• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Implementasi Kebijakan Penggunaan Pestisida pada Tanaman

masyarakat petani sayuran baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, penggunaannya telah menjadi prioritas utama jika dibandingkan dengan teknologi pengendalian hama maupun penyakit lainnya. Ada beberapa alasan petani menggunakan pestisida secara luas karena pestisida mempunyai kelebihan dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, yaitu: (a) dapat diaplikasikan secara mudah; (b) dapat diaplikasikan hampir di setiap tempat dan waktu; (c) hasilnya dapat dilihat dalam waktu singkat;(d) dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat; dan (e) mudah diperoleh, dapat dijumpai di kios- kios pedesaan sampai pasar swalayan di kota besar. Di samping memiliki kelebihan tersebut di atas, pestisida harus diwaspadai karena dapat memberikan dampak negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain ; (a) keracunan dan kematian pada manusia; ternak dan hewan piaraan; satwa liar; ikan dan biota air lainnya; biota tanah; tanaman; musuh alami OPT; (b) terjadinya resistensi, resurjensi, dan perubahan status OPT; (c) pencemaran lingkungan hidup; (d) residu pestisida yang berdampak negatif terhadap konsumen; dan (e) terhambatnya perdagangan hasil pertanian.

Memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan maka penggunaan pestisida harus mendapatkan perhatian yang serius. Keseriusan pemerintah dalam melakukan pengaturan penggunaan pestisida dibuktikan dengan diterbitkannya peraturan-peraturan tentang pestisida. Peraturan tentang pestisida dituangkan dalam bentuk undang-undang, Peraturan pemerintah, dan Keputusan Menteri. Seluruh isi peraturan-peraturan tentang pestisida pada intinya adalah untuk mengatur

pengunaan pestisida secara tepat dan berdampak negatif minimum. Aturan-aturan yang dimaksud sesuai dengan amanah Undang-undang Republik Indonesi No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pengaturan pestisida tercantum dalam Bab IV pasal 38, 39, 40, 41 dan 42. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang tercantum dalam Bab III pasal 10, 12, 15, 16, 17, 18, 19 dan 20. dan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor 881/MENKES/SKB/VIII/1996 dan 711?Kpts/TP.270/8/96 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian.

Menurut Peaturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1973, yang dimaksud dengan penggunaan pestisida adalah menggunakan pestisida dengan atau tanpa alat dengan maksud untuk memberantas atau mencegah hama dan penyakit, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama air dan lain-lainnya. Diperjelas dalam penjelasan PP Nomor 6 Tahun 1995 pasal15 pasal 1 penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan dilakukan secara tepat guna. Selanjutnya dalam penjelasannya yang diartikan dengan tepat guna adalah sebagai berikut ; (1) Tepat jenis yaitu disesuaikan jenis pestisida yang digunakan dengan jenis organisme pengganggu tumbuhan, misalnya untuk mengendalikan serangga menggunakan insektisida, mengendalikan cendawan menggunakan fungisida dan mengendalikan gulma menggunakan herbisida; (2) Tepat dosis yaitu banyaknya pestisida yang diaplikasikan persatuan luas atau berat atau volume sasaran disesuiakan dengan rekomendasi yang ditetapkan, misalnya kg/ha; (3) Tepat cara yaitu disesuaikan antara bentuk formulasi pestisida dan alat aplikasi yang digunakan, misalnya penyemprotan, perendaman, penaburan pengolesan; (4) Tepat sasaran yaitu disesuaikan antara jenis komoditi tanaman serta jenis dan cara hidup organisme pengganggu tumbuhan yan akan diaplikasikan pestisida; (5) Tepat waktu yaitu pada waktu populasi organisme pengganggu tumbuhan telah mencapai ambang pengendalian dan sebagian besar dalam stadium peka, keadaan cuaca memenuhi syarat, dan (6) Tepat tempat yaitu disesuaikan

dengan keadaan tempat yang akan diaplikasi pestisida, misalnya lahan kering, lahan berair, rawa dan gudang.

Selain itu peraturan pemerintah pasal 15 ayat 2 ini juga menjelaskan dalam penggunaan pestisida persyaratan kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, sedangkan persyaratan keselamatan kerja ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor; 258/MENKES/PER/III/92 yang dimaksud dengan persyaratan kesehatan adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis kesehatan yang harus dipenuhi untuk tujuan melindungi, memelihara dan atau mempertinggi derajat kesehatan. Bab III pasal 4 (ayat 1) menjelaskan tenaga penjamah pestisida harus berbadan sehat dan dalam melaksanakan tugasnya wajib menggunakan perlengkapan pelindung yang memenuhi syarat kesehatan, (ayat 2) jenis perlengkapan pelindung bagi penjamah pestisida disesuaikan dengan jenis klasifikasi pestisida atau jenis pekerjaannya.

Selain kebijakan yang mengatur tentang perlindungan kesehatan tenaga penjamah pestisida, pemerintah telah mengatur penggunaan pestisida untuk tidak boleh merusak lingkungan, oleh karena itu pemerintah telah membuat kebijakan yang mengatur penggunaan pestisida untuk tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. PP No. 6 Tahun 1996 pasal 19 menyebutkan penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan merupakan alternatif terakhir dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin. Pasal ini menjelaskan bahwa penggunaan pestisida selain menekan tingkat keracunan bahkan kematian terhadap manusia, ternak dan hewan peliharaan lainnya, ikan dan biota air lainnya, musuh alami dan hewan berguna lainnya, hewan liar tanaman, juga dicegah agar tidak menimbulkan organisme pengganggu tumbuhan sekunder, resistensi, resurgensi, masalah residu pada bahan pangan maupun bahan lainnya serta pencemaran lingkungan.

Memperhatikan penjelasan peraturan-peraturan penggunaan pestisida sebelumnya, disimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan pengaturan penggunaan pestisida secara jelas, untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Kebijakan dimaksud adalah bagian dari produk pelayanan publik yang menjadi tanggungjawab unit kerja publik yakni pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh dinas atau instansi terkait. Produk

pelayanan publik termasuk pelayanan dalam pendampingan, pembinaan dan motivator para petani dalam mengimplementasikan kebijakan penggunaan pestisida pada tanaman sayuran (executive policy implementator). Kaitannya dengan fungsi pelayanan yang dijalankan oleh pemerintah, pemerintah berperan dalam penyediaan sarana dan fasilitas pendukung, melakukan pemberdayaan petani melalui pendampingan, pembinaan dan motivasi dan melakukan pembangunan secara berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan Rasyid (1997) dalam Areros (2007) yang mengemukakan bahwa pelayanan pada hakikatnya adalah salah satu dari tiga fungsi hakiki pemerintah yakni penyediaan sarana pendukung (supply), pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development). Keberhasilan petugas dalam mengimplementasikan suatu kebijakan dilihat dari kemampuan mengemban ketiga fungsi hakiki tersebut. Oleh karena itu, petugas lapangan sebagai kepanjangan tangan pemerintah harus menjadikan semangat melayani kepentingan masyarakat petani sebagai dasar motivasi mereka bekerja dibidang pertanian tanaman sayuran, serta memiliki komitmen pengabdian dan pelayanan sebagai pelayan masyarakat.

Untuk mengukur tingkat pelayanan yang diberikan dalam rangka implementasi kebijakan berkualitas atau tidak, diperlukan kriteria tertentu. Untuk mengukur kualitas implementasi suatu kebijakan sedikit lebih rumit jika dibandingkan dengan kualitas suatu barang atau produk. Hal ini disebabkan produk keluaran sektor pemerintah berupa jasa yang agak sulit dikuantifikasi. Namun demikian telah banyak peneliti terdahulu dan diungkapkan oleh lembaga peneliti maupun para pakar mengungkapkan tentang kriteria pengukuran kualitas pelayanan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kolter (Supranto 1997) dan Parasitaman et al. (Tjiptono 1996), meliputi ; (1) Keandalan (reliability), adalah kemampuan untuk melaksanakan kebijakan secara tepat dan terpercaya; (2) Keresponsifan (resposiveness) kemampuan untuk membantu para pelanggan (petani) dalam melaksanakan kebijakan dan ketanggapan; (3) Keyakinan (confidence), kemampuan, kesopanan serta kemampuan petugas untuk membangkitkan kepercayaan atau assurance; (4) Empati (emphaty), syarat untuk peduli atau memberikan perhatian pribadi kepada para petani; (5) Berwujud

(tangibles), penampilan hasil suatu kebijakan yang diperoleh dan fasilitas komunikasi.

Dengan demikian dalam mengukur kualitas implementasi suatu kebijakan berarti mengevaluasi kualitas implementasi kebijakan yang telah dilakukan dibandingkan dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana diketahui bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya yang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik dapat dibedakan menjadi dua model yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Pada prinsipnya tujuan kebijakan adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri. Tindakan atau intervensi yang dimaksud dapat dinilai berdasarkan parameter

reliability, responsiveness, confidence, emphaty dan tangibles.

2.3. Strategi Pengembangan Implementasi Kebijakan Penggunaan Pestisida

Dokumen terkait