• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.3 Kondisi Fisik

4.3.2 Iklim, Intensitas Hujan dan DAS

Areal IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri termasuk kedalam tipe iklim A (daerah sangat basah dengan curah hujan tanpa bulan kering merata sepanjang tahun dan bervegetasi hutan hujan tropis) menurut klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson atau tipe iklim Af menurut klasifikasi iklim Koppen. Dari data yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan Camp Gesa (tahun 1994- 2001) diperoleh nilai Q = 0% dengan curah hujan rata-rata adalah sebesar 285,6 mm/bulan. Tingkat minimum curah hujan terjadi pada bulan November (208,8 mm/bulan) dan maksimum pada bulan Oktober (354,1 mm/bulan).

Areal IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri berada dalam wilayah DAS Sungai Mamberamo dan DAS Sungai Gesa. Pola sungai Mamberamo dan Sungai Gesa umumnya berpola dendritik, dengan arah aliran dari selatan menuju

utara. Sungai tersebut bersifat perenial stream (mengalir sepanjang tahun), kecepatan arus tergolong lambat sampai agak cepat, serta dasar saluran mengandung lumpur.

4.3.3 Jenis Tanah

Jenis tanah di areal PT. MAM berdasarkan Peta Tanah Provinsi Irian Jaya skala 1 : 1.000.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1993) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis tanah di areal kerja IUPHHK PT Mamberamo Alasmandiri Jenis Tanah Kepekaan Erosi *) Luas

Kelas Kepekaan Hektar % Aluvial Tropaquents (Gleisol hidrik) Topaquenpts (Gleisol distrik) 1 Tidak Peka 145.700 21,5

Latosol Dystropepts 2 Agak Peka 255.110 37,7 Podsolik Hapludults 4 Peka 250.870 37,0 Litosol Troporthenst 5 Sangat Peka 23.190 3,4 Regosol Tropopsammenst 6 Sangat Peka 2.440 0,4

Sumber: Dokumen RKUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri tahun 2008

Keterangan : *) Kepekaan tanah terhadapa erosi didasarkan pada ketentuan yang tersurat dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980

4.4 Kondisi Biotik 4.4.1 Flora

Jenis kayu komersial yang menjadi produk andalan PT Mamberamo Alasmandiri adalah jenis merbau (Intsia spp.). Jenis Dipterocarpaceae yang sering ditemukan di lokasi penelitian antara lain jenis Hopea dyeri, Anisoptera iriana dan Vatica rassak. Matoa (Pometia spp.) juga menjadi produk unggulan yang berasal dari suku Sapindaceae. Jenis lain yang cukup mendominasi berasal dari suku Myrtacea, Myristicaceae dan Burseraceae.

Selain jenis-jenis di atas, juga terdapat dua jenis kayu yang dilindungi yaitu kayu lawang (Cinnamomum sintoc) dan beringin (Ficus spp.). Beringin dianggap sebagai nenek moyang penduduk setempat sehingga jenis ini tidak ditebang. Sagu juga sering ditemui di sepanjang aliran sungai dan menjadi sumber makanan pokok masyarakat setempat.

4.4.2 Fauna

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jenis-jenis satwa liar yang sering ditemukan di areal kerja PT Mamberamo Alasmandiri adalah babi hutan (Sus barbatus), buaya muara (Crocodylus porossus), buaya darat (Crocodylus novaeguineae), lau-lau atau kanguru tanah (Thylogale bruijnii). Berbagai jenis burung juga sering ditemukan di lokasi, seperti burung cenderawasih (Paradisea minor), mambruk (Goura victoria), kasuari gelambir tunggal (Casuarius unappendiculatus), kakatua koki (Cacatua galerita) dan maleo (Macrocephalon maleo).

4.5 Sistem Pengelolaan Hutan yang Diterapkan

Kegiatan logging di PT MAM mulai dilakukan pada tahun 1994 dan pernah mengalami stagnasi produksi. PT MAM membagi arealnya menjadi dua unit kelestarian yaitu Unit Gesa (Kompartemen A) dan Unit Aja (Kompartemen B). Kedua unit tersebut melakukan kegiatan pengelolaan hutan secara terpisah. Hingga saat ini kegiatan pemanenan masih dilakukan dengan teknik konvensional dan belum menetapkan teknik RIL walaupun pernah dilakukan uji coba RIL. Sistem silvikultur yang diterapkan adalah sistem TPTI. Pada hutan produksi, penebangan dilakukan pada jenis komersial berdiameter 40 cm-up, sedangkan pada HPT penebangan dilakukan pada jenis komersial berdiameter 50-up.

Berdasarkan dokumen RKUPHHK-HA PT MAM tahun 2008, Jatah Produksi Tahunan (JPT) yang diperbolehkan adalah sebesar 14.907 ha/tahun atau 224.623 m3/tahun, sedangkan rata-rata realisasi produksi adalah 15 m3/ha atau 9,2 batang/ha. Jenis kayu komersial yang diproduksi oleh PT. MAM digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu: jenis merbau, kelompok jenis meranti non merbau, kelompok rimba campuran, dan kelompok kayu indah. Kelompok jenis meranti non merbau yang sering ditemui adalah jenis matoa (Pometia spp.), mersawa (Anisoptera iriana), resak (Vatica rassak), nyatoh (Palaquium lobianium), dan pulai (Alstonia scholaris). Kelompok rimba campuran yang sering dijumpai di lapangan antara lain jenis bintangur (Calophyllum inophyllum), binuang (Octomeles sumatrana), terentang (Campnosperma brevipetiolata) dan bipa

(Pterygota horsfieldii) sedangkan untuk kelompok jenis kayu indah antara lain jenis dahu (Dracontomelon dao).

Tabel 4 Jatah Produksi Tahunan tahun RKT 2010 PT MAM

No Jenis Target Tebangan Rata-Rata

Jumlah Pohon Volume N/ha m3/ha

1 Merbau 21.590,00 76.694,96 1,51 5,38

2 Kelompok Kayu meranti

Matoa 10.739,00 14.064,25 0,75 0,99 Mersawa 5.964,00 9.170,64 0,42 0,64 Nyatoh 7.394,00 12.037,70 0,52 0,84 Resak 6.618,00 6.333,72 0,46 0,44 Meranti Lain 17.370,00 28.096,23 1,22 1,97 Total 48.085,00 69.702,54 3,37 4,89

3 Kelompok Rimba Campuran

Bintangur 2.704,00 13.052,25 0,19 0,91

Binuang 2.313,00 8.781,39 0,16 0,62

Terentang 2.634,00 6.983,96 0,18 0,49

Rimba Campuran Lain 23.871,00 54.058,11 1,67 3,79

Total 31.522,00 82.875,71 2,21 5,81

4 Kelompok Kayu Indah

Dahu 400,00 1.039,82 0,03 0,07

Kayu Indah Lain 687,00 1.951,92 0,05 0,14

Total 1.087,00 2.991,74 0,08 0,21

TOTAL 102.284,00 232.264,95 7,17 16,28

Sumber: Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua No. KEP-522.1/3821 Desember 2009, Dokumen RKT PT MAM tahun 2010

Pada Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa intensitas penebangan yang dilakukan PT MAM per hektar untuk masing-masing jenis tidaklah terlalu besar. Volume produksi yang besar disebabkan oleh luasnya areal penebangan. Jenis merbau sendiri ditebang dengan intensitas 1,51 pohon/ha. Kelompok jenis kayu meranti yang memiliki intensitas penebangan tertinggi adalah jenis matoa.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor Fisik Lingkungan

Faktor fisik lingkungan dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada masing-masing lokasi penelitian. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi komposisi individu yang ditemukan dalam lingkungannya. Perbedaan faktor fisik lingkungan pada kelima lokasi penelitian (Tabel 5) dapat menyebabkan pola sebaran merbau yang berbeda. Tabel 5 Kondisi fisik lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian

Kondisi Fisik Hutan

primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun Kelas kelerengan datar-curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam datar-sangat curam

Aspek Barat-Utara Timur-Utara Barat-Utara Timur-Selatan Timur-Selatan

Posisi bentang lahan lembah- punggung bukit lembah- punggung bukit lembah- punggung bukit lembah- punggung bukit lembah- punggung bukit Tinggi tempat (mdpl) 314 ± 9,81 329 ± 26,27 75 ± 34,99 55 ± 15,25 40 ± 8,64 Suhu rata-rata harian (0C) 28,33 ± 0,58 27 ± 0,00 27,67 ± 0,58 28,75 ± 0,66 27 ± 0,90 Kelembapan relatif (%) 92,33 ± 0,58 92 ± 0,00 86,25 ± 0,43 94,33 ± 4,93 96,33 ± 0,58 Tekstur tanah 1, Pasir 12,44 ± 2,71 15,45 ± 1,63 37,62 ± 4,97 24,51 ± 12,11 23,48 ± 4,78 2, Debu 59,74 ± 5,14 55,95 ± 4,49 42,11 ± 14,39 59,28 ± 18,31 53,17 ± 6,78 3, Liat 27,82 ± 2,82 28,60 ± 3,41 20,27 ± 9,49 16,17 ± 6,23 23,35 ± 2,58 Kelas tekstur tanah lempung liat berdebu lempung liat berdebu lempung lempung berdebu lempung berdebu Penggenangan - - - - -

Berdasarkan Tabel 5, topografi pada kelima lokasi relatif sama, yaitu datar hingga sangat curam dengan persen kelerengan terendah adalah 0% dan tertinggi 80%. Konfigurasi kelima lokasi bergelombang dengan posisi bentang lahan setiap jalur pengamatan melewati lembah dan punggung bukit. Kondisi di atas

menunjukkan bahwa pembuatan jalur pengamatan telah mewakili semua kelas kelerengan atau memotong garis kontur sesuai dengan yang diharapkan.

Tinggi tempat pada hutan primer berbeda sangat nyata (p value < 0,01) dengan LOA berumur 15 tahun, 11 tahun, dan 5 tahun, serta berbeda nyata (p value < 0,05) dengan LOA berumur 2 tahun. Hal ini disebabkan lokasi LOA berumur 2 tahun dan hutan primer relatif berdekatan sedangkan dengan lokasi lainnya berjauhan. Semakin tua umur lokasi bekas tebangan akan memiliki ketinggian tempat yang semakin rendah karena garis pantai pada areal IUPHHK- PT Mamberamo Alasmandiri memotong dari Utara-Selatan. Hasil uji t berpasangan ketinggian tempat disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji t berpasangan untuk ketinggian tempat pada kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,000** 0,000** 0,000** 0,043* LOA 15 tahun 0,002** 0,001** 0,000** LOA 11 tahun 0,048* 0,000** LOA 5 tahun 0,000** LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Suhu udara rata-rata harian pada kelima lokasi memiliki nilai terendah 27 ± 0,00 0C pada LOA berumur 2 tahun dan tertinggi 28,75 ± 0,66 0C pada LOA berumur 11 tahun. Semua lokasi memiliki nilai suhu harian rata-rata yang tidak berbeda nyata (Tabel 7) kecuali lokasi LOA berumur 2 tahun dan 11 tahun yang berbeda nyata (p value < 0,05).

Tabel 7 Hasil uji t berpasangan untuk suhu rata-rata harian kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,235ns 0,423ns 0,184ns 0,057ns LOA 15 tahun 0,073ns 0,513ns 1,000ns LOA 11 tahun 0,238ns 0,044* LOA 5 tahun 0,184ns LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Nilai kelembaban relatif (RH%) pada kelima lokasi bervariasi dengan nilai terendah 86,25% ± 0,43% pada LOA berumur 5 tahun dan tertinggi pada LOA berumur 15 tahun dengan 96,33% ± 0,58%. Berdasarkan Tabel 8, hutan primer memiliki nilai RH % yang tidak berbeda nyata dengan LOA 2 tahun dan LOA 11 tahun, berbeda nyata dengan LOA berumur 15 tahun dan berbeda sangat nyata dengan LOA berumur 5 tahun. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai RH% adalah kerapatan penutupan tajuk, dimana semakin rapat tajuk suatu tegakan maka akan memiliki nilai RH% yang semakin tinggi.

Tabel 8 Hasil uji t berpasangan untuk kelembaban relatif kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,020* 0,580ns 0,000** 0,423 ns LOA 15 tahun 0,574ns 0,003** 0,006** LOA 11 tahun 0,115ns 0,499 ns LOA 5 tahun 0,002** LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tekstur tanah pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun berupa lempung liat berdebu, LOA berumur 5 tahun berupa lempung dimana komposisi ketiga fraksinya seimbang dan tekstur tanah pada LOA berumur 11 dan 15 tahun adalah lempung berdebu. Kandungan pasir antara LOA 2 tahun dan hutan primer relatif sama, sedangkan kandungan pasir pada LOA 5 tahun berbeda nyata dengan kedua lokasi tersebut namun tidak berbeda nyata dengan lokasi lainnya. Hutan primer dan LOA berumur 2 tahun memiliki kandungan pasir yang lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya.

Tabel 9 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan pasir kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,097ns 0,239ns 0,024* 0,098 ns LOA 15 tahun 0,842ns 0,098 ns 0,097 ns LOA 11 tahun 0,296 ns 0,298 ns LOA 5 tahun 0,028* LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tabel 10 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan debu kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,272ns 0,968ns 0,243ns 0,083 ns LOA 15 tahun 0,456ns 0,442ns 0,639 ns LOA 11 tahun 0,438ns 0,796 ns LOA 5 tahun 0,293 ns LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Tabel 11 Hasil uji t berpasangan untuk kandungan liat kelima kondisi hutan Lokasi Hutan primer LOA 15 tahun LOA 11 tahun LOA 5 tahun LOA 2 tahun Hutan primer 0,023* 0,069ns 0,395 ns 0,717 ns LOA 15 tahun 0,110ns 0,702 ns 0,161 ns LOA 11 tahun 0,678 ns 0,131 ns LOA 5 tahun 0,300 ns LOA 2 tahun

Keterangan : ns: tidak berbeda nyata (p > 0,05) *: berbeda nyata (p < 0,05) **: berbeda sangat nyata (p < 0,01)

Kandungan debu pada kelima lokasi (Tabel 10) tidak berbeda nyata (p value > 0,05) begitupun juga kandungan liat (Tabel 11) kecuali antara hutan primer dengan LOA 15 tahun yang berbeda nyata (p value < 0,05). Oleh karena itu, ketiga fraksi tekstur tanah yang berbeda nyata antara masing-masing lokasi hanyalah fraksi pasir. Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa permudaan merbau akan lebih mudah tumbuh pada lokasi yang memiliki kandungan pasir tinggi. Berdasarkan kedelapan faktor di atas, faktor ketinggian tempat, kelembaban relatif dan kandungan pasir dalam tekstur tanah ternyata berbeda-beda antar lokasi penelitian sehingga dapat dijadikan sebagai faktor pembatas untuk menganalisis pola sebaran, sedangkan faktor-faktor lainnya seperti topografi, posisi bentang lahan, suhu, kandungan debu dan liat relatif homogen.

Ketinggian tempat berpengaruh terhadap kandungan unsur hara tanah dan penyebaran biji. Posisi ini mengakibatkan bagian yang lebih rendah memiliki unsur hara yang lebih baik akibat aliran permukaan tanah dan aliran sungai yang membawa serta unsur-unsur hara dari hulu. Selain itu, penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai turut menyebabkan berkumpulnya biji merbau di areal yang altitudenya lebih rendah.

Krebs (1978) menyatakan bahwa kelembapan udara berkaitan dengan kemampuan tumbuhan untuk menahan air serta berkaitan dengan suhu udara dan penyinaran matahari. Area yang memiliki kelembapan relatif tinggi menunjukkan bahwa penutupan tajuk pada lokasi tersebut tinggi. Merbau yang merupakan jenis intoleran yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya, sehingga jenis ini dapat beregenerasi dengan baik pada areal yang memiliki kerapatan tajuk rendah atau dengan kata lain yang memiliki RH% rendah.

Tokede et al. (2006) menyatakan bahwa merbau sering dijumpai pada muara sungai yang berpasir. Tanah yang berpasir cenderung bertekstur kasar sehingga dapat melukai biji merbau yang berarti membantu terjadinya imbibisi. Oleh karena itu, merbau akan mudah tumbuh pada tanah yang mengandung fraksi pasir tinggi.

5.2 Pola Sebaran Spasial Merbau

Pola sebaran spasial merupakan tahap awal dalam melihat perilaku suatu individu dalam komunitasnya. Saat ini banyak pihak yang beradu argumen apakah merbau patut dimasukkan dalam Appendix III CITES atau tidak mengingat jenis ini merupakan target utama dalam kegiatan logging di Papua dan tidak diimbangi oleh kemampuan regenerasi merbau secara alami di alam. Bahkan sejak tahun 1998, IUCN telah memasukkan jenis I. bijuga dan I. acuminata ke dalam kategori jenis yang terancam punah kategori vulnerable. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut menghadapi resiko menuju kepunahan di habitat aslinya.

Terdapat 3 jenis merbau yang dapat ditemukan di Papua, namun dalam penelitian ini hanya ditemukan dua jenis yaitu Intsia bijuga (Colebr.) O. Ktze. dan Intsia palembanica Miq. Heyne (1987) menyatakan bahwa jenis I. palembanica lebih sering ditemui pada ketinggian di atas 1000 mdpl, sedangkan I. bijuga sering ditemui di sepanjang pantai berkarang atau berpasir. Pola sebaran spasial kedua jenis merbau ini disajikan dalam Tabel 12.

Jenis I. bijuga dan I. palembanica memiliki pola sebaran yang berbeda pada berbagai kondisi hutan. I. bijuga tumbuh mengelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun, tumbuh acak pada LOA berumur 5 tahun dan membentuk pola seragam pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Jenis I. palembanica

tumbuh seragam pada hutan primer, LOA berumur 2, 5 dan 15 tahun, namun berkelompok pada LOA berumur 11 tahun. Pola sebaran yang berbeda-beda ini disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi. Faktor fisik lingkungan yang berbeda di sini adalah ketinggian tempat, kelembaban relatif, dan kandungan pasir yang disajikan pada Gambar 6, 7 dan 8. Tabel 12 Pola sebaran spasial kedua jenis merbau pada lima kondisi hutan

No Tipe Hutan Ip Pola Sebaran

I. bijuga I. palembanica I. bijuga I. palembanica

1 Hutan primer 1 -1 Berkelompok Seragam 2 LOA 2 tahun 1 -1 Berkelompok Seragam 3 LOA 5 tahun 0 -1 Acak Seragam 4 LOA 11 tahun -1 1 Seragam Berkelompok 5 LOA 15 tahun -1 -1 Seragam Seragam

Jika pola sebaran pada hutan primer dijadikan acuan, maka hanya tegakan pada LOA berumur 2 tahun yang memiliki pola sebaran yang sama. Hal ini disebabkan oleh kondisi fisik yang mirip pada kedua lokasi baik ketinggian, kelerengan, suhu, RH%, maupun tekstur tanah.

Gambar 6 Ketinggian tempat pada kelima lokasi penelitian.

Gambar 7 Kelembaban relatif pada kelima lokasi penelitian. 0 50 100 150 200 250 300 350

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunLOA 15 tahun

Ketinggian   tempat   (mdpl) 80 85 90 95 100

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahunLOA 15 tahun

RH

 

Gambar 8 Kandungan pasir pada kelima lokasi penelitian.

Pola yang berkelompok menunjukkan bahwa suatu area memiliki kondisi fisik yang heterogen, sehingga jenis tersebut akan tumbuh mengelompok pada lokasi yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Pola acak disebabkan oleh kondisi fisik lingkungan yang homogen dan tidak terdapat persaingan antar individu atau dengan kata lain bersifat independent. Pola acak menurut Odum (1971) sangat jarang ditemui di alam. Pola sebaran yang seragam timbul akibat interaksi negatif atau persaingan antar individu sehingga jumlah maksimal individu dalam unit dibatasi oleh adanya kompetisi makanan dan ruang.

Pola sebaran spasial I. bijuga yang berkelompok pada hutan primer dan LOA berumur 2 tahun disebabkan oleh terbatasnya kondisi yang sesuai dengan kebutuhan hidup jenis tersebut pada lokasi ini. Kedua lokasi ini berada pada altitude yang lebih tinggi serta pada hulu Sungai Mamberamo yang mengakibatkan unsur hara tanah sering terbawa oleh aliran permukaan ke daerah yang lebih rendah sehingga kesuburan tanahnya berkurang. Kandungan pasir pada kedua area ini juga lebih rendah dibandingkan ketiga lokasi lainnya. RH pada kedua lokasi ini tidak berbeda nyata yang berarti kerapatan tajuknya pun relatif sama. Biji merbau tidak memiliki sayap dan cukup berat sehingga penyebarannya tidak akan jauh dari induknya serta hanya akan terpisah jauh dari induknya jika terbawa aliran air. Biji-biji merbau yang berada di bawah induknya sulit untuk berkecambah karena merbau bersifat intoleran sedangkan tajuk merbau dewasa cukup rapat. Akibatnya, merbau tumbuh mengelompok pada titik-titik yang mereka senangi seperti pada areal yang sedikit terbuka serta di pinggir-pinggir sungai yang berpasir dan berbatu.

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun

Kandungan

 

Pasir

 

Pada LOA berumur 5 tahun I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran acak. Lokasi ini berada pada altitude yang lebih rendah, memiliki kandungan pasir yang paling tinggi, serta RH yang paling rendah. Kondisi ini merupakan kondisi yang disenangi oleh merbau. Akan tetapi biji merbau yang menyebar karena terbawa aliran air atau sungai akan terus mengumpul di lokasi yang lebih rendah sehingga keberadaan biji merbau yang kurang melimpah. Akibat lokasi yang mendukung untuk pertumbuhan merbau dan tanpa adanya persaingan karena kurang melimpahnya biji, maka pada lokasi ini merbau tumbuh secara acak.

Kondisi yang berbeda terjadi pada LOA berumur 11 tahun dan 15 tahun. Pada lokasi ini I. bijuga tumbuh membentuk pola sebaran seragam. Hal ini disebabkan kedua lokasi ini berada pada ketinggian tempat yang paling rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya sehingga unsur hara dari lokasi yang lebih tinggi berkumpul di tempat ini akibat terbawa aliran permukaan. Selain membawa unsur hara, biji merbau juga terbawa oleh aliran sungai menuju bagian hilir yang mengakibatkan biji merbau akan berkumpul pada area ini. Kandungan pasir yang tinggi ikut membantu dalam proses perkecambahan biji merbau. Perpaduan kondisi ini mendorong tingginya peluang biji merbau untuk berkecambah. Hal ini mengakibatkan timbulnya persaingan ruang dan makanan sehingga akan membentuk pola sebaran yang seragam. Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Ludwig & Reynold (1988) bahwa pola sebaran seragam timbul akibat interaksi negatif antar individu.

Intsia palembanica menunjukkan pola sebaran yang berbeda dengan I. bijuga. I. palembanica tumbuh membentuk pola sebaran seragam pada semua kondisi hutan kecuali pada LOA berumur 11 tahun. Jenis ini sebenarnya lebih sering dijumpai pada ketinggian tempat di atas 1000 mdpl, sedangkan kelima lokasi penelitian berada pada ketinggian tempat di bawah 300 mdpl. Sesuai dengan penyebaran biji merbau yang dibantu oleh aliran sungai, maka tentu saja biji I. palembanica akan berkumpul pada daerah-daerah yang lebih rendah. Banyaknya biji I. palembanica yang mampu berkecambah menyebabkan terjadinya persaingan antar jenis tersebut sehingga membentuk pola seragam.

Pada LOA berumur 11 tahun I. palembanica membentuk pola sebaran yang berbeda yaitu mengelompok, padahal lokasi ini memiliki kondisi fisik lingkungan

yang sama dengan LOA 15 tahun. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh posisi LOA berumur 11 tahun yang berada di tepi hilir Sungai Mamberamo sehingga keberadaaan I. palembanica akan benar-benar mengelompok di tepi sungai tersebut.

Pola sebaran merbau yang berbeda-beda pada masing-masing lokasi tersebut menunjukkan bahwa kehadiran merbau sangat bergantung terhadap kondisi tapaknya. Oleh karena itu untuk menjaga regenerasi merbau, kegiatan penebangan pada lokasi-lokasi yang lebih tinggi atau di hulu sungai terutama di sekitar lokasi penyebaran merbau sebaiknya dilakukan dengan perencanaan yang matang guna mencegah kerusakan tempat tumbuh merbau. Selain itu, regenerasi buatan jenis merbau di lokasi ini perlu dilakukan dengan lebih intensif guna menjaga keberadaannya.

5.3 Kesamaan Komunitas antara Berbagai Kondisi Hutan

Kesamaan komunitas antara hutan primer dan LOA di berbagai umur dihitung menggunakan Index of Similarity Bray-Curtis. Kesamaan komunitas menunjukkan seberapa mirip suatu lokasi dengan lokasi lain berdasarkan komposisi jenisnya. Menurut Wibowo (1995), semakin tua umur tegakan hutan bekas tebangan, maka komunitasnya akan semakin menyerupai hutan primer. Tabel 13 Indeks Kesamaan Komunitas pada berbagai kondisi hutan yang

diperbandingkan IS (%) Hutan primer LOA 2 tahun LOA 5 tahun LOA 11 tahun LOA 15 tahun Hutan primer 100,00 71,570 74,149 60,208 70,428 LOA 2 tahun 100,00 78,168 61,823 58,560 LOA 5 tahun 100,00 64,783 62,473 LOA 11 tahun 100,00 64,130 LOA 15 tahun 100,00

Berdasarkan indeks kesamaan komunitas yang disajikan pada Tabel 13, lokasi bekas tebangan yang paling mirip dengan hutan primer adalah LOA berumur 5 tahun (74,149%), disusul dengan LOA berumur 2 tahun (71,570%), LOA berumur 15 tahun(70,428%) dan yang paling tidak mirip adalah LOA berumur 11 tahun (60,208%). Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh teknik

kegiatan penebangan yang semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, pada lokasi LOA yang umur tebangannya relatif berdekatan (LOA 2 tahun dan 5 tahun, serta LOA 11 tahun dan 15 tahun), LOA yang lebih tua memiliki indeks kesamaan komunitas yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa komposisi jenis pada masing-masing hutan bekas tebangan secara berangsur-angsur akan menyerupai hutan primer.

5.4 Hubungan Asosiasi antar Jenis Merbau dan Asosiasi Merbau dengan Jenis Dominan Lainnya

Keberadaan suatu spesies di alam dapat saja bersifat independent terhadap kehadiran atau ketidakhadiran jenis lain, namun dapat juga terjadi interaksi antara dua atau lebih spesies (Krebs 1978). Hubungan asosiasi antara dua spesies tersebut dapat berbentuk positif atau negatif. Asosiasi positif terjadi apabila kedua spesies memerlukan suatu kondisi yang sama. Asosiasi negatif dapat terjadi jika

Dokumen terkait