Selain dari PP No.99 Tahun 2012 tersebut, maka untuk Pembebasan Bersyarat peraturan pelaksana lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat (Selanjutnya disebut PerMen No.M.01.PK.04-10 Tahun 2007).
92
a. membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan ke arah pencapaian tujuan pembinaan.
:
b. memberikan kesempatan pada narapidana dan anak didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri untuk hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana.
c. mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelengaraan Pemasyarakatan.
D. Implementasi Pembebasan Bersyarat Terhadap Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan
Menurut Bapak Suryanto Pembebasan Bersyarat merupakan salah satu hak Narapidana yaitu dimana proses pembinaan Narapidana yang berada di luar Rumah
90
Pasal 43B ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.99 Tahun 2012 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
91
Pasal 43B ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.99 Tahun 2012 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
92
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M.01.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat.
Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (duaper tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan yang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 15-16 KUHP.
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri. Keberadaan ketentuan Pembebasan Bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive sistem), dimana pelepasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat.
Bapak Parlindungan Siregar selaku Kepala bagian Pembinaan, pun menambahkan “Pemberian Pembebasan Bersyarat memiliki maksud dan tujuan, yaitu agar nantinya para Narapidana memperoleh kesempatan untuk beradaptasi dan berbaurkembali dengan masyarakat luas agar menjelang kebebasannya nantinya eks narapidana tidak tersisikan dan terkucilkan dalam masyarakat.”
Dalam pemberian Pembebasan Bersyarat permasalahan yang penulisbahas adalah mengenai bagaimanakah implementasi Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 15 KUHP –Pasal 16 KUHP.Dari rumusan Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) KUHP tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pembebasan Bersyarat merupakan hak
Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana, tetapi tidak begitu saja para Narapidana tersebut mendapatkan Pembebasan Bersyarat, mereka harus memenui syarat yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan yang ada, adapun syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 Pembebasan Bersyarat memenuhi syarat substantif, dan syarat administratif
Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian pembebasan bersyarat.
Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut : Pasal 16
1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh MenteriKehakiman.
2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat.
3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan
bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman
4) Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan. Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat, tentang bagaimana cara Menteri Kehakiman meminta saran dari Dewan Reklasering Pusat, tentang apa saja yang dapat diputuskan oleh Menteri Kehakiman tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan Bersyarat Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad tahun1919 Nomor 744Menurut Pasal 1 dari Ordonansi tentang pembebasan bersyarat, usul dari Kepala Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada Menteri Kehakiman memuat:
a. penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang bersangkutan;
b. penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh terpidana tersebut, hari mulaidijalankannya pidana itu dan kapan akan berakhir;
c. segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat hidup terpidana tersebut yangsekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelum dijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya,
kemungkinan cara mencari nafkah sesudah dilepaskan dan berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak kepada orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas pesangonnya.
d. syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan bersyarat itu yang antara lain dapatmengenai tempat tinggalnya di dalam atau di luar suatu daerah
e. tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan bersyarat itu. Pasal 2
Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari Kepala Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan harus terlampir dengan :
1. kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana tersebut menjalani pidananya disertaidaftar mutasinya
2. daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah dijatuhkan kepadanya selama tiga tahun sebelum usul itu diajukan
3. segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan pasal 3 atau turunannya.
Tutur Bapak Parlindungan Siregar selain harus memenuhi syarat Subtantif dan syarat Adminitratif terebut Narapidana yang akan mendapatkan Pembebasan Bersama juga harus memenuhi kriteriakriteria tertentu lainnya agar dapat melakukan pengusulan Pembebasan Bersyarat, diantaranya adalah:
1. Jenis tindak pidana yang dilakukan 2. Lama masa pidana
3. Berkelakuan baik selama di dalam Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan 4. Mengikuti pembinaan dengan baik
5. Tidak melanggar disiplin Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan ± 9 bulan 6. Kemungkinan penghidupan baik pekerjaan maupun tempat tinggal napi setelah
mendapatkan Pembebasan Bersyarat. Dalam proses pengajuan Pembebasan Bersyarat Narapidana harus mengisi Surat Pernyataaan yang diisi oleh keluarga dari Narapidana yang bersangkutan serta harus diketahui dan disetujui oleh masyarakat setempat yang diwakili oleh kepala desa atau pun lurah. Dalam hal ini keluarga yang mengisi surat penyataan tersebut dikarenakan pihak keluarga yang di jadikan penjamin dari Narapidana itu sendiri, selain keluarga yang boleh menjadi penjamin adalah Lembaga/ Badan atau pun Organisasi Sosial. (terlampir dalam Lampiran)Setelah pihak penjamin mengisi surat pernyataan tersebut barulah proses pengajuan Pembebasan Bersyarat diserahkan kepada Tim Pengamat masyarakat untuk diproses., adapun tahap-tahapnya pengajuan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan adalah sebagai berikut :
1) Tim Pengamat Pemasyarakatan Setelah mendengar pendapat anggota tim serta mempelajari laporan dari BAPAS, kemudian tim pengamat pemasyarakatan mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan yang terhitung dalam formulir yang telah ditetapkan.
2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan segera meneliti dengan mempelajari usulan tersebut pada angka 1 apabila menyetujui usulan tersebut maka tim pengamat pemasyarakatan Rumah Tahanan/Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya meneruskan usulan tersebut kepada Kepala kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Selatan lengkap dengan persyaratan lainnya.
3) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara wajib segera meneliti dan mempelajari usulan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan tersebut dan setelah itu memperhatikan hasil sidang TPP Kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, maka Kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dapat menyatakan :
1) Menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan tersebut dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak usulan diterima segera menyampaikan surat penolakan disertai alasan-alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan serta tembusan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
2) Menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak usulan diterima segera meneruskan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
3) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan segera meneliti dengan mempelajari usul Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara
sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b dengan mempertimbangkan hasil sidang TPP Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, maka dalam jangka waktu 30 hari sejak usul diterima Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat menyatakan : 1) Menolak usul Kepala Kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Sumatera Utara dengan menyampaikan surat penolakan disertakan alasan kepada Kantor wilayahKementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.
2) Menyetujui usul Kepala Kantor wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dan segera menerbitkan keputusan Pembebasan Bersyarat yang dimaksud yang tembusannya disampaikan kepada:
1) Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara
2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan dengan dilampirkan buku Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang diberi izin 3) Kepala Kejaksaan Negeri yang mengawasi
4) Kepala Polisi setempat
5) Kepala Balai Pemasyarakatan setempat 6) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Pada tahun 1963, Sahardjo mencetuskan falsafah pemasyarakatan yang mengemban tujuan pemidanaan penjara adalah di samping menimbulkan rasa derita pada narapidana kehilangan kemerdekaan bergerak, juga membimbing narapidana
agar bertobat serta mendidik agar menjadi anggota masyarakat yang baik. Menurut Mustafa, pelaksanaan pemidanaan terhadap terpidana didasarkan pada pandangan:93 1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun
telah tersesat, tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat sebaliknya ia selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang hidup di luar masyarakat dan narapidana harus kembali kemasyarakat sebagai warga yang berguna.
3. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi perlu diusahakan supaya narapidana mempunyai suatu pencarian dan mendapatkan upah untuk pekerjaannya.
Metode yang dilakukan untuk mendidik terpidana agar dapat kembali pada kehidupan masyarakat adalah dengan:
1. Selama ia kehilangan kemerdekaan bergeraknya ia harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari kehidupan sosial.
2. Pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan lembaga kemasyarakatan atau kepentingan negara sewaktu saja, pekerjaan harus satu dengan masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional.
3. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.
93
Dalam melaksanakan tugasnya lembaga kemasyarakatan harus berpacu pada sepuluh prinsip pokok dan konferensi lembaga pemasyarakatan yang menyangkut perlakuan terhadap para narapidana dan anak didik, sepuluh prinsip tersebut yaitu: 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai
warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara. Hal ini berarti bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan atau penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak didik hanyalah dihilangkannya kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat, berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan dan sertakan mereka dalam kegiatan sosial untuk menimbulkan rasa hidup kemasyarakatnya. 4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih jahat atau buruk sebelum
dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampur baurkan narapidana dan anak didik yang melakukan tindak pidana berat dengan ringan dan sebagainya.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak para narapidana dan anak didik dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dengan masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat pengisi waktu jadi tidak dibolehkan diberikan pekerjaan untuk memenuhi jawatan atau kepentingan negara pada waktu tertentu saja, pekerjaan yang diberikan harus
satu dengan pekerjaan yang terdapat di masyarakat dan yang menunjang pembangunan, umpamanya menunjang usaha meningkatkan produksi pangan. 7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus
berdasarkan pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitasi, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakat.
Sistem pemasyarakatan yang kita terapkan di Indonesia terkandung suatu cita-cita besar. Pembinan pemasyarakatan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik diharapkan bukan saja mempermudah reintegrasi dengan kehidupan sosial, tetapi juga menjadikan mereka warga masyarakat yang mendukung ketertiban dan kebaikan dan menjadi manusia seutuhnya yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak akan menjadi pelanggar hukum lagi.
2. Menjadi anggota masyarakat yang berguna aktif dan produktif. 3. Berbahagia di dunia dan akhirat.
Pembinaan sebagai tiang kegiatan sistem pemasyarakatan. Oleh karena itu Sistem Pemasyarakatan yang dijalankan harus dimaknai sebagai berikut:
1. Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan.
2. Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga (intramural dan extramural)
3. Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari para pihak petugas pemasyarakatan para narapidana dan anak didik serta anggota masyarakat umum
Lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana yaitu rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum bahkan sampai pada upaya penanggulangan kejahatan. Posisi pemasyarakatan terletak diakhiri dari proses sistem peradilan pidana, namun demikian pemasyarakatan mempunyai peranan penting dalam proses sistem peradilan pidana, namun demikian pemasyarakatan mempunyai peranan penting dalam proses rehabilitasi pelanggar hukum yang telah melalui proses peradilan pidana. Hal serupa juga dikatakan oleh J.W. La Patra bahwa pemasyarakatan mempunyai peranan untuk mengubah sifat atau sikap pelanggar hukum (terpidana) dan untuk memastikan mereka lebih berhati-hati terhadap hukum di masa yang akan datang. Berbicara masalah proses peradilan pidana tidak terlepas dari lapisan dalam sistem peradilan pidana itu sendiri, karena sistem tersebut dibangun dan diproses di dalam masyarakat. Dalam pelaksanaan pembinaan hal yang utama adalah bagaimana petugas Lembaga Pemasyarakatan dapat memahami bagaimana sistem pembinaan dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan, di samping
peningkatan kuantitas dan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan serta pemenuhan sarana dan prasarana teknis dalam upaya pembinaan. Pemahaman tersebut sangat penting dan mendesak bila melihat banyaknya narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan dengan berbagai tindak pidana. Mengingat berkembangan berbagai pelaku tindak pidana yang menyebabkan berkumpulnya berbagai perilaku jahat di lembaga pemasyarakatan maka sudah saatnya untuk melakukan perbedaan penempatan menurut watak pelaku (narapidana) dan tindak pidana. Hal ini penting guna mempermudah pembinaan.
Penentuan atau kualifikasi Pemakaidan Pengedar Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat dilihat dari rumusan norma hukum atau unsur-unsur perbuatan (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan) adalah:
1. Pemakai Narkotika : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukummemelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, dan menggunakan Narkotika.
2. Pengedar Narkotika yaitu : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menajadi perantara dalam jual beli dan menyerahkan Narkotika atau menggunakan Narkotika pada orang lain /memberikan Narkotika untuk digunakan orang lain. Berdasar pada unsur-unsur perbuatan tersebut maka dapat ditentukan atau dikualifikasikan tindak pidana Pemakai Narkotika dan tindak pidana Pengedar Narkotika. Selanjutnya diperoleh hasil bahwa dasar pertimbangan hakim didapat dari proses pemeriksaaan alat bukti
yang sah yang dapat membuktikan kebenaran fakta pristiwa dan fakta yuridis yang terungkap di persidangan. Dimana dalam pembuktian fakta peristiwa terbukti secara sah dan meyakinkan terdakwa melakukan tindak pidana sesuai apa yang didakwakan kepadanya, begitu pula dengan pembuktian fakta yuridis, terdakwa juga terbukti secara sah dan meyakinan unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
Proses pembebasan bersyarat sudah sistem online dan sudah memperkecil transaksional apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan, setiap bulannya bagi warga binaan pemasyarakatan yang telah menjalani 2/3 akan ditempel di dinding agar narapidana tahu. Napi memenuhi syarat maka narapidana mengajukan pembebasan bersyarat dan pegawai lapas memberikan blangko yang diisi oleh narapidana dan keluarga narapidana dan mengetahui lurah yaitu dengan mengisi formulir surat pernyataan dan surat Jaminan Kesanggupan Keluarga. Sidang pembebasan bersyarat dahulu harus memenui kuota paket 35 orang dalam sebulan baru diadakan sidang tapi sekarang untuk mempersempit peluang orang bermain maka diadakan setiap bulannya bagi narapidana yang telah memenuhi syarat baik itu 1 orang maupun 2 orang.
Pengusulan pembebasan bersyarat suatu proses tidak serta merta diusulkan langsung keluar. Ada tahapan sidang di lapas di dalamnya terdapat apakah si narapidana layak mendapat pembebasan bersyarat atau tidak. Hasil sidang putusan di lembaga pemasyarakatan dikeluarkan oleh lembaga pemasyarakatan kemudian diteruskan ke Kanwil Menkumham Jakarta Pusat untuk diterbitkan di Surat Putusan
dan diteruskan ke Kanwil Medan Jalan Putri Hijau. Pengurusan Pembebasan bersyarat bisa sampai 5 bulan pengurusan pembebasan bersyarat namun setelah online bisa selesai dalam 2 bulan contoh 2/3 jatuh pada bulan 5 maka pengusulannya bulan 2 diberi tempo 2 bulan untuk pengurusan ke lurah, keluarga dan lainnya dan 1 bulan ke linmas dan Bapas. Narapidana yang menunggu pembebasan bersyarat sering terlambat karena sistem manual dan setelah sistem online begitu data base masuk ke lapasdieksposisi ke Jakarta dan keluar Surat Keputusan pembebasan bersyarat di Jakarta trus ke Kanwil.
Tata Cara pelaksanaan Pembebasan Bersyarat:
1. Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP) atau (TPP) Rutan setelah mendengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan pembinaan dari wali Pemasyarakatan, mengusulkan pemberian pembebasan bersyarat kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan
2. Apabila Kepala Lapas attau Kepala Rutan menyetujui usul TPP Lapas atau TPP Rutan selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat, dengan tembusan kepala Direktur Jenderal Pemasyarakatan
3. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM memtuskan untuk menolak atau menyetujui usulan Pembebasan setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat 4. Apabila Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM menolak tentang
empat belas hari sejak diterimanya usul tersebut, memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan.
5. Apabila Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM menerima tentang usulan Pembebasan Bersyarat, maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas hari) sejak diterimanya usul tersebut, meneruskan usul tersebut kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
6. Pembebasan apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menolak tentang usul Pembebasan Bersyarat maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas hari) sejak tanggal penetapan, memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan.
7. Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerima tentang usul Pembebasan Bersyarat, maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan keputusan tentang Pembebasan Bersyarat.
Peraturan pemerintah mengatur mengenai pembebasan bersyarat yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. PP Nomor 28 Tahun 2006 berlaku pada tanggal 28 bulan 7 tahun 2006 dan berlaku sejak narapidana mendapat putusan hakim yang in kracht baru terkena PP Nomor 28 Tahun 2006 senilai 800 juta wajib dibayar namun kebanyakan narapidana tidak dapat membayarnya subsidernya sehingga narapidana wajib menjalani hukuman masa pidana pengganti denda sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 114 masa pidana penjara minimal 5 tahun memiliki dan
sering dikatakan pasal karet yang bisa dijatuhi kepada bagi pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika karena dianggap menguasai, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 127 untuk pemakai masa pidana penjara maksimal 4 tahun hukum pidana, dikatakan pemakai apabila ditemukan narkotika dan alat pakainya dan bisa direhabilitasi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 112 masa pidana penjara minimal 5 tahun untuk pengedar. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 secara administratif pembebasan bersyarat hanya diberlakukan kepada narapidana di bawah 5 tahun dan di atas 5 tahun harus membayar subsider baru mendapat pembebasan bersyarat sebagai perketatan94
Narapidana atas nama Mukhsen bin Mhd. Yokup ditangkap 14 Mei 2007 kasus Narkotika Gol I ganja 20kg diputus Pengadilan Negeri Lubuk Pakam diputus