• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks MassaTubuh (IMT)

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 28-37)

2.6.1 Definisi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi pada orang dewasa. Khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Depkes RI, 2000). Pengukuran yang meliputi berat badan dan tinggi badan merupakan suatu indikator didalam mengukur status gizi yang secara tidak langsung menentukan besar komposisi tubuh dengan status tertentu. Salah satu parameter yang memberikan gambaran mengenai gambaran massa tubuh adalah berat badan. Dalam keadaan normal dan kesehatan yang baik serta keseimbangan anatara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertumbuhan umur. Sebaliknya pada kondisi abnormal, terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada perkembangan badan seseorang. Yaitu, dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002). Indeks massa tubuh (IMT) adalah rasio berat badan dibagi tinggi badan kuadrat yang dinyatakan dalam tabel normogram. Angka yang menunjukkan skor indeks massa tubuh (IMT) proporsional dengan tubuh seseorang. Skor nilai yang kecil untuk kategori orang dengan barat badan rendah sedangkan skor nilai yang besar menunjukkan kategori seseorang dengan berat badan yang berlebih (Soetjiningsih, 2004).

Menurut WHO (2000), indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat badan dan tinggi badan seseorang. Nilai yang didapatkan dari berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam ukuran meter

(kg/m2

2.6.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT):

). Pada orang dewasa nilai yang ditunjukkan oleh indeks massa tubuh (IMT) tidak bergantung pada umur maupun jenis kelamin (WHO, 2000).

1. Menurut World Health Organization (WHO)

Penilaian indeks massa tubuh (IMT) untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, IMT diinterpretasi dengan menggunakan kategori status badan standar yang sama untuk semua umur bagi pria dan wanita (CDC, 2009). Secara umum, skor nilai IMT diatas 25 didefinisikan sebagai kategori obesitas. Standar baru untuk indeks massa tubuh telah dipublikasikan tahun 1998 oleh World Health Organization (WHO). Dimana skor nilai dibawah 18,5 dikategorikan sangat kurus atau underweight, sedangkan indeks massa tubuh melebihi skor nilai 23 dikategorikan sebagai berat badan berlebih atau overweight.

Tabel 2.2 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut WHO

Klasifikasi IMT (kg/m

2

)

Principal cut-off point Additional cut-off points

Underweight <18,50 <18,50 Severe thinness <16,00 <16,00 Moderate thinness 16,00 – 16,99 16,00 – 16,99 Mild thinness 17,00 – 18,49 17,00 – 18,49 Normal range 18,50 – 24,99 18,50 – 22,99 23,00 – 24,99 Overweight ≥ 25,00 ≥ 25,00 Pre-obese 25,00 – 29,99 25,00 – 27,49 27,50 – 29,99 Obese ≥ 30,00 ≥ 30,00 I. Obese Class 30,00 – 34,99 30,00 – 32,49 32,50-34,99 II. Obese Class 35,00 – 39,99 35,00 – 37,49

37,50 – 39,99

III. Obese Class ≥ 40,00 ≥ 40,00

Sumber: Adapted from WHO, 1995, WHO, 2000 and WHO 2004.

2. Menurut Kriteria Asia Pasifik

Dalam Buku Sugondo (2006), dijelaskan bahwa meta-analisis beberapa kelompok etnik berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama menunjukkan bahwa etnik Amerika kulit hitam memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih tinggi dari etnik Polinesia dan etnik Polinesia memiliki nilai Indeks Massa tubuh (IMT) lebih tinggi dari etnik Kaukasia. Sedangkan untuk Indonesia memiliki nilai IMT berbeda 3,2 kg/m2 dibandingkan etnik Kaukasia. Kriteria Asia Pasifik diperuntukkan untuk orang-orang yang berdomisili di daerah Asia, karena Index Massa Tubuh orang Asia lebih kecil sekitar 2-3 kg/m2 dibanding orang Afrika, orang Eropa, orang Amerika, ataupun orang Australia.

Tabel 2.3 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Kurang dari normal

Kisaran normal Berat badan lebih Beresiko Obese I Obese II < 18,5 18,5 – 22,9 ≥ 23 23 – 24,9 25 – 29,9 ≥ 30 Referensi: Sugondo. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV Jilid III.

3. Menurut Departemen Kesehatan RI

Batas ambang nilai Indeks Massa Tubuh di Indonesia dimodifikasi kembali berdasarkan dari pengalaman klinis dan hasil beberapa penelitian. Maka didapatkan kriteria sebagai berikut:

Tabel 2.4 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh menurut Depkes RI

Gender

Kategori IMT (kg/m2)

Kurus Normal Kegemukan

Tingkat ringan Tingkat Berat Pria <18 kg/m2 18 – 25 kg/m2 >25 – 27 kg/m

>27 kg/m

2

2

Wanita <17 kg/m2 17-23 kg/m2 >23 – 27 kg/m2 Referensi: Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000) 2.6.3 Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT)

Berdasarkan metode pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut WHO, untuk menentukan indeks massa tubuh, sampel harus diukur terlebih dahulu berat badannya dengan menggunakan timbangan kemudian diukur tinggi badannya dan angka dari pengukuran tersebut dimasukkan ke dalam rumus dibawah ini:

2.6.4 Interpretasi Indeks Massa Tubuh (IMT) a. Kategori Underweight

Indeks massa tubuh dikatakan kurus atau underweight apabila pembagian berat per kuadrat tingginya kurang dari 18 kg/m2

b. Kategori Normal

. Hal ini biasanya disebabkan oleh konsumsi energi yang lebih rendah dari kebutuhan yang diperlukan oleh tubuh sehingga akan menyebabkan cadangan energi tubuh dalam bentuk lemak akan digunakan. Seseorang dengan kategori indeks massa tubuh rendah cenderung memiliki penampilan yang kurang menarik, sering mengalami keletihan serta dapat menyebabkan timbulnya risiko penyakit infeksi.

Dalam kategori normal, berat badan normal dapat diwujudkan dengan mengkonsumsi energi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan tubuh, sehingga tidak terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak, maupun penggunaan lemak sebagai sumber energi.

c. Kategori Overweight

Overweight atau kelebihan berat badan adalah keadaan dimana berat badan seseorang melebihi berat badan normal. Skor indeks massa tubuh (IMT) untuk kategori overweight berada pada rentang nilai 23-24,9. Hal ini disebabkan karena lebih banyak asupan makanan yang masuk daripada yang dikeluarkan oleh tubuh sehingga jumlah cadangan lemak dalam tubuh berlebih.

d. Kategori obesitas

Obesitas terjadi ketika jumlah cadangan lemak sudah overload dan memiliki potensi mengganggu kesehatan tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit. Angka penderita obesitas tiap tahun semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik serta pola hidup yang sedentary.

2.6.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan IMT

Ketidakseimbangan antara jumlah kalori yang dikonsumsi dengan kebutuhan tubuh menyebabkan penambahan berat badan seseorang. Ketika makanan yang dikonsumsi memberikan kalori lebih dari kebutuhan tubuh, maka kalori tersebut akan ditukar atau disimpan sebagai lemak. Pada awalnya peningkatan hanya terjadi pada ukuran sel lemak namum apabila ukuran sel-sel tersebut tidak dapat mengalami peningkatan lagi maka sel-sel-sel-sel tersebut akan bertambah banyak. Terdapat banyak penyebab terjadinya obesitas. Ketidakseimbangan asupan kalori dan konsumsi bervariasi tiap individu. Selain itu, usia, jenis kelamin, faktor genetik, psikososial, dan faktor lingkungan turut berperan dan berkontribusi terhadap peningkatan berat badan seseorang (Galletta, 2005).

1. Usia

Ketika usia semakin bertambah, seseorang akan kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak dalam tubuh. Kadar metabolisme dalam tubuh juga akan menurun sehingga akan menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah (Galletta, 2005).

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga ada hubungan antara jenis kelamin dengan status gizi (Apriadji, 1986). Jenis kelamin laki-laki rata-rata memiliki massa otot yang lebih banyak dari wanita. Penggunaan kalori lebih banyak digunakan oleh laki-laki dibandingkan wanita bahkan saat istirahat. Hal ini dikarenakan otot yang membakar kalori lebih banyak dibandingkan tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wanita lebih mudah dalam peningkatan berat badan dibandingkan laki-laki dengan asupan kalori yang sama (Galletta, 2005).

3. Faktor Genetik

Menurut Mustofa (2010), parental fatness merupakan faktor genetik yang berperan besar dalam obesitas. Bila kedua orangtua mengalami obesitas, 80% kemungkinan anaknya akan mengalami hal yang sama. Namun, apabila hanya salah satu orang tua yang mengalami obesitas, angka kejadian yang timbul menjadi 40%. Sementara apabila kedua orang tua tidak mengalami obesitas prevalensi menjadi 14%.

4. Faktor Psikososial

Faktor emosi yang dialami dapat mempengaruhi peningkatan berat badan. Seseorang akan cenderung makan berlebihan ketika sedang merasakan bosan, putus asa, depresi ataupun karena sebab yang lain dimana sebenarnya dalam kondisi ini tidak butuh makan. Pada

umumnya kondisi ini banyak dialami oleh wanita muda karena perasaan yang dialami sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makannya.

5. Faktor Lingkungan

Dengan kemajuan teknologi, seperti adanya kendaraan bermotor, lift, dan lain sebagainya dapat memicu terjadinya obesitas karena kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh sesorang. Gaya hidup yang seperti ini yang meningkatkan risiko obesitas. Kebiasaan mengonsumsi makanan junk food juga dapat menyebabkan obesitas karena pada umumnya berkalori tingggi. Selain itu, aktivitas fisik juga merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi, sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemungkinan terjadinya obesitas akan meningkat. Kurangnya aktivitas fisik inilah yang menjadi penyebab obesitas karena kurangnya pembakaran lemak dan sedikitnya energi yang dipergunakan (Mustofa, 2010).

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 28-37)

Dokumen terkait