• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Politik Multikulturalisme Dalam Komposis

BAB III ANALISIS POLITIK MULTIKULTURALISME DI KOTA

3.2 Implementasi Politik Multikulturalisme Dalam Komposis

Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera Utara setelah Medan. Keberagaman etnis di Kota Pematangsiantar memberikan warna tersendiri. Mayoritas penduduk yang merupakan etnis Batak Toba mampu memberikan dampak yang positif bagi Kota Pematangsiantar dengan falsafah yang dianut yaitu Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu mengajak masyarakat untuk hidup rukun dan bekerja sama dalam mencapai sebuah tujuan.

Kota Pematangsiantar adalah Kota yang tenang dan toleran. Di sepanjang sisi Kota ini dapat ditemukan berbagai tempat ibadah dari berbagai agama. Terdapat pula beberapa rumah ibadah yang berdiri berdampingan, seperti Masjid Bakti dan Gereja Kristen Protestan Indonesia di Kelurahan Pondok Sayur, Kecamatan Martoba. Juga terdapat Wihara Avalokitesvara yang di depannya berdiri kokoh patung Dewi Kwan Im setinggi 22,8 meter.

Setara Institute pada bulan Agustus hingga Oktober 2015 mengadakan penelitian terkait tingkat toleransi beragama di setiap kota di Indonesia dengan berpedoman pada empat variabel yakni regulasi pemerintah, tindakan pemerintah, regulasi sosial atau peristiwa dan juga demografi agama. Dari penelitian yang diadakan oleh Setara Institute tersebut dapat disimpulkan bahwa dua kota dari Sumatera Utara masuk dalam daftar peringkat tertinggi dimana Pematangsiantar berada di peringkat pertama dan diikuti oleh Kota Sibolga di urutan keenam.

Harmoni dalam kehidupan pasar juga berlangsung dengan baik. Pedagang yang berbeda etnis dan agama berjualan secara berdampingan. Kemajemukan yang ada tersebut tidak menyebabkan adanya diskriminasi. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial karena perbedaan etnis tidaklah memberikan dampak yang negatif. Sebaliknya, adanya perbedaan tersebut meningkatkan toleransi serta memberikan keindahan dan warna tersendiri bagi Kota Pematangsiantar.

Bangsa Indonesia sebagai negara Bhineka Tunggal Ika terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, strata sosial, dan lain-lainnya, tentu sangat mendambakan keserasian dalam perbedaan-perbedaan baik dalam hal agama, politik, keamanan, strata sosial maupun pendidikan dalam upaya menciptakan negara dan bangsa yang berkeadilan sosial sebagai cerminan dari negara Pancasila. Multikulturalisme di Indonesia bersumber pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa bangsa dan masyarakat Indonesia terdiri dari beragam kelompok etnis yang memiliki komitmen untuk membangun Indonesia sebagai suatu bangsa.39

Kota Pematangsiantar memiliki masyarakat yang majemuk. Kemajemukan yang ada terdiri dari keanekaragaman suku bangsa, budaya, agama, ras dan bahasa. Keanekaragaman memang identik dengan perbedaan, namun perbedaan yang dimiliki itu bukanlah suatu hal yang dapat dijadikan alasan untuk saling memisahkan diri sebaliknya sebagai perekat yang mempersatukan setiap

39

Sudharto. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1. hal. 130.

masyarakat di Kota Pematangsiantar. Kondisi masyarakat yang hidup berdampingan sangat erat dengan budaya yang dianut oleh masyarakat mayoritas yakni etnis Batak Toba dimana saling menghargai, bekerja sama dan saling membantu merupakan prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat.

Di Kota Pematangsiantar sendiri politik multikulturalisme seperti tertulis dalam pembahasan sebelumnya sudah berjalan dengan baik. Hal ini dpaat dilihat pada posisi Pemerintahan eksekutif maupun legislatif yang diduduki oleh berbagai macam etnis dan agama yang berbeda-beda. Bahkan terdapat etnis minoritas di dalamnya seperti suku Nias.

Mantan Wakil Walikota Kota Pematangsiantar Bapak Koni Ismael Siregar mengatakan :40

“Berkaitan dengan implementasi politik multikultural dari sudut struktural pemerintahan Kota Pematangsiantar, dimana seseorang yang memiliki prestasi kerja di struktur pemerintahan sangat diperhatikan. Jadi tidak ada diskriminasi antar agama dan etnis, kalau memang prestasi kerjanya baik, dia layak untuk diperhitungkan.”

Berdasarkan pernyataan diatas, perbedaan etnis bukanlah menjadi penghalang bagi mereka yang berprestasi untuk diperhitungkan menempati posisi sebagai pejabat eksekutif di Kota Pematangsiantar.

Berdasarkan posisi yang ada di dalam struktur pemerintahan eksekutif di Kota Pematangsiantar, memang masih didominasi oleh etnis mayoritas. Akan tetapi kehadiran etnis lainnya tetap diharapkan mampu bersaing dalam

40

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.

memperoleh kedudukan di struktur Pemko Pematangsiantar. Hal ini diakui oleh mantan walikota Bapak Hulman Sitorus yang mengatakan bahwa :41

“Masyarakat beda etnis dalam komposisi eksekutif masih sangat minim. prinsip masyarakat sangat berharap adanya cerminan keseimbangan etnis dan agama dalam komposisi eksekutif meskipun hal tersebut tidak selalu menjadi dominan, namun tetap menjadi harapan.”

Mantan wakil walikota Bapak Koni Ismael Siregar juga mengatakan hal serupa bahwa :42

“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sampai hari ini struktur jabatan di Pemko Pematangsiantar di dominasi oleh Batak Toba. Tapi pada awalnya etnis yang mendominasi adalah etnis Simalungun, tapi mungkin ada perpindahan pejabat dari daerah lain dan memiliki prestasi, maka di promosikan ke dalam lingkungan Pemko Pematangsiantar. Jumlah penduduk Batak Toba di Pematangsiantar yang merupakan etnis terbanyak menjadi salah satu alasan juga.”

Partisipasi masyarakat minoritas dalam kegiatan politik sudah berlangsung dengan baik, meskipun dalam struktur Pemko Pematangsiantar kehadiran mereka masih minim. Kondisi ini tergantung pada Kepala dan Wakil Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota dalam menyeleksi atau merekrut etnis-etnis lainnya. Dalam hal ini tidaklah mengedepankan etnis atau agama tertentu, akan tetapi berdasarkan profesionalitas kerja para kandidat. Seperti yang dikatakan oleh mantan walikota Bapak Hulman Sitorus :43

41

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

42

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.

43

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

“Pemerintah secara nasional dan diikuti secara khusus di daerah sangat begitu baik dan tersistem dimana tetap mengedepankan persamaan semua hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warga masyarakat dan warga bangsa serta menjamin kebebasan hak konstitusi dari warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam perundangan-undangan negara.”

Beliau mengatakan bahwa peran pemerintah dalam politik multikultural khususnya dalam persamaan kesempatan dan peluang dalam partisipasi politik di Kota Pematangsiantar sudah berjalan dengan baik. Pemerintah tetap mengedepankan persamaan semua hak dan kewajiban yang sama bagi setiap warna masyarakat serta menjamin kebebasan hak konstitusi dari warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam perundangan-undangan negara.

Hal berbeda dikatakan oleh mantan wakil walikota Bapak Koni Ismael Siregar yakni :44

“Sebaiknya tidak demikian, tapi timbul memang kalau pemimpin itu lebih memperhatikan dan merangkul sukunya. Karena dia merasa itu merupakan bagian dari kulturnya, tapi tetap saja tidak terlepas dari kinerja dan prestasi pegawai itu sendiri. Jangan asal milih tapi tidak memenuhi syarat untuk mengisi jabatan. Selain faktor etnis, faktor agama juga menjadi pertimbangan, kalau misalnya pemimpin tersebut tidak dapat dipungkiri dia akan lebih memilih yang seagama dengannya. Jadi terkadang yang tidak seetnis dengan pemimpin merasa di “anak tirikan” atau tidak diberdayakan.”

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Koni Ismael Siregar diatas tidak dipungkiri oleh beliau bahwa di Kota Pematangsiantar seharusnya etnis dan agama masyarakat itu tidaklah menjadi patokan yang berarti untuk memilih anggota eksekutif. Beliau mengakui bahwa seorang pemimpin dalam hal ini Kepala Daerah memilih calon anggota yang memiliki etnis dan agama yang sama

44

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.

dengannya. Meskipun demikian tetap memperhatikan kinerja dan prestasi pegawai itu sendiri. Hal tersebut lebih lanjut diakui oleh beliau bahwa terkait perekrutan pejabat di Pemerintah Kota Pematangsiantar memang terdiri dari sistem karir dan prestasi kerja. Akan tetapi sistem tersebut belum berjalan dengan baik serta tidak berpedoman pada aturan dan peraturan.

“Kalau terkait dengan sistem perekrutan pejabat atau promosi jabatan terdiri dari sistem karir dan prestasi kerja. Tetapi di Kota Pematangsiantar sistem ini bisa dibilang belum terlaksana dengan baik dan tidak berpedoman pada aturan dan peraturan. Artinya seseorang itu dilihat gak prestasinya atau kinerjanya, jangan kesannya jadi suka-suka. Nah ini juga berkaitan dengan etnis dan agama tadi, yang tidak pantas menduduki jabatan tersebut, malah mendudukinya hanya karena kesamaan etnis dan agama dengan pemimpinnya, ini bukan hal yang bagus. Jadi kedepannya pemimpin harus memperhatikan pejabat yang ingin dipromosi berdasarkan prestasi kerja, pendidikan, pengalaman, loyalitas dan lain sebagainya.”45

Dengan jujur beliau mengakui bahwa kesamaan etnis bahkan agama cukup berpengaruh dalam pemilihan pejabat eksekutif di Kota Pematangsiantar. Ketidaksesuaian dengan kriteria yang seharusnya digunakan itu memberikan dampak yang negatif bagi masyarakat minoritas dimana dalam pernyataan sebelumnya seperti “dianaktirikan”. Sehingga beliau berharap agar untuk kepemimpinan selanjutnya harus tetap memperhatikan pejabat yang ingin dipromosikan harus berdasarkan prestasi kerja, pendidikan, pengalaman, loyalitas dan lain sebagainya.

45

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.

Sedangkan menurut mantan walikota Bapak Hulman Sitorus, sistem perekrutan pejabat di Pemko Pematangsiantar tetap mengedepankan profesionalitas kerja seperti dikatakan berikut ini :46

“Sepengetahuan saya ya, karena tetap melakukan perekrutan dengan mengedepankan fit and profer tes yang dilaksanakan oleh tim baperjakat yang ada di BKD termasuk menempatkan calon pejabat yang sudah mengetahui secara jelas Tupoksi yang akan dilakukan guna menyelaraskan program kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan sesuai dengan visi misi daerah kota Pematangsiantar Siantar Mantap, Maju dan Jaya.”

Pendapat yang berbeda dari Kepala dan Wakil Kepala Daerah tersebut memang menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi penulis tentang keharmonisan hubungan pemimpin dalam menjalankan tugasnya pada sistem pemerintahan Pemko Pematangsiantar. Akan tetapi juga menjadi sebuah gambaran realita yang tersirat dalam sebuah kepemimpinan dan kaitannya dengan strategi politik. Meskipun demikian hasil wawancara dengan kaum minoritas seperti tertulis pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa beliau tidak merasakan adanya perbedaan dalam persamaan hak sebagai masyarakat. Mereka mengakui bahwa masyarakat mayoritas memang masih dominan dalam jabatan eksekutif akan tetapi bukanlah menjadi hal yang penting karena mereka dianggap memiliki kemampuan dan profesionalitas kerja yang baik.

Kondisi diatas tidaklah terlepas dari perjuangan masyarakat minoritas untuk menunjukkan eksistensi diri dalam pemerintahan di Kota Pematangsiantar.

46

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

Hal ini sesuai dengan defenisi politik multikulturalisme menurut Charles Taylor yaitu perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, yakni pengakuan akan keberadaan berbagai kelompok dengan pandangan hidup yang berbeda-beda, dan kebijakan politik yang mampu memungkinkan kelompok-kelompok tersebut tumbuh dan berkembang, lepas dari keterbatasan serta keunikan identitas yang dimiliki masing-masing kelompok.47

Konsep ini didukung oleh teori multikulturalisme Kymlica yang menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebentuk nasionalisme dimana tradisi liberal memiliki sejarah yang mengakui hak-hak yang dibedakan berdasarkan golongan.

Menurut Kymlica, hak-hak minoritas tidak dapat digolongkan sebagai hak asasi manusia karena standar-standar hak asasi manusia tidak mampu menyelesaikan persoalan yang paling penting dan kontroversial terkait golongan minoritas budaya. Karena itu Kymlica berambisi mengembangkan sebuah teori liberal untuk hak-hak minoritas yang menjelaskan bagaimana hak minoritas hidup berdampingan dengan hak asasi manusia, bagaimana hak minoritas akan dibatasi dengan prinsip kemerdekaan individu, demokrasi, dan keadilan sosial.48

Kondisi yang demikian sudah berlangsung di Kota Pematangsiantar, dimana masyarakat mayoritas dan minoritas memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam kegiatan-kegiatan politik.

47

Reza A.A Wattimena. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna: Analisis Tekstual-Empiris Terhadap Pemikiran Charles Taylor Tentang Politik Pengakuan dan Multikulturalisme, Serta Kemungkinan Penerapannya di Indonesia. Studia Philosophica et Theologica, Vol 11 No 1. hal. 18.

48

Gerald F. Gaus dan Kukathas Chandran. 2012. Handbook Teori Politik. Jakarta: Nusa Media. Hal.

Pada teorinya, Kymlica juga membedakan hak minoritas ke dalam tiga pembagian yaitu:

1. Hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri

Mengharuskan adanya pendelegasian kekuasaan kepada golongan minoritas bangsa.

2. Hak polietnis

Menjamin dukungan financial dan perlindungan hukum bagi praktik- praktik yang menjadi ciri khas beberapa golongan etnis atau agama. 3. Hak perwakilan khusus

Menjamin tempat bagi wakil-wakil golongan minoritas di badan atau lembaga negara.

Bila dianalisa terhadap keadaan masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar, yang paling mungkin terpenuhi adalah hak polietnis dan hak perwakilan khusus. Hak polietnis di Kota Pematangsiantar sudah berlangsung dengan baik, hal ini dapat dilihat dari kedudukan masyarakat mayoritas dan minoritas yang sama di depan hukum. Masyarakat minoritas hidup dengan aman dan nyaman. Tidak ada diskriminasi dari pemerintah maupun dari masyarakat setempat. Selain itu, terjaminnya kebebasan berkumpul bagi masyarakat minoritas, merupakan sebuah pembuktian bahwa masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar mendapatkan adanya hak Polietnis. Sementara dengan adanya calon anggota legislatif yang berasal dari luar etnis Batak dan adanya beberapa jabatan yang diduduki oleh masyarakat minoritas, membuktikan bahwa

masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar memperoleh adanya hak perwakilan khusus, dimana mereka tetap memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat minoritas untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu pada pemerintahan eksekutif.

Sedangkan untuk hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri di Kota Pematangsiantar sejauh ini belum terlaksana. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya perlakuan ataupun program khusus pemerintah bagi masyarakat minoritas disana, sehingga belum terdapat gambaran apapun akan sebuah pendelegasian kekuasaan kepada masyarakat minoritas.

Kesempatan yang sama bagi masyarakat mayoritas maupun minoritas dalam struktur pemerintahan eksekutif memang menjadi poin penting. Demikian juga dalam susunan birokrasi Pemko Pematangsiantar. Bapak Hulman Sitorus mengatakan :49

“Kota siantar ini unik, bagi kalangan minoritas katakanlah salah satunya suku Tionghoa, mereka ini mayoritas jarang yang ada mau duduk di birokrasi (PNS) mereka lebih cenderung ke dunia bisnis/perdanganan dan jika adapun satu dua orang mereka juga diperlakukan secara sama dengan yang lain sepanjang mempunyai kemampuan serta persyaratan yang lengkap sebagaimana mekanisme yang berlaku dan sesuai aturan yang ada tetap punya kesempatan.”

Meskipun masyarakat minoritas masih minim dalam susunan birokrasi Pemko Pematangsiantar, namun partisipasi mereka sangat baik dalam kegiatan- kegiatan di Kota Pematangsiantar. Mereka juga sangat memberikan andil

49

Hasil wawancara dengan mantan walikota Kota Pematangsiantar.

pembangunan dan kemajuan kota ini termasuk pemahaman politik juga sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali Pemilu pada periode yang lalu bahwa masyarakat minoritas juga sangat peduli bahkan ikut serta dalam berbagai kegiatan termasuk kegiatan politik.

Seperti yang dikatakan oleh Bapak Koni Ismael yakni:50

“Masyarakat minoritas tetap ikut berkiprah membangun Kota Pematangsiantar dan tiap-tiap etnis minoritas ini memiliki paguyuban, dan sampai saat ini mereka ikut berpartisipasi dalam membangun Kota Pematangsiantar.”

Dari wawancara tersebut beliau menegaskan bahwa meskipun masyarakat minoritas minim dalam struktur pemerintahan kota pematangsaintar, akan tetapi mereka tetap memiliki peran yang berarti dengan mendirikan paguyuban yang tujuannya adalah ikut serta dalam membangun Kota Pematangsiantar.

Toleransi yang tercipta di lingkungan Kota Pematangsiantar memang sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena itu patut diapreasiasi bahwa keberagaman etnis, suku dan budaya sudah membaur dan terjalin dengan baik di dalam diri warga kota Pematangsiantar sehingga antara minoritas dan mayoritas sudah tidak nampak ada perbedaan yang signifikan dimana rasa toleranasi juga sudah sangat baik dimana hal ini dapat kita lihat dalam aktifitas masyarakat di kota Pematangsiantar yang sudah sangat paham arti pentingnya kebersamaan hidup ditengah keberagaman.

50

Hasil wawancara dengan mantan wakil walikota Kota Pematangsiantar.

Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana peran politik multikultural itu menjadi pemersatu antara beda etnis bahkan agama ditengah keberagaman yang ada di Kota Pematangsiantar. Seperti yang dikatakan oleh Kymlicka bahwa arah atau tujuan politik multikulturalisme adalah : ”Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.

Keanekaragaman yang terdapat di Kota Pematangsiantar diterima oleh masyarakat dengan baik yang dibuktikan dengan adanya kerukunan dan toleransi diantara masyarakat beda agama dan etnis. Keberhasilan multikultural dalam memerankan fungsinya sebagai perekat sosial (social integrative factor), dipengaruhi oleh suasana sosial yang berjalan. Suasana sosial ini dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dan kepemimpinan nasional dalam mengendalikan berbagai aktifitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apabila sistem pemerintah, sitem politik, sistem ekonomi, dan sistem pertahanan keamanan berjalan sedemikian rupa sehingga masyarakat aman, tertib dan sejahtera maka fungsi multikulturalisme sebagai perekat akan mudah membawa keberhasilan. Sebaliknya jika sistem dan faktor tersebut tidak berjalan semestinya fungsi perekat tersebut akan kurang berhasil, sehingga integritas NKRI akan terancam.51

51

Sudharto. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan, Jurnal ilmiah CIVIS, Volume II, No 1. hal. 130.

Kondisi keberagaman yang ada di Kota Pematangsiantar sepertinya lebih sesuai bila disandingkan dengan teori multikultural Parekh. Dengan teori multikultural Parekh, kondisi keberagaman di Kota Pematangsiantar dijelaskan kedalam beberapa bagian:52

- Multikulturalisme Isolasionis

Masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar menjalankan kehidupannya secara otonom. Mereka dapat mengatur kehidupan mereka sendiri tanpa perlu ada campur tangan dari masyarakat mayoritas maupun pemerintah, sekalipun komunikasi mereka terlibat dalam interaksi yang luas terhadap masyarakat mayoritas dan pemerintah.

- Multikulturalisme Akomodatif

Masyarakat etnis Batak yang merupakan masyarakat mayoritas di Kota Pematangsiantar memberikan penyesuaian bagi masyarakat minoritas. Mereka memperlakukan masyarakat minoritas sebagai anggota keluarga yang harus dihormati dan dihargai kedudukannya dalam masyarakat. Masyarakat minoritas dianggap merupakan sebuah bagian dari masyarakat Kota Pematangsiantar yang tidak dapat terpisahkan oleh karena beda etnis dan agama.

- Multikulturalisme Otonomis

Masyarakat mayoritas di Kota Pematangsiantar tetap memberikan peluang terhadap masyarakat minoritas. Terlihat dalam kesetaraan sosial,

52

Muhiddinur Kamal. 2013. Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat Indonesia Yang Majemuk: Jurnal Al- ta’lim, Jilid 1 No 6. hal. 454.

pengakuan hak-hak administasi dari pemerintah, pencalonan anggota legislatif, dan adanya jabatan eksekutif yang dipangku oleh masyarakat minoritas. Masyarakat minoritas tetap dapat berkumpul dalam perkumpulan mereka, dan bebas berinteraksi kepada etnis manapun di Kota Pematangsiantar.

- Multikulturalisme Kritikal

Masyarakat mayoritas maupun masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar, sama-sama tidak mengedepankan etnis masing-masing. Sesama etnis berusaha untuk melebur antara satu sama lain untuk menciptakan kondisi lingkungan hidup yang rukun dan kondusif di tengah keanekaragaman yang ada. Terlihat dari aktifnya masing-masing etnis untuk mengikuti aktifitas sosial dan politik.

- Multikulturalisme Kosmopolitan

Masyarakat minoritas dan masyarakat mayoritas di Kota Pematangsiantar sama-sama menghapuskan perbedaan yang ada sebagai imbas dari keaenekaragaman yang ada. Masing-masing etnis berusaha menerima pola dan kebudayaan antara satu dengan yang lain.

Melihat pembagian multikultural menurut Parekh, bila dibandingkan dengan keadaan yang ada dalam masyarakat Pematangsiantar, terdapat sebuah gambaran bahwa tidak ada diskriminasi etnis maupun sentiment etnis antara etnis

mayoritas dan minoritas. Masing-masing etnis berusaha untuk memberikan kondisi hidup yang nyaman di antara pembauran kebudayaan yang ada.

Kondisi masyarakat yang beragam di Kota Pematangsiantar secara tidak langsung menciptakan identitas yang berbeda pada masing-masing etnis. Identitas sebagai ciri khas masing-masing etnis menciptakan pola interaksi yang berbeda pula. Sehingga dengan pola interaksi yang berbeda melahirkan peran yang berbeda, dimana peran mengacu pada bagaimana seseorang melakukan perannya ketika menduduki posisi tertentu dalam konteks sosial tertentu.

Pembagian pribadi dalam identitas sosial di Kota Pematangsiantar, bila dibandingkan dengan teori indentitas sosial menurut Hecht adalah:

- Pribadi Lapisan

Masyarakat minoritas maupun masyarakat mayoritas sama-sama ambil bagian dalam proses kehidupan sosial dan politik. Masyarakat minoritas yang minim peran dalam proses pencalonan anggota legislatif, juga mengambil peran yang lain, dengan tidak menjadi calon, tetap aktif menjadi tim pemenangan dan ikut menggunakan hak pilihnya. Masyarakat minoritas juga ikut ambil bagian dalam pemangku jabatan eksekutif. Adanya masyarakat minoritas yang menduduki jabatan eksekutif menjadi pembuktian bahwa tidak ada diskriminasi penggolongan jabatan dari pemerintah terhadap masyarakat minoritas di Kota Pematangsiantar.

- Berlaku

Masyarakat minoritas mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang didominasi oleh masyarakat etnis Batak baik dalam kehidupan sosial maupun politik. Dalam kehidupan sosial mereka dapat berbaur dengan kebiasaan hidup masyarakat Batak, terlebih dalam proses adat. Dalam hak- hak politik, sekalipun ada kecenderungan untuk sekedar mengikuti pemerintahan yang ada, masyarakat minoritas tetap berusaha memberikan peran dengan menduduki jabatan di eksekutif.

- Relasional Layer

Antara masyarakat mayoritas dan masyarakat minoritas sama-sama hidup berbaur dengan tujuan yang sama, mencapai hidup rukun dan toleran. Terdapat persamaan peluang dalam kehidupan politik, baik dalam pengakuan Hak Asasi Manusia, perolehan hukum yang setara, pengakuan hak-hak politik dan hak-hak administrasi yang sama. Mereka tidak merasa bahwa pemerintah mendiskriminasikan mereka.

- Komunal

Masyarakat mayoritas maupun minoritas memiliki corak tersendiri yang menggambarkan karakteristik umum dan ingatan kolektif. Kemajemukan yang ada di Kota Pematangsiantar tidak menyamarkan ikatan yang ada dalam suatu kelompok masyarakat dengan etnis tertentu. Misalnya, masyarakat

Dokumen terkait