak,” 942.
48 Ottersen, Hoffman, and Groux, ”Ebola Again Shows the International Health Regulations Are Broken: What Can Be Done Differently to Prepare for the Next Epidemic?,” 366; Lee, ”Making International Health Regulations Work : Lessons from the Ebola Outbreak,” 945.
yang semakin memperparah laju penyebaran ebola di wilayah tersebut.49 Setelah proses panjang, ebola resmi dinyatakan sebagai PHEIC pada Agustus 2014, menelan lebih dari 900 korban jiwa. Kasus-kasus ebola juga selanjutnya ditemukan di Italia, Mali, Senegal, Spanyol, Britania Raya, dan Amerika Serikat, dengan total kematian mencapai 11,300 korban jiwa.
b. Lesson Learned: Tantangan IHR dalam Penanganan Pandemi
Sejak mengalami ’uji coba’ pada penanganan pandemi terdahulu, artikel ini selanjutnya akan mengelaborasi tantangan yang muncul dari operasionalisasi IHR 2005. Pertama, dari sisi deklarasi status PHEIC. Sejak berlakunya IHR 2005, terhitung enam kasus peristiwa penyebaran penyakit yang dideklarasikan sebagai PHEIC,
Tabel 2 Deklarasi Status PHEIC oleh WHO
Peristiwa Tanggal Deklarasi PHEIC Status
H1N1 Pandemi Influenza 24 April 2009 Berakhir per 10 Agustus 2010
Wild Poliovirus 5 Mei 2014 Aktif
2014-2016 Ebola Afrika Barat 8 Agustus 2014 Berakhir per 29 Maret 2016
2016 Zika 1 Februari 2016 Berakhir per 23 November 2016
2018-2020 Ebola Republik Demokratis Kongo
17 Juli 2019 Aktif
Coronavirus 2019 30 Januari 2020 Aktif
Sumber: von Bogdandy dan Villareal, 2020
Pendeklarasian status PHEIC terhadap suatu peristiwa penyebaran penyakit kerap menjadi sorotan para ahli, pertama, dalam hal
kecepatan dan ketepatan deklarasi PHEIC. Pada pandemi H1N1, WHO mendeklarasikan status PHEIC dalam jangka waktu satu bulan sejak deteksi penyebaran pertama di bulan Maret 2009, menjadikan deklarasi PHEIC H1N1 sebagai respons tercepat WHO hingga saat ini.50 Respons cepat ini, bagaimanapun, dipandang sebagai langkah yang terbilang prematur oleh para kritikus. WHO disinyalir telah ”menimbulkan ketakutan publik”, mengingat virus H1N1 bukan merupakan penyakit mematikan, selain kerancuan definisi dari ”fase pandemi influenza” yang tidak terdapat pada kerangka kerja IHR 2005.51 Sebaliknya, pendeklarasian PHEIC pada kasus Ebola 2014 memakan waktu hingga empat bulan, dengan jumlah korban yang sudah mencapai angka 11.300 jiwa.52 Sebagaimana dinyatakan oleh WHO Ebola Interim Assessment
49 Lee, ”Making International Health Regulations Work : Lessons from the Ebola Outbreak,” 944.
50 Steven J. Hoffman and Sarah L. Silverberg, ”Delays in Global Disease Outbreak Responses: Lessons from H1N1, Ebola, and Zika,” American Journal of Public Health 108, no. 3 (2018): 330.
51 Gostin, Debartolo, and Friedman, ”The International Health Regulations 10 Years on : The Governing Framework for Global Health Security,” 273.
52 Lawrence O Gostin, ”The Future of the World Health Organization: Lessons Learned From Ebola,” The Milbank Quarterly 93, no. 3 (2015): 476; Gostin, Debartolo, and Friedman, ”The International Health Regulations 10 Years on : The Governing Framework for Global Health Security,” 274.
53 Komite yang terdiri dari para ahli independen ini dibentuk khusus untuk mengkaji respons WHO terhadap penyebaran EVD; Ottersen, Hoffman, and Groux, ”Ebola Again Shows the International Health Regulations Are Broken: What Can Be Done Differently to Prepare for the Next Epidemic?,” 375.
Panel, keterlambatan deklarasi PHEIC pada peristiwa Ebola ”berpengaruh signifikan dan tidak dapat dibenarkan.”53 Adapun alasan dari keterlambatan tersebut yakni budaya
organisasi WHO, masalah dalam arus informasi, struktur pengambilan keputusan regional WHO, dan kesulitan bernegosiasi dengan negara terdampak. Lebih jauh, sejumlah peringatan dari MSF dan institusi lainnya tidak sampai pada perhatian jajaran pimpinan WHO; diduga, peringatan tersebut tidak dianggap sebagai hal yang signifikan.54 Isu inkonsistensi dalam pendeklarasian PHEIC kemudian mengundang pertanyaan mengenai transparansi dalam proses pengambilan keputusan dalam WHO yang ditengarai bersifat politis ketimbang perdebatan teknis. Secara khusus, isu inklusivitas dalam proses deliberasi menjadi harga yang harus dibayar untuk mempercepat proses pengambilan keputusan.55
Isu kedua dalam pendeklarasian PHEIC ialah keberadaan kerangka kerja WHO lainnya yakni Pandemic Influenza Preparedness dan Emergency Health Response yang menimbulkan kerancuan dalam penentuan respons atas suatu peristiwa yang berpotensi memicu PHEIC. Dalam kasus H1N1, kebingungan dipicu oleh keberadaan Pandemic Influenza Preparedness menjadi dasar bagi WHO dalam mendeklarasikan PHEIC melalui peningkatan gradual fase-fase dalam pedoman tersebut.56 Padahal dari sisi legalitas, IHR 2005 tidak memuat ketentuan yang menyebutkan, apalagi mengizinkan hal apapun terkait dengan sistem kewaspadaan pandemi influenza tersebut. Hal serupa terulang
kembali dalam penanganan Ebola 2014, yakni penggunaan Emergency Response Framework yang ditujukan untuk menilai severity dari suatu penyebaran penyakit dalam rangka penentuan status PHEIC.57
Tantangan selanjutnya yang dihadapi IHR ialah terkait kapasitas inti nasional (national core capacities) yang dimiliki oleh negara anggota. Mendekati tenggat waktu dalam pemenuhan national capacities, WHO merilis survei kesiapan implementasi ketentuan ini: hanya 66% dari 194 negara anggota merespons survei tersebut, dengan 10% negara yang berhasil mengimplementasikan kapasitas minimum secara penuh.58 Terbukti, meskipun telah dilakukan perpanjangan tenggat waktu selama empat tahun hingga 2016, terhitung hanya 64 dari 81 negara pihak yang dinyatakan memenuhi ketentuan national core capacities IHR.59 Pasca H1N1 dan Ebola, baik negara berkembang maupun negara terbelakang mengalami ketertinggalan dalam memenuhi mandat kapasitas minimum yang disebabkan oleh ketiadaan infrastruktur kesehatan.60 Kondisi ini dipersulit dengan tidak adanya pembiayaan inisiatif kesehatan global yang cukup dan terkoordinasi dengan baik untuk memberikan pendampingan.61 Lebih lanjut, diperlukan mekanisme tertentu yang dapat memfasilitasi negara-negara maju untuk memberikan pendampingan peningkatan kapasitas melalui 54 Ibid.
55 Bogdandy and Villarreal, International Law on Pandemic Response: A First Stocktacking in Light of the Coronavirus Crisis, 14.
56 Davies, Kamradt-Scott, and Rushton, Disease Diplomacy: International Norms and Global Health Security, 96.
57 Gostin, Debartolo, and Friedman, ”The International Health Regulations 10 Years on : The Governing Framework for Global Health Security,” 2225
58 Ottersen, Hoffman, and Groux, ”Ebola Again Shows the International Health Regulations Are Broken: What Can Be Done Differently to Prepare for the Next Epidemic?,” 367.
59 Gostin, ”The Future of the World Health Organization: Lessons Learned From Ebola,” 2223.
60 Gostin, ”Influenza A (H1N1) and Pandemic Preparedness Under the Rule of International Law,” 2377.
61 Kumanan Wilson, John S. Brownstein, and David P. Fidler, ”Strengthening the International Health Regulations: Lessons from the H1N1 Pandemic,” Health Policy and Planning 25, no. 6 (2010): 56.
konferensi, perencanaan yang melibatkan berbagai pemangku kebijakan, maupun pembentukan international funding.62 Isu national core capacities juga dipandang sebagai potensi distorsi terhadap prioritas kesehatan nasional. PHEIC merupakan masalah utama bagi negara maju dengan sistem kesehatan nasional yang sudah mapan, bagaimanapun, negara berkembang akan kesulitan untuk mengalokasikan sumber daya lebih untuk mengantisipasi PHEIC yang sudah kewalahan untuk membangun sistem kesehatan nasional yang layak.63
Keempat, IHR 2005 dalam penanganan pandemi sangat berpotensi untuk bersinggungan dengan isu lain seperti migrasi, perdagangan internasional, hingga hak asasi manusia. Meskipun WHO telah menyatakan bahwa pembatasan perjalanan internasional tidak memiliki dampak signifikan terhadap penyebaran H1N1, banyak negara memberlakukan travel ban dari dan ke Meksiko.64 Lebih jauh, ketakutan akan penyebaran H1N1 melalui daging babi menjadi latar belakang pelarangan impor daging babi dari Meksiko, Amerika Serikat, dan Kanada di setidaknya dua puluh negara. Kondisi tersebut berakhir pada klaim pelanggaran hukum perdagangan internasional yang diajukan oleh Meksiko ke World Trade Organization (WTO).65
Rekomendasi WHO untuk melakukan social distancing dan upaya karantina akan berkaitan erat dengan pembatasan hak sipil warga negara yang, meskipun telah tercantum pada Pasal 2 dan
32 IHR 2005, masih belum memuat penjelasan spesifik tentang teknis implementasi di masa pandemi.66 Terakhir, karakter IHR 2005 sebagai kerangka kerja hukum internasional tentu menghadapi tantangan dalam hal penegakan (enforcement). Hingga IHR 2005, tidak ada ketentuan mengenai penalti bagi kegagalan negara pihak untuk melaporkan peristiwa berpotensi PHEIC maupun kegagalan memenuhi national core capacities; dalam hal ini, WHO tidak memiliki kekuatan formil untuk memaksakan para negara pihak agar mematuhi (to comply) IHR 2005 sepenuhnya. Ketiadaan mekanisme ajudikasi dipahami sebagai bentuk kompromi WHO atas isu sovereignty dari masing-masing negara pihak.67 Ketiadaan mekanisme formal untuk merespons tindakan-tindakan yang tidak berbasis bukti (non-evidence based) seperti pembatasan perjalanan dan perdagangan juga menjadi pekerjaan rumah bagi kerangka kerja IHR 2005.
3. IHR dan Covid-19: Perkembangan