• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Keragaan Perikanan

Salah satu instrumen yang juga dapat digunakan untuk pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal adalah menyangkut bagaimana keragaan industri perikanan tersebut dalam konteks input yang digunakan untuk ekstraksi sumber daya dan produksi yang dihasilkannya. Dalam kaitan ini kebanyakan perikanan memiliki permasalahan kelebihan kapasitas yang menyebabkan kurang baiknya keragaan perikanan tersebut. Demikian juga dalam pengelolaan sumber daya udang, dari studi Griffin (1983) dan juga Ward dan Sutinen (1994) kelebihan kapasitas adalah satu penyebab kurang efisiennya pengeolaan perikanan udang

tersebut. Untuk itu adalah penting untuk membahas apa yang dimaksud dengan keragaan perikanan yang salah satunya diukur berdasarkan kapasitas perikanan.

Kapasitas perikanan secara umum didefinisikan oleh Pascoe et al. (2003) sebagai berikut: “Kapasitas perikanan adalah kemampuan suatu kapal atau armada kapal untuk menangkap ikan. Kapasitas perikanan dapat dinyatakan lebih spesifik sebagai sejumlah maksimum ikan selama kurun waktu tertentu (tahun atau musim) yang dapat dihasilkan oleh armada kapal jika digunakan penuh, berdasarkan biomasa dan struktur umur yang ada serta kondisi teknologi yang diterapkan”. Definisi menurut FAO (1998) secara umum, kapasitas perikanan berdasarkan target (target capacity) adalah ”maksimum jumlah ikan dalam periode tertentu yang dapat diproduksi oleh satu armada perikanan jika dimanfaatkan penuh, bersamaan dengan itu memenuhi tujuan pengelolaan yang dirancang untuk memastikan kelestarian perikanan”.

Kedua definisi tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa faktor yang menentukan kapasitas perikanan adalah kemampuan kapal atau armada dalam menangkap atau memproduksi ikan, faktor waktu yang ditetapkan dan tujuan yang ditetapkan. Untuk mengukur kapasitas tentu saja harus diketahui faktor-faktor kapal atau armada yang mempengaruhi kemampuan menangkap, berapa produksi hasil tangkapan dan tujuan yang direfleksikan dalam target, serta waktu yang ditetapkan untuk mengukur (misalnya dalam satu tahun atau lima tahun).

Menurut Smith dan Hanna (1990), kapasitas suatu armada kapal ikan meliputi empat komponen, yaitu.

(1) Jumlah kapal (2) Ukuran tiap kapal

(3) Efisiensi teknis operasional kapal

(4) Kemampuan waktu penangkapan tiap kapal pada tiap periode waktu (tahun atau musim).

Dari keempat komponen tersebut bisa diketahui kapasitas sebuah kapal atau armada kapal ikan dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah penangkapan. Pada tahun 1995, CCRF (Code of Conduct for Responsible Fisheries) diadopsi oleh FAO, salah satu isyu adalah bahwa kelebihan kapasitas (excess capcity) merupakan salah satu faktor yang mengganggu kelestarian perikanan (FAO,

1995). Menurut Pascoe et al. (2003), konsep excess capacity berkaitan dengan perbedaan antara kapasitas penangkapan potensial jika semua kapal dimanfaatkan penuh dengan penangkapan saat ini. Konsep ini merupakan konsep jangka pendek, karena berkaitan dengan kondisi stok ikan saat ini. Tujuan dari pengelolaan perikanan lebih kepada yang bersifat jangka panjang. Sebagai contoh, jika yang menjadi tujuan adalah tercapainya MSY, excess capacity

memberitahukan kepada kita berapa kapasitas penangkapan yang harus diturunkan agar tercapai MSY tersebut. Dalam pengelolaan perikanan untuk tujuan jangka panjang, konsep over capacity lebih tepat dan merupakan excess capacity

jangka panjang. Overcapacity berkaitan dengan perbedaan antara kapasitas saat ini (baik dalam hal effort, jumlah kapal, maupun tingkat penangkapan yang diharapkan) dan level kapasitas yang ditargetkan.

Excess capacity merupakan problema jangka pendek yang dapat terkoreksi dengan sendirinya, misalnya terjadi karena perubahan supply dan demand dalam pasar sehingga pengusaha menyesuaikan dengan tingkat produksi maupun harga.

gagal untuk mengalokasikan input dan output secara efisien. Pengusaha tidak dapat saling menjaga ada pihak lain yang menangkap ikan (misalnya illegal fishing), dan tidak ada insentif untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan.

Overcapacity pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penangkapan berlebih sumber daya ikan (overexploitation of resource) dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien (modal dan faktor-faktor produksi penangkapan). Istilah jangka pendek dapat diartikan dalam satu musim penangkapan atau satu tahun, sedangkan jangka panjang dapat diartikan suatu periode dimana stok ikan mencapai target yang ditetapkan dan level input untuk jangka pendek dapat diatur. Isyu overcapacity atau excess capacity dalam perikanan biasanya berkaitan dengan problema open access (Greboval, 1999). Menurut Wilen (1985), sebagai langkah awal diperlukan pemahaman untuk membedakan kondisi ”murniopen access dan ”regulated” open acces. Dalam kondisi open access murni, tidak ada kejelasan tentang hak kepemilikan (property right) dan tidak adanya pengaturan dalam eksploitasi sumber daya. Suatu perikanan yang ”regulatedopen acces

didefinisikan sebagai suatu perikanan yang hak kepemilikannya (property right) tidak jelas, pemerintah mengontrol penangkapan dalam suatu regulasi yang ketat dalam rangka konservasi sumber daya, namun tidak mampu mengontrol secara efektif kapal-kapal yang beroperasi menangkap di laut.

Menurut Pascoe et al. (2004), overcapacity dapat didefinisikan sebagai

overcapitalization manakala ukuran jangka panjangnya berdasarkan output yang dikaitkan dengan jumlah armada saat ini untuk mencapai stok yang ditargetkan, pada saat yang sama ukuran input nya didasarkan kepada tingkat investasi saat ini (dalam hal jumlah kapal, GT dan satuan lain) pada tingkat investasi yang

ditargetkan. Konsep overcapitalization dapat digambarkan secara sederhana menggunakan model Schaefer sebagaimana Gambar 5. Dalam gambar tersebut, jumlah armada kapal F menghasilkan output O, sedangkan hasil yang lebih besar pada OMSY dapat dicapai dengan jumlah armada kapal lebih sedikit FMSY .

Perbedaan antara jumlah armada kapal saat ini dan jumlah kapal yang ditargetkan adalah excess capital yang merupakan ukuran tingkat overcapitalization dalam perikanan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kapasitas (capacity) dan pemanfaatan kapasitas (capacity utilization) merupakan konsep jangka pendek yang berkaitan dengan kemampuan armada kapal saat ini untuk menambah output

dalam kondisi yang ada. Overcapacity dan overcapitalization merupakan konsep jangka panjang yang menunjukkan kondisi dimana armada saat ini perlu dikurangi untuk mencapai output jangka panjang yang ditargetkan.

Omsy Fmsy F O Fleet unit Output Excess capital

Gambar 5. Overcapitalization dalam perikanan (Pascoe et al., 2004).

Menurut Ward et al. (2004), overcapacity terjadi sebagai suatu konsekuensi mekanisme pasar yang tidak sempurna. Dalam kasus perikanan, ketidak

sempurnaan pasar pada umumnya adalah tidak adanya kejelasan hak kepemilikian (property right) dan insentifnya. Overcapacity dalam perikanan mendorong terjadinya berbagai problema antara lain: (1) over investasi dalam kapital dan tenaga kerja yang berlebihan baik di perusahaan penangkapan atau pengolahan; (2) menurunnya kelimpahan baik perikanan langsung maupun stok, (3) menurunnya tingkat keuntungan bagi modal dan tenaga kerja, menurunnya kualitas hidup nelayan dan keluarga mereka, (4) meningkatnya konflik dalam proses manajemen.

Untuk mengatasi overcapacity, diperlukan instrumen pengelolaan (management instrumenst) yang disebut “incentive blocking” atau “incentive adjusting” (Ward et al., 2004). Pengaturan dalam incentive blocking mencoba untuk membatasi tingkat kegiatan dalam berbagai bentuk, sedangkan incentive adjusting mencoba untuk melibatkan masalah hak kepemilikan (property right) dan membiarkan pasar untuk mengurangi overcapacity. Kedua instrumen pengelolaan tersebut disajikan dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Instrumen pengelolaan: incentive blocking dan incentive adjusting Incentive blocking insruments Incentive adjusting instruments

Limited entry

Buy back programmes

Gear and vessels restrictions

Aggregate quotas

Non transferable vessel ctach limits

Individual Effort Quotas (IEQs)

Individual transferable quotas (ITQs)

Taxes and royalties

Group fishing rights (CDQs, etc)

Territorial use rights (TURFs)

Menurut Ward et al. (2004), incentive blocking instruments merupakan solusi jangka pendek, sedangkan incentive adjusting instruments merupakan solusi jangka panjang dalam mengatasi overcapacity.

Menurut Pascoe et al. (2003), ada empat metodologi untuk mengukur kapasitas perikanan sebagai berikut.

2.4.1 Rapid Apraisal Techniques (RA)

RA merupakan pengumpulan data secara informal dari pakar dan pelaku (stakeholders) secara luas. Tekniknya dilaksanakan dengan interview informal kepada peserta kunci dalam perikanan yang memiliki input dalam proses produksi. Pertanyaan diarahkan kepada level penangkapan waktu lampau dan masa kini, termasuk level kegiatan dan level kegiatan yang potensial. Informasi dikumpulkan di lapangan dan dikuantifikasi semaksimal mungkin dan dilengkapi data kuantitatif lain (misalnya jumlah ikan dijual di pasar induk sebagai patokan). Peserta sebagai sumber data diinterview ulang dan informasi yang terkumpul di sajikan untuk cross check dan validasi. Proses ini memerlukan pengulangan beberapa kali yang memungkinkan diadakannya penghalusan data (fine-tuning) estimasi untuk mendapatkan nilai yang bisa dipercaya oleh peserta di perikanan. Model RA ini memerlukan jumlah tenaga kerja yang besar karena melibatkan sumber informasi pelaku perikanan dalam jumlah besar.

2.4.2 Survei dan opini ahli

Survei dilaksanakan untuk mengumpulkan perkiraan subyektif tetapi kuantitatif tentang kapasitas. Seperti RA, cara ini bermanfaat jika data terbatas atau tidak tersedia. Pelaku perikanan dapat disurvei untuk menentukan penangkapan dan kegiatan yang sedang berjalan, termasuk pendapat subyektifnya. Survei bisa memerlukan tenaga yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode

RA, tetapi memberikan umpan balik dan klarifikasi yang lebih sedikit dari hasil analisis kepada industri. Keandalan (reliability) dari survei tergantung dari jumlah

wakil dari sampel yang didata. Survei para ahli (biologist dan wakil industri) dapat juga dilaksanakan untuk melengkapi perkiraan kapasitas output dan pemanfaatannya. Jika opini ahli bervariasi, diperlukan pembobotan secara subyektif untuk masing masing opini untuk menghasilkan perkiraan komprihensif.

2.4.3 Analisis peak-to-peak

Analisis peak-to-peak mengasumsikan adanya hubungan langsung antara level

input dan level output. Sebuah index tangkapan per unit input (misalnya tangkapan per hari atau tangkapan per kapal) diperoleh dari data. Asumsi dibuat bahwa level puncak (peak level) dari tangkapan per unit input sebanding dengan kapasitas pemanfaatan. Kondisi puncak diasumsikan mewakili tahun-tahun dimana perikanan mencapai kondisi output maksimum dalam jangka pendek, dalam kondisi teknologi penangkapan dan stok yang ada. Analisis ini pernah diterapkan oleh Ballard and Roberts (1977), Ballard and Blomo (1978) dan Hsu (2003).

2.4.4 Stochastic production frontier (SPF)

SPF menunjukkan output maksimum yang diharapkan terhadap sekumpulan

input yang diketahui. Hal tersebut didapatkan dari teori produksi dan berdasarkan kepada asumsi bahwa output adalah fungsi dari tingkat input dan efisiensi produsen dalam menggunakan input.

2.4.5 Data Envelopment Analysis (DEA)

DEA menggunakan teknik seperti program matematis yang dapat menangani variable dan kendala dalam jumlah besar, juga memudahkan kebutuhan yang

sering timbul disebabkan keterbatasan data, sehingga bisa dipilih hanya beberapa variable input dan output. Model terpenting dari DEA adalah CCR (Charnes, Cooper and Rhodes 1978) (Fauzi dan Anna, 2005). Menurut Cooper et al. (2004), ada dua model DEA yang berkembang yaitu CCR dan BCC (Banker-Charnes- Cooper). Model BCC merupakan pengembangan dari CCR, diimplementasikan di dunia perbankan untuk kasus yang return of scale nya berubah. CCR diimplementasikan pada kasus-kasus yang return of scale nya tetap. Perbedaan secara grafis CCR dan BCC terletak pada acuan yang digunakan untuk menetukan batas titik-titik efisiensi DMU (decision making unit) dalam suatu frontier. Garis batas terluar efisiensi dalam CCR ditarik dari satu titik efisiensi terluar berupa garis lurus, sedangkan dalam model BCC batas efsiensi ditarik oleh garis yang menghubungkan titik-titik terluar efisensi (Gambar 6 dan Gambar 7). Baik model

CCR maupun BCC dibagi menjadi dua tipe, yaitu input-oriented dan output- oriented dengan notasi CCR-I; CCR-O; BCC-I; BCC-O. Tipe input-oriented

digunakan untuk meminimalkan input, sedangkan output oriented digunakan untuk memaksimalkan output, perhitungan kedua tipe akan menghasilkan angka efisiensi yang sama (Cooper et al. 2004).

Gambar 7. Pembatasan Produksi Model BCC

Berdasarkan data yang ada, dapat dihitung efisiensi suatu DMU menggunakan data input dan output. Jumlah variabel input dan output bisa satu atau lebih. Apabila ada n DMU: DMU1, DMU2,….., dan DMUn dimana j = 1, …., n, sedangkan ada sejumlah m input dan s output, maka input data untuk DMUj

menjadi (X1j, X2j,…,Xmj) dan output datanya adalah (Y1j, Y2j,…, Ysj). Matriks

input data X dan output data Y dapat ditulis sebagai berikut.

11 12 1 21 22 2 1 2 ... ... . . . n n m m mn x x x X x x x x x x = …..…….……….(2.20) 11 12 1 21 22 2 1 2 ... ... . . . n n s s sn y y y Y y y y y y y = ………..……...(2.21)

Salah satu cara untuk menganalisa kapasitas perikanan adalah dengan DEA, dimana pendekatannya berdasarkan input dan output. Seperti dirujuk oleh Fauzi dan Anna (2005), konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles, Cooper, dan Rhodes atau dikenal sebagai CCR. Di Indonesia konsep ini telah diterapkan oleh Fauzi dan Anna pada tahun 2002 untuk mengukur efisiensi kapasitas perikanan di DKI Jakarta (Fauzi dan Anna, 2005).

Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input,

atau:

Input Output

Efisiensi = ...(2.22)

Pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat dilaksanakan dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot sebagaimana tertulis berikut:

dibobot sudah yang input Jumlah dibobot sudah yang output Jumlah Efisiensi =

Atau dapat ditulis :

... ... 2 2 1 1 2 2 1 1 + + + + = j j j j x v x v y w y w j unit dari Efisiensi ...(2.23) Keterangan :

w1 = Pembobotan untuk outputi

y1j = Jumlah output 1 dari unit j

v1 = Pembobotan untuk input 1

x1j = Jumlah dari input 1 ke unit j

Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan

tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Pada pembahasan DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi dan seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dan persamaan berikut 1:

i ijm m m k kjm k w y Max E v x = Dengan kendala : 1 i ijm i k kjm k w y

v x ≤ untuk setiap unit ke j ...(2.24)

ε

k

i v

w ,

Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai

Em yang maksimum sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jadi jika nilai Em =1, maka unit ke m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap unit lainnya. Sebaliknya jika nilai Em lebih kecil dari 1, maka unit yang lain dikatakan lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m.

Salah satu kendala dan pemecahan persamaan (2.24) adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit untuk dipecahkan melakukan pemograman linear. Namun demikian, dengan melakukan linearisasi, persamaan (2.24) dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga pemecahan melalui

1

Merupakan pengukuran dari efisiensi relatif dari Farrell dan Fieldhouse (1962), dimana terdapat

pemograman linear (linear programming) dapat dilakukan. Linearisasi persamaan (2.24) di atas menghasilkan persamaan sebagai berikut:

= i ijm i m w y E Max dengan kendala: 1 0 k kjm k i ijm k kjm i k v x w y v x = − ≤ . ... (2.25)

Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi, kita dapat melakukan pemecahan pemrograman linear di atas dengan melakukan pemecahan dual dari persamaan (2.25). Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemograman linear, pemecahan baik

primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun demikian sering pemecahan dengan dual lebih sederhana karena berkurangnya dimensi kendala. Primal dan dual variable dari persamaan (2.25) di atas dapat ditulis kembali sebagai sebagai:

Model Primal Variabel Dual

= i ijm iy w Em Max Z Dengan kendala 1 k kjm k v x = o i k - 0, 1,2 ... i ijm k kjm w y v xj = n m k vk≤- =1,2... − ε − k S ε ωi ,vk≥ ………(2.26)

...t 1,2, = − ≤ −ωi ε i + k S

Dengan demikian, dual dari persamaan (2.29) dapat ditulis sebagai; Z min m + − − k k i i S S -ε ε ϖ dengan kendala: = = j j kj 0 1... X - S - k m xkj -k λ ...(2.27) = = + + j jm j ij i y yi i 1...t S λ 0 , ,Si+ Sk− ≥ j λ

Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafik melalui apa yang disebut sebagai efficiency frontier. Untuk mengolah data variabel input dan output

menjadi skor efisiensi dan pembobotan optimalnya, digunakan software DEA- Solver dengan cara menabelkan data-data tersebut ke dalam worksheet Excel Window dan kemudian di run. Hasil run software DEA-Solver menunjukkan angka skor efisiensi, grafik dan pembobotan optimal. Sedangkan untuk menggambarkan efisiensi frontier digunakan software GAMS atau Frontier Analyst.

Dari ke lima model tersebut diatas, dipilih model DEA dalam pengukuran kapasitas perikanan udang di Laut Arafura yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.

Dokumen terkait