• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.3. Implikasi Sosial Ekonom

Perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk juga diiringi persaingan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal itu mendorong terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Jika hal ini terus berlanjut dikhawatirkan para petani

yang bekerja di sektor pertanian akan kehilangan mata pencaharian dan menjadi masalah baru dalam pembangunan. Selain itu, pengurangan lahan pertanian juga memungkinkan penurunan jumlah hasil produksi pertanian itu sendiri yang berimpilkasi terhadap tingginya harga di pasar. Secara langsung maupun tidak langsung konversi lahan sawah mempunyai potensi ancaman yang nyata terhadap kapasitas nasional dalam mewujudkan pasokan pangan yang aman untuk mendukung ketahanan pangan.

Berikut data luas areal sawah dan pemukiman di provinsi Jawa Barat tahun 1990- 2006.

Tabel 3. Luas pemukiman di Jawa Barat tahun 1990-2006

No Tahun Luas Pemukiman (ha) No Tahun Luas Pemukiman (ha) 1 1990 293.918 10 1999 300.371 2 1991 294.418 11 2000 301.224 3 1992 295.294 12 2001 301.924 4 1993 296.209 13 2002 302.839 5 1994 297.065 14 2003 303.755 6 1995 297.808 15 2004 304.670 7 1996 298.458 16 2005 305.586 8 1997 298.985 17 2006 306.502 9 1998 299.878

Tabel 4. Luas areal sawah di provinsi Jawa Barat tahun 1990-2006 No Periode Tahun Luas

Areal Sawah (ha) Total Pengurangan/ Periode (ha) Total Penambahan/ Periode (ha) 1 Repelita V 1990 1.969.214 6.724 1991 1.836.954 1992 1.998.426 1993 1.967.002 2 Repelita VI 1994 1.814.794 64.670 1995 1.976.161 1996 1.957.743 1997 1.879.464 3 Reformasi 1998 1.840.615 37.391 1999 1.787.456 4 Kabinet Persatuan Nasional 2000 1.810.615 81.670 2001 1.728.945 5 Kabinet Gotong Royong 2002 1.672.478 140.147 2003 1.532.331 6 Kabinet Indonesia Bersatu 2004 930.347 6.915 2005 924.832 2006 923.432

Sumber : Data Sekunder BPS 1990-2006 (diolah)

Dari data diatas dapat dilihat perkembangan pemukiman khususnya di Jawa Barat semakin bertambah setiap tahunnya semantara luas areal pesawahan semakin berkurang setiap tahunnya.

Konversi lahan pertanian semakin marak dilakukan di negara berkembang untuk mendukung industrialisasi, khususnya Indonesia menimbulkan dampak yang sinifikan terhadap kehidupan petani. Dampak positif yang didapatkan petani dengan melakukan

konversi lahan adalah meningkatnya pendapatan petani. Dampak negatif dari konversi lahan pertanian menurut Sumaryanto dan Sudaryanto, (2005 : 33) antara lain :

1. Degradasi Daya Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Produksi padi akibat konversi lahan bersifat permanen. Semakin tinggi konversi lahan sawah semakin tinggi pula hilangnya kesempatan kapasitas memproduksi padi, hilangnya kapasitas produksi padi maka turunnya produktivitas lahan sawah. 2. Pendapatan Pertanian Menurun dan Meningkatnya Kemiskinan

Konversi lahan pertanian menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani.

3. Pemubaziran Investasi

Asusmsi pembangunan irigasi. Biaya investasi pembangunan tidak sebanding dengan biaya unuk pemeliharaan sistem irigasi, pengembangan kelembagaan pendukung. Pemubaziran investasi ini akan berdampak nyata dalam rentang waktu yang lama setelah irigasi tersebut beroperasi.

4. Dampak Negatif Lainnya

Dampak negatif lainnya dari konversi lahan pertanian adalah berubahnya struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat, berubahnya usaha buruh tani ke sektor non pertanian, berubahnya budaya masyarakat dari masyarakat agraris ke budaya urban, meningkatnya kriminalitas, dan net social benefit turun.

Irawan (2005 : 15) menyatakan terdapat empat faktor yang menyebabkan implikasi konversi lahan sawah terhadap masalah pangan tidak dapat segara dipulihkan yaitu : Pertama, lahan sawah yang dikonversi menjadi non pertanian bersifat permanen. Kedua, upaya pencetakan sawah baru dalam rangka pemulihan

produksi pangan membutuhkan jangka waktu cukup panjang. Ketiga, sumberdaya lahan yang dapat dijadikan sawah semakin terbatas terutama di pulau Jawa dan anggaran pemerintah semakin sulit. Keempat, stagnasi inovasi teknologi pertanian.

Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas dari pada sekedar turunnya produksi pertanian saja, karena hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion dan Winoto, 1996:120).

Beralihnya fungsi lahan menjadi “bangunan baru” akan dapat menimbulkan multiplier effect, dan salah satu diantaranya adalah harga tanah di sekitar “bangunan baru” tersebut menjadi tinggi. Penduduk setempat yang sudah tidak memiliki sisa tanah akan tergusur ke daerah lain melalui urbanisasi atau menjadi kelompok marjinal dalam masyarakat. Sementara itu, penduduk yang masih memiliki sisa lahan akan mendapatkan berkah menikmati mahalnya harga tanah. Penduduk pendatang baru yang berduit dan berasal dari perkotaan juga akan membaur dengan mereka dan menggeser kelompok penduduk marjinal ke posisi yang semakin rendah dan terjepit, sehingga terciptanya kesenjangan sosial yang semakin melebar (Witjaksono, 1996:92).

Nasib petani yang sebagian besar atau seluruh lahan sawah miliknya terkonversi sangat bervariasi. Petani berlahan luas, kompensasi (hasil penjualan)

dari lahan sawah yang terkonversi digunakan untuk modal usaha dagang dan atau membeli lahan baru di tempat lain. Bagi petani kecil, konversi lahan sawah pada umunya menyebabkan status mereka menjadi buruh tani dan sebagian kecil diantaranya bermigrasi.

Implikasi lain dari pengendalian konversi lahan pertanian (sawah berigasi teknis) terkait dengan kebijaksanaan penataan ruang, yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai mana diatur dalam UU No.24 Tahun 1992 tentang penataan ruang. Hal ini berimplikasi perlunya melakukan peninjauan kembali terhadap RTRW yang belum mengakomodir kepentingan tersebut serta merevisinya dengan melakukan penyesuaian kembali terhadap rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan budidaya sehingga keberadaan lahan sawah berigasi teknis dapat dipertahankan pengembangannya pada masa akan datang sesuai dengan kurun waktu rencana. Penertiban diperlukan sebagai upaya mengambil tindakan agar rencana pemanfaatan ruang dapat terwujud, yang dilakukan melalui pengenaan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan.

Dalam konteks mikro implikasi kebijakan pengendalian konversi lahan sawah adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. Terjadinya konversi pada dasarnya terkait dengan perubahan dalam penguasaan pemilik lahan. Penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas lahan harus menjamin kelangsungan usaha pertanian. Pemilik lahan pertanian oleh perseorangan secara berlebihan, pemilikan yang terlalu sempit, dan pemilikan lahan secara perorangan perlu dicegah agar fungsi lahan sebagai faktor produksi

dan sumber kehidupan yang layak bagi rumah tangga pertanian dapat tetap terjaga.

Sebagai akibat adanya konversi penggunaan lahan tersebut akan ada pengaruh terhadap beberapa faktor yang menentukan kualitas hidup yaitu tingkat ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, kualitas perumahan, tingkat kesehatan dan tingkat kesempatan kerja mantan petani pemilik tanah sawah relatif lebih baik apabila dibandingkan dengan petani pemilik sawah.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan sebagaimana tersebut di atas sebagai berikut :

1. terjadi peningkatan kualitas hidup petani yang mengonversi lahan pertaniannya ke kawasan industri.

2. faktor luas sawah yang dikonversikan berpebgaruh nyata bagi kulaitas hidup terutama bagi bekas pemilik lahan yang mempunyai lahan luas

(Dharma, 1996:129).

Dokumen terkait