• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Udang

Pemilihan alternatif pengelolaan perikanan udang di L. Arafura berdasarkan tiga skenario yaitu pengendalian input, penerapan kuota dan penutupan musim, memiliki implikasi dan konsekuensi biaya bagi pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya alternatif pengelolaan meliputi: kemampuan

pemerintah melakukan pemantauan (monitoring) dan penegakan hukum,

kesadaran para pelaku (dalam hal ini pengusaha dan pemilik kapal) dalam mentaati aturan serta rente ekonomi yang dihasilkan dari alternatif tersebut. Faktor eksternal berpengaruh pula terhadap tiap alternatif, misalnya kenaikan harga BBM yang melebihi 100%, sangat mempengaruhi strategi pengusaha dalam mengoperasikan kapal-kapalnya. Dalam kalkulasi biaya operasi kapal pukat udang, komponen BBM mengambil porsi antara 20% sampai dengan 40% dari biaya total. Dilihat dari sisi pemerintah, faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan alternatif adalah kemampuan monitoring dan penegakan hukum agar alternatif pengelolaan berhasil dilaksanakan. Dari sisi pengusaha, alternatif yang dipilih tentu saja yang menghasilkan rente ekonomi paling tinggi. Oleh karena itu pemilihan alternatif yang baik harus dapat mengakomodasikan kepentingan

kedua belah pihak, atau merupakan trade off manfaat atau rente ekonomi dan

biaya atau resiko.

Pengendalian input melalui pengurangan kapasitas penangkapan dengan cara mengurangi jumlah kapal sedemikian rupa sehingga total GT berkurang 15%, secara praktis mudah dilakukan oleh pemerintah karena tinggal mengurangi jumlah izin. Namun demikian dari sisi pengusaha hal tersebut akan menjadi masalah besar karena tentu saja mereka tidak mau dikurangi izin jumlah kapalnya.

Pengalaman yang terjadi justru sebaliknya, para pengusaha kalau bisa menambah izin. Kebijakan tersebut bisa berdampak negatif dilihat dari aspek sosial, karena akan terjadi pengurangan kapal yang beroperasi berarti terjadi PHK bagi ABK yang bekerja di kapal. Bagi pemerintah, dicabutnya izin dan tidak beroperasinya kapal-kapal akan mendatangkan dilema, karena akan diapakan kapal-kapal tersebut dan apakah ada kompensasi bagi pemilik kapal. Di berbagai negara, kebijakan rasionalisasi armada dibarengi dengan kebijakan pembelian kapal bekas

yang diberhentikan operasionalnya (buy back policy). Bagi pemerintah Indonesia,

kemungkinan kecil dapat menerapkan buy back policy karena keterbatasan APBN.

Pengendalian input terbukti telah berhasil dilaksanakan sejak tahun 2000 dengan adanya pendaftaran ulang dan tidak ditambahnya izin baru. Hal ini dapat terlihat dari angka efisiensi selama tahun 2000 sampai dengan 2004 berada di atas 0.7, padahal tahun-tahun sebelumnya di bawah 0.6. Dapat disimpulkan bahwa pengendalian input merupakan hal yang efektif tapi dilematis dan mengandung resiko.

Penerapan kuota dengan mengurangi jumlah yang boleh ditangkap sebesar 5%

dari MSY merupakan kebijakan yang lebih dapat diterima oleh pengusaha,

terutama jika dapat meyakinkan mereka bahwa kebijakan tersebut akan mendatangkan surplus rente ekonomi. Dilihat dari sisi pemerintah, kebijakan ini memerlukan biaya yang tidak sedikit karena harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap jumlah udang yang ditangkap oleh semua kapal. Untuk dapat melaksanakan sistem pemantauan dan pengawasan diperlukan petugas yang bekerja terus menerus di pusat pendaratan atau diperlukan petugas di atas kapal (observer). Kebijakan ini juga merupakan hal yang baru dan secara teknis lebih

sulit dibandingkan dengan pengendalian input, sehingga tingkat keberhasilan kebijakan ini diragukan dan mengandung resiko kegagalan tinggi.

Penutupan musim selama satu bulan akan berdampak langsung kepada pengurangan tekanan terhadap sumber daya, karena penutupan musim berarti

pengurangan effort secara langsung. Bagi pemerintah, penutupan musim secara

teknis mudah dilakukan karena hanya mengumumkan kepada semua kapal pemegang izin, memberikan catatan dalam SPI dan melakukan penjagaan kawasan dan pengawasan yang ketat selama satu bulan. Dilihat dari aspek biaya tidak terlalu besar karena peningkatan pengawasan selama satu bulan lebih ringan. Daerah penangkapan udang sebagian besar dekat pantai dan tertentu, sehingga

kemungkinan terjadinya illegal entry kecil. Dilihat dari sisi pengusaha, penutupan

satu bulan lebih mudah diterima dibandingkan alternatif lain, karena tidak berdampak kepada pengurangan produksi secara signifikan, tidak ada pengurangan jumlah kapal dan PHK. Satu bulan tidak beroperasi bagi perusahaan

dapat dijadikan waktu untuk pemeliharaan kapal (docking, overhaul mesin), cuti

ABK, karena sebenarnya hampir semua kapal tidak penuh beroperasi satu tahun terus menerus. Secara matriks dapat ditampilkan perbandingan ketiga alternatif

kebijakan dengan implikasinya dalam suatu kerangka logis (logical framework)

sebagaimana Lampiran 4.

Ketiga alternatif kebijakan yang telah diuraikan di atas, yaitu penerapan kuota, pengurangan jumlah kapal dan penutupan musim penangkapan merupakan

instrumen pengelolaan incentive blocking, merupakan kebijakan jangka menengah

dalam upaya mengurangi overcapacity. Untuk kepentingan jangka panjang,

bentuk pengenaan tax. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan saat ini adalah pengendalian effort dana pengenaan tax dalam bentuk PHP (pungutan hasil perikanan). Secara bioekonomi dampak kebijakan pengenaan tax sebesar 10% dapat disajikan dalam Gambar 34 berikut.

Gambar 34. Kurva bioekonomi sesudah pengenaan tax 10%

Gambar 34 menunjukan bahwa pengenaan tax atau fishing fee akan

mempengaruhi kurva biaya dengan slope yang lebih tinggi dan berdampak kepada

penurunan kurva profit dan menggeser titik effort optimal ke kiri. Dalam jangka

panjang, pengenaan tax sebesar 10% berdampak terkendalinya upaya

penangkapan secara alami, karena meningkatnya biaya akan dengan sendirinya mendorong pelaku atau jumlah kapal keluar dari perikanan sampai titik

-300 -200 -100 0 100 200 300 400 500 0 50 100 150

effort (ribu hari)

re v e n u e ( m il y a r ru p ia h ) Revenue Cost Fishing Fee Profit 25 75 125 175

keseimbangan. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 33, tingkat effort optimal

sebelum pengenaan tax adalah 74347 day-fish (pada level MEY) dengan profit

sebesar Rp 247.6 Milyar dan 77518 day-fish pada level pengelolaan dinamik

dengan profit sebesar Rp 363.2 Milyar. Sesudah pengenaan tax 10%, tingkat effort

optimalnya sekitar 70000 day-fish dan profit maksimal yang dapat diraih sebesar

Rp 207 Milyar, di bawah profit pada level MEY sebesar Rp 247.6 Milyar.

Apabila instrumen kebijakan IAI dengan pengenaan tax 10% dikombinasikan

dengan pengelolaan perikanan secara dinamik, mempertimbangkan faktor

discount rate, maka untuk jangka lima tahun akan menghasilkan profit sebesar Rp 340 Milyar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan dengan

instrumen incentive adjusting, dengan cara pengenaan tax, akan efektif

diberlakukan pada jangka menengah-panjang jika dikombinasikan dengan pengelolaan dinamik.

Dokumen terkait