• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Pendidikan multikultural dapat dirumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan instrument strategis untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya. Melalui pendidikan multikultural kita dapat memberi seluruh siswa-tanpa memandang status sosioekonomi; gender; orientasi seksual; atau latar belakang etnis, ras atau budaya-kesempatan yang setara untuk belajar di sekolah. Pendidikan multibudaya juga didasarkan pada kenyataan bahwa siswa tidak belajar dalam kekosongan, budaya mereka memengaruhi mereka untuk belajar dengan cara tertentu.

Pendidikan multikultural merupakan suatu proses transformasi yang tentunya membutuhkan waktu panjang untuk mencapai maksud dan tujuannya. Menurut Zamroni disebutkan beberapa tujuan yang akan dikembangkan pada diri siswa dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:21

21 Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural. (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), hal.

1. Siswa memiliki kemampuan berpikir kritis atas apa yang telah dipelajari.

2. Siswa memiliki kesadaran atas sifat sakwasangka atas pihak lain yang dimiliki, dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta terus mengkaji bagaimana cara menghilangkannya 3. Siswa memahami bahwa setiap ilmu pengetahuan bagaikan

sebuah pisau bermata dua: dapat dipergunakan untuk menindas atau meningkatkan keadilan sosial.

4. Para siswa memahami bagaimana mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan.

5. Siswa merasa terdorong untuk terus belajar guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya.

6. Siswa memiliki cita-cita posisi apa yang akan dicapai sejalan dengan apa yang dipelajari.

7. Siswa dapat memahami keterkaitan apa yang dilakukan dengan berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat-berbangsa.

Oleh karenanya praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara fleksibel dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural. Prinsip fleksibilitas pendidikan multikultural juga disarankan oleh Gay (2002) sebagaimana dikutip Zamroni, dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan pendidikan multikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik. Sebaliknya, dia mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan untuk memajukan pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan multikultural juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat lebih memiliki toleran, bersifat inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, serta senantiasa berpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan akan lebih baik, manakala siapa saja warga masyarakat memberikan kontribusi sesuai

dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki bagi masyarakat sebagai keutuhan.22

Bahkan Gay merekomendasikan agar pembelajaran perlu memberi kesempatan bagi siswa untuk mempelajari bagaiman suatu kultur masyarakat bisa berperan dalam upaya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya.

Dalam pandangan Zamroni, pendidikan multikultural diusulkan untuk dapat dijadikan instrument rekayasa sosial lewat pendidikan formal, artinya institusi sekolah harus berperan dalam menanamkan kesadaran hidup dalam masyarakat multikultural dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleransi untuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada.

Sekolah harus dipandang sebagai suatu masyarakat, masyarakat kecil; artinya, apa yang ada di masyarakat harus ada pula di sekolah. Perspektif sekolah sebagai suatu masyarakat kecil ini memiliki implikasi bahwa siswa dipandang sebagai suatu individu yang memiliki karakteristik yang terwujud dalam bakat dan minat serta aspirasi yang menjadi hak siswa.

Pada level sekolah, dengan adanya berbagai perbedaan yang dimiliki masing-masing individu, maka sekolah harus memperhatikan: a) setiap siswa memiliki kebutuhan perkembangan yang berbeda-beda, termasuk kebutuhan personal dan sosial, b) kebutuhan vokasi dan karier, c) kebutuhan psikologi dan perkembangan moral spiritual.

Dari perspektif hasil pembelajaran, pendidikan multikultural memiliki tiga sasaran yang dikembangkan pada diri setiap siswa;

Pertama, pengembangan identitas kultural yakni merupakan kompetensi yang dimiliki siswa untuk mengidentifikasi dirinya dengan suatu etnis tertentu. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan kelompok etnis dan menimbulkan

kebanggaan serta percaya diri sebagai warga kelompok etnis tertentu.

Kedua, hubungan interpersonal. Yakni, kompetensi untuk melakukan

hubungan dengan kelompok etnis lain, dengan senatiasa mendasarkan pada persamaan dan kesetaraan, serta menjauhi sifat syakwasangka dan stereotip.

Ketiga, memberdayakan diri sendiri. Yakni suatu kemampuan untuk

mengembangkan secara terus menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan multikultural.

Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan dan masyarakat yang demokratis.

BAB III PENUTUP

Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat majemuk. Kemajemukan ini, di satu sisi merupakan berkah, karena kemajemukan itu sesungguhnya merefleksikan

kekayaan khasanah budaya. Namun di sisi lain, kemajemukan juga berpotensi besar untuk tumbuh suburnya konflik, terutama jika keberagaman tersebut tidak mampu dikelola dengan baik. Pendidikan multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan tersebut secara kreatif. Pendidikan multikultural hendakannya merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai multikultur itu sendiri dalam institusi pendidikan.

Konsep pendidikann multikultural di antaranya terdiri dari lima dimensi: (1)

Integrasi konten, (2) Proses penyusunan pengetahuan, (3) Mengurangi prasangka, (4) Pedagogi kesetaraan. Adapun factor yang melatar belakangi munculnya pendidikan multikultural ini adalah: (1) geografis (2) budaya (3) iklim (4) ekonomi (5) Politik Negara (6) kehidupan agama (7) Faktor kesukuan (8) Tingkat kemajuan peradaban.

Adapun urgensi pendidikan multikultural adalah: (1) Sarana alternatif pemecahan konflik, (2) Agar peserta didik tidak

meinggalkan akar budaya, (3) Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional, dan (4) Menuju masyarakat Indonesia yang Multikultural. Sedangkan metode yang digunakan adalah: Metode Kontribusi, Metode Pengayaan, Metode Transformatif ddan Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial.

Munculnya gagasan multikulturalisme telah memberikan peluang bagi kebangkitan etnik dan kebudayaan lokal di Indonesia Pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui

penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur.

Melalui pendidikan multikultural kita dapat memberi seluruh siswa-tanpa memandang status sosioekonomi; gender; orientasi seksual; atau latar belakang etnis, ras atau budaya-kesempatan yang setara untuk belajar di sekolah. Pendidikan multibudaya juga didasarkan pada kenyataan bahwa siswa tidak belajar dalam

kekosongan, budaya mereka memengaruhi mereka untuk belajar dengan cara tertentu.

Dokumen terkait